Beberapa hari setelah kepergian Kinan, suasana di rumah keluarga Isaac terasa lebih sepi dari biasanya. Malam itu seharusnya menjadi malam makan malam keluarga yang hangat—ayah, ibu, Isaac, dan Dira berkumpul di meja makan panjang dengan lilin-lilin kecil menyala. Tapi ada satu kursi kosong. Kursi yang biasa ditempati Kinan. Kursi yang kini tak ada lagi pemiliknya.
Isaac duduk diam, memindahkan makanan di piring tanpa benar-benar menyentuhnya. Matanya terlihat lelah, dan pundaknya merosot seperti seseorang yang membawa beban terlalu berat untuk satu tubuh saja.
Dira memperhatikannya sejak awal. Wajahnya tidak bisa menyembunyikan rasa kecewa. Setelah menaruh sendok dan garpu dengan cukup keras, ia berdiri dari meja makan dan berjalan ke taman belakang. Tanpa menoleh, ia berkata, “Ikut aku. Sekarang.”
Isaac menghela napas, lalu mengikuti adiknya. Taman belakang masih harum dengan bunga melati dan rumput yang baru dipotong. Tapi malam itu tidak ada keindahan yang terasa. Hanya amarah yang menggantung di udara.
Begitu mereka cukup jauh dari rumah, Dira berbalik dan langsung menatap Isaac tajam.
“Kamu tuh gila ya?” katanya tajam.
Isaac tidak menjawab. Tapi ekspresinya mengeras.
“Kinan itu ninggalin pekerjaannya, Isaac! Dia ninggalin hidupnya, ambisinya, segalanya, demi jadi istri kamu! Dan sekarang kamu bilang mau nikah lagi? Karena dia mandul?”
“Dira…” Isaac mencoba menahan diri.
“Dira apaan! Jangan bawa-bawa nama aku!” bentak Dira. “Kamu pikir semua ini adil buat Kinan? Kamu pikir semua ini cuma tentang kamu dan garis keturunan sialan itu?”
“Ini bukan cuma soal aku. Ini tentang keluarga kita. Tentang ibu,” jawab Isaac, suaranya lebih tinggi dari biasanya.
“Oh, jadi kamu nurut aja gitu sama Ibu? Kamu buang perempuan yang udah nemenin kamu dari nol cuma karena kamu gak bisa punya anak dari dia?”
Isaac mengepalkan tangan. “Aku gak buang dia. Aku masih…”
“Masih apa? Masih cinta? Gak kelihatan sama sekali.”
Isaac mengalihkan pandangan ke rerumputan, suaranya rendah, “Aku udah coba, Dira. Aku udah bertahan. Tapi kenyataannya… dia gak bisa kasih aku anak. Keluarga kita butuh penerus.”
“Bullshit,” desis Dira. “Yang kamu butuh itu keberanian buat melawan kemunafikan. Kamu kehilangan istri terbaik yang pernah kamu punya. Dan kamu bahkan gak minta dia tetap tinggal.”
Sebelum Isaac bisa membalas, suara langkah terdengar dari belakang mereka. Sang ibu muncul dari balik pintu taman, wajahnya tetap lembut, senyumnya tipis.
“Dira, jangan bicara seperti itu di hadapan kakakmu,” katanya tenang. “Kinan perempuan baik, tapi kamu tahu sendiri… keluarga kita punya tanggung jawab. Dia tidak bisa mengemban itu. Lebih baik dia mundur sebelum menyakiti semua orang lebih jauh.”
Dira melangkah maju, rahangnya mengeras. “Kalau Ibu ngomong kayak gitu lagi, aku gak akan diem.”
Namun, Isaac melangkah lebih cepat. Ia berdiri di antara ibunya dan Dira, matanya menatap lurus ke arah sang ibu.
“Jangan pernah hina Kinan di depanku,” katanya dingin. “Aku sudah setuju menjalani permintaan Ibu. Tapi jangan pernah, sekali lagi pun, Ibu rendahkan dia. Dia tetap istriku. Dan dia layak dihormati.”
Sang ibu tampak terkejut. Tapi ia tidak berkata apa-apa. Hanya memandang anak laki-lakinya yang akhirnya menunjukkan perlawanan.
Isaac menoleh pada Dira. “Kamu marah, aku ngerti. Tapi aku gak pernah benar-benar ninggalin Kinan. Aku cuma… gak cukup kuat untuk melindungi dia dari tekanan keluarga sendiri.”
Dira menatap kakaknya lama. “Dan karena itu, kamu kehilangan dia.”
Dira masih berdiri mematung, rahangnya mengeras. Tapi tatapannya tidak lagi hanya pada Isaac—melainkan pada ibunya yang berdiri anggun dengan balutan blus gading dan kalung mutiara. Perempuan itu selalu tampak tenang, nyaris tak pernah marah. Tapi setiap kata yang ia ucapkan mengandung racun yang perlahan meluruhkan kepercayaan diri siapa pun yang jadi targetnya.
“Ibu bilang Kinan mundur demi tidak menyakiti siapa pun?” suara Dira bergetar. “Yang menyakiti siapa sebenarnya, Bu? Yang terus-menerus menyindir soal keturunan, siapa? Yang membuat dia merasa bukan perempuan utuh, siapa?”
Sang ibu menarik napas panjang. “Dira, kamu terlalu muda untuk mengerti. Perempuan itu memang baik, tapi ada batasnya kesabaran keluarga. Ibu tidak pernah membentak, tidak pernah memaki. Tapi apakah kamu lupa? Empat generasi keluarga kita menjaga garis darah ini. Itu bukan hal kecil.”
“Jadi martabat keluarga lebih penting dari kebahagiaan anak Ibu sendiri?”
“Jangan memelintir kata-kata Ibu,” balasnya lembut tapi tajam. “Ibu hanya ingin Isaac bahagia dengan keluarga yang utuh. Seorang istri... dan anak-anak yang melanjutkan nama.”
Isaac masih berdiri di tengah-tengah, tubuhnya tegang. Ia ingin berbicara, tapi kata-katanya tercekat. Ia tahu—dalam segala keburukan itu, ibunya telah membentuk dirinya menjadi siapa dia sekarang. Tegas. Disiplin. Tunduk pada tradisi. Dan sekarang... semua itu menghancurkan Kinan.
“Ibu tahu Kinan tidak pernah bicara kasar, tidak pernah melawan. Tapi jangan artikan itu sebagai kelemahan,” Dira melanjutkan, suaranya mulai pecah. “Dia diam karena dia menghargai Ibu. Karena dia menghargai Isaac. Tapi di dalam diamnya, dia hancur. Setiap malam, aku tahu dia menangis. Dia tidak cerita, tapi aku tahu. Karena dia sahabatku, Bu. Dan Ibu telah mengusirnya dari hidup kami.”
“Dira, cukup.” Isaac akhirnya angkat suara.
Tapi Dira tidak berhenti. “Enggak! Belum cukup! Aku marah, Kak. Karena kamu diem aja. Kamu nurut kayak anak kecil yang gak bisa nolak. Kamu tahu Kinan itu semua yang kamu butuhkan. Tapi kamu biarkan dia pergi. Kamu biarkan Ibu menginjak-injak harga dirinya hanya karena dia gak bisa kasih kamu anak!”
Isaac menatap adiknya, wajahnya memucat.
“Ibu bahkan bilang ke dia,” lanjut Dira dengan suara bergetar, “bahwa dia perempuan baik... tapi bukan pilihan yang tepat untuk masa depan keluarga. Kamu tahu rasanya dibilang gitu? Di rumah yang harusnya jadi tempat dia pulang, dia merasa asing. Dan kamu, Mas... kamu membiarkan itu.”
Hening menggantung lama di antara mereka.
Lalu, dengan suara lirih, Isaac berkata, “Aku tahu aku gagal.”
Ibunya tampak hendak menanggapi lagi, tapi Isaac menoleh. Sorot matanya tidak lagi penuh keraguan.
“Ibu, aku sudah menyetujui pernikahan itu karena tekanan. Karena Ibu bilang ini demi keluarga. Tapi kalau Ibu hina Kinan sekali lagi di depan aku...” suaranya gemetar, “...aku tidak tahu apakah aku bisa diam saja.”
Wajah sang ibu berubah. Untuk pertama kalinya, ekspresi itu tidak lagi penuh superioritas. Ada keterkejutan. Dan luka kecil yang ia sembunyikan di balik keanggunan.
Dira melangkah pergi lebih dulu, matanya memerah.
Isaac tidak mengejar. Ia tetap berdiri di tengah taman gelap, mendengarkan suara angin yang mengusap bunga melati dan menelusup di sela kerah bajunya. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa sendiri. Dan yang lebih menyesakkan—ia tahu, kesendirian itu... pantas ia terima.
Ruang aula hotel sore itu dipenuhi cahaya lampu kristal yang berkilau, memantulkan warna keemasan ke segala arah. Tamu undangan yang terdiri dari kerabat dekat keluarga besar Isaac sudah memenuhi kursi-kursi yang disusun rapi. Di meja depan, tersaji aneka hidangan mewah, lengkap dengan rangkaian bunga mawar putih dan lilin tinggi yang menyala tenang.Dari luar, semuanya tampak sempurna. Senyum, tawa, bisikan kagum—sebuah acara lamaran yang sederhana namun elegan.Namun, di tengah gegap gempita itu, Isaac duduk dengan wajah datar. Jas hitamnya jatuh sempurna, dasinya terikat rapi, tubuhnya tegap. Tetapi matanya kosong, bibirnya tertutup rapat, seolah ia hadir di sana hanya sebagai patung hidup yang sedang dipamerkan.Monika, calon pengantinnya, duduk di sampingnya. Wajahnya sedikit merona karena gugup, jemarinya bergetar saat memegang lipatan gaunnya. Dalam hati ia masih memikirkan satu hal: Isaac belum benar-benar bercerai dari Kinan. Bayangan itu menghantui, menimbulkan resah. Namun,
Kamar Isaac malam itu sunyi, hanya ditemani cahaya lampu meja yang temaram. Di atas nakas, segelas air sudah setengah basi karena tidak pernah disentuh. Isaac duduk di tepi ranjangnya, bahunya luruh, wajahnya menunduk menatap lantai seolah di sana ada jawaban yang ia cari. Besok adalah hari lamaran yang diatur ibunya. Besok ia akan duduk berdampingan dengan Monika, perempuan yang bahkan tidak pernah ia cintai.Namun, malam itu, sebelum segala sesuatu yang dipaksakan benar-benar terjadi, pintu kamarnya terbuka. Dira berdiri di ambang pintu dengan wajah merah karena emosi. Ia tidak peduli lagi bahwa semua orang di rumah bisa mendengarnya.“Mas...” suara Dira serak, tertahan amarah. “Apa kamu benar-benar akan melakukannya besok? Apa kamu benar-benar akan mengkhianati Kinan dengan cara sekeji ini?”Isaac mengangkat kepalanya, matanya kosong. Tidak ada amarah, tidak ada senyum, hanya kehampaan yang membuat Dira semakin panas.“Kamu tahu, Mas, Kinan masuk rumah sakit minggu lalu!” suara Dir
Apartemen itu gelap dan pengap ketika Dira mendorong pintu masuk dengan kunci cadangan yang ia simpan. Bau lembap dan debu menyambutnya, bercampur dengan aroma basi dari makanan yang tidak disentuh di meja makan. Tirai jendela tetap tertutup rapat, menahan cahaya matahari yang seharusnya menyingkirkan kelam. Dira melangkah dengan hati berdebar, panggilan teleponnya pada Kinan sudah berhari-hari tidak dijawab, dan instingnya berteriak bahwa sesuatu yang buruk sedang terjadi.“Kinan?” panggilnya pelan, suaranya menggema di ruang tamu yang kosong. Tidak ada jawaban.Dira menyingkirkan beberapa pakaian yang berserakan di lantai, melangkah cepat ke arah kamar. Pintu itu terbuka sedikit, menampakkan bayangan di dalam. Saat ia mendorongnya lebih lebar, jantungnya seakan berhenti.Kinan terbaring meringkuk di ranjang, tubuhnya tampak kecil, wajahnya pucat, bibirnya kering. Napasnya terengah, keringat dingin membasahi pelipis, dan selimut kusut menutupi sebagian tubuhnya. Mata Kinan tertutup,
Dua bulan telah berlalu sejak malam itu—malam di mana koper merah tua menjadi saksi bisu perpisahan mereka. Dua bulan sejak Kinan melangkah keluar dari rumah yang pernah ia sebut rumahnya, meninggalkan semua kenangan, doa, dan cinta yang ia tabung selama lima tahun. Dua bulan sejak ia menutup pintu dengan air mata, berharap itu bukan penutup melainkan jeda.Kini ia duduk di tepi ranjang apartemen lamanya, tubuhnya kurus, bahunya ringkih, wajahnya pucat. Tirai jendela tetap tertutup rapat, cahaya matahari hanya menembus samar-samar, menciptakan bayangan kelabu yang menempel pada dinding kamar. Waktu baginya kehilangan makna. Pagi dan malam hanyalah pergantian warna di langit yang tak lagi ia hiraukan.Ia masih menunggu.Setiap bunyi notifikasi di telepon genggamnya membuat jantungnya berdegup. Ia berharap nama Isaac muncul di layar—sekadar sebuah pesan singkat, “Kinan, pulanglah.” Atau sebuah panggilan, suara yang dulu menjadi penenang malam-malamnya. Namun setiap kali layar menyala, y
Ruang tamu rumah ibu Isaac malam itu dipenuhi aroma teh melati yang baru saja diseduh. Cangkir-cangkir porselen berderet rapi di meja rendah, dan piring kecil berisi kue-kue basah sudah setengah kosong. Pertemuan dengan keluarga Monika baru saja usai. Wanita muda itu pulang bersama orang tuanya dengan wajah manis penuh harapan, meninggalkan kesan yang bagi banyak orang pasti menyenangkan. Namun bagi Isaac, pertemuan itu terasa seperti jerat yang semakin menutup lehernya.Ia duduk bersandar di sofa, tubuhnya kaku, wajahnya letih. Jarinya mengetuk pelan pada sandaran kursi, menahan gejolak yang sejak tadi mendesak dari dalam. Pandangannya kosong, seolah tidak benar-benar hadir di ruangan itu.Ibunya duduk di seberang, tegap dengan kebaya sederhana, wajahnya penuh wibawa. Senyum tipis masih bertahan di bibirnya, senyum yang bagi orang lain tampak lembut, tetapi bagi Isaac terasa seperti belati. Suaranya terdengar pelan, penuh kesabaran, namun setiap katanya menusuk.“Isaac,” ucap ibunya,
Sejak Kinan meninggalkan rumah, keheningan menjadi penghuni utama setiap ruangan. Isaac berjalan di lorong yang sama setiap hari, membuka pintu kamar yang kini terasa terlalu luas, menyalakan lampu yang seolah hanya menyoroti kesepian. Tidak ada lagi aroma masakan yang menyambutnya, tidak ada suara langkah ringan, tidak ada tawa lembut yang dulu sering memecah keheningan. Yang tersisa hanyalah kenangan yang terus berputar di kepalanya, semakin menjerat setiap kali ia berusaha melupakan.Ia duduk di kursi ruang makan malam itu, menatap gelas kosong di depannya. Tangannya bergetar, rahangnya mengeras. Ia masih mencintai Kinan. Itu kebenaran yang tidak bisa ia sangkal, meski seribu alasan mencoba menentangnya. Ia mencintai perempuan itu dengan segala yang ia punya, dan justru karena itulah luka ini semakin dalam.Namun bersamaan dengan cinta, ada suara lain yang terus berbisik: suara ibunya, suara keluarga besar, suara tuntutan yang menekannya tanpa henti. Seorang laki-laki harus meningg