“Tolong jawab aku, Mas,” lirihku menahan sesak di dalam sana.
Pria itu tampak menghela napas sebentar. “Atas dasar apa saya mengkhianati pernikahan kita? Saya memang ke rumah sakit jenguk Kinan, tapi gak seperti yang kamu bayangkan. Alasan kenapa saya gak jujur sama kamu karena saya tau itu akan menyakiti kamu, Serena. Saya tau ketakutan kamu sangat besar.”Aku menatapnya tak percaya. “Nyakitin aku? Justru kamu yang gak jujur kaya gini lebih nyakitin perasaan aku, Mas!”Mas Samuel memegang kedua tanganku. “Saya gak mungkin mengkhianati pernikahan kita, Serena. Kamu jauh lebih berharga dibanding Kinan.”Aku mengalihkan pandangan ke arah lain.“Selama ini, kesembuhan Kinan selalu jadi yang paling saya harapkan. Karena Anin. Saya melakukan ini semua demi Anin. Mau bagaimanapun, Anin butuh Kinan di hidupnya.”Tatapan kami bertemu. Ingin sekali kukatakan bahwa kebaikannya adalah sumber kesakitanku. Namun, aku tak berani mengatakan itu. Fakta yang kudengar barusan sudah menjawab semuanya.“Tolong jangan simpan aku di urutan paling belakang, Mas.”Dia memelukku tanpa permisi. “Maafkan saya, Serena. Maafkan saya.”Aku membalas pelukan itu sebagai tanda telah menerima permintaan maafnya. Sayangnya pelukan itu tak berlangsung lama. Mas Samuel lebih dulu menyudahi dan mengecup bibirku sekilas.“Besok saya ambil cuti.”“Cuti? Cuti untuk apa?” Aku sedikit menjauh darinya. “Aku gak mau denger kalau itu soal Mbak Kinan, ya, Mas.”“Besok rapat orang tua Anin.”Mas Samuel menatap dalam ke arahku seolah penjelasannya barusan adalah hal yang harus kupahami dengan tulus.“Kamu bisa temani saya ke sekolah?”Aku menyayangi Anin, tetapi entah kenapa sekarang rasanya begitu memuakkan. Apa pun yang berhubungan dengan Mbak Kinan, aku berubah jadi orang yang emosional.“Kamu terlalu ngegampangin aku, Mas.”Pria itu terlihat menghela napas. Dia mendekatiku, menatapku lama sebelum akhirnya berbicara. Omongan yang entah harus kutanggapi seperti apa.“Anin butuh sosok ibu. Dia gak dapetin itu dari Kinan, dan harapan satu-satunya saat ini cuma kamu.” Mas Samuel menatapku dengan tatapan serius. “Saya berharap banyak sama kamu Serena.”Aku menatap ke arah lain. Dia berharap banyak padaku? Lelucon apalagi kali ini, apa Mbak Kinan saja tak cukup membuat rumah tangga kami berantakan? Ah, rupanya tidak. Karena di sini hanya aku yang berperasaan. Hanya aku yang terlalu pemikir dan berharap Mas Samuel cukup fokus pada pernikahan kami, tetapi nyatanya tidak demikian.—Pukul tujuh pagi.Setelah percakapan tadi malam, aku memilih masuk kamar dan menghiraukan ajakannya. Namun, kulihat sekarang Mas Samuel sudah rapi dengan pakaian formalnya. Bukan salah lagi, pasti suamiku itu hendak menghadiri rapat orang tua Anin.“Mau ke mana?” tanyaku.Serena bodoh! Sudah tahu suamimu mau pergi ke sekolah Anin—anak mantan istrinya, masih saja bertanya. Ah, sialan. Memang ya, mulutku ini gatal kalau tak adu mulut dengan Mas Samuel.“Kamu lupa kalau hari ini kita sepakat ke sekolah Anin?”Dia mengikuti langkahku. “Serena saya lagi ngomong sama kamu.”Sontak langkahku langsung terhenti. Tak lama dari itu, kini posisi Mas Samuel sudah di depanku.“Sejak kapan aku sepakat ikut? Gak ada ya Mas. Kamu jangan ngarang cerita!”“Demi Anin.”Aku mundur satu langkah. “Aku gak bisa, Mas.”“Saya mohon, Serena.”Hening. Dingin pagi terasa begitu tak bersahabat. Badanku sedikit tak enak, sebab semalaman tak bisa tidur. Dan kini, apa yang harus kulakukan?“Kenapa harus aku?”Lama tak menjawab, lalu Mas Samuel memegang tanganku seolah meyakinkan. “Kamu ibunya Serena.”Ibu sambung, itu yang benar. Namun, aku malah mengalihkan pandangan ke arah lain. Aku harusnya tak bersikap seperti ini terhadap Anin, tetapi rasanya untuk menerima gadis itu layaknya anakku sendiri bukanlah hal yang mudah.“Maaf, aku tetap gak bisa, Mas.” Aku menatapnya datar. “Aku tau ini semua demi kebaikan, Anin. Aku paham semuanya, Mas. Semua yang kamu lakuin supaya Anin gak merasa kekurangan kasih sayang dari orang tuanya ‘kan? Tapi kamu bisa nolak, Mas. Anin bukan anak kandung kamu. Tolong jangan buat semuanya makin rumit.”“Anin sudah saya anggap sebagai anak sendiri. Tolong perlakukan Anin sebagai anak kamu juga. Saya mohon, Serena. Anin masih kecil. Saya gak mungkin nolak permintaannya. Anin anak kecil yang gak tau apa-apa. Tolong untuk kali ini jangan egois. Jangan buat Anin merasa kamu gak pernah menginginkan dia.”Aku menghela napas lelah. Percuma. Mau dijelaskan dari Sabang-Merauke pun Mas Samuel tetap pada pendiriannya. Pria itu akan terus berada di samping Anin, dia tak mungkin mau mendengarkan ucapanku.“Aku tetap gak bisa, Mas. Tolong jangan paksa aku kaya gini.”“Serena—““Berhenti bahas Anin ataupun Mbak Kinan, aku muak, Mas.” Kalimatku terjeda, “aku benci mereka. Aku benci mereka, Mas.” Dan kalimatku mengecil di akhir kalimat.Aku meninggalkannya. Namun, baru beberapa langkah pergi, suara dengan isi kalimat menyakitkan keluar dari mulutnya. Kakiku berubah kaku. Atmosfer aneh mulai menyeruak masuk ke dalam sana. Bahkan untuk berbalik badan saja rasanya tak sanggup.“Kamu keterlaluan, Serena.”Perasaanku hancur. Baru kemarin pria itu meyakinkanku, tetapi sekarang apa? Mas Samuel kembali membuatku ragu.“Kamu tanya apa hebatnya Kinan? Dia gak pernah melawan ucapan saya. Dia selalu patuh sama saya. Dia—““Apa? Apalagi, Mas? Apalagi hebatnya Mbak Kinan?” tanyaku menggebu-gebu.Ya, aku memberanikan diri menatap wajahnya. Ini yang paling aku tak suka jika pembicaraan kami isinya tentang Anin. Mas Samuel bisa berubah jadi monster dalam hitungan detik.“Apalagi hebatnya mantan kamu yang gak waras itu? Keluarin semuanya, Mas!” Aku terkekeh pelan. “Oh, jangan bilang perasaan kamu buat dia belum selesai, iya?”“Jaga ucapan kamu Serena!”Aku tidak kalah emosinya dengan Mas Samuel. Panas. Tak ada yang kalah ataupun mengalah. Kami sama-sama sedang membara.“Aku benci kamu, Mas.”Dengan rasa kekecewaan yang mendalam, aku berbalik arah menuju luar rumah. Burung yang sedang berkicau di pagi hari seolah menertawakan nasib rumah tangga majikannya. Aku terus berjalan. Mas Samuel ikut mengejar sampai keluar rumah.“Berhenti, Serena!”“Saya bilang berhenti Serena!”Aku mengikuti perintahnya. Membalikkan badan dan menatap nyalang ke arahnya.“Kamu yang berhenti, Mas!” ucapku tak mau kalah. “Berhenti buat aku jadi orang paling bodoh di sini!”“Kamu mau ke sekolah Anin, ‘kan? Sana pergi! Aku gak peduli, Mas.”“Masuk!” Dia menarik tanganku secara kasar.Namun, tiba-tiba seseorang menghentikan aktivitas kami yang sedang bertengkar. Seseorang itu tampak syok, tetapi tak lama langsung tersenyum lebar. Aku melihat kebahagiaan di matanya.“Mas Samuel,” panggil seseorang itu dari depan pekarangan rumah.Sudah beberapa hari ini, Mas Samuel rutin bertamu ke rumah Ibu. Entah apa tujuannya, tapi pria itu selalu saja menyempatkan waktu datang ke sini sekalipun baru pulang kerja. Ia juga membelikan banyak main untuk Sakti. Ah, perihal itu, aku sudah memberitahu Sakti. Semuanya, tanpa ada yang terlewat. Anak itu kesenangan sendiri, ia memang sempat tidak mau bicara padaku, tapi akhirnya dibujuk Mas Samuel hingga kini kami seperti keluarga. "Tumben Samuel belum datang? Biasanya dia jam 6 sudah ada di sini," ujar Ibu mengompori. Ya, biasanya Mas Samuel datang setiap jam 6 pagi ke sini. Ikut sarapan bersama kami dan setelahnya mengantar Sakti berangkat sekolah. Namun, sudah setengah 7 tapi batang hidung pria itu belum juga kelihatan. Aku sedikit, khawatir takut ia kenapa-kenapa. "Udah, dihabiskan dulu sarapannya. Kalau Samuel beneran nggak jemput Sakti, kamu bisa antar Sakti dulu. Ke butik bisa belakangan," ujar Ibu. Aku memang memutuskan kerja di butik Ibu. Aku dibimbing Ibu menjadi desai
1 Minggu kemudian. Di 1 Minggu ini, aku tidak banyak berjumpa dengan orang-orang sekitar. Semenjak pindah ke rumah ibu, waktuku dihabiskan bersama ibu dan Sakti. Aku juga telah mengurus beberapa surat kepindahan dan akhirnya saat ini aku bisa mendaftarkan Sakti ke TK. Soal panggilan dari Sky Group, aku memilih menolaknya. Waktu itu sempat tahap interview, tapi tidak jadi karena diriku memilih pergi. Aku—mungkin tidak akan bisa bekerja di bawah naungan Mas Samuel. "Kamu udah apply lamaran ke perusahaan, Mas?" tanya Mas Rifki yang pagi-pagi sudah ada di rumah Ibu. Pertanyaan itu langsung dapat anggukan dariku. Kami saat ini sedang sarapan bersama, Mas Rifki datang bersama istri dan anaknya hanya karena aku mendaftarkan Sakti ke TK di mana tempatnya sama dengan Sekolah Dasar Kenzo. Mbak Yuni menyahut, "Kamu jadi kerja di tempat Mas Rifki, Ser? Ngelamar posisi apa?" "Iya, bagian admin Mbak. Jalur referensi Mas Rifki. Katanya lagi ngebutuhin admin di sana," balasku apa adanya. Tiba
Suara dering ponsel mampu membangunkan tidur nyenyak 'ku. Panggilan itu berasal dari Reno. "Kenapa, Reno?" tanyaku bersandar di kepala ranjang. Kepalaku terasa berat. Mungkin efek mabuk semalam. "Di kantor ada Pak Rifki, Pak. Beliau menunggu di ruangan Bapak," jelas Reno. Aku mengerutkan kening. Untuk apa Rifki datang ke kantorku? "Saya segera ke sana," ucapku langsung memutus sambungan. Aku beranjak dari ranjang dengan kepala yang masih terasa pening. Namun, pandanganku tertuju kepada meja yang di atasnya terdapat lampu tidur. Di sana terdapat satu gelas air dengan sepucuk surat di bawahnya. > [Ini jamu yang bisa buat badan kamu lebih enakan. Jangan lupa diminum kalau sudah bangun. /from Serena]Aku tersenyum hangat membaca pesan tersebut. Kupikir perempuan itu marah karena semalam tanpa sadar aku telah membuatnya tidak berdaya di ranjang. Tanganku menggapai gelas tersebut dan meminumnya hingga tandas. Bentuk perhatiannya yang seperti membuatku makin yakin bahwa Serena hanya cu
Cekalan itu langsung terlepas ketika kami sampai di luar, tepatnya di depan mobil pria itu. Aku jadi tidak enak dengan Elmar yang masih di dalam. Pria itu pasti kecewa karena diriku pergi begitu saja tanpa mengucap sepatah kata. Saat kulihat, tatapan elang penuh amarah seketika tertuju padaku. Aku masih syok dengan kedatangannya yang di luar kendali. Apalagi melihat sorot matanya yang begitu menakutkan. Sehingga siapa pun yang melihatnya tidak berani menyapa, bahkan melirik saja mungkin tidak sampai. Setiap pergerakannya tidak lepas dari bola mataku. Meski aku takut sendiri, tapi pandanganku tidak bisa lepas darinya. Ia membuka jas yang menempel ditubuhnya, menyisakan kemeja putih sebagai pakaian yang kenakan. Tanpa diduga, jas hitam yang sempat ia copot tersebut beralih posisi sehingga kini aku yang memakai jas kebesaran itu. Tatapan kami bertemu. Tentu saja aku terkejut. Perhatiannya barusan membuat jantungku berdebar kencang. "Masuk," tegasnya berjalan lebih dulu ke arah mobil.
Saat ini, aku sedang mengobati luka Mas Samuel. Meski lukanya tidak cukup serius, tapi jika dibiarkan bisa jadi infeksi. Apalagi pukulan yang diberikan cukup keras sehingga sudut bibir pria itu sobek sedikit. Ah, soal Mas Rifki, ia sudah ditenangkan oleh Mbak Yuni. Aku menuangkan alkohol ke atas kapas, memegang dagu Mas Samuel tidak asa-asa. Pria itu meringis kala lukanya tidak sengaja ku tekan. Ini kedua kalinya aku melihat Mas Samuel terluka oleh kakakku, tapi soal rumah sakit. Apakah aku harus menanyakannya pada pria ini? "Tanya aja. Nggak usah ngeliatin saya kaya gitu," ucap Mas Samuel. Aku salah tingkah sendiri. Menurunkan tangan dari dagunya, lalu menatapnya lamat-lamat. "Yang dibilang Mas Rifki itu... benar?" tanyaku hati-hati. "Soal saya yang masuk rumah sakit karena kakak kamu?" Langsung kuberi anggukkan. "Soal itu, memang benar. Kejadiannya udah lama. Lagipula, saya masih hidup sampai sekarang. Jadi, pukulan Mas kamu nggak seberapa buat saya."Nggak seberapa bagaimana?
—Di dapurAku masih memikirkan ucapan Mbak Yuni. Entah kenapa hal itu malah menganggu konsentrasi. Mas Samuel dan Kinan tidak kembali. Dalam artian mereka tidak rujak atau menikah kembali. Apakah menutup telinga selama ini kesalahan terbesarku? "Serena?" Pikiranku saat ini penuh. Berbagai macam pertanyaan muncul di kepala. Tidak mungkin aku menyesal atas apa yang telah kupilih lima tahun yang lalu. Ya, tidak mungkin. Perasaan ini mungkin hanya sesaat saja. Perasaan memilukan karena tidak tahu bahwa nasib Mas Samuel justru lebih sulit dari dugaanku. "Astaga, Serena!" Aku tersentak. Buru-buru mematikan kompor. Menatap nanar ikan gosong di penggorengan. Miris. Bahkan ikan tersebut tidak ada yang bisa dimakan. Semuanya menghitam. "Kamu lagi mikirin apa coba? Masak kok malah ngelamun. Ikannya jadi gosong, kan," omel Ibu. Tatapku masih tertuju pada penggorengan di sana. Kecerobohanku lagi-lagi merugikan. Ibu terlihat marah juga khawatir. Aku tidak mengucapkan apa-apa, sebab masih syok