Pagi menyapa, Sera bergegas membersihkan dirinya, ia akan melarikan diri untuk sementara waktu, ia malu dengan apa yang terjadi tadi malam.
Sera sudah sibuk di dapur, membantu menyiapkan sarapan untuk keluarganya. Namun, suara Sebastian yang memanggilnya dari kamar membuat Sera segera meninggalkan kegiatan itu dan menemui Sebastian "Ada apa?" Tanya sera setelah tiba dikamar, ia menahan malunya, ia tidak berani menatap wajah Sebastian "Mulai sekarang, kalau aku mau berangkat kerja, bantu aku untuk memilih baju dan keperluan lainnya," ucap Sebastian sembari meraih pinggang istrinya, wajah Sera semakin memerah karena malu. "Kamu harus fokus padaku. Urusan dapur, sudah ada Bibi yang mengurusnya." Sebastian mengecup lembut bibir istrinya Sera tersenyum mengangguk. Setelah malam yang penuh keintiman, Sebastian tak lagi menjaga jarak. Kini ia bebas menyentuh, memeluk, dan memanggil istrinya tanpa ragu. Sera pun tak menyangkal jika dirinya sudah sepenuhnya menjadi milik Sebastian. Pagi itu, ia berdiri di depan lemari, memilih pakaian terbaik untuk suaminya. Matanya jatuh pada setelan biru terang, dipadukan dengan celana dan dasi navy yang serasi. Ia membawanya pada Sebastian dengan senyum kecil. Namun, Sebastian hanya menatapnya sekilas, lalu menggeleng pelan. "Yang putih saja," katanya singkat dan mengambil kemeja putih dari sisi lain lemari. Ia tersenyum lembut, seakan menganggap itu hal sepele. Sera terpaku sejenak, senyumnya memudar. "Lalu untuk apa menyuruhku memilih, kalau akhirnya tetap pilih yang dia mau?" gumamnya pelan, lebih ke dirinya sendiri. Ia menghela napas panjang, berusaha bersabar. "Sabar, Sera… mungkin kamu belum tahu seleranya. Mungkin juga dia belum terbiasa membiarkan orang lain memilih untuknya" pikirnya, mencoba memaklumi. Ia melangkah kembali ke sisi ranjang, duduk sambil memperhatikan Sebastian yang sibuk merapikan penampilannya sendiri. Kini ia tidak lagi membantu, entah ia belum terbiasa atau ia masih merasa kesal dengan sikap suaminya. Sera hanya melihat suaminya yang sedang memakai dasi. Menurutnya, Sebastian sangat memikirkan penampilannya, ia begitu lihai memakai dasi dan bajunya juga sangat rapi. . . Sepertinya, keluarga ini hanya benar-benar berkumpul saat jam makan tiba. Seperti pagi ini, mereka duduk bersama untuk menikmati sarapan, namun tanpa banyak percakapan. Setelahnya, semua akan kembali sibuk dengan urusan masing-masing. "Mereka jarang sekali mengobrol" ucap Sera membatin sambil melirik satu per satu wajah di meja makan. Begitu sarapan selesai, Sebastian bangkit dan berpamitan. Ia mencium pipi papa dan mama, lalu mengangguk singkat ke arah Sera sebelum keluar rumah. Sera hanya bisa melihat mobil Sebastian melaju pergi, tanpa ada drama pamit yang manis seperti di film-film, tak ada cium tangan, apalagi cium kening. "Sesaat prilakunya sangat manis, namun detik berikutnya ia bisa sangat cuek, sebenarnya dia itu pria seperti apa?" Ucap Sera membatin, ia merasa bingung dengan perlakuan Sebastian padanya Tak lama, papa dan mama menyusul, masing-masing dengan agenda yang tak pernah benar-benar mereka bicarakan. "Apa kau sudah puas merenungi kepergian kakakku?" Suara Olivia menyadarkannya, ia tak menanggapi ucapan adik iparnya Sera mengambil tasnya dan duduk diam di kursi depan mobil. Pandangannya lurus ke depan, namun pikirannya entah ke mana. Hari ini, ia akan pergi ke kampus dan seperti yang sudah direncanakan semalam, ia akan pergi bersama Olivia. Di kursi belakang, Olivia bersandar dengan angkuh, aroma parfum mewahnya mengisi ruang sempit di dalam mobil. "Apa kau pikir Kak Sebastian mencintaimu?" suara Olivia terdengar tajam, penuh penekanan. Tidak ada basa-basi, hanya nada yang memancarkan kesombongan. Sera menoleh perlahan, menatapnya dari balik bahu. "Kenapa bertanya seperti itu?" tanyanya datar. Olivia terkekeh pelan, lalu berkata "Aku hanya ingin tahu... apakah Kakakku benar-benar sudah melupakan Naomy… atau belum." Tawanya terdengar mengejek dan menusuk. Sera terdiam. Tidak ada satu pun kata yang keluar dari bibirnya, meski hatinya terasa dicekik. Ia membuang pandangannya kearah luar jendela, menahan gelombang emosi yang mendesak dari dalam dada. "Jangan terlalu berharap pada Kakakku" lanjut Olivia dingin. "Dan mulai besok, pergi ke kampus sendiri. Aku cuma berbaik hati hari ini." Mobil melaju pelan, tapi suasana di dalamnya terasa tajam, penuh tekanan yang tak terlihat. "Hufttt..." Sera menghela napas berat, dadanya terasa sesak sejak turun dari mobil. Kini ia sudah duduk di salah satu sudut perpustakaan, tempat biasa ia dan Jelita berbagi cerita. Jelita yang baru datang langsung menangkap ekspresi sahabatnya. "Kau kenapa?" bisiknya pelan, takut mengganggu suasana tenang di sekitar. Sera menunduk, menyandarkan kepalanya di lengan. "Aku baru saja keluar dari rumah hantu. Dadaku sesak sekali. Sekarang aku paham kenapa orang-orang bilang dia sangat sombong," gumamnya sambil mengernyit, ekspresinya penuh kesal. "Kau pergi bersama adik iparmu? Wah... daebak!" Jelita membulatkan matanya, setengah kagum, setengah terkejut. Sera hanya mengangguk pelan. Namun Jelita segera mengganti topik, wajahnya langsung berubah penasaran. "Eh, terus… suamimu gimana? Kalian udah malam pertama, belum? Terus tadi pagi ngapain aja?" Suara Jelita cepat dan penuh rasa ingin tahu, seolah tak bisa menahan diri. Ia bahkan sedikit mencondongkan badan, seperti takut ada orang lain yang mendengar pembicaraan mereka yang mulai terlalu pribadi. Sera memutar bola matanya, wajahnya memerah, campuran antara malu dan jengkel. "Apa tidak ada pertanyaan lain yang ingin kau tanyakan?." Bersambung . . . Jangan lupa tinggalkan jejak ya teman Terimakasih“Waaah, sepertinya setelah Sera dan Sebastian bercerai, dia melupakan kita, Mike,” sindir Vincent, Mike hanya mengangguk sambil mencibir Aiden tetap cuek, seolah tak mendengar apa pun, ia sibuk bersiap sampai lupa pada sarapannya “Sarapan pun dilewatkan demi si pujaan hati,” sindir Mike lagi “Aku akan membawa Sera ke rumah sakit pagi ini, untuk memeriksa kandungannya,” ucap Aiden sambil merapikan jam tangannya “Kau jangan lupa, Bella akan segera datang, berhati-hatilah,” ujar Vincent mengingatkan sambil menikmati sarapannya “Ya, aku setuju, jangan sampai Sera jadi korban lagi,” sambung Mike menegaskan “Menurutku, lebih baik kau saja yang mengunjungi Bella, sebelum Bella yang datang menemuimu. Kalau dia tahu soal kau dan Sera, itu bisa berbahaya bagi Sera,” tambah Vincent Aiden menghela napas panjang, ia tahu ucapan sahabat-sahabatnya benar. Bella bisa saja menimbulkan masalah besar untuk Sera “Baiklah, terima kasih...Aku akan memikirkannya,” jawab Aiden singkat, la
Sebastian menghela nafasnya, ia harus siap menerima cacian dari Papa, keinginan Papa tidak terwujud untuk membawa Sera kembali ke rumahnya "Putusan sidang sudah keluar Pa, aku..." mulut Sebastian terasa kaku "Aku sudah resmi bercerai" Sebastian menunduk takut, makan malam yang di depannya sama sekali tidak tersentuh Treng.... Bunyi sendok dan garpu beradu di piring, selera makan Papa sudah lenyap "Mengurus satu wanita saja tidak becus" ucap Papa tajam lalu pergi meninggalkan meja makan Mama dan Olivia hanya menatap kepergian Papa, sementara Sebastian hanya menunduk lalu ikut pergi meninggalkan Mama dan Olivia "Perempuan itu....selalu menimbulkan masalah" Mama menggerutu kesal, melihat perseteruan ayah dan anak itu "Aku akan memberinya pelajaran Ma..berani-beraninya dia membuat keluarga kita tercoreng" ucap Olivia dengan nada yang penuh amarah "Tapi ingat..kamu harus hati-hati" Olivia mengangguk mendengar peringatan Mama . . Di sebuah apartemen Sebastian merebah
Dua minggu berlalu, Sebastian selalu datang ke pengadilan untuk bertemu Sera, sejak ia menyakiti Sera di rumah tempo hari Aiden selalu menghalangi pertemuannya dengan Sera Sebastian selalu hadir dalam persidangan guna untuk mediasi namun sayang, Sera tidak pernah hadir dan sampailah hari ini adalah hasil akhir dari sidang perceraian mereka Sebastian masih berusaha untuk membujuk Sera namun Sera enggan untuk menatapnya, hakim menerima gugatan Sera dengan bukti yang kuat hakim juga mengabulkan perceraian mereka Sera tersenyum lega mendengar putusan hakim, kini ia bebas dari rasa sakitnya, walaupun belum benar-benar terbebas karena ia tahu, Sebastian pasti akan selalu menghantuinya Setelah putusan hakim selesai Sebastian mendatangi Sera. "Aku menyesal dan aku ingin memperbaiki semuanya Sera, aku harap kamu bisa menerimaku kembali" Sera diam seolah tak peduli "Sudahlah, semua sudah berlalu, Papa hargai penyesalanmu, semoga kau bisa dapat yang lebih baik" Papa menepuk pundak Seba
Aiden menyambut pagi itu dengan ceria. Hidupnya terasa lebih berwarna, apalagi dengan status Sera yang sebentar lagi menjadi janda, itu membuatnya lebih leluasa untuk mendekati Sera. Ia tidak perlu lagi menjaga jarak, namun tetap harus menjaga nama baik Sera dan keluarganya, dikarenakan status perceraian Sera belum resmi, ia tak akan memperkeruh suasana dengan sikap yang terlalu mencolok. Hari ini, dan seterusnya, ia sudah berniat menjemput Sera setiap pagi untuk pergi ke kantor bersama. Dengan senyum yang tidak bisa ia sembunyikan, ia bersiap dan pergi "Apa aku harus menghubunginya dulu?" gumam Aiden lirih sambil menatap ponselnya Lalu ia menggeleng pelan. "Ah, tidak perlu. Lebih baik aku langsung datang ke rumahnya" Langkahnya terasa ringan, seolah tak sabar untuk segera tiba, tak lama kemudian mobilnya berhenti di depan rumah Sera. Namun alisnya langsung berkerut saat melihat sebuah mobil lain sudah terparkir di sana "Mobil siapa ini?" batinnya heran Ia turun dan mela
"Sera…” Aiden mengetuk pintu kamar Sera, namun tidak ada jawaban “Sera…” panggilnya lagi, kali ini nadanya lebih dalam. Rasa khawatir mulai menyelimuti hatinya “Sera… buka pintunya! Kamu tidak apa-apa?” suara Aiden meninggi, penuh kecemasan Ceklek… Pintu terbuka, menampakkan sosok Sera. Aiden langsung menghela napas panjang, wajah tegangnya seketika berubah menjadi lega “Kenapa lama sekali membuka pintu?” tatapan Aiden menelusuri wajah Sera, begitu lekat “Memangnya kenapa? Aku dari kamar mandi,” jawab Sera cuek sambil berjalan santai menuju sofa “Apa perutmu sudah membaik? Apa kita perlu ke rumah sakit?” Aiden berdiri tepat di hadapannya, menunggu jawaban Sera menggeleng, menghindari tatapan Aiden “Tidak perlu, sakitnya sudah hilang,” “Syukurlah… tunggu di sini sebentar.” Aiden segera berbalik dan keluar. Tak lama kemudian, ia kembali dengan membawa sesuatu Aiden dengan santai masuk ke dapur rumah Sera, seolah itu adalah rumahnya sendiri. Sera memperhatikannya hera
Sepi… sunyi… Begitulah suasana di rumah Sebastian. Sama seperti biasanya, dingin tanpa kehidupan. Tidak ada interaksi yang berarti, apalagi kehangatan keluarga. Di sana hanya ada satu hal yang selalu dibicarakan yaitu selalu soal bisnis. “Abraham sudah bertekad menceraikan Sera darimu,” ucap Papa dengan suara dingin, suaranya menggema, membuat seisi rumah seketika diliputi rasa takut. “Maafkan aku, Pa…” hanya itu yang mampu keluar dari mulut Sebastian “Kau harus terus membujuk Sera sebelum surat cerai itu berada di tanganmu,” Papa menatapnya tajam. Kedua tangannya mengepal. “Kau hanya tinggal selangkah lagi, tapi kau malah mengacaukannya terlalu cepat. Seandainya kau sedikit lebih bersabar, perusahaan Abraham sudah bisa kau kuasai!” “Aku akan berusaha, Pa…” Sebastian menunduk, menelan pahitnya kenyataan. Ia tidak punya pilihan selain mengikuti keinginan ayahnya. Bagaimanapun, tujuan awal mereka tetap sama menjadikan perusahaan Abraham miliknya, lewat Sera. . . Pag