Manik mata Feny bergetar seraya membulat sempurna. ‘Dia datang?’“Aurel, kan?” tanya Feny, meskipun sudah tahu jawabannya. Ini percakapan mereka yang pertama.Aurel tidak langsung menjawab. Dia merasa tidak memiliki kewajiban untuk menanggapi pertanyaan itu. Manik matanya bergerak ke arah sosok yang muncul di belakang Feny. “Shanum!” sergahnya kesal.Feny bergegas menoleh. Dia menemukan sosok gadis itu bergegas bersembunyi di balik badannya.Aurel pun melangkah masuk. Dibiarkannya koper berada di luar. “Kenapa kamu ke sini?! Ibu sudah melarang kamu ke sini! Kenapa malah bandel begini?! Ayo, pulang!” Dia berusaha meraih pergelangan tangan Shanum, tapi anaknya itu terus menghindar.“Kenapa dia tidak boleh ke sini? Dia tidak boleh bertemu dengan ayah kandungnya sendiri?”Aurel, Feny, dan Shanum menoleh ke arah sumber suara. Fathan muncul dengan tatapan tajam, namun ekspresinya datar saja.Bagi Aurel, lelaki itu banyak berubah. Dulu, senyuman begitu murah terpampang di wajahnya. Tapi, tid
Karena lantai yang berkarpet tebal, kedatangan Ridho tidak diketahui oleh Fathan. Tiba-tiba saja dia sudah berada di dekat Shanum. Dia mengangguk pada Fathan, yang menyadari kedatangannya.“Aku sudah menelepon Ridho untuk mengantarkan kamu pulang,” ujar Fathan menjelaskan kenapa sekretarisnya itu ada di sini.Tapi, sepertinya, Aurel sedang tidak fokus ke sana. Dia meraih pergelangan tangan Shanum. “Kamu yakin dengan keputusan ini? Hampir tiga tahun kamu akan tinggal di sini. Itu lama, Num.”Tatapan Shanum tertuju pada ibunya. “Itu artinya Shanum juga akan berpisah sama Ibu dan Dewi, kan?”“Iya,” jawab Aurel seraya mengangguk mantap. “Coba kamu pikirkan sekali lagi.”“Tiga tahun tidak lama. Dengan keseruan di sekolah, waktu akan berlalu dengan cepat. Saya juga tidak akan mengekang kamu untuk bertemu ibumu atau teman-temanmu. Kamu bisa mengunjungi mereka di akhir pekan atau pas liburan. Saya tidak sejahat Ibumu, yang melarang kita bertemu.” Di akhir kalimatnya, Fathan menatap tajam Aure
Ketukan di pintu tidak juga membangunkan Shanum. Makanya, salah satu pelayan rumah tangga berambut pendek itu memilih untuk membuka pintu. Dia tidak kaget melihat sosok Shanum masih terlelap di atas tempat tidur, dia sudah dapat menduganya.Sejak kepala asisten rumah tangga menunjuknya menjadi pelayan Nona Muda baru, pelayan bermata kecil ini sudah tahu kalau perjalanannya akan sangat panjang dan berat. Maka dari itu, dia sudah memenuhi hatinya dengan kuota kesabaran yang ekstra.“Non,” panggil pelayan dengan name tag Minah itu. Digoyangkannya perlahan namun intens kaki Shanum. Tugasnya adalah membangunkan majikan baru ini. Dan, ternyata itu menjadi tantangan sendiri untuknya karena Shanum tidak jua kunjung membuka matanya.Pantang menyerah sekaligus menambah stok sabarnya lagi dan lagi, Minah menggoyangkan lengan atas Shanum kali ini. “Non, bangun. Sebentar lagi harus sarapan. Bapak yang nyuruh Non ikut.”Sontak, Shanum membuka matanya. Dia langsung melotot. Tatapannya langsung tertu
“Ayang!”Rafaiza menoleh. Iya. Namanya Rafaiza, acapkali dipanggil Rafa sama teman-temannya. Namun khusus wanita muda berhijab putih yang tengah berlari kecil ke arahnya itu, Rafa mengizinkan untuk memanggilnya dengan sebutan ‘ayang’.Seragam putih abu-abu yang dikenakan wanita muda itu penuh dengan coretan spidol dan cat semprot warna-warni. Ah, hijab putihnya juga bernasib sama. Tapi Rafa sama sekali tidak terganggu dengan penampilan itu, ya karena dia juga melakukan hal yang sama. Seragam putih abu-abunya sudah tidak ada space kosong lagi untuk dicorat-coret. “Yang!” panggil wanita muda itu. Deretan giginya yang tidak terlalu rapi dengan penuh percaya diri dipamerkannya. Setiap sudut bibirnya tertarik ke atas.Rafa hanya bereaksi dengan mendelikkan kedua alisnya. “Aku setuju,” ucap wanita muda itu dengan napas tersengal-sengal. Jelas saja Rafa mengernyitkan keningnya. “Setuju? Tentang apa?”“Cita-cita kamu.” Wanita itu menjawab masih dengan senyuman mengembang.“Kuliah Prodi Pe
Masa-masa putih abu-abu sepertinya akan sangat membekas buat Aurelia. Terutama sejak memutuskan untuk menerima pernyataan cinta dari seorang lelaki bernama Rafa, yang tahun ini satu kelas dengannya. Bukan lelaki biasa, tapi seorang siswa paling ganteng yang sudah diperhatikannya sejak baru masuk dulu, juga seorang siswa yang selalu juara umum, atau paling teranyar adalah seorang siswa yang memenangkan juara debat bahasa inggris tingkat SMA se-DKI Jakarta.“Abis SMA, kamu mau lanjut ke mana, Yang?” tanyanya suatu hari sambil menyantap chicken katsu.Rafa menyenderkan punggung sambil melipat kedua tangan di dada. “Rencananya aku mau kuliah di ITB.”Sontak saja Aurelia berhenti memegang garpu. Punggung dia hempas ke kursi, lantas membuang muka ke arah lain. “Itu artinya kita bakal pisah.”Wajah Rafa berkerut bingung. “Hanya jarak, bukan berarti kita harus putus. Kenapa? Kamu ngga yakin dengan kekuatan cinta kita sampai ngga bisa mengalahkan rintangan jarak itu?”Tatapan Aurelia terhenti
Jemari mungil Aurelia saling terpaut di antara jemari Rafa, yang lebih besar dan terasa lumayan kasar.Kaki mereka seirama melangkah menyusuri keramik Botani Square. Sudah dua bulan Rafa mulai bekerja di pemerintahan Kota Bogor. Aurelia pun menyusulnya ke sana karena tanggal merah sudah tiba sejak hari jumat kemarin. Ini adalah kesempatannya melepas rindu dengan sang kekasih. Saat itu mereka belum menikah.Tiba-tiba kaki Rafa mengajak masuk ke sebuah toko perhiasan yang cabangnya sudah tersebar hampir di seluruh kota besar Indonesia itu. Namun kaki Aurel malah berhenti melangkah di pintu masuk. Wanita berbibir mungil itu menatapi ruangan yang sangat terang itu dengan kening mengernyit.Rafa, yang sudah masuk beberapa langkah, kembali ke arah kedatangan, menjemput pemilik hatinya yang malah berdiri dalam diam.“Ayo,” ajaknya seraya meraih jemari yang tadi terlepas dari genggamannya itu.Dalam satu hentakan kecil, tubuh Aurel pun sepenuhnya mengikuti langkah Rafa. Tidak ada penolakan
Rafa memandangi punggung mantan istrinya itu. Masih sama seperti yang dulu, paling gaya berhijabnya yang berbeda. Dulu hijab segitiga tapi sekarang lebih ke pashmina. Jemari Rafa hendak menyentuh bahu Aurel. Dia ingin menyapanya sebelum ada yang melihat mereka.Tiba-tiba Aurel menoleh, membuat Rafa kaget, lantas menghentikan langkahnya. Tidak lupa menarik jemarinya walaupun Aurel sempat melihatnya.Akan tetapi, Aurel tidak mempermasalahkan itu meskipun keningnya mengernyit jelas.“Ada apa?”“Ngga, itu ....”“Ada apa?” Wanita berhijab tadi tiba. Jemarinya sibuk menempelkan ponsel di telinga.“Ngga enak kalau Saya masuk. Saya cuma mau nganter kue aja.”“Iya, Ma. Biar kuenya aku anterin ke Fathan,” imbuh Rafa cepat. Ini kesempatannya untuk mempersilakan Aurel pulang. Entah kenapa benaknya merasakan sesuatu yang buruk jika mantan istrinya itu berlama-lama di rumah ini.Aurel membelalakkan matanya seraya menoleh pelan ke arah Rafa. ‘Ma? Mama? Wanita ini ....’Wanita berhijab itu menghampir
Rafa tengah berbaring menghadap dinding. Matanya tampak segar, belum ada tanda-tanda mengantuk. Kemudian, dia tidur terlentang. Sorot matanya kembali menerawang ke langit-langit kamar berdampingan tingkat dengan lampu warna cream yang kalem.“Ma,” panggil Rafa pelan.“Hm,” sahut Davina pelan dari balik meja rias. Banyak rentetan skincare malam yang harus dipoles pada wajah hingga ujung kakinya. Dia hanya melirik suaminya dari kaca.Rafa menghela napas pelan. “Menurut kamu, Fathan serius ngga dengan ucapannya tadi?”“Mau melamar Aurel? Kayaknya serius, sih.”“Lho, kok kayaknya?” tanya Rafa seolah tidak terima.Davina menoleh. Dia sudah selesai mengoleskan krim malam. Karena tidak ada hijab yang menutupi kepalanya, ketahuanlah bahwa rambutnya panjang bergelombang hingga ke punggung. Tubuhnya juga hanya berbalut setelan piyama berlengan dan celana pendek.“Iya, menurutku serius, sih. Karena selama ini dia ngga pernah mempersilakan seorang teman perempuan datang ke rumah ini.” Davina pun