Share

Manager Galakku
Manager Galakku
Penulis: moodwordster

Ambisi Sang Bintang

HIDUP STARYAN RAZELA KOHLER tidak semenyenangkan dahulu. Beberapa bulan terakhir kakak perempuannya, Stacya Razela Kohler, berubah menjadi monster mengerikan yang selalu memantau setiap aktivitasnya—terutama soal pekerjaan. Star yakin, perempuan berparas setengah bule itu pasti sudah berdiri di depan pintu kamarnya.

Mau sampai kapan kerja terlalu keras kayak gini?” cecar Stacya, masih selalu mengagetkan.

Dugaan Star benar. Suara perempuan 29 tahun itu menggema di sepanjang selasar lantai satu rumah mewah di bilangan Jakarta Pusat. Wajahnya yang berbentuk lonjong makin terlihat sinis dengan tangan terlipat di depan dada. Berusaha bersikap tenang, si lelaki rupawan bersandar di kusen pintu dan mengikuti gaya Stacya.  

“Sampai mendapatkan piala penghargaan kategori Artis Paling Populer,” jawab Star dengan singkat, padat, dan jelas.

Rambut gondrong Star terayun ketika dia melengos meninggalkan Stacya. Bibirnya menyungging, kaki berbalut celana jin biru itu menuruni anak tangga dengan tergesa. Satu tangannya yang menyelip di saku celana makin membuat dirinya terlihat seperti manusia tanpa adab.

Stacya berlari kecil mengejar adik semata wayangnya. “Aa nggak perlu terlalu ambisi jadi artis paling populer atau apalah itu. Terpenting job masih mengalir deras. Tadi saja Aa cuma tidur empat jam, kan? Aa pasti capek banget,” tuntutnya dengan emosi bernada rendah namun tepat mengenai hati Star.

Ekspresi lelaki 23 tahun itu menegang bersama langkahnya yang berhenti secara tiba-tiba. Matanya yang serupa panda menyorot tajam ke arah Stacya saat dia menoleh dan mendongak dari lantai dasar. Aroma kemarahan tercium kuat!

“Teh Cia harusnya paham betul kenapa Aa bisa seambisius ini. Atau mungkin, Teteh sudah mulai ketularan sifat buruk Papa?” tuduh Star menggebu-gebu.

Perlawanan Star berhasil membuat Stacya mematung. Hal itu menjadikan kesempatan besar untuk Star bisa melarikan diri. Dia mengedikkan dagu ke arah Johnny Lim, memberi aba-aba pada sang manajer yang melongo menyaksikan perseteruan antar saudara kandung. Johnny harus menculiknya sekarang juga.

“Ian!” teriak Stacya melengking, tidak kalah saing dengan bunyi derap sepatu dengan hak runcing.

Untuk kedua kali, Star menyetop jalannya sendiri. Nama panggilan itu memicu emosinya lagi. Wajahnya mulai memerah, pun hidungnya jadi kembang kempis. Dia mengepalkan kedua tangan, sedangkan dadanya naik dan turun mencoba menahan amarah.

“Bang John, jam berapa interviu sama Chatalk?” tanyanya dengan tempo cepat.

Topi snapback merah milik Johnny agak terangkat begitu dia menggaruk anak rambut di tepi pelipisnya. Star sudah tahu jawabannya, mengapa pula dia bertanya lagi. Namun, Johnny adalah orang yang mendampingi Star selama sebelas tahun. Otomatis dia telah menyelami hati artisnya itu.

“Jam 11 siang, A.” Sebagai pelengkap sandiwara, lelaki beretnis tionghoa itu mengangkat tangannya yang melingkar jam tangan emas. “Sekarang masih jam 8, teng!” timpalnya makin keren.

“Oke, masih bisalah mampir sebentar ke Starbucks. Gue pengin minum Signature Chocolate. Mood gue hancur!” tembak Star, menekankan suaranya di kalimat terakhir.

“Johnny, kasih tahu Aa, ya. Teh Cia nggak punya siapa-siapa lagi selain Aa. Lihat Aa kurang tidur saja Teteh sudah nggak sanggup, apalagi kalau Aa sampai sakit atau …,” Stacya meringis di balik telapak tangannya. “Teteh mohon, A. Dengar ucapan Teteh.” Dia mengusap wajah yang telah basah oleh air mata.

Terpaksa Star membalik badan. Rahangnya yang mengeras sulit untuk melentur meski dia merasa tidak tega mendapati Stacya terisak-isak seperti itu. Perih, kakaknya sendiri yang menambah sayatan di tempat bekas luka lama—di hatinya. Memori masa lalu yang kelam terbuka kembali.

“Nggak ada satu orang pun yang bisa menghentikan ambisi Aa. Karena keberhasilan dari ambisi Aa adalah tamparan buat Papa yang sudah menghilangkan Mama dan menelantarkan kita!” Berapi-api, sampai berdenyut pembuluh darah di leher Star. “Wait, Masih pantas Aa panggil dia Papa?” tanyanya retoris, tawa garing menyusul. Kemudian, Stacya tidak bisa berkata-kata lagi. “Dan, ya, jangan sekali lagi Teteh sebut nama panggilan itu,” tutupnya pelan, namun tetap menusuk.

Ian. Setidaknya, Star bisa mendengar nama itu lagi meski bukan dari orang yang dia harapkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status