Share

Nyonya Koo

Aku menghela nafas dan nafasku menampar udara, bergema ke segala sudut.

"Ah, Katya!’’ Nyonya Koo menyahutku saat ia mendengar gema nafasku. Suaranya bergema juga ke segala sudut sehingga aku hampir merasa ia memanggil namaku empat kali. Katya..Katya...Katya....Katya...! hal itu terjadi karena kami tengah berjalan di antara koridor kamar yang dibatasi dinding-dinding menjulang sehingga dilihat dari hukum fisika, bisa menghasilkan gema, begitulah. Aku tersenyum.

"Kau terlihat semakin cantik,’’ puji Nyonya Koo.

"Terima kasih,’’ kataku.

"Pasti sudah banyak pria yang tergila-gila padamu.’’

Hmmm, kenyataannya tidak. Aku sedih jika harus memikirkan nasib ini. Ternyata cantik pun tak bisa menjamin seorang gadis akan mudah mendapatkan pacar. Baru-baru ini aku membaca artikel berisi keajaiban cinta dari majalah Vogue. Isinya menjelaskan bahwa ada seorang lelaki tampan yang menikahi gadis cacat. Clerk dan Mega namanya. Clerk adalah dreamy man! Sementara Mega tadinya adalah seorang model yang suatu hari mengalami kecelakaan dan karenanya wajahnya berubah menjadi berantakan-mirip monster. Selain itu Mega pun tak punya kaki lagi, ia tak bisa berbicara dan melihat. Tetapi Clerk tetap mencintainya. Di depan semua orang yang waktu itu menghadiri acara pernikahan mereka, Clerk mengatakan bahwa Mega adalah gadis tercantik yang pernah ada dalam hidupnya. Ibu Clerk menjelaskan bahwa ini adalah keajaiban cinta.

"Aku sudah menyadari bahwa puteraku punya cinta yang amat dalam dan ketulusan hati pada Mega. Aku bisa melihat itu dari matanya. Matanya, saudara-saudara.. cara Clerk menatap orang lain dengan ia menatap Mega berbeda. Ada kasih sayang tulus dalam tatapannya kepada Mega dan ini adalah suatu mukjizat. Kau tahu, anakku telah menemukan cinta sejatinya,’’ tukas ibunda Clerk dalam artikel itu.

*****

"Yah, bagaimana kalau kita makan malam bersama disini?’’ usul Nyonya Koo saat dirinya sedang termenung menatap motel kami dan salju di luar jendela. "Sebagai perayaan aku telah kembali,’’ lanjutnya tanpa melihat kami.

Aku menelan ludah. Aduh, motelku! Sama sekali tak ada harganya dengan rumah Nyonya Koo, dan aku merasa malu waktu ia terus memandangi itu. Mengapa ia melihat motelku? Ada apa dengannya? Nyonya Koo seharusnya tahu, tiada yang berubah dari motelku dari musim panas sampai musim dingin ini dan karenanya seharusnya ia tak perlu melihat motel itu begitu dalam.

Akhirnya aku pura-pura berdehem untuk mengalihkan pandangan Nyonya Koo.

"Yah, itu ide yang bagus,’’ ucap ibu. "Terima kasih telah mengundang kami.’’

"Terima kasih juga karena mau makan malam bersamaku.’’

Nyonya Koo tersenyum tipis. Aku merasa getir melihatnya. Ku rasa ia sama sekali tak ingin tersenyum, tapi ia harus tersenyum untuk sekedar keramahan dan basa basi. Setelah kematian suaminya tiga tahun lalu, hidup Nyonya Koo memang berubah. Halimun muram bergerak seperti sesosok makhluk air dan melahap tubuh Nyonya Koo. Ada kesepian yang menjamahnya begitu kejam, aku rasa. Karena rumah ini begitu sepi sekarang, sekalipun masih mewah. Tetapi sepi telah menggerogoti setiap inci dari kemegahan rumah ini.

Saat suara tikus berderik lewat dari lubang tak dikehendaki di sudut dinding, dan akhirnya tikus-tikus itu keluar dari persembunyiannya lewat pinggiran tembok yang lembab. Barulah aku menyadari bahwa rumah ini telah berubah. Baru aku sadar bahwa cat dinding rumah ini tidak lagi cokelat marun, tetapi hitam kelabu. Baru aku sadar bahwa teralis-teralis jendelanya tak lagi berkilau, namun karatan sudah lapuk dimakan zaman dan tetesan hujan.

Saat aku duduk di salah satu kursi kayu ukir, terdengar bunyi ‘’krekk’’ dan barulah aku sadar bahwa isi rumah ini benar-benar telah mengeropos. Rumah yang dahulu adalah penyatuan dari istana Buckingham, museum d’Louvre, katedral di Vatikan, kuil cina, dan Moskow sekarang berubah seperti rumah reot dari jalinan bambu dan ini adalah sebuah tragedi. Nyonya Koo mengarahkan pandang padaku yang tengah duduk di atas kayu ukir. Ia melihatku dengan sedih dan aku membalasnya dengan senyum canggung. Komunikasi tanpa bahasa ini sepertinya sama-sama telah memberikan kami pemahaman bahwa rumah ini telah berubah. Kejayaan yang dahulu telah pudar.

Akhirnya aku pindah duduk ke sofa yang sudah tak empuk lagi di dekat ruang tamu dan untuk mengusir kesunyian, aku mulai bercerita….tentang kejadian-kejadian yang Nyonya Koo sudah lewatkan disini, dari mulai politik sampai kemanusiaan, dari ekonomi sampai olahraga, dari olahraga sampai selebriti ternama.

Kemudian aku menangkup dua tangan pada mulutku sebab di lidahku hampir ada sebuah cerita yang mau meloncat, yang membuatku sendiri tercengang karena itu adalah cerita tentang Jack. Ah, pria selewat malam itu… mengapa tiba-tiba aku memikirkannya lagi?

*****

Tie Khom Nio. Ah, bagaimana aku menyebut namanya Tiee Kehom Niyo. Itu adalah nama asli dari Nyonya Koo. Ia adalah seorang wanita mandarin asli, cantik, dan merupakan putri tuan tanah di China. Nyonya Koo pernah bercerita padaku bahwa ia lahir di Nanking, 28 Oktober 1916. Lahir diantara kemelut imperealisme dan perang dunia pertama, Nyonya Koo justru tumbuh menjadi gadis yang pintar diantara yang lainnya dan di usianya yang masih tujuh belas tahun ia dikirim ke Belanda untuk melanjutkan pendidikannya. Tak lama setelah ia kembali dari Eropa, kota Nanking sebagai tempat lahirnya berubah menjadi neraka yang tak pernah akan bisa dibayangkan oleh siapapun.

Pada suatu malam di balkon rumahnya, waktu itu usiaku sekitar sepuluh tahun dan Nyonya Koo sering mengajakku tidur di rumahnya karena ia tak punya anak, Nyonya Koo menceritakan segelintir riwayat hidupnya sambil mengepangi rambutku. Saat ia berbicara, aku bisa menangkap keganasan suasana di Nanking dari nada suaranya.

"Perang dunia kedua baru meletus dan Jepang amat-amat berkuasa atas Asia-Pasifik, kau tahu, sayang, tentara angkatan darat kekasiaran Jepang tiba di Nanking pada suatu pagi yang buta dan memaksa kami untuk takut padanya,’’ Nyonya Koo menghela nafas dan mengepang lagi. "Tetapi orang-orang Nanking memang takut kepada Jepang karena mereka memperlakukan kami lebih dari kejam.’’

"Apa yang mereka lakukan kepada orang-orang di Nanking?’’ tanyaku penasaran dan tak sabar sebab Nyonya Koo mendadak berhenti bercerita dan matanya jauh menatap keluar jendela yang tak tertutup tirai. Di luar jendela, hitam legam karena malam tak berbintang. Namun suara kucuran air mancur dan kepakan burung-burung malam masih jelas terdengar.

"Apa Nyonya Koo?’’ tanyaku sekali lagi.

"Ah, itu…’’ Nyonya Koo ragu-ragu mengatakannya. "Mereka membantai warga sipil Cina, membunuh kami, dan para gadis Cina diperkosa…. Hanya dalam waktu enam minggu, lebih dari delapan puluh ribu orang tewas akibat pembantaian itu.’’

Hening.

Angin malam berdesir.

Aku berbalik badan memandang Nyonya Koo. "Lalu, apa yang terjadi denganmu? Juga keluargamu?’’

Ah, Nyonya Koo mendesah.

"Ayahku tewas dalam pertempuran itu dan aku beserta sisa keluargaku pindah ke dataran tinggi Yunan. Kau tahu dimana itu, sayang? Itu adalah tanah diatas seribu meter dari permukaan laut, dan hawanya sangat panas. Tetapi itu adalah tempat aman yang paling mungkin kami kunjungi, setidaknya untuk saat itu. Dalam momen perang, kami memang tidak pernah punya banyak pilihan.’’

Nyonya Koo kemudian pindah ke Macao setelah dataran tinggi itu pun tidak membuat kehidupannya lebih baik. Disanalah ia bertemu Washington Koo, kaki tangan Mao Zedong yang kini menjadi suaminya. Ia bilang nasibnya mulai membaik saat ia mengenal Washington dan akhirnya mereka berdua memutuskan untuk menikah. Pada tahun pertama pernikahan mereka, keluarga Koo berhasil tumbuh menjadi milyader dan itu sangat fenomenal di China. Nama Washington dan Tie Khom Nio mulai ramai di koran-koran dan nama itu semakin harum mengingat kedekatannya dengan pemimpin komunis China, Mao Zedong. Tetapi itu tidak berlangsung lama karena rakyat China yang miskin mulai terusik akan ke-glamouran hidup Tuan dan Nyonya Koo. Protes mulai dilontarkan pada keluarga Koo dan para petinggi komunis mulai khawatir bahwa keberadaan Tuan dan Nyonya Koo bisa menghancurkan rencana mereka membangun masyarakat utopia di tanah China.

"Tuan dan Nyonya Koo sebenarnya adalah politisi yang paling dekat dengan rakyat China, tapi sayang mereka hidup terlalu mewah di tengah kemelut perang, revolusi, dan kemiskinan yang mewabah. Mereka pun akhirnya secara diam-diam disingkirkan ke Uni Soviet dan atas perintah Mao sendiri, mereka tidak diperbolehkan kembali ke China dan lebih baik bagi mereka untuk melanjutkan hidup mereka yang kaya raya makmur sentosa disini, di Leningrad,’’ jelas ibu di suatu siang saat kami berdua tengah menikmati es krim cokelat di musim semi. Seorang gadis pirang teman ibu yang kini telah meninggal akibat suatu penyakit berkata,

"Yah, dan mereka mulai membangun rumah gedongan itu.’’

"Rumah terbaik yang pernah ada di kota ini.’’

"Rumah terbaik, juga rumah termahal.’’

Aku mengemut es krim lagi. Dingin dan kelembutannya terasa di langit-langit mulut. Udara musim semi saat itu sangat bersahabat dan kami berdua gembira menjalaninya walau hanya dengan berpergian ke taman dan makan es krim. Ibu bercerita lagi,

"Nyonya Koo punya dua belas pelayan untuk mengurus dirinya dan dua puluh pelayan untuk mengurus rumahnya.’’

Si pirang menimpali. "Yah, itu memang sangat sensasional. Tetapi yang lebih sensasional lagi adalah bahwa mereka tak pernah berbincang-bincang sedikitpun dengan Nyonya Koo.’’

Tawa membahana. Angin berayun membawa tawa itu ke arah lain, menyebar mengarungi padang bunga dan ladang dandelion. Ibuku dan temannya terus bercakap-cakap mengenai Nyonya Koo sampai akhirnya mereka mulai bosan sendiri dan mengalihkan tema percakapan pada Tuan Koo. Aku tak memperhatikan setiap detil omongan mereka lagi karena aku telah terlanjur terjerembab oleh suara tawa mereka dan angin yang menggetarkan cabang juga telah meniup kepalaku dan mataku mulai berat dan aku tak tahan lagi dan aku tak sadar lagi dan aku terlelap.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status