LOGINDi dalam kamar, Sebastian duduk di sofa dekat jendela, matanya fokus menatap layar laptop yang terletak di pangkuannya. Lampu tidur menyala temaram, memberikan cahaya hangat yang lembut menyelimuti ruangan.
Sera baru saja keluar dari kamar mandi. Rambutnya masih sedikit basah, dan ia mengenakan piyama sederhana berwarna lembut. Saat melirik ke arah Sebastian, pria itu masih tampak larut dalam kesibukannya. Tanpa mengalihkan pandangan dari layar, Sebastian bertanya, "Sudah mau tidur?" "Belum..." jawab Sera pelan "Ada apa?" tanya Sera lagi Sebastian menoleh melihat Sera. Iamenepuk sofa di sebelahnya, memberi isyarat agar Sera duduk disebelahnya. Setelahnya, ia menutup laptop dan meletakkannya di meja kecil di samping sofa. Sera perlahan melangkah dan duduk di sebelahnya. Suasana tiba-tiba menjadi hening, menyisakan bunyi jam yang berdetak. Sebastian menatap sera, matanya tenang namun tajam, penuh keingintahuan. "Kalau nanti kamu sudah wisuda, kamu ingin ngapain?" tanyanya perlahan. Sera menjawab tanpa ragu, "Aku akan membantu Papa di perusahaan. Itu memang sudah rencana kami sejak lama." Sebastian mengangguk pelan, lalu menatap lebih dalam. "Kalau aku memintamu untuk tetap di rumah… apa kamu mau?" Sera terdiam, matanya berkedip pelan. "Soal perusahaan Papa, biar aku yang urus,"lanjut Sebastian dengan suara rendah. "Aku cuma ingin kamu fokus padaku dan....pada anak kita nanti." Ucap Sebastian meyakinkan Tangannya bergerak menggenggam tangan Sera, lalu meletakkannya di pangkuannya. Hangat. Tegas. Tapi tidak memaksa. Sera menatap tangan mereka yang saling menggenggam. Hatinya terasa hangat dan dingin dalam waktu bersamaan. Ia tidak langsung menjawab. Pikirannya melayang-layang, dadanya sesak oleh banyak rasa yang datang tiba-tiba, rasa bingung, takut, namun juga… nyaman. Tatapan mata Sebastian membuatnya gelisah, namun bukan karena takut, lebih kepada ia belum siap menerima getaran yang kini mulai tumbuh. Sebastian perlahan mendekat. Jarak di antara mereka mengecil. Sera bisa merasakan hembusan napasnya menyentuh pipi. Tubuhnya membeku, tak bergerak. Lalu, tanpa aba-aba… Sebastian mengecup bibirnya lembut, tidak menuntut. Seperti menyentuh kelopak bunga agar tidak rusak. Sera memejamkan matanya menikmati sentuhan yang mengguncang hatinya. Ada yang menyala di dalam dadanya, entah itu hangat, gugup, atau... awal dari rasa yang perlahan mulai tumbuh. Sera terdiam dan tertunduk malu saat Sebastian menjauh sedikit, Namun senyum tipis terbit di sudut bibirnya, Ia tidak menolak, ia juga tidak berkata apa-apa. Tapi di hatinya, ia tahu... dirinya sedang mengizinkan sesuatu yang baru untuk tumbuh. Malam itu, dalam kesunyian kamar yang temaram, Sera menyerahkan diri seutuhnya kepada Sebastian suaminya. Bukan karena kewajiban dan bukan juga karena paksaan. Melainkan, karena hatinya telah memilih untuk membuka diri. Dalam pelukan Sebastian, ia merasa aman. Dan dalam genggaman pria itu, ia merasa dihargai. Malam itu menjadi saksi, bukan hanya ikatan jasmani, tapi juga awal dari penyatuan dua hati… yang perlahan mulai belajar mencintai. Malam telah larut. Hanya suara AC yang berdengung pelan mengisi keheningan kamar. Sebastian sudah tertidur di sampingnya, napasnya teratur, wajahnya terlihat tenang dalam cahaya temaram lampu tidur. Sera masih terjaga. Selimut tebal menyelimuti tubuhnya, pikirannya tidak berhenti berputar. Ia menatap langit-langit, lalu menoleh pelan ke arah suaminya. Menatap suaminya dalam-dalam. Pelan, ia menghela nafas. Ia tidak menyesal. Tidak sama sekali. Tapi benaknya masih menyimpan tanya, apakah terlalu cepat baginya untuk menyerahkan diri kepada pria yang baru satu hari menjadi suaminya? Mereka tak saling mengenal. Ia hanya tahu nama lengkap Sebastian, latar belakang keluarganya, dan sedikit tentang perusahaannya… tapi bukan isi hatinya. Bukan kebiasaannya. Bukan sisi-sisi tersembunyinya yang hanya waktu bisa ungkapkan. Namun, dari sikap Sebastian sejauh ini, cara ia berbicara, menyentuh, menghargai. Sera bisa merasakan bahwa pria itu adalah pria yang luar biasa. Ia lembut, sabar, dan tidak pernah memaksa. Tapi , kenapa jauh di lubuk hatinya, ia begitu ragu? Sera memejamkan mata sejenak, lalu menggelengkan kepalanya pelan. “Berhenti berpikir yang aneh-aneh, Sera,” batinnya mengingatkan. “Dia suamimu. Dan kamu sendiri yang memilih untuk membuka hati malam ini.” Ia berusaha meyakinkan dirinya. Ia kembali menatap wajah Sebastian yang tertidur di sebelahnya. Hatinya terasa sedikit lebih tenang. Tak ada penyesalan. Hanya rasa takut yang wajar… saat memulai sesuatu yang besar dan belum sepenuhnya ia pahami. Tapi dalam ketidaktahuan itu, ia ingin belajar. Ia ingin percaya. Bahwa Sebastian adalah yang terbaik untuknya. Bahwa cinta mungkin tidak datang di awal… tapi bisa tumbuh dari benih-benih yang ditanam dengan kepercayaan dan kesabaran. Pelan-pelan, Sera memiringkan tubuhnya, mendekat ke sisi Sebastian, meletakkan tangannya di atas bantal sebagai tumpuan diwajahnya, Sera menatap lekat suaminya, dari rambutnya yang lurus, hidung yang mancing serta mata yang tajam. Bibirnya yang tipis membuat Sera mengingat kembali ciuman hangat mereka, ia kembali tersenyum malu, lama menatap Sebastian, kantuk mulai menyapanya Perlahan ia menutup mata. Dalam diam ia berdoa, semoga ini adalah awal yang baik. Semoga keputusan benar. Dan malam itu pun menutup kisah mereka dengan tenang, membiarkan cinta tumbuh perlahan… dari sisa-sisa keheningan dan harapan. Bersambung. . . Jangan lupa tinggalkan jejak kawan Mohon dukungannya untuk pemula Terima kasihSera sedang sibuk bekerja. Ia begitu fokus pada layar di depannya, jari-jarinya menari cepat di atas keyboard. Ada banyak hal yang harus ia selesaikan sebelum hari pernikahannya tiba. Tanggal pernikahan semakin dekat, dan makin hari ia semakin takut tidak bisa membagi waktu dengan baik. Di satu sisi pekerjaannya menumpuk, di sisi lain ia harus memastikan segalanya berjalan sesuai keinginannya. Ia ingin hari itu sempurna. Sementara itu di lobby kantor, suasana memanas. Bella dan asistennya tampak berdebat dengan resepsionis. “Maaf, Bu. Saya tidak boleh mengizinkan siapa pun naik ke ruangan Pak Aiden,” ujar receptionist sopan. “Kau tidak tahu siapa aku? Aku tunangan Aiden!” Bella mengangkat dagunya angkuh, seolah-olah seluruh dunia harus tunduk kepadanya. “Maaf, Bu. Tapi Pak Aiden sedang tidak di tempat. Hanya sekretarisnya, Ibu Sera yang berada di kantor,” jawab receptionist tetap lembut. “Kalau begitu, aku akan bertemu sekretarisnya. Di mana ruangannya?” Bella masih saja berbica
Sore itu, Aiden tiba di rumah Sera bersama kedua orang tuanya. Ia sengaja tidak memberi kabar lebih dulu, ia tahu, sebentar lagi Sera pasti akan tiba di rumah. “Om, Tante… perkenalkan, ini orang tua saya,” ucap Aiden sopan. Papa dan Mama menyambut hangat calon besan mereka dengan senyum penuh keramahan. Mereka pun saling berkenalan, bertukar sapa, dan berbincang hangat. Daddy membuka percakapan dengan nada bersahabat. “Niat kami datang ke sini adalah untuk melamar putri Bapak. Kami bahagia mendengar kalau anak kami sudah menemukan wanita yang ia cintai.” Papa mengangguk pelan, lalu menarik napas sebelum berbicara. “Tapi mohon maaf, Pak, saya ingin bercerita sedikit tentang anak saya… dan kesalahan yang pernah saya lakukan. Saya hanya ingin semuanya jelas, agar tidak ada hal yang membebani mereka di kemudian hari.” Daddy dan Mommy saling berpandangan, lalu mengangguk penuh pengertian. Mereka menghargai ketulusan Papa yang ingin terbuka. Papa pun mulai menceritakan semuanya,
Aiden akhirnya tiba di kota kelahirannya. Ia pulang dengan satu tujuan, yaitu memberi kabar kepada kedua orang tuanya bahwa ia akan menikah. Dalam hati, ia berharap kabar ini membawa kebahagiaan bagi mereka. “Morning, Dad... morning, Mom,” sapanya hangat. “Aiden…” seperti biasa, Mommy langsung menyambutnya dengan pelukan penuh rindu, mencium pipinya seperti anak kecil yang baru kembali dari perjalanan jauh. “Selalu saja pulang tanpa memberi kabar,” Mommy menepuk dada putranya lembut. Aiden terkekeh, lalu kembali memeluk Mommy lama-lama, sebelum merangkul Daddy yang sudah menatapnya dengan senyum tenang. “Apa kabar, Nak?” tanya Daddy. “Aku sangat baik, Dad. Dan... aku membawa kabar gembira,” ucap Aiden sambil tersenyum melihat dua orang yang paling ia sayangi. Mommy mulai menyiapkan sarapan untuk kedua lelaki kesayangannya. “Berita apa, sayang?” tanyanya sambil menuangkan kopi. “Aku ingin menikah, Mom. Dad.” Mommy langsung menatapnya antusias. “Benarkah? Dengan siapa?
“Aku akan bicara pada Mama dan Papa,” ucap Aiden begitu mereka tiba di rumah. Sera hanya tersenyum dan mengangguk pelan. Beberapa saat kemudian, Aiden melangkah masuk ke ruang tamu rumah Sera. “Maaf, Om, Tante... ada yang ingin saya bicarakan,” ujarnya sopan. Papa dan Mama Sera menatap Aiden penuh tanya. “Maaf kalau Aiden lancang, Om,” lanjutnya sambil menarik napas panjang. Aiden menggenggam kedua tangannya sendiri, mencoba menenangkan degup jantungnya yang tidak beraturan. “Saya... ingin menikahi Sera, Om, Tante.” Ucapan itu menggantung di udara. Papa dan Mama saling berpandangan, terdiam cukup lama. Mama akhirnya bersuara pelan, “Apa tidak sebaiknya menunggu sampai ingatannya pulih? Tante takut kalau nanti, saat Sera sudah benar-benar ingat, dia tidak bisa menerima semuanya.” Sera segera menyela, tak ingin Aiden disalahpahami. “Aiden sudah menceritakan semuanya, Ma. Aku sudah tahu kalau aku seorang janda... dan Leo adalah anakku. Meskipun aku belum mengingat semuanya, se
Sera tiba-tiba menangis, membuat Aiden panik. “Aku seperti merindukan seseorang, Aiden…” suaranya lirih, bergetar. Aiden tak tahu harus berbuat apa selain memeluknya erat, mencoba menenangkan isak tangis itu. “Apa dia menyakitiku? Kenapa hatiku sakit sekali?” Sera terisak di dada Aiden. “Tidak, sayang… dia tidak pernah menyakitimu,” ucap Aiden lembut. Sera menunduk, matanya menatap papan nama di makam di hadapannya. Sejak tadi pikirannya dipenuhi ribuan potongan kenangan yang tak bisa ia tangkap utuh. “Leonard Maximus… apa dia anak kita?” tanyanya pelan, menatap Aiden dengan mata sembab. Aiden menggeleng pelan. “Dia anakmu… tapi bukan denganku.” “Maksudmu… apa aku sudah menikah?” Sera spontan menjauh dari pelukan Aiden, menghapus air matanya dengan punggung tangan. “Lebih tepatnya, kau sudah janda, sayang,” ujar Aiden lembut. Sera terdiam, menatap kosong ke arah nisan kecil itu. “Aku akan menceritakan semuanya nanti, kalau kau sudah siap,” lanjut Aiden, ia mengusap permukaa
Dua hari telah berlalu, dan hari ini adalah hari pernikahan Sebastian dan Naomy. Mereka mengucap janji suci di rumah orang tua Sebastian, disaksikan hanya oleh keluarga inti. Sebastian tampak sangat bahagia. Wajahnya bersinar penuh semangat saat memperkenalkan Naomy kepada keluarga besarnya, sangat berbeda dengan Sera dulu yang selalu terlihat tenang, bahkan sedikit cuek. Malam harinya, Papa dan Mama Sebastian meminta pasangan itu untuk bermalam di rumah. Namun Naomy menolak halus, terutama ketika Sebastian mengajaknya ke kamar lamanya. “Aku tidak mau tidur di kamarmu yang dulu... yang pernah kau tempati bersama Sera,” ucap Naomy dengan bibir yang sedikit manyun. Bayangan masa lalu suaminya dengan wanita lain membuat dadanya sesak. Sebastian tersenyum lembut, merengkuh istrinya dalam pelukan. “Ini malam bahagia kita, sayang. Jangan mengingat siapa pun selain aku. Dia sudah lama aku buang jauh-jauh.” Naomy menghela napas dan mengangguk. Pelan, ia membalas pelukan itu. “Akhirnya ki







