Begitu pintu berderit menutup di belakang mereka, tubuh Nadira luruh ke lantai marmer yang dingin seperti es.
Suhu malam yang menelusup melalui celah jendela membuat kulitnya menggigil, seolah hawa dingin itu ikut menusuk hingga ke relung hatinya.
Butir-butir air mata mengalir deras, membasahi pipinya yang pucat. Nadira memeluk dirinya erat-erat, seakan-akan pelukan itu satu-satunya selimut yang tersisa untuk menghangatkan jiwanya yang rapuh.
Sepuluh tahun. Sudah sepuluh tahun Mahesa menariknya keluar dari kegelapan masa lalunya. Sepuluh tahun yang ia jalani dalam diam, menyulam cinta tanpa suara, menunggu tanpa harap.
Seberapa panjang umur manusia? Tapi cinta, pikirnya getir, bukan soal waktu. Ia tumbuh liar atau layu tak berakar, tak pernah bisa dipaksa mekar jika tanahnya tandus.
Dan bagi Mahesa, dirinya hanyalah sebidang tanah yang tak pernah benar-benar digarap.
“Ini air mataku yang terakhir untukmu, Mahesa,” bisiknya lirih. Suaranya nyaris patah, namun tegas.
Tangannya menghapus air mata yang terus mendesak, lalu perlahan ia berdiri. Tatapannya kini tajam, sejuk seperti permukaan danau di musim dingin.
Sudah cukup. Ia harus pergi.
Di atas meja nakas, selembar kertas dengan stempel resmi tergeletak menantang. Surat perjanjian cerai.
Nadira menatap halaman terakhir, matanya terpaku pada coretan tanda tangan Mahesa. Tangannya gemetar saat ujung jarinya menyusuri lengkung huruf-huruf itu, seolah ingin menyerap sisa-sisa kenangan yang terkubur di sana.
Ia menarik napas dalam-dalam, menahan gelombang emosi yang nyaris meledak. Lalu, dengan satu gerakan pasti, ia menandatangani dokumen itu.
Selesai. Titik.
Di samping kertas itu, sebuah liontin emas kecil bersinar lembut diterpa cahaya lampu meja. Liontin itu karyanya sendiri.
Hampir setahun ia mengukirnya, menuangkan detil demi detil seperti merajut harapan di setiap lekuknya.
Hadiah yang seharusnya ia berikan untuk ulang tahun pernikahan esok hari. Tapi harapan itu kini hanya sisa debu.
Selama bertahun-tahun, Nadira terbiasa menyiapkan kejutan-kejutan kecil untuk Mahesa. Lukisan, jam tangan antik, bahkan lagu yang ia nyanyikan sendiri.
Semua selalu sama: tatapan hambar, senyum seadanya, lalu terlupakan. Atau lebih buruk lagi, dibuang.
Hatinya perih mengingatnya, tapi ia sudah terlalu lelah untuk terluka lagi.
Ketika ia melangkah keluar dari apartemen mewah itu, malam Jakarta menyambutnya dengan lampu-lampu jalan yang temaram.
Sebuah mobil hitam berkilau berhenti tepat di pinggir trotoar. Dengan langkah ringan namun mantap, Nadira masuk ke dalamnya.
Bau kulit kursi mobil bercampur aroma parfum pria samar-samar memenuhi ruang sempit itu.
“Aku sudah resmi bercerai,” ujarnya tenang, nyaris datar.
Pria di balik kemudi, mengenakan kacamata hitam meski malam telah lama turun, menyunggingkan senyum miring yang penuh arti.
“Selamat datang kembali, Nadira.” Tangannya menyodorkan sebuah laptop tipis ke arahnya. “Saatnya kau jadi dirimu sendiri lagi. Kami semua sudah menunggu.”
Nadira menarik napas panjang, menenangkan detak jantungnya yang berdegup cepat. Begitu laptop terbuka, jari-jarinya segera menari di atas keyboard.
Layar menyala dengan pendar kebiruan, menampilkan serangkaian kode rumit yang bergulir cepat.
Ia menghapus jejak digitalnya satu per satu, menghapus keberadaannya dari sistem pengawasan, seolah-olah Nadira tak pernah menghuni apartemen itu, bahkan tak pernah ada di kota ini.
Keesokan paginya, di sebuah rumah besar bergaya kolonial di Menteng, suara langkah sepatu asisten Mahesa menggema di lorong marmer yang mengilap.
“Pak Pradana, Bu Nadira sudah pergi,” lapornya hati-hati.
Mahesa, dengan dasi yang masih setengah longgar di lehernya, mendorong daun pintu kamar utama.
Aroma mawar langsung menyambutnya, lembut dan familiar, seakan Nadira baru saja berdiri di sana beberapa detik yang lalu.
Ruangan itu, berbeda dari sudut lain rumah mereka, berwarna cerah. Seprai kuning pastel menyelimuti ranjang besar, memantulkan cahaya matahari pagi yang menembus tirai renda.
Tirai itu bergoyang pelan, seolah berbisik, membisikkan kepergian yang tak sempat diucapkan.
Ia melangkah ke meja nakas. Surat perjanjian cerai tergeletak rapi, kini lengkap dengan dua tanda tangan.
Namun matanya justru tertumbuk pada benda kecil di sebelahnya. Sebuah liontin emas, berkilau seperti setetes embun yang tertangkap sinar pagi.
Di bagian belakangnya, namanya terukir dengan halus, sementara sisi depannya menampilkan ukiran mawar yang begitu detail, seakan kelopak bunganya bisa disentuh dan dihitung helainya.
Mahesa mengusap liontin itu pelan, ujung jarinya mengelus garis-garis kecilnya. Kenangan berkelebat, tentang bagaimana Nadira menanam mawar-mawar itu di halaman, sendiri, tanpa pernah ia temani.
Mahesa tak pernah sekalipun memberinya setangkai mawar. Ironis.
Di samping liontin itu, sebuah kartu kecil tergeletak. Tulisan tangan Nadira yang rapi menari anggun di atas kertas ivory:
“Selamat ulang tahun pernikahan ketiga. Selamat tinggal, Mahesa.”
Alis Mahesa terangkat tipis. Ia melirik ke kalender di atas meja. Memang hari ini ulang tahun pernikahan mereka.
Waktu berlalu begitu cepat. Terlalu cepat.
Genggaman tangannya mengencang pada liontin emas itu, sementara pikirannya berputar-putar, dihantui satu pertanyaan sederhana yang terasa menyesakkan,
Dari mana Nadira mendapatkan uang untuk membeli perhiasan semahal ini?
Di dapur yang hangat dengan sinar matahari pagi yang menyusup melalui celah jendela, Nadira terlihat sibuk mengaduk adonan pancake, sementara di sisi lain, Rebecca—anak bungsu mereka—tengah asyik menggambar di dinding dengan krayon warna-warni.Suasana di dapur itu tidak begitu rapi, tetapi itulah yang membuatnya terasa hidup dan penuh warna.“Rebecca! Itu dinding, bukan buku gambar!” Nadira berusaha mengingatkan dengan suara lembut, meski ada tawa kecil yang tak bisa ia tahan.Rebecca, dengan mata bulat yang penuh keingintahuan, menatap ibunya sejenak, lalu menjawab polos, “Tapi Ibu bilang imajinasi itu harus besar. Dinding kan besar.”Nadira tersenyum kecil, menahan geli. Kejadian seperti ini selalu menghadirkan rasa hangat di hatinya. Tak lama, Mahesa masuk ke dapur, membawa keranjang penuh daun bawang dan terong segar dari kebun kecil mereka.“Imaginasi boleh besar, asal jangan merambat ke ruang tamu,” katanya dengan senyum yang selalu mampu me
Angin sejuk dari jendela dapur berdesir perlahan, membawa sentuhan lembut yang menenangkan di pagi yang baru saja pulih.Di luar, langit yang kelabu seolah mulai membuka diri, memperlihatkan seberkas cahaya tipis yang menyusup di balik awan yang perlahan menghilang.Suasana itu begitu hening, seperti pagi yang baru saja menyeka air mata malamnya. Nadira berdiri dekat Mahesa, merasakan kehangatan tubuh pria itu yang selalu menjadi pelabuhan yang tak pernah berubah, meskipun banyak hal di sekitar mereka bergeser.Di tengah dapur yang sederhana dengan lantai keramik pudar, mereka berdiri bersama—tidak sempurna, tapi saling melindungi.Nadira memeluk Mahesa, bukan karena kata-kata manis yang pernah diucapkan, melainkan karena kehadirannya yang tak pernah pergi, yang selalu ada setiap kali dunia terasa begitu berat.Di tempat yang penuh keheningan itu, Mahesa, dengan tatapan mata yang dalam dan tenang, akhirnya memutuskan sesuatu yang tidak bisa d
Mahesa menunduk, gelengannya lembut, seolah-olah kata-kata yang hendak keluar sudah bersusah payah mencari celah.“Enggak. Aku lakuin ini... karena aku mau,” ujarnya pelan.Kalimat itu terdengar sederhana, seperti aliran air yang tenang. Namun, bagi Nadira, seolah ada sesuatu yang menembus jauh ke dalam hatinya yang beku.Sesuatu yang hangat, mengalir perlahan hingga menyentuh bagian terdalam yang selama ini terasa mati rasa.Cinta... ternyata bisa begitu sederhana, bukan? Tak perlu janji bersumpah yang melambung tinggi, tak perlu pelukan yang meluap, atau kata-kata puitis yang bergelora.Kadang, cukup dengan kehadiran yang tulus, diam yang setia. Duduk bersama di sisi ranjang, tanpa perlu memberi harapan, tanpa perlu mencari jawaban—hanya ada keberadaan yang tidak tergantikan.Malam keempat, ketika tubuh Nadira sudah cukup kuat untuk duduk, Mahesa tetap di tempatnya. Tidak ada pertanyaan, tidak ada ungkapan cinta yang terucap.Namun,
Kalimat itu, meskipun sederhana, seperti petir yang menggelegar. Mahesa menatap anaknya dengan tatapan yang tak mampu disembunyikan, penuh dengan rasa bersalah yang menggelayuti.Nadira ikut menatap Isa, namun matanya tak bisa lagi menahan genangan yang mulai mengalir, perlahan-lahan menetes.Suasana di ruang makan yang semula ramai tiba-tiba terasa sepi, seperti menunggu sesuatu yang tak kunjung datang.Mahesa menarik napas dalam, seolah mencari kekuatan untuk melanjutkan kata-katanya. Suaranya pelan, tapi jelas, mengalir begitu berat.“Isa, kadang... dua titik itu nggak ketemu bukan karena mereka terlalu jauh. Tapi karena keduanya takut untuk saling menyentuh.”Isa menatapnya bingung, matanya penuh tanya. “Takut kenapa?” Suaranya terdengar seperti harapan yang belum pudar.Mahesa mengalihkan pandangannya ke meja, memfokuskan diri pada suapan terakhir yang ada di piringnya.“Takut kalau mereka saling bertemu, yang terlihat cuma luka,
Mahesa menatap adiknya dalam hening. Di matanya, ada rasa marah yang terpendam, namun lebih dari itu, ada kerinduan yang seolah sudah terlalu lama terkunci, menunggu saat yang tepat untuk meluap.Suasana di sekitar mereka terasa sunyi, hanya terdengar desah napas mereka yang berat. “Aku nggak tahu harus mulai dari mana untuk minta maaf,” suara Mahesa terdengar serak.Ia menunduk sejenak, memikirkan kata-kata yang tepat, lalu melanjutkan dengan pelan, “Tapi... aku ingin kesempatan, untuk menggantikan semua yang sudah aku tinggalkan.”Tiana terdiam, matanya tidak pernah lepas dari wajah Mahesa. Setelah beberapa saat yang panjang, dengan pelan, ia menggeser tubuhnya dari pintu dan melangkah mundur.“Masuklah,” katanya, suaranya masih terdengar tegas namun ada kelembutan yang disembunyikan di baliknya.Begitu Mahesa melangkah masuk ke rumah, udara di dalam terasa berat dengan kenangan yang menyelimuti setiap sudutnya.Dinding-dinding rumah yang
Di balkon belakang rumah yang sunyi, Mahesa duduk diam di kursi kayu usang yang seolah tak pernah berubah sejak terakhir kali ia menempatinya.Di tangannya, sebuah jurnal tipis berisi catatan-catatan rehabilitasi yang dulu hanya ia anggap sebagai hal biasa—sekadar data medis dan jadwal terapi.Namun, hari itu, saat ia membuka halaman demi halaman, ada sesuatu yang berbeda. Di antara catatan medis, ada sisipan kertas kecil dengan tulisan tangan Nadira yang memecah kesunyian hatinya.“Hari ini kamu bisa menggenggam sendok sendiri. Terlihat kecil, tapi bagiku itu seperti melihat matahari terbit untuk pertama kali.”Tulisan itu mengalir seperti aliran air yang lembut, membawa kenangan tentang Nadira yang dulu selalu ada di sisinya, tak peduli seberapa besar beban yang ia bawa.Mahesa tersenyum tipis, menutup mata sejenak, merasakan hangatnya kata-kata itu, seperti hangatnya pagi yang perlahan menembus kabut.Halaman berikutnya menunjukkan kata-k