"Helena! Apa yang kau lakukan? Diam saja seperti batu, tak akan membuat meja itu bersih dengan sendirinya!" Kau kira dengan begitu pria yang di dalam televisi itu akan mau denganmu?" bentak seorang wanita bertubuh gemuk sambil berkacak pinggang di bawah televisi. Helena langsung mengalihkan pandangannya pada meja yang dari tadi ia bersihkan. Tak ada satupun pelanggan dari pagi hingga siang hari ini, hal itu membuat Matilda Grace kesal, dan menumpahkan semua kemarahannya pada satu-satunya pegawai yang ia miliki di kedai itu, Helena. Helena, hanya diam setiap Matilda Grace mulai mengeluh betapa sepinya penjualan. Helena merasa penjualan di kedai makanan milik Matilda justru biasa saja, karena kedai ini hanyalah kedai makanan kecil yang berada di sebuah pulau terpencil. Pulau Rhee. Pulau Rhee memang sangat indah, tapi bukan tempat destinasi wisata yang populer. Satu-satunya alasan adalah akses ke pulau itu sangat terbatas, begitu juga fasilitas yang ada di pulau itu. Para penduduk pul
Shane melepaskan glove tinjunya dan melemparkan benda itu dengan asal ke sudut ruangan. “Alamnya sangat cantik dan kurasa aku perlu melihat proyek yang sedang dikerjakan di sana.”Athena langsung cemberut mendengar alasan tunangannya ke tempat liburan yang akan ia datangi. “Kalau seperti itu, kau hanya ingin bekerja dengan alibi liburan,” sungut gadis berambut merah itu.“Aku liburan sambil melihat pekerjaan, itu hal yang menguntungkan, Ath,” jelas Shane Digory sambil tersenyum melihat kekasihnya tak menyukai idenya. “Kau ikut?”“Apa tak sebaiknya ganti tempat saja, Sayang?” Athena menjawab pertanyaan Shane dengan bertanya balik.Shane menggeleng. “Tidak bisa. Aku akan kesana, lagi pula aku tak pernah melihat proyek itu sejak mulai dibangun sebulan yang lalu, dan tinggal tiga bulan lagi proyek itu rampung. Aku memang percaya dengan manajer proyek itu -Johan-, tapi aku juga penasaran.”Athena merotasikan manik matanya sebelum menjawab ajakan itu. ‘Kau tak pernah mau mengalah padaku ya,
Helena tersenyum. "Anda ingin minum apa, Tuan-tuan?" tanya wanita itu sambil memberikan menu pada Johan Bolton. Mata zamrud milik Helena tak pernah sekalipun menatap Shane Digory."Tentu saja minuman yang paling tepat untuk siang hari ini, es kelapa dengan madu. Apa Anda juga ingin mencicipi es kelapa juga, Tuan?" tanya Johan Bolton dengan alis bertaut melihat bosnya seakan masih terpesona dengan Helena. 'Apa wanita ini tipenya? Helena bahkan jauh sekali dengan Nona Athena yang berambut merah. Apa Tuan Shane ingin bermain api?'"Tuan Shane?" tanya Johan Bolton lagi saat bos besarnya itu masih mengalihkan pandangannya pada Helena. Helena melempar pandangannya pada buku menu di hadapan Johan Bolton seolah ia tak hapal ejaan 'es kelapa madu' yang akan ia tulis di kertas pesanan."Anda baik-baik saja?" tanya Johan Bolton lagi sambil berdeham. 'Astaga, ia benar-benar terpesona dengan Helena hingga terlihat seperti pria kurang waras. Kukira bos besar seseorang yang sangat mengerikan dan ta
Tanya Shane dalam hatinya sambil melihat ke arah kedai. Di pintu yang dicat berwarna hijau tosca tertulis waktu operasional kedai dari pukul delapan pagi hingga pukul enam sore. Shane melihat jam tangannya. 'Masih sejam lagi.''Aku hanya ingin mencari sarapan, dan satu-satunya tempat yang menjual makanan adalah restoran ini.' Shane menegaskan maksud dan tujuannya datang ke kedai kecil itu entah pada siapa. Karena ia hanya berkata dalam hati. Hingga, sosok seorang wanita dengan balutan kaos polo putih, celana panjang khaki, dan rambut panjang hitam yang diikat ekor kuda. Terlihat berjalan dengan perlahan sambil mendorong tiga galon air dalam kereta belanja.Jantung Shane langsung berdetak lebih cepat terlihat dari data smartwatch yang melingkar di pergelangan tangannya. Helena tak menyadari ada seseorang yang mengamatinya dari jarak tak begitu jauh.Bahkan sepagi ini wanita dengan wajah cantik dan tatapan teduh itu membuka pintu kedai dan langsung mengangkat tiga galon air satu persatu
Tepat saat Shane Digory berpikir seperti itu, Helena keluar dari dapur dengan ekspresi dinginnya. Wanita itu membawa nampan berisi menu sarapan yang biasa dipesan oleh para pekerja proyek. "Helena tersenyumlah sedikit padaku, agar hariku cerah," erang seorang pria pada Helena yang baru saja meletakan sepiring sarapan dan kopi hangat. Namun, wanita yang mengenakan apron itu tampak tak peduli dan tetap meneruskan pekerjaannya bolak balik mengantarkan makanan dari dapur ke meja-meja pelanggan. Shane asyik mengikuti tingkah laku mantan istrinya dari sudut ruangan. Tampaknya tak ada seorangpun dari pekerja proyek itu yang sadar kalau bos besar mereka sedang mengawasi di kedai kecil itu saat waktu sarapan tepat di pukul sembilan. Shane yang sengaja berlama-lama di mejanya sedari tadi, tak menyangka akan mendapat kesimpulan baru tentang istrinya. Alih-alih tersenyum dan senang ketika digoda oleh para pria pekerja proyek, Helena lebih ke tak mempedulikan mereka. “Anda pesan minum apa?” t
Shane membelalakan matanya. Entah kenapa ada riak senang yang membuncah di dadanya. ‘Ia begitu terpukul karena bercerai denganku?’Sedikit menahan senyum tipis di wajahnya, Shane menanggapi info dari Matilda. “Mantan suaminya pasti pria hebat.”Matilda menggeleng dengan kencang. “Ia cerai mati.”Shane bungkam. Tak sanggup berkata-kata.“Suaminya sudah mati. Bahkan tak meninggalkan warisan sepeserpun pada dirinya. Kasihan hidup wanita itu, sangat sial. Setidaknya jika ia harus menikahi pria yang segera menemui ajal, ia harusnya memilih pria kaya raya agar bisa mengambil hartanya.”“Oh yah seperti itu.” Shane mengangguk canggung, rasa senang yang tadi sempat muncul di dadanya lenyap begitu saja karena Helena mengatakan ia -si mantan suami- sudah meninggal. ‘Ia sudah menikah denganku, bahkan tinggal sejengkal lagi mendapat harta Digory, tapi ia mengembalikan semua itu begitu saja. Hal itu yang menjadi tanda tanyaku tiga tahun terakhir ini.’Shane tak ingin mendengar Matilda membahas Helen
"Mana orang tuamu?" tanya Shane kesal. Ia masih menghilangkan pasir di pipi dan rambutnya. 'Untung tidak masuk mata.' "Mama kelja, papaku disana," jawab gadis mungil itu. Shane mengikuti arah telunjuk dari jari gemuk mungil itu. Menunjuk ke laut. 'Oh, ayahnya sudah meninggal.' Tiba-tiba saja Shane merasa iba dan rasa kesalnya menguap begitu saja. "Papa jadi ubul-ubul,” lanjut si bocah kecil itu yang membuat rasa sedih Shane menjadi tawa kecil. 'Ia pasti tak mengerti arti kata meninggal hingga ibunya hanya memberi penjelasan seperti itu.' Shane kemudian memperhatikan dengan lekat sosok mungil di hadapannya itu. 'Ia lucu sekali dengan rambut abu gelapnya yang diikat dua, juga mata besar coklat hazelnut itu terlihat sangat bersinar. Tunggu-.' Shane menghentikan pujian dalam hati yang berisi kegemasan akan manusia mungil di depannya. Ia memperhatikan anak itu sekali lagi. Dengan teliti. "Kenapa kau sangat mirip denganku?" tanya Shane begitu terkejut. Anak itu benar-benar mirip deng
Hari sudah sore, dan pesisir pantai pulau Rhee terlihat semakin cantik karena tertimpa sinar matahari dari arah barat. Helena menikmati pemandangan itu. Pemandangan yang membantunya mengobati rasa kehilangan tiga tahun yang lalu. Kehilangan dirinya akan banyak hal. Helena tak memiliki siapapun dalam hidupnya di tiga tahun lalu baik itu keluarga, teman, dan juga pasangan hidup. Semuanya lenyap begitu saja saat adiknya -Rose- meninggal, saat Kakek Graham meninggal, dan saat suaminya -Shane Digory- menceraikannya.Tiba- tiba pelukan kecil di punggung wanita cantik itu menyadarkan dirinya kalau ia sekarang tak sendiri lagi. Ada seseorang yang menjadi teman menjalani hidup ini.Gadis mungil yang baru saja memeluk Helena kemudian menjatuhkan ciuman bertubi- tubi ke pipi Helena sebelum akhirnya kembali berlari di sekitar wanita dengan manik hijau zamrud itu. “Cayang, Mama!” teriak Primrose.Setengah jam yang lalu. Helena yang baru saja pulang dari bekerja di kedai, langsung diseret Primrose