Anita dan Heni masih berdebat di dapur. Permasalahan oleh-oleh yang dibawa Rama semalam sepertinya jadi topik seru untuk dibahas berulang-ulang.
"Mama yakin, Anita. Oleh-oleh itu bukan buat Mama." Heni mengulang perdebatan semalam yang sempat tertunda karena Anita yang sudah lelah dan tak tahan untuk segera pergi tidur. "Jelas-jelas sekali kalau ukuran Mama nggak segitu, Sayang. Dan lagi, warna yang dipilih juga bukan selera Mama. Apalagi nih, di dalamnya ada lingerienya. Masa iya Mama pakai kaya begituan."
"Ya kali aja Rama tengah ngerjai Mama," sahut Anita santai. Ia mencari segelas susu yang sudah dipesan sebelumnya pada sang mama sebelum mandi tadi. "Tapi emang bener ya kalau Mama nggak nitip apa-apa sama dia?"
"Ya enggak lah, Nit. Lagian, kalau Mama perlu sesuatu, Mama pasti nitipnya ke kamu, bukan ke Rama."
Apa yang dikatakan Heni memang ada benarnya juga. Sejak awal Anita pun juga berpikir demikian.
Rama memutar otak bagaimana cara membujuk Anita agar kembali memaafkannya. Menjatuhkan harga dirinya dengan mencoba merendah memang bukan perkara yang mudah. Rama telah terbiasa hidup di atas sehingga harus belajar banyak seperti apa cara mengalah.Tips yang diberikan Arya memang cukup brilian. Hanya saja, tak semudah itu pula Rama mempraktekkannya. Jangankan untuk memulai, Anita bahkan telah mengabaikan, sebelum ia sempat mendekat. Berusaha menghindarinya tak perduli meski mereka ada di kantor.Dan kemunculan Sandi kembali semakin memperkecil peluang Rama untuk mendekat pada mantan istrinya itu. Ia merasa putus asa pun kesal dalam waktu bersamaan."Ada apa denganmu?" tanya Arya suatu ketika saat keduanya duduk di meja yang sama. "Kulihat akhir-akhir ini wajahmu sangat suram. Dan lagi, kau terlihat berbeda dalam memimpin rapat siang ini."Rama masih diam membeku. Tak ada yang ia lakukan selain menata
"Nit, Wul, dipanggil Pak Arya di ruangannya. Segera kesana ya!"Salah satu teman Anita baru saja muncul dari kubikel lain, mendatanginya dan Wulan. Hanya sesaat saja, dan orang itu kemudian pergi lagi dengan tergesa."Ada apa sih?" tanya Anita penasaran. Ia sedang membereskan barang-barangnya di meja."Nggak tau. Nggak biasanya kan?" Wulan yang ditanya hanya bisa mengangkat bahunya karena merasa tak mengerti apa-apa. Ia pun juga sama, tengah berkemas dan siap pulang."Ya udah, kita kesana dulu," putus Anita karena ingin tahu.Keduanya berjalan beriringan. Tenyata beberapa karyawan juga menuju ruangan Arya. Bisik-bisik kecil terdengar, mempertanyakan maksud pemanggilan semua karyawan di perusahaan itu.~~Di dalam ruangan, Arya telah berdiri menanti. Tempat yang tak terlalu besar itu pun akhirnya jadi penuh ka
Disaat rasa bimbang menyelimuti hati Sandi, tiba-tiba Arya datang menegur keberadaan Rama."Ram, mereka sudah menunggumu," beritahunya. Si pemilik hajat seakan sadar dengan alasan kenapa ia ada disana. Tapi belum sempat Rama menjawab, mata Arya yang menangkap keberadaan Anita disana seketika menyela kembali, "Lho, kamu disini juga, Nit? Bukankah tadi kau bilang tidak bisa ikut karena nggak enak badan?"Kepala Anita tertunduk. Tak ayal wajahnya memerah karena malu. Terlebih ketika mata Sandi mengarah padanya dengan pandangan menuntut. Sepertinya pria itu tahu keputusan apa yang harus diambilnya saat ini.~~Sandi terpaksa harus menyelamatkan Anita dari rasa malunya. Pada akhirnya ia menerima ajakan makan malam yang diberikan Rama padanya. Dan kini mereka semua sudah tergabung dalam rombongan Ardyatama Corp."Ayo jangan sungkan-sungkan. Pak Ram
Anita terpekur di depan meja riasnya. Masih teringat kembali kejadian tadi di rumah makan yang sedikit tegang. Dengan pikiran melayang, tangannya mencengkeram sisir yang sesaat lalu dipakainya. Flash back on "Lho, Pak Rama belum cerita tentang perempuan dalam hidup Bapak." Ketika semua orang menyudutkan Rama untuk mengakui siapa wanita dalam hidupnya, mendadak Anita batuk dengan keras. Spontan saja semua mata teralih padanya, tak terkecuali Rama. "Kau kenapa, Sayang?" Sandi menegur. Ia dengan cekatan memberi air minum pada kekasihnya dan dibalas dengan ucapan terima kasih. "Maaf, aku tersedak cabai," bohong Anita, mengelap bibirnya yang basah.
Keduanya berbincang dengan akrab. Lamanya waktu yang sempat memisahkan, membuat Sandi dan Erlina menceritakan banyak hal."Jadi katakan padaku, apakah kau sudah menikah?" telusur Sandi lebih privasi setelah sebelumnya hanya membahas soal masa-masa sekolah mereka."Hmm, belum.""Belum?""Kurasa tak ada satu pria pun yang tertarik padaku," elak Erlina tersenyum tipis."Astaga, Lina. Kamu pintar, cantik, menarik, dan kau bilang tidak ada satu pria pun yang tertarik padamu? Hanya pria bodoh yang tak bisa melihat sebuah permata secantik dirimu." Erlina tertawa seketika. Mimik lucu yang ditunjukkan Sandi membuatnya tergelak tiada habis. "Hei, kenapa kau tertawa?""Habisnya kamu itu lucu. Sama seperti dulu." Erlina makin keras dengan gelak tawanya.Wajah Sandi berubah masam karena merasa mendapat ejekan dari teman lamanya itu."Ok, ok. Maaf." Erl
Sandi baru dari toilet dan sudah kembali ke meja dimana ia dan Erlina bertemu untuk makan malam. Namun betapa terkejutnya dia ketika melihat perempuan itu sedang memegang ponselnya, seperti bicara dengan seseorang. Erlina terkejut saat tiba-tiba Sandi merebut ponsel di tangannya. Pria itu melihat pada layar ponsel, siapa gerangan orang yang menelpon. Dua kali lebih kaget lagi ketika tau yang menghubungi adalah Anita. "Anita?" "San. Dari mana saja kamu? Kenapa seorang perempuan yang mengangkat telponmu?" "Maaf, aku baru dari toilet." "Lalu, siapa perempuan itu?" "Hmm....dia--," Sandi melirik sekilas pada Erlina yang menunduk, merasa tak enak hati karena sebelumnya sudah lancang mengangkat telpon milik Sandi tanpa izin, "temanku." Senyap. Tak ada sahutan dari seberang telpon. Sandi jadi gelisah sendiri. "O
Anita menjadi panik. Refleks ia meletakkan tas yang dijinjingnya begitu saja dan balik berputar, mengecek daun pintu. Benar saja kata Rama. Pintu itu tak bisa dibuka. Meski harus mengeluarkan seluruh tenaga, Anita tetap tak mampu membukanya. "Kenapa bisa begini? Sejak kapan pintu ini rusak?" tanya Anita makin panik. Ia masih berusaha menarik tuas pintu. "Bagaimana kita bisa keluar dari sini?" Anita membalik badan, melihat pada Rama. Pria itu hanya menatapnya dengan pandangan datar. Sama sekali tidak ada rasa cemas atau khawatir sama sekali. "Salah sendiri tidak membaca peringatan di luar," ujar Rama enteng. Anita berdecak, merutuki kecerobohannya sendiri. "Ayo bantu aku membuka pintu ini!" "Percuma! Sampai pingsan pun kau tak akan bisa membukanya." "Lalu bagaimana kita bisa keluar?" Akal Anita bergerak mencari car
Sandi pulang dalam keadaan lesu. Ia tidak menemukan Anita setelah mencarinya ke beberapa tempat. Bahkan di rumah perempuan itu, Sandi tidak menemukan keberadaan kekasihnya disana. Rumahnya dalam keadaan gelap, itu berarti Anita masih belum pulang.Sekarang Sandi berpikir, apakah kekasihnya itu sedang keluar dengan Rama, rivalnya. Sempat terbersit ingin meminta nomor telpon milik Rama, memastikan benarkah kalau Anita memang bersamanya. Tapi Sandi mengurungkan niat karena merasa tak enak hati. Hanya saja, hatinya dipenuhi rasa kecewa jika itu memang benar terjadi.Kenapa Anita tidak jujur? Kami bersaing secara adil. Secara sehat. Kenapa harus diam-diam tanpa memberitahuku lebih dulu? "Kau sudah pulang, Sayang?" Teguran itu membuat Sandi menoleh ke arah datangnya suara.Sandi yang awalnya ingin melangkah langsung menuju kamarnya jadi mengurungkan niat melihat ibundanya tengah sibuk di meja makan, me