Share

"Pegang kata-kata daddy."

Sepasang manik bulat Selena tak berkedip, menatap pria yang baru saja mengatakan bila apartemen mewah ini adalah miliknya. Selena lantas mengerling seraya memerhatikan raut Dev yang nampak begitu serius dengan perkataannya barusan.

"Selena, kamu … dengar perkataan daddy barusan 'kan?" Dev memastikan jika gadis di hadapannya ini sungguh-sungguh mendengar perkataannya barusan dengan sedikit mencondongkan wajahnya.

Selena spontan beringsut mundur karena jaraknya dengan Dev terlalu dekat saat ini. "Selena denger, kok, Dad," sahutnya.

Jawaban Selena membuat Dev mengangguk dan tersenyum. "Terus, gimana? Kamu … Suka 'kan sama apartemennya?"

"Hmm …" Sejenak, Selena mengalihkan pandangannya ke sekitar unit dengan pencahayaan yang sangat terang itu. Dari segi manapun, unit yang dibelikan Dev untuknya terbilang sangat mewah dan luas. Semuanya sudah tersedia di sana. "Bukankah ini terlalu besar kalau Selena yang tinggal di sini sendirian, Dad?" ujar Selena yang kembali menatap mertuanya.

Kening Dev mengernyit, memutar stolbar lalu berkata, "Kalau kamu gak berani tinggal sendirian, daddy akan temenin kamu. Gimana?"

"Hah?" Rahang Selena sontak kembali menganga dengan jawaban Dev. "M-maksud, Daddy?" Mendadak Selena merasa canggung sendiri, padahal Dev terkesan tidak serius dengan ucapannya barusan.

Dan, benar saja. Saat Dev tersenyum dan menjawab, "Daddy cuma bercanda. Gak usah dipikirin." Lalu memutar stolbar dan mengambil salah satu gelas berkaki tinggi yang menggantung di atas kepalanya.

Embusan napas lega berembus dari hidung Selena. Syukurlah, kalau Dev hanya sedang bercanda, pikir Selena.

"Tapi, Selena serius, Dad. Apartemen ini terlalu besar. Kayaknya, aku …."

"Nanti biar daddy carikan asisten rumah yang bisa tinggal di sini. Biar bisa nemenin kamu sekalian," ujar Dev, menyesap bir berkadar alkohol rendah yang baru saja dituangnya. "Kamu butuh berapa asisten?" Gelas yang sudah kosong, Dev isi kembali dengan bir.

"Dad, sebenernya ini semua gak perlu. Selena bisa pulang ke rumah Papa aja," kata Selena.

"Bukannya rumah itu sudah jadi milik mama tiri kamu?" Dev menoleh pada Selena yang seketika terantuk lesu.

Gadis itu bungkam sebab dugaan Dev benar adanya. "Selena gak habis pikir sama Mama. Kenapa Mama sejahat itu sama aku." Jari-jari Selena saling menaut di atas meja minibar itu.

Mendengar Selena mengeluh, Dev jadi semakin kasihan. Dari orang suruhannyalah dia bisa tahu soal rumah peninggalan Satria yang telah jatuh kepemilikannya. "Sudah, jangan pikirkan mamamu. Sekarang, kamu bisa tinggal di sini sesukamu. Apartemen ini sekarang 'kan sudah jadi milik kamu."

Entah kalimat penghibur itu efektif atau tidak. Dev tidak pandai menghibur seseorang dengan rangkaian kata-kata manis. Terlebih, dirinya bukanlah tipe pria yang romantis.

Bukan! Bukan tidak romantis. Dev pernah berada di fase tersebut. Mencintai seseorang dengan segenap hatinya. Namun, yang dia dapat hanyalah sebuah penghianatan. Dan, untuk sikap baik serta perhatiannya terhadap Selena, semata-mata Dev ingin memenuhi janjinya pada Satria.

Selena menghela napas panjang, kemudian dia turun dari stolbar sambil memegang tepian meja. "Selena mau liat kamarnya, Dad. Kira-kira kamarnya di sebelah mana?"

Dev pun turun dari stolbar. "Ayo, Daddy tunjukkan kamarmu. Di sini ada tiga kamar. Kamar utama ada di sebelah sana. Ayo." Kaki Dev melangkah lebih dulu, dan Selena menyusul di belakangnya.

***

Selena memutuskan untuk tidur di kamar kedua yang ukurannya tidak terlalu luas. Dia pikir, kamar utama tidak cocok untuknya sebab kamar tersebut lebih cocok untuk pasangan suami istri.

"Kamu yakin mau tidur di sini aja?" Dev bertanya setelah keluar dari kamar mandi yang ada di kamar tersebut. Hanya sekadar memastikan jika semuanya berfungsi dengan baik. Baik shower serta lampu.

"Iya. Kayaknya lebih cocok di sini. Kalo di kamar utama kebesaran," sahut Selena sambil menyentuh setiap sisi tepian kasur berukuran queen size yang sangat empuk. Mengitari ranjang dengan perasaan serba salah.

Apakah semua ini perlu? Apakah semua ini benar? Kenapa Dev begitu baik padanya sedangkan sebentar lagi dia sudah tidak memiliki hubungan apa pun dengan lelaki itu.

"Dad, Selena boleh tanya sesuatu?" Selena menduduki tepi kasur, menatap punggung Dev yang lebar dan nampak gagah bila dari belakang seperti ini.

Mertuanya itu tengah berdiri di depan jendela yang terbuka, dengan kedua tangan masuk ke saku celana bahannya. Dev berbalik menatap Selena. "Mau tanya apa?"

"Kenapa Daddy masih baik sama Selena? Padahal, Selena sebentar lagi cerai sama Mas Darwin. Otomatis Selena akan jadi orang lain setelah itu. Tapi, Daddy malah ngasih apartemen buat aku," kata Selena, rautnya berubah sendu. Sepasang maniknya sudah berkaca-kaca dan buram.

"Karena kamu adalah anaknya Satria. Daddy sudah berjanji pada papamu akan menjaga putrinya." Dev tidak perlu berpikir susah payah untuk menjawab pertanyaan Selena barusan. "Daddy juga merasa bersalah karena kenyataannya, pernikahan kamu sama Darwin gak berhasil. Sekali lagi, daddy minta maaf."

Selena menggeleng, lalu menghapus air mata yang tiba-tiba menetes di pipi. "Ini bukan kesalahan Daddy. Ini semua mungkin sudah takdir Selena. Jadi janda di umur dua puluh dua tahun. Miris," ujarnya, lantas menunduk untuk menyembunyikan tangisannya dari Dev.

Punggung Dev menegak, dia pun melangkah mendekati Selena yang sudah terisak. "Selena …." Tangannya sudah terangkat, ingin menyentuh kepala sang menantu, tetapi rasanya sangat sungkan. Dev pun menarik tangannya lagi, kemudian mengepalnya.

"Selena udah gagal jaga amanah Papa. Selena udah berusaha selama ini. Mas Darwin satu-satunya harapan Selena setelah Papa gak ada. Tapi … Mas Darwin ternyata gak pernah cinta sama Selena." Isakan Selena semakin menggema di kamar itu.

Sekuat apa pun dia mencoba menahannya. Namun, rasa sakit akibat ulah suami dan kakak tirinya tak mudah dia lupakan begitu saja. Rumah tangganya harus selesai dalam waktu singkat.

Lalu, bagaimana Selena bisa memercayai pria setelah kejadian ini?

Apa dia masih bisa menaruh kepercayaan terhadap laki-laki?

Dev menghela panjang. Mendengar isakan Selena, sudut hati Dev berdenyut. Dia memang jarang berkomunikasi dengan gadis ini setelah menikahkannya dengan Darwin. Kesibukannya yang seabrek, membuat Dev tak memiliki banyak waktu untuk memantau kondisi Selena.

"Dad …" Isakan Selena berhenti, dia lalu mengangkat pandangannya menatap Dev yang tak bergeming di tempatnya.

"Hmm?" Sorot mata Dev meredup seketika, saat melihat bola mata jernih Selena memerah dan basah.

Oh, ya ampun. Keinginan untuk mengusap airmata di pipi gadis itu begitu menggebu-gebu dalam benak Dev.

Akan tetapi, kepercayaan diri Dev tak sebesar itu. Dia takut, jika Selena akan berpikiran yang tidak-tidak tentang sikapnya yang tak tahu malu.

Selena berurai air mata lagi. Dia berdiri tepat di hadapan Dev yang tengah berkutat dengan pikiran liarnya. "Dad …." Suara seraknya menyentak Dev.

Dev tertegun, buru-buru membuang jauh-jauh semua pikiran-pikiran tak masuk akalnya seraya mengerjap dan menggeleng. "Iya?"

Punggung tangan Selena mengusap lelehan air mata yang tak mau berhenti mengalir di pipi. "Selena mau tanya sama Daddy." Dia menjilat bibir yang terasa kering.

"Tanya apa?" Manik Dev menyelami sorot mata Selena.

"Sebagai laki-laki, menurut Daddy, apa Selena kurang menarik?"

Sepasang alis tebal Dev sontak terangkat tinggi. Pertanyaan yang terlontar dari Selena bolehkah dia menjawab sejujur-jujurnya? Pikir Dev.

Selena menghela panjang, lalu menundukkan kepala. Tanpa Dev menjawabnya, dia sudah tahu jawaban pria itu. "Gak usah dijawab, Dad. Selena udah tau jawabannya," kata Selena, terdengar kecewa.

Bagaimana bisa dia melontarkan pertanyaan konyol tersebut kepada ayah mertuanya? Konyol! Selena merutuk dirinya sendiri dalam hati.

"Selena … Andai pun ada laki-laki yang bilang kamu gak menarik. Itu artinya penglihatan laki-laki itu gak normal. Karena … di mata daddy kamu sosok perempuan yang sempurna," ujar Dev tak sekadar hanya ingin menghibur Selena. Dia jujur apa adanya.

Pandangan Selena sontak terangkat. "Daddy …."

"Itu jawaban daddy." Dev tersenyum. Lalu, entah dapat keberanian dari mana, kedua tangannya terulur dan menangkup wajah mungil Selena. "Jangan sedih lagi, Selena. Mulai sekarang, kamu bisa mengandalkan daddy. Pegang kata-kata daddy. Oke?"

Bak terhipnotis oleh sorot mata Dev, Selena hanya mengangguk patuh. "Hmm."

_

bersambung...

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Jhoni Wolker
endingnya kaya apa
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
udah gampang buang pasukan SAMPAH nggak berhak tinggi di rumah maupun hati milik Dev
goodnovel comment avatar
Raudlatul Jannah
duh daddy Dev kan masih punya istri gimana dong, apakah ini bisa disebut cinta terlarang nya daddy Dev ... tapi selena cocok sama daddy Dev ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status