Share

Bab 4 Luka Baru

Setelah bersiap-siap, aku menghampiri mereka, lalu tersenyum tipis. Mbak Kinan melihatku dan menyapaku dengan gestur tubuhnya. Di sana masih ada suster Nia yang menemani.

“Kita berangkat sekarang aja,” ucap Mas Samuel langsung berdiri dari duduknya.

Tiba-tiba Mbak Kinan menatapku seolah ada yang salah dalam diriku. Tatapan aneh yang aku saja tak tahu artinya apa.

“Kamu terlihat cantik Serena,” ucap Mbak Kinan.

Aku tak meresponsnya. Baik itu lewat senyuman atau yang lain, aku tak memberikan reaksi apa-apa. Diam adalah jawabanku.

“Gimana kabar kamu?” tanyanya.

“Kita bisa telat ke sekolah Anin, Mas,” ucapku sengaja mengalihkan pembicaraan.

Sontak Mas Samuel melirik arloji di tangannya. “Kinan, kamu mau bareng kami atau sama sopir?”

Lalu suster Nia angkat suara. “Maaf, Pak. Bu Kinan tidak diizinkan bepergian lebih dari satu jam, mengingat sekarang kondisinya sedang masa pemulihan.”

“Mau saya antar ke rumah sakit?” tanya Mas Samuel begitu peduli.

“Kami bersama sopir, Pak,” jawab Suster Nia, lagi.

Mas Samuel kembali mensejejerkan posisinya dengan Mbak Kinan. Kuhela napas lelah, astaga drama apalagi yang harus kutonton dari pasangan yang sudah berpisah ini?

“Kinan, saya tau kondisi kamu seperti apa. Setelah ini, kamu jangan pergi ke mana-mana lagi, ya. Pulang dari rapat saya janji bawa Anin ketemu kamu.”

“Janji?”

Mas Samuel mengangguk. “Kamu harus nurut apa kata dokter, ya?”

“Aku mau ketemu Anin. Aku mau ketemu Anin, Mas!”

“Hei, tenang. Kinan kamu harus dengerin apa kata saya. Tarik napas, buang pelan-pelan.” Mbak Kinan menirukan apa yang Mas Samuel bilang. “Tenang. Kamu harus bisa kontrol emosi. Saya janji bawa Anin ketemu kamu. Kamu percaya sama saya, ‘kan?”

Mbak Kinan mengangguk cepat.

“Bagus.” Mas Samuel mengelus lembut rambut mantan istrinya.

Aku yang melihat itu muak sendiri. Apa aku ini sedang cemburu?

“Nia, tolong kamu bawa Kinan kembali ke rumah sakit. Kabari saya kalau udah sampai.”

“Baik, Pak.”

Setelah drama panjang yang membuat telinga panas, akhirnya kami memutuskan pergi ke sekolah Anin. Mbak Kinan? Perempuan itu kembali ke rumah sakit sebelum jam keluar habis. Sepanjang jalan, aku bersama Mas Samuel saling diam di dalam mobil.

Sesampainya di sekolah. Dengan lumayan tergesa, Mas Samuel berjalan ke arah kelas Anin dan aku mengikutinya dari belakang. Melihat itu aku sedikit terenyuh, entah kenapa.

“Aku di luar aja Mas, kamu yang masuk ke dalam.”

Tanpa memedulikan ucapanku, Mas Samuel langsung membawaku masuk ke dalam kelas. Untung belum ada guru dan rapat pun belum dimulai. Aku melihat Anin di sana, anak itu tampak senang dan sontak berdiri.

“Papa, Mama! Anin di sini!” teriak Anin.

Kami pun memutuskan menghampiri Anin. Setelahnya rapat dimulai dan berakhir pada pukul sembilan lebih lima belas menit.

“Papa, Anin mau jalan-jalan dulu boleh?” tanya Anin menatap wajah ayahnya.

“Boleh dong, Princess-nya Papa mau jalan-jalan ke mana?”

Aku melihatnya begitu iri. Tangan mungil Anin tak lepas dari jari-jemari Mas Samuel. Mereka tampak seperti anak dan ayah yang sosweet. Aku tersenyum tipis menyadarinya.

“Mam—“ Anin menoleh ke samping dan berhenti menyadari aku berjalan di belakang mereka. “Mama kok di belakang si? Sini pegangan juga sama Anin.”

Aku pun mengikuti apa yang Anin inginkan.

“Memangnya Anin mau pergi ke mana?” tanyaku.

“Em ... kalau Anin beli kucing ... boleh, Ma?” tanyanya memandang wajahku tulus.

Aku menatap Mas Samuel sebentar, lalu mengeratkan genggaman dengan Anin. “Boleh, dong. Anin suka kucing apa?”

“Anggora! Anin suka sama Kucing Anggora, bulunya lucu, bisa dipeluk.” Anin tampak murung sebentar. “Biar Anin punya teman di rumah, ” lanjutnya lirih.

“Kalau belajarnya udah selesai, Anin bisa main ke rumah Papa. Di rumah juga ada Mama Serena, Anin bisa kerjain PR di sana,” kata Mas Samuel mengusap puncak kepala Anin.

“Bener, Pa?” Hal itu diangguki Mas Samuel. “Mama Serena bisa ngerjain PR Anin?” tanyanya begitu antusias.

“Mama bisa bantu Anin,” ucapku membenarkan.

“Yey!! Anin seneng, deh. Makasih, Mama Serena!”

“Sekarang masuk mobil dulu, kita beli kucing yang Anin mau, ya.”

“Let’s go, Papa!” teriak Anin terlalu semangat.

Setelah perjalanan menuju tempat kucing yang Anin inginkan, akhirnya kami pun sampai. Di sana banyak berbagai kucing yang tentunya menggemaskan. Aku melihat kebahagiaan di raut wajah Anin. Sampai anak itu memilih dan meminta persetujuanku ingin kucing berwarna putih, itu terlihat bahwa Anin hanya gadis kecil yang seharusnya tumbuh di dampingi kedua orang tuanya.

Seusai itu, kami memutuskan pulang. Apakah pulang yang Mas Samuel maksud adalah ke rumah sakit menjenguk Mbak Kinan? Sebab, pria itu sudah janji.

“Anin kangen Bunda enggak?” tanya Mas Samuel tiba-tiba.

Anin yang berada di pangkuanku pun sontak menoleh ke arah Papanya. “Bunda Kinan?”

“Iya, Bunda Kinan mau ketemu Anin. Kalau kita jenguk Bunda, Anin mau ikut?”

Kuakui tutur kata Mas Samuel begitu lembut dan terkesan hati-hati. Terakhir kali ketemu dengan Mbak Kinan, Anin sampai ketakutan karena perempuan itu mendorong anaknya sendiri sampai jatuh. Mungkin itu sebabnya Mas Samuel tak ambil keputusan langsung pergi ke sana.

“Papa ... Bunda udah sembuh?”

Pertanyaan itu berhasil menggetarkan hatiku. Anin sebaik itu, sebab yang aku tahu anak itu beberapa kali menolak ke rumah sakit karena dia takut Bundanya marah. Namun, jauh di dalam sana, pasti Anin ingin Mbak Kinan cepat sembuh.

“Makanya kita harus jenguk Bunda biar Bunda cepat sembuh. Bunda pasti kangen Anin,” ucap Mas Samuel meyakinkan.

“Anin mau pulang ke rumah nenek,” tuturnya.

“Anin—“

“Mas.” Aku menegurnya, lalu menatap Anin prihatin. “Kita pulang ke rumah nenek, ya? Kasih tau nenek kalau Anin punya kucing bagus, oke?”

Anin mengangguk lirih dan obrolan kami menjadi hening hingga sesampainya kami di kediaman rumah orang tua Mbak Kinan.

“Anin masuk ke dalam duluan ya, kucingnya biar dibawa sama Pak Damar. Papa sama Mama nanti nyusul,” ucap Mas Samuel seraya mengecup kening Anin.

Anin mengangguk dan bergegas masuk ke dalam rumah ditemani Pak Damar yang membawa kucing Anggora milik nona kecilnya.

Ting!

Bunyi pesan masuk dari ponsel Mas Samuel.

“Siapa, Mas?” tanyaku.

“Suster Nia, dia bilang Kinan gak sabar ketemu Anin sampai diberi obat penenang karena hampir melukai dirinya sendiri.”

Mas Samuel menatapnya seolah ada sesuatu yang salah dalam diriku. “Kamu kenapa tadi nahan saya waktu bujuk Anin?”

“Anin keliatan belum siap, Mas.”

“Saya gak mau Anin terus-terusan menghindar dari Kinan. Mau gimanapun Kinan—“

“Ibu kandungnya? Iya, aku tau, Mas. Mbak Kinan memang ibu kandung Anin, tapi apa kamu gak liat ketakutan di mata Anin? Kita gak perlu buru-buru bawa Anin ketemu sama Mbak Kinan, mau gimanapun Anin masih kecil, Mas. Aku takut dia trauma.”

Tiba-tiba bunyi pesan kembali masuk.

“Kenapa, Mas?”

Seolah pertanyaanku hanya angin lalu, Mas Samuel pergi menuju ke arah mobil. Aku yang melihat itu langsung mengejarnya. Entah kenapa, perasaanku menjadi cemas sendiri.

“Mas, kamu mau ke mana?”

“Mas Samuel!”

“Ke rumah sakit, Serena!”

“Tapi Mbak Kinan udah dikasih obat penenang, Mas!”

Dia masuk ke mobil dan kembali meninggalkanku.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status