Share

Semenanjung Gulag

Jack's Pov

Menjadi pelayan di restoran Afghanistan adalah sesuatu yang fatal. Begitu menurutku. Bukan gajinya sedikit, bukan majikannya yang bawel, bukan teman-temannya yang norak, bukan pengunjungnya yang heboh, tapi bekerja disini seolah-olah telah menyambungkan rantai sejarah yang baru saja putus. Rantai sejarah yang merupakan proyek gagal bangsaku, tapi jebolan Afghani. Kau tahu maksudku? Tidak. Ah, sudahlah. Berarti kau tak pernah belajar sejarah.

Rajif dan Gula memandangiku dari ujung kaki sampai ujung jidat saat pertama kali aku datang melamar pekerjaan pada mereka. Hamzah sampai harus berdehem untuk menurunkan mereka dari langit kejayaan dan keunggulan dari suatu yang diremehkan. Aku mengerti betapa bersoraknya mereka menjadi majikan di negeri yang dulu membabukan negerinya.

"So, what’s your name, boy?’’ tanya Rajif saat menangkap mataku menyapu ruang depan restorannya. Aku segera berpindah pandang mengarah ke Rajif.

"Jack,’’ jawabku dengan senyum yang dibuat-buat. Rupanya suami istri itu sama sekali tak terkesan pada usahaku.

"Jack?’’ ulang Gula seolah tak percaya. Nada suaranya seperti orang mengatakan, ‘Shit!’

"Jack Nabokov,’’ jelas Hamzah.

 "Jay Nabokov?!’’ mendadak Rajif menjadi jengkel, seolah marah gara-gara suatu penghinaan. Aku juga terkejut. Berhari-hari aku menjadi Jack dan lupa pada siapa aku sesungguhnya. Hari ini seorang Afghan telah mengingatkanku pada nama itu.

"Bukan, Jay tapi Jack! Jack!’’ Hamzah berusaha menjelaskan. Suami istri itu memancarkan sinar kecurigaan. Aku bergidig ngeri. Mereka semua tidak tahu siapa aku. Tapi mengapa nama itu mendadak keluar dari mulut mereka?

Sebentuk cahaya fluorescent meredup di ruangan itu. Menjadikan cahayanya tak ubah sinar bohlam gundul. Aku merasakan tengah memasuki suatu sensitivitas alih-alih sebuah restoran. Seorang pelayan lewat disampingku, menubruk pundakku. Aku terdiam. Ia berlalu dan celana kurduroi yang dikenakannya menyapu lantai.

"Nah, selamat bekerja padaku,’’ ujar Gula, nada suaranya melunak. Aku melepaskan keteganganku. "Aku bangga punya pelayan dari negeri ini,’’ lanjutnya menyeringai.

Dan harga diriku jatuh berkeping-keping.

Masa lalu, kawan… masa lalu suatu bangsa sering kali memberikan suatu stereotipe tertentu pada bangsa tertentu. Nun jauh di Afghanistan, bangsa Soviet adalah bos mereka. Maksudku, Soviet menjajah Afghanistan dan nilai dirinya tinggi pada kasta melebihi brahmana. Sekarang, setelah segalanya runtuh, bangsa Afghan menemukan harga dirinya kembali sementara Rusia terseok-seok pada kenyataan yang paling pahit. Aku harus menerima dampak dari imprealisme ini. Hamzah mensenyumi suami istri itu. Senyumnya mengisyaratkan suatu ungkapan; "Sudahlah, perang itu tak usah diungkit lagi.’’

Beberapa hari kemudian aku sudah akrab dengan istilah-istilah asing dari nama suatu makanan dari Timur Tengah. Yah, seperti yang telah disebutkan; Samosa dan kawan-kawan. Lama-lama aku juga terbiasa dengan pakaian khas mereka, shalwar qamiz, celana kurduroi, topi pakol. Aku diharuskan memakai kostum itu selama bekerja sebab itu adalah suatu identitas bagi mereka memperkenalkan diri di bola dunia.

"Ya, seperti orang Indonesia yang memakai batik, identitas pun penting ditonjolkan dari selembar pakaian bagi bangsa Afghan,’’ seru Hamzah waktu aku menceritakan padanya bagaimana aku kerepotan dengan celana kurduroi yang berukuran pinggang lebih dari dua meter dan aku harus melipat-lipatnya sedemikian rupa untuk mengepaskan di pinggangku. Setiap kali aku melayani pengunjung, aku terus dihadapkan pada suatu kekhawatiran bahwa celana super lebar itu bisa saja melorot dari pinggangku karena ikat pinggang yang longgar atau karena celana itu terlalu licin. Aku bisa bayangkan betapa aku harus menanggung malu karenanya. Hamzah cekikikkan waktu aku menceritakan bayangan-bayangan gila itu.

"Mereka pasti takkan melupakan ekspresi wajahmu!!’’

"Mereka akan membincangkannya sepanjang tahun!’’

"Rajif dan Gula mungkin akan memecatku!’’

"Aib!! Mereka menganggap hal itu aib.’’

Kemudian, mendadak Hamzah terdiam setelah tertawa amat kencang. Ia mengalihkan pandangannya ke layar televisi yang sedang mempertunjukkan salah satu film James Bond. Aku mengikuti perbuatannya. James Bond sedang berlari-lari di tengah jalan Manhattan yang dipadati mobil-mobil dan orang-orang. Suara tembakan dan klakson mobil berdentum-dentum dari dalam film.

"Besok aku akan ke London,’’ ungkap Hamzah. Aku terdiam. Ini adalah peringatan yang ke sejuta kali sejak kami mulai berteman ke arah yang lebih dalam. Tetapi aku tahu, besok memang hari puncaknya ia terbang ke negeri Ratu Elizabeth itu.

James Bond bersembunyi di balik telepon umum dan menelpon seorang wanita cantik. Denting telepon dari dalam film meletup. Kekosongan suara melanda kami.

"Ada yang ingin kau sampaikan?’’ aku memecah keheningan.

"Maddie… I need your help, the thief wanna killing me. I want you to keep the key of the bunker and.. bla..bla…bla…bla…’’suara di film.

"Tidak,’’ jawab Hamzah. "Kau tahu, dahulu aku pernah bekerja sebagai agen di Semenanjung Gulag,’’ lanjutnya.

Aku terkejut.

Maddie ternyata seorang remaja amburadul yang hidup dalam hingar bingar New York. Pada akhirnya ia merasa puas sekali bisa mencaci maki James Bond,walau cuma di film.

"What the freaking out there? What the F**k! that’s not my bussiness! I don’t care!!!!’’

"Aku tahu cerita yang sebenarnya.’’

Cerita apa? Apa cerita? Aku merasakan sebutir biji kedondong menyangkut di tenggorokanku. Duri-durinya menusuk kerongkonganku dan untuk beberapa saat aku tak mampu menelan ludah dengan benar.

"Kerusuhan di Moscow beberapa tahun lalu itu, aku heran kau tak memperjuangkannya tapi…’’ Hamzah berbicara ragu-ragu, seolah tak ingin menyinggung perasaanku. "Aku tahu, benar-benar tahu.’’

"Tahu apa? Aku tak bisa memahami bahasamu, apa kau menguntitku sepanjang hidup?’’

Tawa Hamzah hampir meledak mendengar omong kosong dan ketololanku. Namun ia mencoba menahannya dan fokus pada apa yang telah membuatnya serius.

"Aku paham kenapa kau sampai kabur dari penjara, kau tak ingin menderita dalam kungkungan jeruji besi yang menelanmu seumur hidup atas apa yang sebenarnya tak pernah kau lakukan,’’ ungkap Hamzah. Aku terkejut-untuk yang kedua kalinya dalam lima menit ini. Oh, Tuhan… ini nyaris tak bisa ku percaya. Bahwa setelah dua puluh empat bulan mulutku berbusa menuntut keadilan atas perkara kerusuhan di Moscow dan tak ada yang mau percaya-peduli-apalagi simpati. Akhirnya pendukungku muncul, walau cuma satu.

"Kau bisa menyamar di hadapan orang lain, tapi tidak di hadapanku.’’

Aku terdiam.

James Bond kini berada di pucuk menara kembar. Ia telah mencuri telepon genggam seorang wanita tua yang tengah lewat di hadapannya sambil menelepon. Ia menghubungi nomor Maddie lagi. Tutttt..tuttttt……tutttt…..

"Dengar, satu hal yang harus kau tahu sebelum aku meninggalkan Rusia….’’ Hamzah menelan air liurnya. "Aku memihakmu, Jay.’’

Jadi itulah sebabnya ia menolongku? Karena ia tahu, ia tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia tahu, Tuhan. Itu sebabnya ia menolongku. Akhirnya untuk yang pertama kali, aku menemukan suatu garis cahaya yang indah menuju ke arahku. Ya, Hamzah, terima kasih atas dukungannya, kau berada di pihak yang benar untuk kasus itu. Aku membatin. Kau tahu aku sudah berhasil kabur dari penjara, dan sekarang aku hanya ingin membangun hidupku kembali, mencoba hidup senang seperti sedia kala, meskipun dalam berbagai bentuk penyamaran. Aku lelah dianggap provokator. Aku tak ingin mengurusinya lagi, takkan pernah. Aku lelah, kau tahu, aku merasa seorang yang dikorbankan dalam kasus tersebut.’’

Malam lisut ke pukul sembilan, cahaya televisi kelap kelip diantara ruangan yang redup waktu kami menyaksikan puncak konflik dari film James Bond.

"Madiie, dimana kau sekarang? Cepat kemari!  Agen FBI sedang mencarimu, lima menit lagi mereka akan sampai di rumahmu dan menangkapmu dan membakar rumahmu!!!Madieee!!’’

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status