Share

Bab 03. Dijemput Oma

Donny segera berjalan menuju ruangan pribadinya. Pemuda itu berjalan dengan tetap berpikir kenapa sampai ada wanita yang sangat mirip dengan istrinya. Juno pun masih mengikuti langkah kaki Donny hingga masuk ke dalam ruangan pemuda itu. Donny menoleh ke arah Juno dan menautkan alisnya.

“Kenapa kau mengikutiku?” tanya Donny.

“Memangnya tidak boleh?” balas Juno bertanya kembali.

“Ini jam kerja, Juno,” ucap Donny sedikit geram.

“Kerjaanku sudah selesai, nanti tinggal cek-cek lagi saja. Aku mau bicara dulu denganmu,” sahut Juno.

“Mau bicara tentang apa?” tanya Donny.

“Steffi,” jawab Juno singkat.

“Kenapa dengan Steffi?”

“Ah, ayo kita bahas di dalam ruanganmu. Kenapa kita malah mengobrol di depan pintu seperti ini,” ucap Juno yang langsung menerobos masuk ke dalam ruangan. Donny hanya mengernyitkan dahinya lalu berjalan masuk dan duduk di kursinya. Sedangkan Juno duduk di sofa samping meja kerja Donny. Donny menatap sebentar berkas yang sudah tersedia di meja.

Ada catatan memo kecil yang terselip di antara berkas itu. Terdapat tulisan kecil dari perawat lamanya yang mengatakan bahwa segala tugas sudah dia serahkan pada perawat barunya yaitu Steffi Maharani. Sebenarnya Donny telah nyaman dengan pekerjaan perawat lamanya. Namun karena wanita itu mempunyai anak bayi jadi dia memutuskan untuk mengundurkan diri. Donny menghargai setiap keputusan yang dibuat oleh anak buahnya. Dia tak bisa memaksakan kehendaknya untuk tetap mempertahankan wanita itu bekerja. Sedangkan memang wanita itu telah memimpikan mempunyai seorang anak sejak lama. Donny paham dan mengerti tentang situasi wanita itu yang memang menginginkan merawat anaknya dengan tangannya sendiri. Sehingga Dony mengizinkan dengan catatan wanita itu harus mencarikan pengganti dirinya. Hingga hari ini perawat barunya itu sudah menampakkan dirinya di hadapannya.

Yang terjadi sebenarnya adalah Juno masih ada beberapa tanggungan pekerjaan. Namun rasa penasaran pemuda itu tentang pendapat Donny mengenai perawat barunya lebih mendominasi. Dia menyembunyikan fakta tentang pekerjaannya. Kalau sampai Donny tahu bahwa Juno masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan pasti pemuda itu akan terkena ceramah panjang lebar dari Donny. Hingga membuat Juno sedikit berbohong tentang tanggungan pekerjaannya. Donny menoleh ke arah Juno yang juga sejak tadi menatap pemuda itu dengan intens.

“Kau ingin membicarakan apa tentang Steffi?” tanya Donny membuka pembicaraan.

“Dia bisa sangat mirip sekali dengan Aisyah,” gumam Juno.

“Kau lupa bahwa di dunia ini kita memang mirip dengan tujuh orang sekaligus?”

“Aku tahu, tapi ini langsung terjadi dalam lingkup kehidupan asli kita.”

“Kau membuatku bingung, Jun.”

“Apa jangan-jangan Aisyah hidup kembali.”

“Kau ini berpendidikan tinggi, kenapa kau malah berpikiran kolot seperti itu?”

“Bukan kolot, Don. Tapi ini benar-benar seperti tak bisa dipercaya. Steffi sangat mirip dengan Aisyah, pikiranku jadi memikirkan hal yang sangat tidak mungkin.”

“Ya itu karena pikiranmu terlalu dipenuhi oleh energi buruk,” ucap Donny sambil tertawa kecil.

“Kalau pikiranku dipenuhi dengan energi buruk berarti kau yang buruk,” sahut Juno.

“Kenapa bisa aku?” tanya Donny.

“Ya kan aku sering denganmu.”

“Dih, najis!”

“Don, apa kau juga berpikir yang sama denganku?” tanya Juno yang tiba-tiba memasang wajah serius.

“Tidak, pikiranku tidak pernah sama dengan pikiranmu!”

“Dengar dulu,” sahut Juno.

“Hmmm,” Donny berdehem.

“Kalau itu benar-benar bukan Aisya lalu siapa?”

“Aisyah itu sudah meninggal, Jun. Bahkan kau sendiri yang menanganinya. Aku yang menemani dia di ruang UGD. Dan aku juga yang membawa keranda mayatnya. Masih kurang bukti? Masa Aiyah hidup lagi langsung bangkit dari kubur dan berjalan pulang? Sedangkan Mama Sinta sampai saat ini pun kadang masih kepikiran dengan anaknya. Kau ini,” sahut Donny dengan kesal.

“Jangan-jangan...”

“Jangan-jangan apa?” sahut Donny.

“Jangan-jangan Steffi itu adalah saudara kembarnya Aisya,” tebak Juno.

“Pikiranmu semakin ngaco!”

“Coba tanya dulu sama keluarga mendiang istrimu, kali saja mereka menyembunyikan fakta yang tak pernah kau tahu selama ini,” ucap Juno yang membuat Donny berpikir keras.

“Lalu seandainya Aliza ikut ke kantor dan melihat Steffi bagaimana? Bukankah dia sudah mengenali Aisyah lewat foto-fotonya?” kata Juno kembali mengingatkan Donny.

“Entahlah, aku juga tak tahu harus menjawab apa ketika Aliza akhirnya bertemu Steffi,” jawab Donny.

Dua pemuda itu akhirnya tenggelam dalam lamunan masing-masing. Juno dengan lamunan kolotnya yang mengira Aisyah hidup lagi. Dan Donny yang juga akhirnya terpengaruh dengan Juno tentang Aisyah yang mempunyai saudara kembar. Juno bangkit dari duduknya dan menoleh ke arah Donny yang terlihat memijit keningnya.

“Aku mau kembali ke ruanganku dulu,” pamit Juno.

“Iya,” jawab Donny singkat.

Juno melangkah keluar ruangan Donny dan menutup ruangan itu kembali. Donny menyalakan laptopnya dan mulai untuk menyelesaikan tugas yang sudah menumpuk di depannya. Namun setelah beberapa saat ternyata fokusnya tetap terpecah tentang misteri Steffi dan Aisyah.

“Aku akan mencari tahu tentang ini,” gumam Donny dengan menghembuskan napas kasar.

Lalu pemuda itu akhirnya kembali memfokuskan pikirannya dengan pekerjaan di depannya. Berkali-kali Donny terlihat menggelengkan kepala untuk menghilangkan beban pikiran yang baru saja didapatnya. Belum lagi masalah anaknya yang tiba-tiba meminta Mama baru padanya. 

****

Saat siang hari waktu menunjukkan saat Aliza pulang tapi Donny tak kunjung datang. Gadis kecil itu menunggu di depan gerbang sekolah bersama dengan beberapa temannya yang juga menunggu dijemput oleh orang tuanya. Satu per satu teman Aliza telah pergi hingga tersisa satu temannya yang juga terlihat sudah di jemput oleh Mamanya.

“Aliza, aku pulang dulu ya,” pamit gadis manis dengan rambut yang dikepang dua. Aliza hanya tersenyum dan mengangguk.

“Nak, belum dijemput?” tanya Mama dari temannya berbasa-basi.

“Belum, Tante,” jawab Aliza singkat.

“Mau Tante temani dulu?” tawar wanita berhijab itu.

“Tidak usah, Tante. Aliza tunggu sendiri saja, mungkin Ayah masih terkena macet di jalan.”

“Oh gitu, baiklah. Hati-hati ya, kalau ada orang asing yang mengajakmu bicara jangan dijawab dan langsung masuk ke dalam sekolah saja ya, Nak,” pesan wanita itu.

“Baik, Tante,” jawab Aliza lalu melihat Mama dari temannya menggandeng tangan gadis kecil manis yang tadi bersama Aliza.

Pikiran Aliza kembali melayang tentang permintaannya pada Ayahnya yang ingin Mama baru. Sejujurnya dia hanya ingin merasakan kasih sayang seorang Ibu. Gadis kecil itu menggoyang goyangkan kakinya di tanah. Bibirnya cemberut dan rasa hatinya sudah mulai bisa memberontak. Selama ini memang dia tak kekurangan kasih sayang dari semua orang. Namun dibalik itu semua dia memang ingin memiliki Mama. Aliza menoleh kanan dan kiri berharap Ayahnya segera datang karena sudah lama menunggu dan sudah merasa bosan.

Tak berapa lama kemudian, sebuah mobil mewah berwarna silver berhenti tepat di depan Aliza. Gadis kecil itu mendongakkan kepala dan mencoba mengingat mobil siapa di depannya karena memang mobil Ayahnya tidak seperti itu. Pintu mobil terbuka dan terlihat wanita paruh baya turun dengan anggun dari sana.

“Oma!” pekik Aliza kaget saat mengetahui bahwa yang datang adalah Oma Sinta, Mama kandung dari Almarhumah Mamanya.

“Hai, Sayang. Maaf, Oma telat jemput ya. Tadi macet soalnya,” ucap Sinta lalu menunduk dan memeluk cucu kesayangannya.

“Tidak apa-apa, Oma. Tapi Ayah...”

“Tadi Oma sudah telepon Ayahmu untuk menjemputmu di sekolah. Kebetulan nanti Ayahmu agak sibuk jadi kita pulang ke rumah Oma dulu ya. Mau kan?”

“Mau, Oma,” jawab Aliza.

“Ya sudah, ayo kita pulang. Nanti Oma belikan ice cream yang banyak,” ucap Sinta lalu menggandeng tangan cucunya dan memasuki mobil.

“Benar, Oma?” tanya Aliza dengan mata berbinar.

“Benar, Nak. Pak, ayo jalan. Nanti mampir ke supermarket sebentar ya,” ucap Sinta pada sopir pribadinya.

“Baik, Bu,” balas sopir itu.

Lima belas menit kemudian, mobil yang ditumpangi oleh Sinta terlihat bergerak masuk ke dalam area supermarket. Wanita paruh baya dan gadis kecil itu segera masuk ke sana untuk membeli beberapa makanan kesukaan Aliza dan juga ice cream karena memang Sinta sudah berjanji pada gadis kecil itu.

“Mau apalagi, Nak?” tanya Sinta dengan matanya memperhatikan deretan makanan ringan.

“Mau itu, Oma,” ucap Aliza dengan menunjuk sebuah makanan dengan berbahan dasar coklat.

“Emmm... Coklat? Memang boleh sama Ayah?” tanya Sinta memastikan.

“Boleh, Oma. Tapi tidak boleh terlalu banyak,” jawab Aliza.

“Baiklah, secukupnya saja ya,” ucap Sinta lalu mengambilkan makanan yang tadi ditunjuk oleh cucunya.

Lalu mereka berdua berkeliling kembali ke arah deretan minuman dan susu. Wanita paruh baya itu mengambil beberapa botol susu kesukaan cucunya. Dan minuman kaleng untuk dirinya dan untuk persediaan di rumahnya. Aliza memang suka sekali jika diajak berjalan-jalan hingga gadis kecil itu tak merasa pegal sama sekali. Bahkan Aliza menolak tawaran Sinta yang ingin menggendongnya karena takut gadis itu capek. Namun Aliza tak mau karena merasa dirinya sudah besar.

“Mau apalagi?” tanya Sinta pada Aliza kembali.

“Sudah, Oma,” jawab Aliza yang memang sudah merasa cukup dengan makanan yang dibeli oleh Omanya.

“Ya sudah, kita ke kasir yuk. Kita bayar dan pulang lalu makan ice cream bersama-sama. Tadi Oma juga ambil ice cream yang sama dengan Aliza,” ucap Sinta membuat mata gadis kecil itu berbinar.

“Wah, iya, Oma?”

“Iya dong, ayo,” ucap Sinta lalu menggandeng Aliza menuju kasir untuk membayar semua belanjaannya.

Mereka antre terlebih dahulu dan mendapat urutan nomor tiga. Setelah menunggu sekitar sepuluh menit kini giliran belanjaan Sinta yang dihitung oleh kasir supermarket itu. Gadis muda yang memakai hijab itu tampak sangat sopan melayani setiap pembeli. Dan tak lupa selalu menunjukkan senyum ramah kepada para pelanggannya.

Beberapa saat kemudian, belanjaan Sinta telah selesai dihitung semua. Lalu wanita paruh baya itu mengeluarkan sebuah kartu debit untuk membayarnya. Sinta memang terbiasa memegang uang tunai dalam jumlah yang tak banyak. Namun di dalam dompetnya selalu terselip kartu debit agar memudahkan segala transaksi yang dia lakukan. Wanita paruh baya itu lebih memilih untuk menggunakan kartu debit dibandingkan dengan kartu kredit. Padahal pada umumnya wanita sosialita akan lebih memilih kartu kredit. Sinta mengeluarkan ponselnya yang di dalam tas dan menghubungi sopir pribadinya untuk meminta tolong membawakan belanjaannya yang memang cukup banyak.

“Halo, Pak Aldi. Tolong masuk ke sini ya bagian kasir, tolong bantu untuk membawa barang belanjaan,” ucap Sinta berbicara pada teleponnya.

“Baik, Bu,” jawab sopirnya dari seberang sana.

“Maaf, Ibu. Apa perlu bantuan untuk membawa belanjaan ke mobil. Biar saya bantu,” tawar salah satu pegawai laki-laki di supermarket itu.

“Tidak usah, Mas. Tadi saya sudah meminta sopir saya untuk ke sini. Terima kasih tawarannya ya,” ucap Sinta menolak dengan sopan.

“Baik, Bu. Kalau membutuhkan bantuan jangan sungkan-sungkan,” ucap pegawai itu lalu undur diri dari hadapan Sinta.

Tak lama kemudian, Pak Aldi datang dan segera mengambil alih kantong belanjaan dari tangan Sinta. Lalu pria paruh baya yang berprofesi sebagai sopir pribadi itu segera berjalan mendahului dengan tangannya membawa penuh kantong belanjaan. Sintal menyipitkan matanya karena memang hawa hari itu sangat panas. Cuaca yang memang beberapa hari ini tidak tersentuh oleh mendung sama sekali.

“Aliza, mau gendong Oma?” tawar Sinta pada cucunya karena jalanan menuju area parkir memang panas.

“Tidak usah, Oma. Biar aku berjalan sendiri saja, nanti kalau Ayah tahu aku kena marah karena aku sudah besar,” balas Aliza.

“Sekarang kan Ayahmu tak tahu, Nak. Ini panas sekali loh,” ucap Sinta.

“Baiklah, Oma. Tapi jangan bilang Ayah ya kalau Oma gendong Aliza. Kata Ayah, Aliza sudah berat jadi kalau Oma gendong nanti pinggangnya sakit,” kata Aliza dengan lucunya.

“Hahaha... Lucu sekali kau, Nak. Baiklah, Oma akan tutup mulut,” balas Sinta dengan gaya menutup mulut dengan tangannya membuat Aliza tertawa geli.

“Ayo,” ucap Sinta yang hendak menggendong Aliza.

Wanita paruh baya itu menggendong Aliza dan berjalan ke arah mobilnya. Pak Aldi dengan sigap membukakan pintu untuk majikannya. Setelah dirasa Sinta dan Aliza telah duduk dengan nyaman Pak Aldi segera menutup pintu mobil. Lelaki paruh baya itu berputar arah ke arah kemudi lalu masuk dan duduk di sebelah sana. Pak Aldi menyalakan mobilnya dan menoleh ke arah belakang.

“Jalan sekarang, Bu?” tanya Pak Aldi.

“Iya, Pak.”

“Langsung pulang ya, Pak,” ucap Sinta lagi.

“Baik, Bu,” jawab Pak Aldi.

Mobil mewah berwarna silver itu akhirnya keluar dari area parkir supermarket dan melaju membelah jalanan di siang hari. Pak Aldi tetap fokus pada kemudinya dan menatap jalanan yang memang lumayan lenggang kali ini.

“Oma, Aliza ngantuk,” keluh Aliza sembari menguap.

“Ngantuk? Oh ya sudah, sini tiduran. Kepalanya taruh di paha Oma nanti kakinya selonjorkan, Nak,” ucap Sinta dengan menepuk pelan pahanya.

Aliza mengangguk lalu melepas tas sekolahnya dan diambil oleh Sinta lalu ditaruh di kursi belakang. Gadis kecil itu mulai merebahkan tubuhnya dengan paha Omanya menjadi tumpuan untuk kepalanya. Terlalu lama berjalan-jalan di supermarket membuatnya mengantuk. Sinta mengusap kening Aliza yang sedikit mengeluarkan keringat padahal sudah ada pendingin di dalam mobilnya.

Tiga puluh menit kemudian, mobil mewah berwarna silver itu memasuki halaman rumah yang sama mewahnya dengan mobil. Pak Aldi menghentikan laju mobil dan berhenti di parkir rumah mewah Sinta. Pria paruh baya itu turun dan segera membukakan pintu untuk majikannya. Sinta tampak menggendong Aliza dan tak ingin membangunkan tidur cucunya.

“Pak Aldi, tolong belanjaan tadi bawa ke dalam ya, serahkan sama Bi Sri. Saya mau gendong Aliza,” ucap Sinta.

“Baik, Bu,” jawab Pak Aldi.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Danu
Cerita yg menarik. Ditunggu kelanjutanya <3
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status