Share

Bab 3 Perihal Anin

Author: Nona Enci
last update Huling Na-update: 2023-10-27 15:06:41

Tarikan tangan itu terlepas. Tak hanya aku yang kebingungan, tetapi Mas Samuel juga. Aku melihat dengan jelas perempuan dengan kursi roda itu berjalan ke arah kami. Itu Mbak Kinan. Aku yakin betul. Namun, apa yang terjadi? Mengapa perempuan itu ada di sini?

Belum sempat Mbak Kinan sampai di hadapan kami, Mas Samuel sudah lebih dulu menghampiri. Aku terdiam. Mereka seperti pasangan suami-istri, antara khawatir dan rindu dalam satu waktu.

“Mas Samuel,” panggil Mbak Kinan.

Mas Samuel berjongkok, pria itu terlihat khawatir. “Kondisi kamu belum pulih, kenapa ke sini?”

“Aku udah sehat, Mas. Liat, aku udah bisa keluar. Kamu seneng nggk?”

Aku tak bisa melihat betul ekspresi apa yang Mas Samuel tampilkan ketika pertanyaan penuh harapan itu terlontar dari mulut Mbak Kinan. Namun, aku menyadari satu hal bahwa Mbak Kinan terlalu sulit digantikan.

“Lain kali kalau Kinan minta keluar, tolong kabarin saya, Nia.”

Suster Nia pun mengangguk. “Baik, Pak.”

“Aku mau ikut rapat, Mas.”

Aku muak. Kesal dan kecewa. Tak ingin mendengar lebih lanjut, dengan perasaan yang tak bisa didefinisikan aku melangkah mundur dan berbalik masuk ke dalam rumah.

Baru saja sampai kamar, dering ponsel mengalihkanku. Saat kulihat, ternyata panggilan itu berasal dari ponsel Mas Samuel. Ibu. Nama itu yang tertera di layar.

Dengan ragu kutekan tombol hijau pertanda panggilan dijawab.

“Halo Nak Samuel? Ibu sebentar lagi berangkat antar Anin ke sekolah. Maaf jadi merepotkan kamu, Anin bilang pengen sama Papanya. Kamu jadi datang ‘kan, Nak?” tanya wanita paruh baya itu yang kuyakini adalah orang tua Mbak Kinan.

Sambungan itu belum terputus, aku sengaja tak menjawab apa pun. Hening beberapa saat, tetapi tak lama dari itu aku mendengar suara anak kecil menginterupsi neneknya agar panggilan itu segera dialihkan kepadanya.

“Papa! Papa ini aku Anin! Papa, Anin kangen sama Papa. Anin tunggu di sekolah, ya!” ucap Anin kegirangan.

“Oh, iya, ajak Mama Serena juga ya Papa, Anin kangen Mama Serena.”

Hatiku tersentuh. Gadis kecil yang tak tahu apa-apa itu tak pantas terluka. Bohong kalau aku tak menyayanginya. Aku memang membenci Mbak Kinan, tetapi tidak dengan Anin. Walau pada dasarnya, mereka sumber ketakutanku di pernikahan ini.

“Anin .... “

“Mama Serena!” pekiknya kegirangan. “Anin kangen Mama. Hari ini pulang dari sekolah kita jalan-jalan, ya? Tapi jangan bilang-bilang Papa, biar kejutan, hehe.”

Aku tersenyum kala mendengar ucapannya. Anin tumbuh menjadi anak yang baik. Kalau kalian ingin tahu, Anin masih TK. Anak itu lima hari lagi menginjak usia enam tahun. Entah apa yang akan terjadi di lima hari yang akan datang itu.

“Mama Serena kok diam aja? Gak mau ya jalan-jalan sama Anin?” tanyanya lembut.

Aku mendengar kesedihan dari sana, lantas berpikir jika saja pernikahan kami segera dikaruniai anak, apakah Mas Samuel bisa lepas dari Mbak Kinan? Walau sebenarnya tak masalah Anin bersama kami.

“Anin .... “ Sengaja kuberi jeda. Entah kata apa yang pas agar Anin memahami dan penolakanku nanti tak menyakitinya.

“Kenapa, Ma?” jawabnya cepat.

“Mama—“

“Halo kesayangan Papa,” ucap Mas Samuel yang tiba-tiba saja muncul dan merebut ponsel dari tanganku.

“Papa! Anin kangen!”

“Papa juga, Sayang. Anin udah siap-siap belum? Ini Papa sama Mama sebentar lagi jalan.” Mas Samuel tersenyum licik ke arahku.

Sialan. Kalau begini caranya, aku tak bisa berbuat apa-apa. Jika tak datang, Anin pasti kecewa. Anak itu juga moody-an. Ah, Mas Samuel keparat memang!

“Papa, Anin berangkat sekarang!” katanya kelewat senang.

Kurasa panggilan itu beralih ke si pemilik ponsel.

“Makasih ya Nak Samuel, maaf harus merepotkan kamu lagi.”

“Gak apa-apa, Bu. Ibu sama Anin hati-hati di jalan, saya sama Serena segera ke sekolah.”

Dan panggilan itu terputus dari sana.

“Aku gak mau dan gak akan ikut.”

Dia malah menatapku tajam. “Kamu mau bikin Anin sedih?”

“Mas!”

“Untuk hari ini, tolong turunin ego kamu. Setidaknya demi Anin.”

Demi Anin? Hei, pria itu tak salah bicara? Jelas-jelas di bawah ada Mbak Kinan, lantas mengapa masih aku yang dia buru? Pertanyaan untuk apa?

“Kamu kalau mau mempermalukan aku gak kaya gini caranya, Mas.”

Aku menatap dalam matanya. Berharap dia mengerti kondisi dan posisiku.

“Gak ada waktu buat kita berantem. Sebentar lagi jam delapan, kamu gak mungkin biarin Anin sendirian di sekolah sedangkan yang lain sama orang tuanya ‘kan? Saya tau kamu gak setega itu, Serena.”

Aku menghela napas kasar. Iya, Mas Samuel terlalu menyayangi Anin, mungkin jika bahaya menimpa anak tersebut, Mas Samuel rela mati untuknya. Dia sosok ayah sempurna bagi Anin, tetapi tidak dengan status suaminya terhadapku.

“Terus gimana sama Mbak Kinan? Dia ibunya, Mas. Kalian berdua lebih berhak. Sedangkan, aku? Aku Cuma orang asing.”

“Kamu bukan orang asing, Serena. Kamu istri saya, juga ibu Anin.”

Sosoknya begitu hangat. Ucapannya memang kerap kali menenangkan, tetapi aku bukan orang pertama yang selalu dia prioritaskan. Aku selalu di belakang. Tertinggal jauh dari Mbak Kinan.

“Aku lebih baik di rumah, Mas.”

Lebih tepatnya, aku takut menjadi orang asing yang terlihat malang menyaksikan keluarga itu kembali harmonis. Aku tak sanggup membayangkan bagaimana hatiku hancur mendapati keadaan suamiku lebih bahagia bersama mantan istrinya.

“Nggk, kamu harus ikut. Cepat siap-siap, saya tunggu di luar.” Dia mengambil kunci mobil, lalu berjalan menjauh.

“Mas,” panggilku.

Dia menghentikan langkahnya.

“Ini bukan hanya tentang Anin, Mas. Tapi tentang diri aku sendiri.”

Tatapan kami bertemu usai dia membalikkan badannya.

“Sejauh ini, aku selalu bertanya-tanya kenapa harus Mbak Kinan yang lebih dulu hadir di hidup kamu. Kenapa bukan aku? Kenapa aku selalu ada di belakang, sedangkan Mbak Kinan yang bukan lagi tanggung jawab kamu selalu jadi yang pertama. It’s hurt, Mas.”

Aku memejamkan mata sebentar, lalu kembali kutatap wajah tak terbaca milik Mas Samuel.

“Serena .... “

Tiba-tiba ucapan itu terhenti kala panggilan telepon berbunyi dari saku celana milik suamiku.

“Ibu,” katanya seolah memberitahuku.

“Hal—“

“Papa! Papa di mana? Anin udah sampai di sekolah, tapi Papa gak ada. Papa jadi datang ‘kan?”

Suara cempreng milik Anin bisa kudengar jelas karena Mas Samuel sengaja mengaktifkan speaker.

“Iya, Papa sebentar lagi sampai. Kamu tunggu di kelas, ya? Jangan ke mana-mana.”

“Siap, Papa! Papa, papa, HP-nya kasih ke Mama Serena dong, Anin mau ngomong sama Mama.”

“Kenapa, Anin?” tanyaku usai lama terdiam.

“Mama Serena tadi Anin ketemu Om Bayu, terus Anin dikasih cokelat. Nanti kita makan bareng, ya, Ma? Tapi jangan bilang-bilang Papa, Anin takut dimarahin.” Anin terkekeh pelan di akhir kalimat.

Aku tersenyum paksa. “Iya, nanti kita makan bareng cokelatnya, ya.”

“Ih, Mama ngomongnya pelan-pelan, nanti Papa dengar bahaya.”

“Papa sama Mama lagi di jalan, ditutup dulu teleponnya, ya, Sayang.”

Panggilan itu sengaja diakhiri oleh Mas Samuel.

“Kamu jauh di atas Kinan, Serena. Kamu istri saya dan selamanya akan seperti itu.”

“Siap-siap saya tunggu di bawah.”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (2)
goodnovel comment avatar
PiMary
Hufftt....perdebatan diwaktu yg salah,ya udah sih turutin dulu ke sekolah Anin,whatever will be,will be....
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
udah jadi istri tolol,baper banyak bacot dan banyak drama lagi. kamu terlalu nyampah serena.
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Mantan Suami Ingin Cintaku Kembali    Bab 127 Hidup Bersamamu (Tamat)

    Sudah beberapa hari ini, Mas Samuel rutin bertamu ke rumah Ibu. Entah apa tujuannya, tapi pria itu selalu saja menyempatkan waktu datang ke sini sekalipun baru pulang kerja. Ia juga membelikan banyak main untuk Sakti. Ah, perihal itu, aku sudah memberitahu Sakti. Semuanya, tanpa ada yang terlewat. Anak itu kesenangan sendiri, ia memang sempat tidak mau bicara padaku, tapi akhirnya dibujuk Mas Samuel hingga kini kami seperti keluarga. "Tumben Samuel belum datang? Biasanya dia jam 6 sudah ada di sini," ujar Ibu mengompori. Ya, biasanya Mas Samuel datang setiap jam 6 pagi ke sini. Ikut sarapan bersama kami dan setelahnya mengantar Sakti berangkat sekolah. Namun, sudah setengah 7 tapi batang hidung pria itu belum juga kelihatan. Aku sedikit, khawatir takut ia kenapa-kenapa. "Udah, dihabiskan dulu sarapannya. Kalau Samuel beneran nggak jemput Sakti, kamu bisa antar Sakti dulu. Ke butik bisa belakangan," ujar Ibu. Aku memang memutuskan kerja di butik Ibu. Aku dibimbing Ibu menjadi desai

  • Mantan Suami Ingin Cintaku Kembali    Bab 126 Perjalanan Hidup

    1 Minggu kemudian. Di 1 Minggu ini, aku tidak banyak berjumpa dengan orang-orang sekitar. Semenjak pindah ke rumah ibu, waktuku dihabiskan bersama ibu dan Sakti. Aku juga telah mengurus beberapa surat kepindahan dan akhirnya saat ini aku bisa mendaftarkan Sakti ke TK. Soal panggilan dari Sky Group, aku memilih menolaknya. Waktu itu sempat tahap interview, tapi tidak jadi karena diriku memilih pergi. Aku—mungkin tidak akan bisa bekerja di bawah naungan Mas Samuel. "Kamu udah apply lamaran ke perusahaan, Mas?" tanya Mas Rifki yang pagi-pagi sudah ada di rumah Ibu. Pertanyaan itu langsung dapat anggukan dariku. Kami saat ini sedang sarapan bersama, Mas Rifki datang bersama istri dan anaknya hanya karena aku mendaftarkan Sakti ke TK di mana tempatnya sama dengan Sekolah Dasar Kenzo. Mbak Yuni menyahut, "Kamu jadi kerja di tempat Mas Rifki, Ser? Ngelamar posisi apa?" "Iya, bagian admin Mbak. Jalur referensi Mas Rifki. Katanya lagi ngebutuhin admin di sana," balasku apa adanya. Tiba

  • Mantan Suami Ingin Cintaku Kembali    Bab 125 Meminta Restu

    Suara dering ponsel mampu membangunkan tidur nyenyak 'ku. Panggilan itu berasal dari Reno. "Kenapa, Reno?" tanyaku bersandar di kepala ranjang. Kepalaku terasa berat. Mungkin efek mabuk semalam. "Di kantor ada Pak Rifki, Pak. Beliau menunggu di ruangan Bapak," jelas Reno. Aku mengerutkan kening. Untuk apa Rifki datang ke kantorku? "Saya segera ke sana," ucapku langsung memutus sambungan. Aku beranjak dari ranjang dengan kepala yang masih terasa pening. Namun, pandanganku tertuju kepada meja yang di atasnya terdapat lampu tidur. Di sana terdapat satu gelas air dengan sepucuk surat di bawahnya. > [Ini jamu yang bisa buat badan kamu lebih enakan. Jangan lupa diminum kalau sudah bangun. /from Serena]Aku tersenyum hangat membaca pesan tersebut. Kupikir perempuan itu marah karena semalam tanpa sadar aku telah membuatnya tidak berdaya di ranjang. Tanganku menggapai gelas tersebut dan meminumnya hingga tandas. Bentuk perhatiannya yang seperti membuatku makin yakin bahwa Serena hanya cu

  • Mantan Suami Ingin Cintaku Kembali    Bab 124 Kelewat Mabuk

    Cekalan itu langsung terlepas ketika kami sampai di luar, tepatnya di depan mobil pria itu. Aku jadi tidak enak dengan Elmar yang masih di dalam. Pria itu pasti kecewa karena diriku pergi begitu saja tanpa mengucap sepatah kata. Saat kulihat, tatapan elang penuh amarah seketika tertuju padaku. Aku masih syok dengan kedatangannya yang di luar kendali. Apalagi melihat sorot matanya yang begitu menakutkan. Sehingga siapa pun yang melihatnya tidak berani menyapa, bahkan melirik saja mungkin tidak sampai. Setiap pergerakannya tidak lepas dari bola mataku. Meski aku takut sendiri, tapi pandanganku tidak bisa lepas darinya. Ia membuka jas yang menempel ditubuhnya, menyisakan kemeja putih sebagai pakaian yang kenakan. Tanpa diduga, jas hitam yang sempat ia copot tersebut beralih posisi sehingga kini aku yang memakai jas kebesaran itu. Tatapan kami bertemu. Tentu saja aku terkejut. Perhatiannya barusan membuat jantungku berdebar kencang. "Masuk," tegasnya berjalan lebih dulu ke arah mobil.

  • Mantan Suami Ingin Cintaku Kembali    Bab 123 Di Antara Dua Pilihan

    Saat ini, aku sedang mengobati luka Mas Samuel. Meski lukanya tidak cukup serius, tapi jika dibiarkan bisa jadi infeksi. Apalagi pukulan yang diberikan cukup keras sehingga sudut bibir pria itu sobek sedikit. Ah, soal Mas Rifki, ia sudah ditenangkan oleh Mbak Yuni. Aku menuangkan alkohol ke atas kapas, memegang dagu Mas Samuel tidak asa-asa. Pria itu meringis kala lukanya tidak sengaja ku tekan. Ini kedua kalinya aku melihat Mas Samuel terluka oleh kakakku, tapi soal rumah sakit. Apakah aku harus menanyakannya pada pria ini? "Tanya aja. Nggak usah ngeliatin saya kaya gitu," ucap Mas Samuel. Aku salah tingkah sendiri. Menurunkan tangan dari dagunya, lalu menatapnya lamat-lamat. "Yang dibilang Mas Rifki itu... benar?" tanyaku hati-hati. "Soal saya yang masuk rumah sakit karena kakak kamu?" Langsung kuberi anggukkan. "Soal itu, memang benar. Kejadiannya udah lama. Lagipula, saya masih hidup sampai sekarang. Jadi, pukulan Mas kamu nggak seberapa buat saya."Nggak seberapa bagaimana?

  • Mantan Suami Ingin Cintaku Kembali    Bab 122 Kalut

    —Di dapurAku masih memikirkan ucapan Mbak Yuni. Entah kenapa hal itu malah menganggu konsentrasi. Mas Samuel dan Kinan tidak kembali. Dalam artian mereka tidak rujak atau menikah kembali. Apakah menutup telinga selama ini kesalahan terbesarku? "Serena?" Pikiranku saat ini penuh. Berbagai macam pertanyaan muncul di kepala. Tidak mungkin aku menyesal atas apa yang telah kupilih lima tahun yang lalu. Ya, tidak mungkin. Perasaan ini mungkin hanya sesaat saja. Perasaan memilukan karena tidak tahu bahwa nasib Mas Samuel justru lebih sulit dari dugaanku. "Astaga, Serena!" Aku tersentak. Buru-buru mematikan kompor. Menatap nanar ikan gosong di penggorengan. Miris. Bahkan ikan tersebut tidak ada yang bisa dimakan. Semuanya menghitam. "Kamu lagi mikirin apa coba? Masak kok malah ngelamun. Ikannya jadi gosong, kan," omel Ibu. Tatapku masih tertuju pada penggorengan di sana. Kecerobohanku lagi-lagi merugikan. Ibu terlihat marah juga khawatir. Aku tidak mengucapkan apa-apa, sebab masih syok

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status