Hati Adelia merasa tidak enak. Ia tidak ingin mencurigai suaminya. Mungkin ada wanita yang terjatuh dan tak sengaja memeluknya, atau apa lagi.
Benar. Adrian tidak mungkin mengkhianatinya. Pria itu tidak mungkin tega.
“Adelia? Kenapa berdiri di sini?”
Suara Adrian menyadarkannya. Pria itu sudah berdiri di depan pintu kamar mandi.
“Ah. Aku membereskan baju kotor,” ucap Adelia. Lalu, ia memutuskan untuk menunjukkan apa yang ia lihat. “Ini bekas lipstik siapa, Mas?”
Adelia mengamati ekspresi Adrian saat pria itu melihat bekas lipstik di kerah baju yang ia kenakan tadi. Sepasang mata pria itu melebar sejenak, kemudian menghela napas.
“Apa yang kamu pikirkan, Sayang? Bahwa aku berselingkuh, begitu?”
Adelia tidak menjawab, membuat Adrian menghela napas.
Pria itu kemudian melingkarkan lengannya pinggang ramping Adelia dan menarik wanita itu mendekat.
“Sayang, jangan berpikir macam-macam,” ucap Adrian. “Mana mungkin aku selingkuh.”
“Lalu ini bekas lipstik siapa, Mas?” Adelia kembali bertanya.
“Aku tidak tahu. Tadi lift penuh, jadi ada perempuan entah siapa yang menempel padaku.”
Adelia terdiam.
“Percayalah padaku, Sayang.” Adrian tersenyum. “Aku mencintaimu … buktinya sekarang aku sedang membayangkan kamu melayaniku di tempat tidur.”
“Mas–”
Sebelum Adelia sempat merespons, Adrian membawa Adelia ke tempat tidur dan mulai menyentuh perempuan itu dengan intens.
Adelia hanya bisa pasrah melayani sang suami, sembari menghapuskan kecurigaannya tadi.
Sang suami mencintainya. Ia yakin.
Adelia tidak ingin berprasangka yang tidak-tidak pada suaminya. Ia terus meyakinkan dirinya sendiri, jika kecurigaannya tidaklah benar.
***
Adelia masih saja memikirkan bekas lipstik yang ada di kerah kemeja suaminya. Meskipun Adrian memeluknya semalaman, tapi pikirannya tidak tenang. Ia tertidur karena lelah bermain dengan pikirannya sendiri. Menerka-nerka siapakah sebenarnya pemilik lipstik itu.
Pagi pun tiba, Adelia sudah sibuk di dapur ikut membantu menyiapkan sarapan. Meskipun rasa kantuk menderanya, namun ia tetap berusaha untuk tidak terlihat mengantuk.
"Non, kurang tidur ya?"
Adelia hanya tersenyum mendengar pertanyaan salah satu asisten rumah tangganya yang sudah mulai akrab dengannya.
"Biasanya, pasangan pengantin baru memang suka lembur. Apalagi belum dapat momongan," imbuh ARTnya.
"Mbok Darsih bisa saja, doakan saja semoga cepat dapat momongan ya, Mbok," ucap Adelia.
"Tentu saja setiap habis sholat, simbok selalu doakan. Agar rumah ini segera ramai dengan suara tangis bayi," balas Mbok Darsih.
"Terima kasih, ya Mbok."
"Ini aku letakkan di meja makan dulu, biar saya yang menatanya," kata Adelia.
Simbok Darsih mengangguk. Ia sudah terbiasa memasak bersama Nyonya Besarnya. Tentu saja ketika Tuannya masih tertidur. Karena Adrian tidak suka jika Adelia mengerjakan pekerjaan dapur. Katanya seorang Nyonya tidak boleh bau dapur.
Adelia masih sibuk menyajikan piring-piring makanan di atas meja. Ia tidak tahu jika ada sepasang mata yang memelototinya dari jauh.
"Adelia!" Suara keras dari belakang membuatnya berjingkat.
Pria itu berjalan cepat dan langsung menarik lengan Adelia hingga membuat piring yang di pegang Adelia pecah berantakan.
"Prang!"
"Kamu bagaimana sih, pegang piring saja tidak becus!" sentak Adrian.
"Mas kok bilang gitu, sih."
"Tadi, mas yang buat aku kaget," protes Adelia.
"Kamu yang salah, tapi tidak mau di salahkan. Kamu pasti tahu kan dengan jelas, alasannya apa aku memanggilmu tadi," kata Adrian.
"Iya," jawab Adelia menunduk pasrah.
"Sudah kubilang jangan kerjakan pekerjaan pembantu. Kamu itu seorang Nyonya. Istri Wakil Direktur ... eh malah kerjaannya di dapur," kata Adrian sinis.
"Mas, jangan bilang begitu dong. Aku begini kan juga ingin memperhatikanmu. Membuatkanmu masakan yang enak, itu sebagai wujud perhatianku, Mas," terang Adelia.
"Alaah ... kamu itu susah banget di ajak naik kelas. Ingat, kamu itu istri seorang Wakil Direktur. Jaga sikapmu!" tandas Adrian.
Tak ingin menyulut pertengkaran di pagi hari, akhirnya Adelia memilih untuk diam. Mengalah bukan berarti kalah. Hanya saja tidak enak di dengarkan ART nya. Apa kata mereka nantinya?
Adrian masih saja terus mengomel, dan mulutnya berhenti mengomel saat makanan sudah mendarat masuk ke dalam mulutnya. Makannya lumayan banyak, ia sudah habis satu piring kemudian nambah lagi.
Dalam hati Adelia merasa senang karena suaminya cocok dengan masakannya. Tapi ia tidak berkomentar apapun, takut Adrian marah lagi. Keduanya diam hingga acara makan selesai. Barulah Adrian membuka suara.
"Nanti tidak usah tunggu aku seperti kemarin. Ada rapat, jadi mungkin pulangku agak malam," kata Adrian.
"Apa setiap hari harus pulang malam, Mas?" keluh Adelia.
"Sudahlah, jangan banyak ngeluh. Harusnya kamu bersyukur punya suami Wakil Direktur. Kebutuhanmu semua aku penuhi, jadi wajar dong kalau ada pengorbanan waktu," ucap Adrian penuh tekanan.
Ia sangat berbeda dengan saat pria itu meminta jatah pada Adelia semalam.
"Iya, Mas," jawab Adelia lemah. Lagi-lagi ia memilih bungkam daripada harus bertengkar.
"Ya sudah, aku berangkat dulu. Kamu boleh ke Mall atau salon jika kamu bosan di rumah."
"Iya, Mas."
Adelia mengantarkan Adrian sampai depan pintu. Ia melambaikan tangannya sampai mobil suaminya hilang dari pandangannya.
Ia pun melangkah masuk ke dalam rumah. Adelia bingung hari ini harus melakukan apa. Ia bukanlah seorang wanita yang suka berpangku tangan apalagi menerima uang dari suaminya begitu saja.
Adelia adalah seorang wanita lulusan S2 jurusan ekonomi. Tentunya sangat disayangkan jika dia hanya menjadi ibu rumah tangga saja. Diam-diam Adelia merintis usaha online nya tanpa sepengetahuan suaminya. Karena kesibukan Adrian, ia tidak pernah tahu jika Adelia punya usaha sendiri di bidang jual beli kosmetik.
Sebagai istri ia tidak ingin berbohong pada Adrian, tapi sikap Adrian selama ini yang begitu keras dan melarangnya bekerja ini itu, membuatnya urung untuk mengatakannya.
Adelia bekerja sama dengan teman kuliahnya dulu. Ia tidak pernah packing di rumah tapi ia punya karyawan yang mengurusi semuanya. Perusahaan kecil yang nantinya ia harapkan bisa menjadi besar dan ia turunkan pada anaknya.
Sementara di kantor, seorang wanita berparas cantik memiliki bentuk tubuh yang molek, padat dan berisi sedang berdiri di samping Adrian.
"Pak, ini laporannya yang kemarin Bapak tanyakan," kata perempuan cantik itu.
Ia memakai rok span pendek dan blazer ketat yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Kaki jenjangnya putih mulus, dan bibirnya memakai lipstik berwarna nude.
Adrian melihat dari atas hingga ke bawah. Beberapa kali ia meneguk salivanya dengan kasar. Matanya tak sengaja mengintip belahan dada perempuan di depannya itu.
"Aku sangat lelah. Pijat pundakku sekarang," perintah Adrian.
Wanita itu tersenyum menggoda. "Baik, Pak."
Jari-jari lentik perempuan itu mulai menari-nari di pundak Adrian. Memijit punggung Adrian sedikit demi sedikit. Adrian memejamkan matanya, ia tersenyum sendiri. Membayangkan sesuatu yang hanya dirinya yang mengerti.
"Kamu dari bagian apa?" tanya Adrian dalam keadaan mata terpejam.
"Dari bagian keuangan, Pak," kata wanita itu.
"Hemm, mau naik jabatan jadi sekretaris?" tanya Adrian.
"Ma ... mau, Pak," jawab perempuan cantik itu.
"Namamu siapa?" tanya Adrian.
"Salsa, Pak."
"Hemm, Salsa mulai besok kamu jadi sekretarisku. Aku suka bajumu hari ini," puji Adrian.
"Te ... terima kasih, Pak," jawab Salsa.
"Hanya itu?" tanya Adrian. Salsa kebingungan menjawab pertanyaan bosnya.
"Maksud, Bapak?" tanya Salsa tidak mengerti.
"Maksudku, boleh nanti sore aku mengantarmu pulang?" tanya Adrian.
"Tap ... tapi_,"
"Tidak ada tapi-tapian, kamu mau kan jadi sekretarisku?" tanya Adrian penuh iming-iming.
"I ... iya, mau Pak."
"Maka dari itu, mulai sekarang jangan pernah menolak niat baikku," kata Adrian tersenyum penuh arti.
"Iya, Pak," jawab Salsa.
"Pijatnya sudah selesai, kembalilah ke ruanganmu. Nanti, jika aku panggil kau harus segera datang menemuiku," kata Adrian.
"Baik, Pak."
Sore pun tiba, Salsa sudah masuk ke dalam mobil Adrian. Lelaki itu tersenyum melirik karyawan cantiknya. Mereka duduk di belakang berjejeran. Dan tentu saja sang sopir hanya bisa bungkam menyaksikan kenakalan tuannya.
Mobil pun berhenti tepat di depan apartemen Salsa. "Boleh, aku masuk ke dalam?" tanya Adrian.
"Tentu, Pak. Silahkan. Akan saya buatkan kopi," kata Salsa. Adrian pun masuk ke dalam apartemen Salsa.
"Kamu tinggal sendirian di sini?" tanya Adrian.
"Iya, saya tinggal sendiri," jawab Salsa sambil meletakkan cangkir kopinya di atas meja.
Lagi-lagi mata Adrian jelalatan mengintip belahan dada penuh milik Salsa yang terlihat sedikit.
---Bersambung---
Ariska merasa Bian memang sengaja memilih tempat yang jauh dari perkotaan agar dirinya tidak kemana-mana."Sialan, ia mengurungku di sini. Mana aku tidak tahu jalan keluarnya," gumam Ariska.Ariska baru sadar, sekarang saja babak pertama dia sudah kalah dari Bian. Pria itu diam-diam mengambil langkah yang tak dapat di prediksinya. Bian tidak dapat di remehkan. Pria itu bisa melakukan apapun untuk mendapatkan apa yang di inginkannya.'Kamu pikir bisa menembus benteng pertahananku, jangan harap,' batin Ariska."Aku harap kau betah tinggal di sini selama sembilan bulan ke depan," kata Bian yang sudah muncul di ambang pintu."Kerasan atau tidak, bukan urusanmu. Yang penting kau tidak menjebakku di sini," sindir Arista."Menjebak? Yang benar saja. Mana mungkin, aku bisa menjebak Nina Ariska yang cerdas ini," kata Bian."Aah, tidak usah basa-basi. Pergilah, aku mau istirahat," usir Ariska."Aku tidak akan pergi sebelum kamu makan dulu, aku tidak ingin bayiku kurus nantinya," kata Bian.Baru
"Apa! Tidak, ini tidak mungkin!" pekik Arista melempar uji tes kehamilannya ke lantai. Ia tidak percaya dengan apa yang di lihatnya. Memang akhir-akhir ini ia sering merasa kepalanya pusing, juga tidak enak badan. Kecurigaannya muncul karena ia sering muntah-muntah."Aku tidak mau hamil anak, Bian," tangis Arista. Ia benci pada suaminya itu. Tujuannya berhasil menggagalkan perceraian mereka. Kalau Arista hamil, pengadilan tidak akan mengijinkan adanya perceraian.Arista terduduk lesu, ia memukuli perutnya seolah janin yang di kandungnya itu anak haram. Padahal statusnya dengan Bian masih suami istri."Kau benar-benar brengsek Bian!""Arrgh!" Arista mengobrak-abrik kosmetiknya hingga tercecer di lantai. Ia tidak terima kalau dirinya sekarang hamil anak Bian."Kamu pikir aku akan tinggal diam, akan kugugurkan anak ini. Aku tidak mau hamil dari orang yang tidak pernah aku cintai," gerutunya.Arista sudah gila, ia tidak tahu kalau menggugurkan kandungan juga membahayakan nyawanya sendiri.
"Sayang, mama kan sudah pulang jadi aku dapet jatah dong," goda Arga."Dapetlah, jatahnya mijitin kakiku. Perutku makin besar, jadi aku gampang kecapekan, sayang," jawab Adelia mengalihkan."Bukan itu maksudku, jatah yang bikin suara huhah," canda Arga."Ooh, mau makan rujak?" kata Adelia mengalihkan perhatian Arga."Duh, gimana lagi mau menjelaskan pada istriku yang sangat cerdas ini. Punya perusahaan kosmetik terkenal, tapi kenapa istilah begitu saja gagal paham," kata Arga geleng-geleng kepala."Maksudmu kamu mau bilang kalau aku ini bodoh?" ucap Adelia pura-pura cemberut."Bukan begitu sayang, sudah... lupakan saja. Aku mau mandi dulu," kata Arga.Adelia ingin sekali tertawa melihat suaminya sudah menyerah kalah karena beradu argumen dengannya. Ia tahu Arga tidak mungkin bertengkar dengannya, lelaki itu memilih untuk mengalah.Usai Arga mandi, ia mencium bau harum parfum baru Adelia. Harumnya seperti vanila, di tambah lagi ia kaget dengan penampilan istrinya yang aduhai."Sayang,
Adrian pulang dengan rasa letih yang mendera tubuhnya. Pekerjaannya sebagai cleaning servis membuatnya kelelahan. Badan terasa pegal-pegal semua. Ruangan yang begitu luas ia bersihkan bersama teman-teman cleaning servisnya. Untung saja, dia tidak membersihkan bagian kaca gedung. Hal itu lebih sulit lagi.Rasa letihnya hilang manakala bertemu dengan putri kecilnya yang sudah genap tujuh bulan. Alangkah terkejutnya ia mendapati putrinya sudah bisa duduk dan tersenyum padanya."Eh, anak papa sudah bisa duduk," sambut Adrian."Pak Adrian sudah pulang? Alhamdulillah, putrinya tidak banyak menangis. Makannya juga banyak," kata yang nengasuh Alisa."Oh, bagus dong Alisa. Kamu memang anak papa yang hebat." Adrian mengendong Alisa."Terima kasih, Bu sudah menjaga Alisa hari ini. Ini bayaran hariannya," kata Adrian menyerahkan selembar uang."Saya juga terima kasih, dengan momong Alisa saya juga dapat pekerjaan," kata Bu Jum.Adrian membawa Alisa pulang ke rumah kontrakannya. Mereka tinggal ber
Hari ini adalah hari pertama Adrian bekerja sebagai cleaning servis. Ijasah S2-nya seolah tiada guna. Untuk saat ini ia hanya bisa pasrah menerima pekerjaan barunya. Daripada tidak memiliki uang sama sekali.Perusahaan yang dulu pernah membesarkan namanya, dan juga sebagai tempat perselingkuhannya dengan Salsa. Sampai dia di depak keluar dari perusahaan karena tidak mau menerima hukumannya sebagai cleaning servis.Sekarang ia tidak bisa menolak pekerjaan itu, karena tidak ada pilihan lain baginya, cari pekerjaan sangat sulit. Apalagi namanya yang sudah terlanjur tercoreng karena masa lalunya, membuatnya sulit mendapatkan pekerjaan yang bagus.Adrian menatap gedung pencakar langit di depannya. Ia memang harus tiba lebih awal ketimbang yang lainnya. Karena, pekerjaannya membersihkan seluruh ruangan di gedung bersama cleaning servis lainnya."Kamu karyawan baru?" tanya salah seorang cleaning servis."Iya, perkenalkan namaku Adrian."Adrian mengulurkan tangannya, namun pria di depannya it
Arga baru saja pulang dari kantor, ia pulang agak terlambat tidak seperti biasanya. Karena pekerjaan di kantor yang menumpuk serta pertemuan dengan para klien. Ada rasa bersalah memenuhi batin Arga karena tidak datang tepat pada waktunya.Suasana rumah tampak sepi karena memang sudah malam, para pelayan beristirahat di kamarnya masing-masing. Hanya satpam penjaga yang masih berjaga di pos penjagaan.Perlahan Arga membuka pintu kamarnya, tapi kenapa lampu kamar di matikan sehingga tidak terang benderang seperti biasanya. Arga sedikit tidak enak pada Adelia karena keterlambatannya. Ia takut Adelia berpikir macam-macam sehingga mempengaruhi kondisi janinnya.Arga menyalakan lampu kamarnya, kaget tidak ada siapapun di ranjangnya. Padahal Arga sudah membayangkan Adelia bergumul srlimut dan tertidur lelap di sana.Lalu dimana Adelia? Mengapa kamar tampak sepi. Padahal sudah larut malam.Rasa gelisah menghantui Arga, ia khawatir terjadi apa-apa pada Adelia. Segera ia keluar dari kamarnya dan