Beranda / Rumah Tangga / Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi / Bab 1: Tiga Hari yang Tersisa

Share

Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi
Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi
Penulis: Rizki Adinda

Bab 1: Tiga Hari yang Tersisa

Penulis: Rizki Adinda
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-25 12:06:08

"Cerai saja," suara Mahesa Pradana mengiris udara pagi seperti pisau dingin yang menggores tanpa ampun.

Kalimat itu jatuh begitu saja dari bibir tipisnya, tanpa jeda, tanpa perasaan. Lelaki tinggi tegap itu berdiri tegak membelakangi Nadira, menatap keluar jendela besar apartemen mereka di bilangan Sudirman.

Di balik kaca, Jakarta bergerak tanpa peduli, seperti denyut nadi yang tak pernah lelah, sementara dunia kecil mereka perlahan runtuh.

Di balik punggung Mahesa yang kokoh seperti dinding beton, Nadira Wulandaru berdiri kaku. Nafasnya pendek, seperti tersangkut di tenggorokan.

Matanya menatap bayangan Mahesa yang dipantulkan kaca, siluet yang dingin, nyaris beku. Jantungnya berdebar tak karuan, seakan tangan-tangan tak kasat mata meremasnya dengan paksa.

Jemarinya mengepal, bergetar menahan guncangan yang mulai menjalar ke sekujur tubuh.

Suara detik jam di dinding bergema, memecah keheningan di ruangan luas berlantai marmer putih, dihiasi lukisan-lukisan modern yang nyaris terlalu mahal untuk disentuh.

Udara pagi menyusup dari celah tirai krem yang setengah tertutup, membawa aroma samar kopi hangat yang tersisa dari sarapan mereka yang tak terselesaikan.

Mahesa perlahan berbalik. Sorot matanya tetap dingin, namun ketampanan klasik di wajahnya seperti tetap bersinar tanpa usaha.

Rahangnya yang tegas, hidung mancung sempurna, dan bibir tipis itu masih mampu membuat siapa pun terpukau, termasuk Nadira, bahkan dalam kehancuran hatinya sendiri.

“Tidak bisakah... tidak sekarang?” suara Nadira pecah, lirih, nyaris seperti bisikan doa yang sudah lama kehilangan keyakinan.

Matanya, bening dan besar, berkilat menahan genangan air yang mulai mengaburkan pandangannya. Ada harap yang bertahan, sekaligus putus asa yang merayap di sudut-sudut matanya.

Mahesa hanya mengerutkan kening. Sorot matanya menukik tajam, menusuk pupil Nadira. Sekilas, Nadira melihat kerutan halus di antara alis suaminya bertambah dalam.

Namun, bukan karena ragu. Lebih kepada... kesal.

Nadira memang cantik, dengan cara yang lembut dan tak mencolok. Wajahnya bersih tanpa cela, dihiasi tahi lalat mungil di sudut mata kiri yang selalu tampak manis ketika ia tersenyum.

Rambut hitam lurusnya mengalir sampai ke punggung, seperti sungai tenang di bawah rembulan. Sejak awal, itulah yang membuat Mahesa memilihnya.

Tenang, patuh, tidak menuntut. Bukan cinta, hanya kenyamanan.

Tiga tahun lalu, hidup Mahesa berubah. Kecelakaan mobil menghancurkan kakinya, membuatnya lumpuh dari pinggang ke bawah.

Kekasihnya, Naura, pergi meninggalkannya di tengah luka itu. Ibunya yang keras memaksanya menikahi perempuan yang bisa merawat sekaligus menenangkan pikirannya.

Nadira, seorang perawat muda tanpa banyak beban keluarga, masuk ke dalam hidup Mahesa seperti obat penenang yang manjur.

“Aku akan berikan dua miliar rupiah untuk semua yang telah kau lakukan selama ini,” ucap Mahesa datar, seolah sedang membicarakan jual beli properti.

“Atau kalau kau mau kompensasi lain...”

Nadira mengangkat wajahnya. Untuk pertama kalinya, suaranya memotong dinginnya kalimat Mahesa.

“Kenapa?” bibirnya bergetar, tapi di matanya muncul semburat perlawanan yang baru lahir. “Kenapa harus sekarang?”

Lusa adalah ulang tahun pernikahan mereka yang ketiga. Nadira sudah menyiapkan makan malam, memesan bunga favorit Mahesa, bahkan membeli dasi sutra baru yang sudah ia bungkus rapi.

Ia menggantungkan harapan di tiap persiapan itu, berharap mungkin kali ini Mahesa melihat dirinya.

Jawaban Mahesa menamparnya seperti embusan angin dingin yang kejam. “Kau tahu aku tak pernah mencintaimu. Naura sudah kembali. Aku akan menikahinya.”

Kata-kata itu meluruhkan sisa kekuatan di kaki Nadira. Ia hampir roboh. Dunia di sekelilingnya terasa menyusut, seakan ruangan megah itu kini hanya kotak sempit yang mencekiknya.

Tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Seorang pelayan muda berdiri di ambang pintu, sedikit membungkuk dengan wajah cemas.

“Tuan Pradana, Nona Levana muntah lagi... bahkan batuk berdarah.”

Untuk pertama kalinya, ada gerakan emosi di wajah Mahesa. Ia langsung melangkah cepat melewati Nadira, tak sempat menoleh.

Suara sepatunya beradu dengan lantai marmer, menggema seperti irama langkah yang hendak menjauhkan diri.

“Siapkan mobil. Kita ke rumah sakit.”

Beberapa menit kemudian, Mahesa muncul dari kamar tamu sambil menggendong Naura Levana.

Perempuan itu tampak rapuh dalam balutan selimut rajut buatan tangan Nadira sendiri. Wajah Naura pucat, bibirnya bergetar ketika berbisik lirih, “Mahesa... Nona Arum...”

Mahesa menoleh sebentar ke arah Nadira, seperti mengingat sesuatu yang baru saja ia tinggalkan.

“Pengacara akan mengurus perceraian kita. Kau punya tiga hari untuk pergi dari sini.”

Langkah mereka berdua menghilang melewati lorong panjang apartemen, meninggalkan Nadira berdiri sendirian di tangga marmer putih, seperti patung yang kehilangan makna.

Sebelum pintu lift menutup, Naura sempat menoleh. Di wajah pucatnya, terselip senyum tipis, angkuh, dan penuh kemenangan.

Seakan bisikan satu jam sebelumnya masih bergaung di telinga Nadira, “Aku sudah pindah ke sini. Ada baiknya kau serahkan dia kembali padaku.”

Di ruang hening itu, jam dinding berdetik pelan. Jakarta di luar sana tetap sibuk, seolah tak ada yang terjadi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi   Bab 12: Aroma Mawar di Tengah Badai

    Lantai marmer putih mengilap menyambut langkah-langkah Nadira yang mantap. Lorong kantor Wulandaru Group memanjang seperti galeri seni, dengan lukisan-lukisan modern abstrak menggantung di dindingnya, memantulkan cahaya lampu gantung kristal yang berkilau halus.Aroma samar lavender dari diffuser yang tersembunyi di sudut-sudut ruangan bercampur dengan wangi parfum mewah Nadira, menciptakan atmosfer elegan yang nyaris sakral.Para karyawan pura-pura tenggelam dalam layar komputer mereka, jemari menari di atas keyboard, tetapi mata mereka sesekali mencuri pandang.Ada gelombang kecil kekaguman yang bergetar di udara, seperti bisikan angin yang tak tertangkap telinga.“Wah, Bu Wulandaru itu memang punya aura luar biasa,” bisik seorang staf muda, suaranya nyaris seperti desis kagum.Hari itu, Nadira membungkus dirinya dalam jumpsuit biru navy yang jatuh pas mengikuti lekuk tubuhnya, mempertegas siluet ramping namun tegas.Bahannya b

  • Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi   Bab 11: Serangan Balasan

    "Nadira," suara Rafka terdengar nyaris seperti bisikan, nyaris tenggelam di antara deru samar AC yang tak lagi berfungsi."AC-nya sudah rusak beberapa hari ini. Kapan bisa bener? Dingin banget."Udara di ruang keluarga itu memang terasa ganjil, lembab sekaligus menggigit. Bau anyir dari karpet wol tua bercampur aroma kopi sisa pagi tadi, membuat suasana semakin tidak nyaman.Di tengah ruangan yang temaram, Nadira melangkah pelan, jemarinya membelai punggung kursi kulit sambil melemparkan senyum kecil, nyaris sinis."Aku bukan tukang servis. Mana aku tahu," sahutnya santai, seakan percakapan itu hanya angin lalu. Tawa pelannya terdengar seperti serpihan es yang jatuh ke lantai dingin.Ia berbalik, gaun tidurnya yang sutra mengibas lembut mengikuti gerakannya saat ia melangkah keluar ruangan, meninggalkan mereka dengan pikiran masing-masing.Tina berdiri di samping ayahnya, matanya menyipit, rahangnya mengeras. "Ayah, lihat sendiri kan sikap dia..."Suaranya penuh protes, telunjuknya me

  • Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi   Bab 10: Ini Rumahku

    Nadira menatap kosong layar ponselnya. Cahaya dari gawai itu memantul redup di mata lelahnya, memperjelas lingkaran gelap di bawah kelopak.Jemarinya sesekali menggulirkan berita yang sama: kabar pertunangan Mahesa dan Naura terpampang di mana-mana, seakan mengejeknya.Ia menghela napas, berusaha menepis rasa nyeri yang berdenyut di dadanya."Sudahlah, aku sudah move on," bisiknya, namun suara itu nyaris tak meyakinkan dirinya sendiri.Bayangan hari pernikahannya dengan Mahesa kembali menghantuinya. Hanya ruangan sempit KUA, tanpa hiasan, tanpa gaun putih, tanpa tamu, tanpa restu.Semuanya serba diam-diam. Bahkan surat nikah itu pun diurus sendiri, seperti menandatangani kontrak rahasia dengan takdir.Begitu kontras dibandingkan dengan pesta mewah Naura yang kini disorot media.Nadira menarik selimut tebal hingga ke dagu, mencoba mengurung dirinya dari hiruk pikuk dunia. Namun suara musik dari kamar sebelah justru mengoyak keheningan malam.Bass berdentum menghantam dinding tipis kont

  • Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi   Bab 9: Gaun yang Tak Pernah Kupilih

    "Bagaimana? Aku kelihatan cantik, Mahesa?" suara Naura melayang ringan, nyaris berbisik, di antara gemerlap lampu butik pengantin mewah di sudut Senopati.Di balik cermin besar berbingkai emas, bayangannya berputar anggun. Gaun putih itu jatuh mengikuti lekuk tubuhnya, menyisakan kilau samar dari manik-manik halus yang memantulkan cahaya temaram.Wajahnya berpendar, rona merah muda menyembul malu-malu dari pipi yang biasanya pucat. Sesekali jemarinya merapikan rambut ikal yang kini diluruskan rapi, seakan tiap helai helai rambut itu sudah dirundingkan dengan waktu.Ada kerlip antusiasme di matanya, meski di benaknya terselip secuil cemas.Mahesa hanya menatap. Sepasang matanya seperti menembus cermin, menembus Naura, dan berhenti di kenangan yang tak pernah benar-benar ia kubur.Nadira. Bayangannya menyeruak pelan. Senyum Nadira dulu selalu hadir, tulus dan sederhana, seperti embun pagi yang menempel di ujung dedaunan.Tapi akhir-akhir ini, embun itu perlahan menguap, tersapu panas ya

  • Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi   Bab 8: Retakan Halus

    Dengan tarikan paksa, Rafka memaksa sudut bibirnya melengkung menjadi senyum. Mata hitamnya berusaha menyalurkan ketulusan yang bahkan ia sendiri ragukan.“Nadira, beri kami sedikit waktu. Masih banyak hal yang harus kami benahi,” ucapnya dengan nada merendah, seperti aktor yang sudah berkali-kali memainkan peran ini di hadapan mendiang Arum.Di hadapannya, Nadira berdiri dengan anggun dingin. Cahaya lampu kristal di ruang tamu memantulkan kilaunya pada gaun satin lembut yang membalut tubuhnya.Senyumnya tak lebih dari bayangan tipis di ujung bibir, menyiratkan ejekan halus. Dulu, Rafka sempat berpikir bahwa Nadira dan ayahnya, Arum, adalah orang-orang berhati lapang, penuh welas asih.Tapi kenyataan menamparnya keras. Mereka bisa ramah, tentu, tetapi hanya ketika keadaan berpihak pada mereka.“Baiklah,” suara Nadira keluar lirih, seperti alunan biola di ujung kesabaran. “Aku beri kalian waktu.”Namun, di sudut hatinya yang beku, ia menanam benih lain. Waktu itu bukan hadiah, melainka

  • Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi   Bab 7: Badai Baru Dimulai

    Teriakan Aidan merobek keheningan malam, menggema di lorong panjang vila mewah itu. Udara pekat dengan aroma logam darah yang menguar dari pelipisnya yang robek.Tubuhnya sedikit gemetar, tapi sorot matanya mencoba bertahan, menatap sosok perempuan yang kini berdiri hanya beberapa langkah di depannya.Nadira melangkah perlahan, langkahnya mantap, nyaris angkuh. Gaun hitam sederhana yang membalut tubuhnya berkilau samar di bawah sorotan lampu gantung kristal.Bayangannya menari-nari di dinding marmer, seolah ikut menikmati kejatuhan lawan.“Nikmatin aja, Aidan,” ucapnya datar, nyaris berbisik, namun penuh racun. “Hari-hari indahmu sudah selesai.”Suara hak sepatunya beradu dengan lantai, mengiringi tatapannya yang dingin. Tanpa perlu menoleh, Nadira memberi isyarat kecil dengan tangannya.Dua pria berjas hitam yang sejak tadi berdiri tegak di sudut ruangan langsung bergerak. Tubuh Aidan diseret tanpa ampun, suara gesekan sepatu kulitnya meninggalkan jejak panjang di lantai mengilap.Na

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status