"Cerai saja," suara Mahesa Pradana mengiris udara pagi seperti pisau dingin yang menggores tanpa ampun.
Kalimat itu jatuh begitu saja dari bibir tipisnya, tanpa jeda, tanpa perasaan. Lelaki tinggi tegap itu berdiri tegak membelakangi Nadira, menatap keluar jendela besar apartemen mereka di bilangan Sudirman.
Di balik kaca, Jakarta bergerak tanpa peduli, seperti denyut nadi yang tak pernah lelah, sementara dunia kecil mereka perlahan runtuh.
Di balik punggung Mahesa yang kokoh seperti dinding beton, Nadira Wulandaru berdiri kaku. Nafasnya pendek, seperti tersangkut di tenggorokan.
Matanya menatap bayangan Mahesa yang dipantulkan kaca, siluet yang dingin, nyaris beku. Jantungnya berdebar tak karuan, seakan tangan-tangan tak kasat mata meremasnya dengan paksa.
Jemarinya mengepal, bergetar menahan guncangan yang mulai menjalar ke sekujur tubuh.
Suara detik jam di dinding bergema, memecah keheningan di ruangan luas berlantai marmer putih, dihiasi lukisan-lukisan modern yang nyaris terlalu mahal untuk disentuh.
Udara pagi menyusup dari celah tirai krem yang setengah tertutup, membawa aroma samar kopi hangat yang tersisa dari sarapan mereka yang tak terselesaikan.
Mahesa perlahan berbalik. Sorot matanya tetap dingin, namun ketampanan klasik di wajahnya seperti tetap bersinar tanpa usaha.
Rahangnya yang tegas, hidung mancung sempurna, dan bibir tipis itu masih mampu membuat siapa pun terpukau, termasuk Nadira, bahkan dalam kehancuran hatinya sendiri.
“Tidak bisakah... tidak sekarang?” suara Nadira pecah, lirih, nyaris seperti bisikan doa yang sudah lama kehilangan keyakinan.
Matanya, bening dan besar, berkilat menahan genangan air yang mulai mengaburkan pandangannya. Ada harap yang bertahan, sekaligus putus asa yang merayap di sudut-sudut matanya.
Mahesa hanya mengerutkan kening. Sorot matanya menukik tajam, menusuk pupil Nadira. Sekilas, Nadira melihat kerutan halus di antara alis suaminya bertambah dalam.
Namun, bukan karena ragu. Lebih kepada... kesal.
Nadira memang cantik, dengan cara yang lembut dan tak mencolok. Wajahnya bersih tanpa cela, dihiasi tahi lalat mungil di sudut mata kiri yang selalu tampak manis ketika ia tersenyum.
Rambut hitam lurusnya mengalir sampai ke punggung, seperti sungai tenang di bawah rembulan. Sejak awal, itulah yang membuat Mahesa memilihnya.
Tenang, patuh, tidak menuntut. Bukan cinta, hanya kenyamanan.
Tiga tahun lalu, hidup Mahesa berubah. Kecelakaan mobil menghancurkan kakinya, membuatnya lumpuh dari pinggang ke bawah.
Kekasihnya, Naura, pergi meninggalkannya di tengah luka itu. Ibunya yang keras memaksanya menikahi perempuan yang bisa merawat sekaligus menenangkan pikirannya.
Nadira, seorang perawat muda tanpa banyak beban keluarga, masuk ke dalam hidup Mahesa seperti obat penenang yang manjur.
“Aku akan berikan dua miliar rupiah untuk semua yang telah kau lakukan selama ini,” ucap Mahesa datar, seolah sedang membicarakan jual beli properti.
“Atau kalau kau mau kompensasi lain...”
Nadira mengangkat wajahnya. Untuk pertama kalinya, suaranya memotong dinginnya kalimat Mahesa.
“Kenapa?” bibirnya bergetar, tapi di matanya muncul semburat perlawanan yang baru lahir. “Kenapa harus sekarang?”
Lusa adalah ulang tahun pernikahan mereka yang ketiga. Nadira sudah menyiapkan makan malam, memesan bunga favorit Mahesa, bahkan membeli dasi sutra baru yang sudah ia bungkus rapi.
Ia menggantungkan harapan di tiap persiapan itu, berharap mungkin kali ini Mahesa melihat dirinya.
Jawaban Mahesa menamparnya seperti embusan angin dingin yang kejam. “Kau tahu aku tak pernah mencintaimu. Naura sudah kembali. Aku akan menikahinya.”
Kata-kata itu meluruhkan sisa kekuatan di kaki Nadira. Ia hampir roboh. Dunia di sekelilingnya terasa menyusut, seakan ruangan megah itu kini hanya kotak sempit yang mencekiknya.
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Seorang pelayan muda berdiri di ambang pintu, sedikit membungkuk dengan wajah cemas.
“Tuan Pradana, Nona Levana muntah lagi... bahkan batuk berdarah.”
Untuk pertama kalinya, ada gerakan emosi di wajah Mahesa. Ia langsung melangkah cepat melewati Nadira, tak sempat menoleh.
Suara sepatunya beradu dengan lantai marmer, menggema seperti irama langkah yang hendak menjauhkan diri.
“Siapkan mobil. Kita ke rumah sakit.”
Beberapa menit kemudian, Mahesa muncul dari kamar tamu sambil menggendong Naura Levana.
Perempuan itu tampak rapuh dalam balutan selimut rajut buatan tangan Nadira sendiri. Wajah Naura pucat, bibirnya bergetar ketika berbisik lirih, “Mahesa... Nona Arum...”
Mahesa menoleh sebentar ke arah Nadira, seperti mengingat sesuatu yang baru saja ia tinggalkan.
“Pengacara akan mengurus perceraian kita. Kau punya tiga hari untuk pergi dari sini.”
Langkah mereka berdua menghilang melewati lorong panjang apartemen, meninggalkan Nadira berdiri sendirian di tangga marmer putih, seperti patung yang kehilangan makna.
Sebelum pintu lift menutup, Naura sempat menoleh. Di wajah pucatnya, terselip senyum tipis, angkuh, dan penuh kemenangan.
Seakan bisikan satu jam sebelumnya masih bergaung di telinga Nadira, “Aku sudah pindah ke sini. Ada baiknya kau serahkan dia kembali padaku.”
Di ruang hening itu, jam dinding berdetik pelan. Jakarta di luar sana tetap sibuk, seolah tak ada yang terjadi.
Di dapur yang hangat dengan sinar matahari pagi yang menyusup melalui celah jendela, Nadira terlihat sibuk mengaduk adonan pancake, sementara di sisi lain, Rebecca—anak bungsu mereka—tengah asyik menggambar di dinding dengan krayon warna-warni.Suasana di dapur itu tidak begitu rapi, tetapi itulah yang membuatnya terasa hidup dan penuh warna.“Rebecca! Itu dinding, bukan buku gambar!” Nadira berusaha mengingatkan dengan suara lembut, meski ada tawa kecil yang tak bisa ia tahan.Rebecca, dengan mata bulat yang penuh keingintahuan, menatap ibunya sejenak, lalu menjawab polos, “Tapi Ibu bilang imajinasi itu harus besar. Dinding kan besar.”Nadira tersenyum kecil, menahan geli. Kejadian seperti ini selalu menghadirkan rasa hangat di hatinya. Tak lama, Mahesa masuk ke dapur, membawa keranjang penuh daun bawang dan terong segar dari kebun kecil mereka.“Imaginasi boleh besar, asal jangan merambat ke ruang tamu,” katanya dengan senyum yang selalu mampu me
Angin sejuk dari jendela dapur berdesir perlahan, membawa sentuhan lembut yang menenangkan di pagi yang baru saja pulih.Di luar, langit yang kelabu seolah mulai membuka diri, memperlihatkan seberkas cahaya tipis yang menyusup di balik awan yang perlahan menghilang.Suasana itu begitu hening, seperti pagi yang baru saja menyeka air mata malamnya. Nadira berdiri dekat Mahesa, merasakan kehangatan tubuh pria itu yang selalu menjadi pelabuhan yang tak pernah berubah, meskipun banyak hal di sekitar mereka bergeser.Di tengah dapur yang sederhana dengan lantai keramik pudar, mereka berdiri bersama—tidak sempurna, tapi saling melindungi.Nadira memeluk Mahesa, bukan karena kata-kata manis yang pernah diucapkan, melainkan karena kehadirannya yang tak pernah pergi, yang selalu ada setiap kali dunia terasa begitu berat.Di tempat yang penuh keheningan itu, Mahesa, dengan tatapan mata yang dalam dan tenang, akhirnya memutuskan sesuatu yang tidak bisa d
Mahesa menunduk, gelengannya lembut, seolah-olah kata-kata yang hendak keluar sudah bersusah payah mencari celah.“Enggak. Aku lakuin ini... karena aku mau,” ujarnya pelan.Kalimat itu terdengar sederhana, seperti aliran air yang tenang. Namun, bagi Nadira, seolah ada sesuatu yang menembus jauh ke dalam hatinya yang beku.Sesuatu yang hangat, mengalir perlahan hingga menyentuh bagian terdalam yang selama ini terasa mati rasa.Cinta... ternyata bisa begitu sederhana, bukan? Tak perlu janji bersumpah yang melambung tinggi, tak perlu pelukan yang meluap, atau kata-kata puitis yang bergelora.Kadang, cukup dengan kehadiran yang tulus, diam yang setia. Duduk bersama di sisi ranjang, tanpa perlu memberi harapan, tanpa perlu mencari jawaban—hanya ada keberadaan yang tidak tergantikan.Malam keempat, ketika tubuh Nadira sudah cukup kuat untuk duduk, Mahesa tetap di tempatnya. Tidak ada pertanyaan, tidak ada ungkapan cinta yang terucap.Namun,
Kalimat itu, meskipun sederhana, seperti petir yang menggelegar. Mahesa menatap anaknya dengan tatapan yang tak mampu disembunyikan, penuh dengan rasa bersalah yang menggelayuti.Nadira ikut menatap Isa, namun matanya tak bisa lagi menahan genangan yang mulai mengalir, perlahan-lahan menetes.Suasana di ruang makan yang semula ramai tiba-tiba terasa sepi, seperti menunggu sesuatu yang tak kunjung datang.Mahesa menarik napas dalam, seolah mencari kekuatan untuk melanjutkan kata-katanya. Suaranya pelan, tapi jelas, mengalir begitu berat.“Isa, kadang... dua titik itu nggak ketemu bukan karena mereka terlalu jauh. Tapi karena keduanya takut untuk saling menyentuh.”Isa menatapnya bingung, matanya penuh tanya. “Takut kenapa?” Suaranya terdengar seperti harapan yang belum pudar.Mahesa mengalihkan pandangannya ke meja, memfokuskan diri pada suapan terakhir yang ada di piringnya.“Takut kalau mereka saling bertemu, yang terlihat cuma luka,
Mahesa menatap adiknya dalam hening. Di matanya, ada rasa marah yang terpendam, namun lebih dari itu, ada kerinduan yang seolah sudah terlalu lama terkunci, menunggu saat yang tepat untuk meluap.Suasana di sekitar mereka terasa sunyi, hanya terdengar desah napas mereka yang berat. “Aku nggak tahu harus mulai dari mana untuk minta maaf,” suara Mahesa terdengar serak.Ia menunduk sejenak, memikirkan kata-kata yang tepat, lalu melanjutkan dengan pelan, “Tapi... aku ingin kesempatan, untuk menggantikan semua yang sudah aku tinggalkan.”Tiana terdiam, matanya tidak pernah lepas dari wajah Mahesa. Setelah beberapa saat yang panjang, dengan pelan, ia menggeser tubuhnya dari pintu dan melangkah mundur.“Masuklah,” katanya, suaranya masih terdengar tegas namun ada kelembutan yang disembunyikan di baliknya.Begitu Mahesa melangkah masuk ke rumah, udara di dalam terasa berat dengan kenangan yang menyelimuti setiap sudutnya.Dinding-dinding rumah yang
Di balkon belakang rumah yang sunyi, Mahesa duduk diam di kursi kayu usang yang seolah tak pernah berubah sejak terakhir kali ia menempatinya.Di tangannya, sebuah jurnal tipis berisi catatan-catatan rehabilitasi yang dulu hanya ia anggap sebagai hal biasa—sekadar data medis dan jadwal terapi.Namun, hari itu, saat ia membuka halaman demi halaman, ada sesuatu yang berbeda. Di antara catatan medis, ada sisipan kertas kecil dengan tulisan tangan Nadira yang memecah kesunyian hatinya.“Hari ini kamu bisa menggenggam sendok sendiri. Terlihat kecil, tapi bagiku itu seperti melihat matahari terbit untuk pertama kali.”Tulisan itu mengalir seperti aliran air yang lembut, membawa kenangan tentang Nadira yang dulu selalu ada di sisinya, tak peduli seberapa besar beban yang ia bawa.Mahesa tersenyum tipis, menutup mata sejenak, merasakan hangatnya kata-kata itu, seperti hangatnya pagi yang perlahan menembus kabut.Halaman berikutnya menunjukkan kata-k