LOGINKenzo duduk di meja makan sambil menatap Marvella dengan wajah kecewa.
“Ma, kok Mama usir Om Dastan? Padahal seru banget tadi. Aku suka kalau Om Dastan dan Oreo ada di sini.” Marvella menghela napas panjang, lalu mengelus kepala anaknya. “Ken, dia itu tetangga, bukan bagian dari keluarga kita. Jangan terlalu dekat, ya.” “Tapi Oreo suka sama aku, dan aku juga suka sama Oreo. Lagian… Om Dastan nggak jahat, kok.” Marvella terdiam. Meski hatinya menolak, tapi dengan mata kepalanya sendiri tadi ia melihat dengan jelas bagaimana Oreo bisa membuat anaknya tertawa sepuas itu. Jarang sekali tawa Kenzo begitu lepas sejak perceraiannya. Wanita itu lalu tersenyum kepada putranya. “Sudah, yuk kita makan dulu. Masih ada sisa spageti di panci.” Beberapa saat kemudian, rumah Marvella akhirnya tenang. Kenzo sedang duduk menonton TV sambil mengunyah sisa spageti. Sementara itu, Marvella menatap piring penuh spageti yang tadi sudah ia susun rapi. Porsinya masih terlalu banyak untuk dirinya dan Kenzo. Dengan mendesah pasrah, ia menaruh sebagian spageti di piring saji, lalu menutupinya dengan cling wrap. Kenzo yang memperhatikan langsung nyengir nakal. “Mama pasti mau bawain buat Om Dastan, ya?” “Bukan, Mama cuma nggak mau makanan jadi mubazir," kilah Marvella, seraya menaruh piring yang telah dibungkus cling wrap itu ke dalam kantung belanja bahan spunbond. *** Di rumah sebelah, Dastan baru saja mengganti kausnya ketika bel pintunya berbunyi. Oreo yang sedang rebahan di sofa seketika menyalak riang sambil berlari ke arah pintu. Begitu dibuka, berdirilah Marvella dengan wajah setengah sebal tapi juga setengah canggung. Kedua tangannya menenteng kantung biru. “Ini,” ucapnya singkat, seraya mengulurkan kantungnya kepada Dastan. “Daripada mubazir.” Dastan menatapnya selama beberapa detik, sebelum kemudiam senyum tipis muncul di wajahnya. “Terima kasih. Dari dulu aku memang selalu suka sama masakan kamu.” Marvella pun terdiam, saat kilasan ingatan masa lalu menyeruak di dalam benaknya. Dulu Dastan sering berkata begitu setiap kali ia memasakkan sesuatu, hal yang membuatnya semakin semangat untuk mencoba resep baru, dan akhirnya membuat Marvella memiliki hobi memasak. Ia buru-buru mendorong kantung itu ke tangan pria itu. “Jangan banyak omong. Habisin saja makanannya. Awas kalau sampai dibuang, aku kutuk kamu dan Oreo jadi ubi nanti!” Dan tanpa menunggu jawaban, Marvella pun langsung berbalik pergi. Tapi Dastan masih tak bergeming berdiri di depan pintu sembari menatap punggungnya yang menjauh, dengan seulas senyum tipis yang masih menghiasi bibirnya. *** Sekitar pukul delapan malam, suasana di komplek sudah cukup tenang. Lampu-lampu jalanan menyala redup, sementara beberapa rumah tetangga sudah tampak gelap tanda penghuninya memilih cepat beristirahat. Marvella masih sibuk membereskan piring kotor di dapur ketika suara Kenzo terdengar dari ruang tamu. “Mama! Mama! Lihat, deh! Cepat, Mamaaa!” teriak bocah itu dengan semangat membuncah. Marvella mendesah. Awalnya ia enggan menanggapi, namun teriakan kedua Kenzo pun tak pelak membuatnya bergegas menghampiri. Ia mendapati putranya sudah berdiri di jendela besar ruang tamu dengan wajah penuh kegirangan. “Ada apa, Ken?” tanyanya sambil mengeringkan tangan dengan lap. “Om Dastan, Ma! Lihat di sana!” Kenzo menunjuk ke arah halaman rumah sebelah. Marvella refleks menoleh. Dan saat itulah ia mendapati sebuah pemandangan yang membuatnya terpana. Di halaman rumahnya, Dastan sedang menyalakan kembang api kecil. Bukan jenis besar yang berbahaya, tapi kembang api berwarna-warni yang menyemburkan cahaya indah ke udara malam. Kilatan biru, merah, dan emas berputar membentuk pola, sementara Oreo berlarian mengejar percikan yang jatuh ke tanah sambil menyalak riang. Kenzo menempelkan wajahnya ke kaca jendela dengan mulut menganga. “Woooow! Mama lihat kan? Keren banget!” teriaknya girang. Marvella mengerjap beberapa kali. Di satu sisi, ia ingin mengomel karena itu bisa saja menimbulkan gosip baru dari ibu-ibu komplek. Tapi di sisi lain, melihat ekspresi bahagia Kenzo membuat hatinya melunak tanpa bisa ditahan. “Om Dastan jago banget! Kayak lagi bikin pertunjukan sirkus,” ujar Kenzo sambil terkikik geli. Pada saat itulah Dastan menoleh. Pandangan matanya sempat beradu dengan Marvella dari balik jendela. Senyuman tipis kemudian terukir di bibirnya, seakan berkata, 'lihat kan, aku tahu caranya membuat anakmu bahagia.' “Mama, boleh nggak aku ke sana sebentar?” pinta Kenzo tak sabar, ia bahkan hampir melompat-lompat di tempat. Marvella buru-buru menggeleng. “Tidak, Ken. Ini sudah malam dan besok kamu sekolah. Lihat dari sini saja juga bisa, kan?” Kenzo pun sontak menjadi manyun, tapi ia segera kembali kegirangan saat Dastan tiba-tiba mengibaskan tangannya, membuat bunga api berputar membentuk lingkaran yang bercahaya. Seolah-olah Dastan sengaja melakukan pertunjukan itu untuk Kenzo semata. “Mamaaa, coba deh Mama lihat baik-baik. Kayak ada bentuk love, lho! Om Dastan bikin love!” Kenzo menunjuk dengan penuh antusias. Marvella spontan menoleh lebih dekat, dan benar saja. Untuk sesaat, percikan api itu membentuk pola hati yang samar meski tak sempurna. Kening Marvella berkerut. Ia buru-buru mundur selangkah dari jendela, sementara Kenzo masih bersorak-sorai kegirangan. “Om Dastan hebat banget!” Kenzo memekik lagi, suaranya nyaris menggema ke seluruh komplek. Di luar sana, Dastan berdiri dengan wajah puas meski peluh tampak membasahi pelipisnya. Ia mengangkat tangan memberi salam kecil ke arah Kenzo dan Marvella, sebelum akhirnya meniup kembang api terakhir dan membiarkan malam kembali sunyi. Kenzo menoleh ke arah ibunya dengan mata berbinar. “Mama… aku suka banget punya tetangga Om Dastan. Rasanya kayak punya pesulap di sebelah rumah!” Dan Marvella pun hanya bisa terdiam seraya merasakan hatinya yang berdenyut aneh, karena hadirnya sekelumit nostalgia yang tak ia harapkan. ***BRAAKK!! Marvella membuka pintu ruang kerja Reno dengan keras. Bunyi hentakannya memantul di dinding kaca dan kayu mahal, membuat Reno yang sedang duduk serta sekretaris yang berdiri di dekat meja sama-sama tersentak, dan menoleh. Sekretaris itu membeku selama sesaat. Ia mengenali Marvella. Dulu, wanita itu sering datang dengan wajah lelah atau tersenyum tipis, kadang membawa makan siang, kadang hanya duduk menunggui Reno hingga selesai rapat. Kini yang berdiri di ambang pintu adalah Marvella dengan rahang yang mengeras, mata yang gelap, dan aura yang jelas-jelas ngajak ribut. “Selamat siang, Bu Marvella,” sapa sang sekretaris akhirnya dengan sikap profesional, meski tangannya refleks merapatkan map di dada untuk melindungi diri. Marvella tidak menoleh sedikit pun. Ia melangkah masuk dan menyilangkan kedua tangannya di dada, dengan tatapan tajam tertuju kepada Reno. “Aku mau bicara dengan kamu. Sekarang.” Nada suaranya datar tapi tegas, dan tidak ada ruang untuk menawar. R
FLASHBACK – BEBERAPA MENIT SEBELUMNYA Begitu pesan terakhir terkirim, Dastan langsung mengunci ponselnya dan berdiri dari kursinya. “Reyhan,” panggilnya datar. Asistennya yang sejak tadi sibuk membuka laptop dan menyusun slide presentasi refleks menoleh. “Siap, Pak.” “Tolong infokan ke semua kalau rapat pagi ini ditunda ke siang.” Reyhan berkedip pelan dua kali, lalu menegakkan punggungnya. “Ma~maaf, Pak?” suaranya terdengar seperti orang yang baru saja salah dengar. “Ditunda. Ke jam satu,” ulang Dastan tenang sambil melepas dasinya dan meraih jasnya. Reyhan menelan ludah. “Pak… ini rapat dengan Dewan Direksi pusat. Agendanya adalah merger. Semua orang sudah berada di ruang tunggu.” Dastan menyampirkan jas ke bahunya. “Bilang kalau saya ada urusan mendesak yang tidak bisa ditunda.” Reyhan memijat pelipisnya. “Pak, yang biasanya Bapak sebut tidak bisa ditunda itu biasanya cuma… IPO, krisis saham, atau audit pajak.” Dastan berhenti melangkah dan menoleh. “Hari
Keesokan harinya, pagi itu terasa sedikit lebih tegang dari biasanya. Reno datang tepat waktu untuk menjemput Kenzo. Ia berdiri di depan pagar dengan kemeja rapi dan kunci mobil di tangan, seolah ingin menegaskan bahwa hari ini ia benar-benar berniat menjadi “ayah yang hadir”. Kenzo langsung berlari menghampirinya dengan tas kecil di punggung dan wajah berbinar. Anak itu sudah rapi dengan seragam terbaiknya, rambut disisir rapi oleh Marvella, dan sepatu yang berkali-kali dicek talinya agar tidak terlepas di tengah acara. Semalam Kenzo sudah mengingatkan papanya, bahwa besok adalah hari spesial di sekolahnya. Berbarengan dengan acara pengambilan rapot semester akhir, akan ada pula penampilan anak-anak yang menunjukkan kemampuan mereka di atas panggung. Dan Kenzo, telah ditunjuk sebagai perwakilan dari kelasnya untuk membawakan pidato dalam bahasa Inggris. “Hari ini Papa datang, kan?” tanya Kenzo untuk ketiga kalinya sambil memeluk map rapotnya. Reno tersenyum dan men
Malam harinya di hari yang sama, Reno tiba-tiba saja datang lagi dengan membawa mainan baru, dengan alasan, “kebetulan ada rapat di dekat sini.” Kenzo tentu saja senang sekali. Anak itu belum cukup besar untuk membaca ambiguitas orang dewasa. Yang ia tahu, ayahnya hadir. Dan itu cukup. Di sisi lain, Marvella mulai gelisah. Reno terlalu perhatian, tapi bukan jenis perhatian yang hangat. Lebih mirip sebuah klaim. “Besok pagi biar aku saja yang antar Kenzo ke sekolah,” ucap Reno, tanpa bertanya lebih dulu. Marvella mengernyit samar. “Biasanya Kenzo diantar sama Dastan.” Reno menoleh dan alisnya terangkat tipis. “Oh?” Nada satu suku kata itu terdengar ringan, tapi ada sesuatu di baliknya. Seperti sebuah catatan yang akan disimpan rapi. “Oooh...,” ulangnya lagi, kali ini disertai dengan senyum kecil. “OM DASTAN, ya?” Marvella memilih diam tidak menjawab, sementara Dastan yang saat itu sedang menyiapkan minuman di dapur mendengar jelas percakapan mereka. Ia segera keluar d
Saat Marvella hendak meletakkan ponselnya setelah chat dengan Dastan, tiba-tiba saja layarnya kembali menyala, berdenting pelan, pertanda ada pesan baru. Semula Marvella mengira itu pesan yang datang dari Dastan lagi, namun ternyata ia salah. Pesan itu datang dari... Reno, yang awalnya hanya berupa pesan singkat. Reno : (Kenzo sudah di sekolah?) Reno : (Aku kebetulan lewat di daerah rumahmu. Boleh mampir sebentar?) Sambil menghela napas, Marvella akhirnya hanya menjawab seperlunya. Singkat, aman dan netral, meskipun ia ingin marah karena terakhir kalinya mereka bertemu, Reno mengatakan akan membawa Kenzo pergi. Marvella : (Kenzo masih di sekolah) Beberapa detik kemudian, ia pun menambahkan satu pesan lagi. Marvella : (Maaf, sekarang aku lagi ada urusan di rumah. Mungkin lain kali) Tapi Reno tidak berhenti di situ. Beberapa menit setelah percakapan itu berakhir, Marvella yang sedang menyiram tanaman di halaman depan tiba-tiba mendengar suara mobil berhenti tepat d
Sekitar pukul sebelas siang, Dastan akhirnya benar-benar berangkat ke kantornya. Tanpa ada drama, tidak ada ciuman perpisahan yang berlebihan, juga tidak ada kalimat klise. Ia hanya memegang kunci mobil dan menatap Marvella, lalu berkata, “Aku pergi. Jangan lupa makan yang benar.” Sesederhana itu. Dan justru karena itu, Marvella berdiri terlalu lama di dekat pintu setelah suara mesin mobil mewah Dastan menghilang di ujung jalan. Kemudian hanya ada keheningan. Kesunyian yang terasa... aneh. Yang ia inginkan adalah ruang. Ia ingin bernapas. Ia ingin jarak. Tapi ketika Dastan benar-benar memberikannya dengan cara yang dewasa dan tidak menuntut, Marvella malah merasa seperti seseorang yang telah salah mengajukan permintaan. 'Kenapa rasanya jadi begini?' batinnya. Ia menghela napas, lalu menepuk pelan kedua pipinya. “Oke. Fokus, Marvella. Ini justru bagus. Ini yang sehat.” Namun lima menit kemudian, ia masih berdiri di ruang tamu seraya menatap sofa kosong, seolah Dast







