Share

Bab 3 Perihal Anin

Tarikan tangan itu terlepas. Tak hanya aku yang kebingungan, tetapi Mas Samuel juga. Aku melihat dengan jelas perempuan dengan kursi roda itu berjalan ke arah kami. Itu Mbak Kinan. Aku yakin betul. Namun, apa yang terjadi? Mengapa perempuan itu ada di sini?

Belum sempat Mbak Kinan sampai di hadapan kami, Mas Samuel sudah lebih dulu menghampiri. Aku terdiam. Mereka seperti pasangan suami-istri, antara khawatir dan rindu dalam satu waktu.

“Mas Samuel,” panggil Mbak Kinan.

Mas Samuel berjongkok, pria itu terlihat khawatir. “Kondisi kamu belum pulih, kenapa ke sini?”

“Aku udah sehat, Mas. Liat, aku udah bisa keluar. Kamu seneng nggk?”

Aku tak bisa melihat betul ekspresi apa yang Mas Samuel tampilkan ketika pertanyaan penuh harapan itu terlontar dari mulut Mbak Kinan. Namun, aku menyadari satu hal bahwa Mbak Kinan terlalu sulit digantikan.

“Lain kali kalau Kinan minta keluar, tolong kabarin saya, Nia.”

Suster Nia pun mengangguk. “Baik, Pak.”

“Aku mau ikut rapat, Mas.”

Aku muak. Kesal dan kecewa. Tak ingin mendengar lebih lanjut, dengan perasaan yang tak bisa didefinisikan aku melangkah mundur dan berbalik masuk ke dalam rumah.

Baru saja sampai kamar, dering ponsel mengalihkanku. Saat kulihat, ternyata panggilan itu berasal dari ponsel Mas Samuel. Ibu. Nama itu yang tertera di layar.

Dengan ragu kutekan tombol hijau pertanda panggilan dijawab.

“Halo Nak Samuel? Ibu sebentar lagi berangkat antar Anin ke sekolah. Maaf jadi merepotkan kamu, Anin bilang pengen sama Papanya. Kamu jadi datang ‘kan, Nak?” tanya wanita paruh baya itu yang kuyakini adalah orang tua Mbak Kinan.

Sambungan itu belum terputus, aku sengaja tak menjawab apa pun. Hening beberapa saat, tetapi tak lama dari itu aku mendengar suara anak kecil menginterupsi neneknya agar panggilan itu segera dialihkan kepadanya.

“Papa! Papa ini aku Anin! Papa, Anin kangen sama Papa. Anin tunggu di sekolah, ya!” ucap Anin kegirangan.

“Oh, iya, ajak Mama Serena juga ya Papa, Anin kangen Mama Serena.”

Hatiku tersentuh. Gadis kecil yang tak tahu apa-apa itu tak pantas terluka. Bohong kalau aku tak menyayanginya. Aku memang membenci Mbak Kinan, tetapi tidak dengan Anin. Walau pada dasarnya, mereka sumber ketakutanku di pernikahan ini.

“Anin .... “

“Mama Serena!” pekiknya kegirangan. “Anin kangen Mama. Hari ini pulang dari sekolah kita jalan-jalan, ya? Tapi jangan bilang-bilang Papa, biar kejutan, hehe.”

Aku tersenyum kala mendengar ucapannya. Anin tumbuh menjadi anak yang baik. Kalau kalian ingin tahu, Anin masih TK. Anak itu lima hari lagi menginjak usia enam tahun. Entah apa yang akan terjadi di lima hari yang akan datang itu.

“Mama Serena kok diam aja? Gak mau ya jalan-jalan sama Anin?” tanyanya lembut.

Aku mendengar kesedihan dari sana, lantas berpikir jika saja pernikahan kami segera dikaruniai anak, apakah Mas Samuel bisa lepas dari Mbak Kinan? Walau sebenarnya tak masalah Anin bersama kami.

“Anin .... “ Sengaja kuberi jeda. Entah kata apa yang pas agar Anin memahami dan penolakanku nanti tak menyakitinya.

“Kenapa, Ma?” jawabnya cepat.

“Mama—“

“Halo kesayangan Papa,” ucap Mas Samuel yang tiba-tiba saja muncul dan merebut ponsel dari tanganku.

“Papa! Anin kangen!”

“Papa juga, Sayang. Anin udah siap-siap belum? Ini Papa sama Mama sebentar lagi jalan.” Mas Samuel tersenyum licik ke arahku.

Sialan. Kalau begini caranya, aku tak bisa berbuat apa-apa. Jika tak datang, Anin pasti kecewa. Anak itu juga moody-an. Ah, Mas Samuel keparat memang!

“Papa, Anin berangkat sekarang!” katanya kelewat senang.

Kurasa panggilan itu beralih ke si pemilik ponsel.

“Makasih ya Nak Samuel, maaf harus merepotkan kamu lagi.”

“Gak apa-apa, Bu. Ibu sama Anin hati-hati di jalan, saya sama Serena segera ke sekolah.”

Dan panggilan itu terputus dari sana.

“Aku gak mau dan gak akan ikut.”

Dia malah menatapku tajam. “Kamu mau bikin Anin sedih?”

“Mas!”

“Untuk hari ini, tolong turunin ego kamu. Setidaknya demi Anin.”

Demi Anin? Hei, pria itu tak salah bicara? Jelas-jelas di bawah ada Mbak Kinan, lantas mengapa masih aku yang dia buru? Pertanyaan untuk apa?

“Kamu kalau mau mempermalukan aku gak kaya gini caranya, Mas.”

Aku menatap dalam matanya. Berharap dia mengerti kondisi dan posisiku.

“Gak ada waktu buat kita berantem. Sebentar lagi jam delapan, kamu gak mungkin biarin Anin sendirian di sekolah sedangkan yang lain sama orang tuanya ‘kan? Saya tau kamu gak setega itu, Serena.”

Aku menghela napas kasar. Iya, Mas Samuel terlalu menyayangi Anin, mungkin jika bahaya menimpa anak tersebut, Mas Samuel rela mati untuknya. Dia sosok ayah sempurna bagi Anin, tetapi tidak dengan status suaminya terhadapku.

“Terus gimana sama Mbak Kinan? Dia ibunya, Mas. Kalian berdua lebih berhak. Sedangkan, aku? Aku Cuma orang asing.”

“Kamu bukan orang asing, Serena. Kamu istri saya, juga ibu Anin.”

Sosoknya begitu hangat. Ucapannya memang kerap kali menenangkan, tetapi aku bukan orang pertama yang selalu dia prioritaskan. Aku selalu di belakang. Tertinggal jauh dari Mbak Kinan.

“Aku lebih baik di rumah, Mas.”

Lebih tepatnya, aku takut menjadi orang asing yang terlihat malang menyaksikan keluarga itu kembali harmonis. Aku tak sanggup membayangkan bagaimana hatiku hancur mendapati keadaan suamiku lebih bahagia bersama mantan istrinya.

“Nggk, kamu harus ikut. Cepat siap-siap, saya tunggu di luar.” Dia mengambil kunci mobil, lalu berjalan menjauh.

“Mas,” panggilku.

Dia menghentikan langkahnya.

“Ini bukan hanya tentang Anin, Mas. Tapi tentang diri aku sendiri.”

Tatapan kami bertemu usai dia membalikkan badannya.

“Sejauh ini, aku selalu bertanya-tanya kenapa harus Mbak Kinan yang lebih dulu hadir di hidup kamu. Kenapa bukan aku? Kenapa aku selalu ada di belakang, sedangkan Mbak Kinan yang bukan lagi tanggung jawab kamu selalu jadi yang pertama. It’s hurt, Mas.”

Aku memejamkan mata sebentar, lalu kembali kutatap wajah tak terbaca milik Mas Samuel.

“Serena .... “

Tiba-tiba ucapan itu terhenti kala panggilan telepon berbunyi dari saku celana milik suamiku.

“Ibu,” katanya seolah memberitahuku.

“Hal—“

“Papa! Papa di mana? Anin udah sampai di sekolah, tapi Papa gak ada. Papa jadi datang ‘kan?”

Suara cempreng milik Anin bisa kudengar jelas karena Mas Samuel sengaja mengaktifkan speaker.

“Iya, Papa sebentar lagi sampai. Kamu tunggu di kelas, ya? Jangan ke mana-mana.”

“Siap, Papa! Papa, papa, HP-nya kasih ke Mama Serena dong, Anin mau ngomong sama Mama.”

“Kenapa, Anin?” tanyaku usai lama terdiam.

“Mama Serena tadi Anin ketemu Om Bayu, terus Anin dikasih cokelat. Nanti kita makan bareng, ya, Ma? Tapi jangan bilang-bilang Papa, Anin takut dimarahin.” Anin terkekeh pelan di akhir kalimat.

Aku tersenyum paksa. “Iya, nanti kita makan bareng cokelatnya, ya.”

“Ih, Mama ngomongnya pelan-pelan, nanti Papa dengar bahaya.”

“Papa sama Mama lagi di jalan, ditutup dulu teleponnya, ya, Sayang.”

Panggilan itu sengaja diakhiri oleh Mas Samuel.

“Kamu jauh di atas Kinan, Serena. Kamu istri saya dan selamanya akan seperti itu.”

“Siap-siap saya tunggu di bawah.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status