Beranda / Rumah Tangga / Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi / Bab 2: Selamat Tinggal, Mahesa

Share

Bab 2: Selamat Tinggal, Mahesa

Penulis: Rizki Adinda
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-25 13:07:21

Begitu pintu berderit menutup di belakang mereka, tubuh Nadira luruh ke lantai marmer yang dingin seperti es.

Suhu malam yang menelusup melalui celah jendela membuat kulitnya menggigil, seolah hawa dingin itu ikut menusuk hingga ke relung hatinya.

Butir-butir air mata mengalir deras, membasahi pipinya yang pucat. Nadira memeluk dirinya erat-erat, seakan-akan pelukan itu satu-satunya selimut yang tersisa untuk menghangatkan jiwanya yang rapuh.

Sepuluh tahun. Sudah sepuluh tahun Mahesa menariknya keluar dari kegelapan masa lalunya. Sepuluh tahun yang ia jalani dalam diam, menyulam cinta tanpa suara, menunggu tanpa harap.

Seberapa panjang umur manusia? Tapi cinta, pikirnya getir, bukan soal waktu. Ia tumbuh liar atau layu tak berakar, tak pernah bisa dipaksa mekar jika tanahnya tandus.

Dan bagi Mahesa, dirinya hanyalah sebidang tanah yang tak pernah benar-benar digarap.

“Ini air mataku yang terakhir untukmu, Mahesa,” bisiknya lirih. Suaranya nyaris patah, namun tegas.

Tangannya menghapus air mata yang terus mendesak, lalu perlahan ia berdiri. Tatapannya kini tajam, sejuk seperti permukaan danau di musim dingin.

Sudah cukup. Ia harus pergi.

Di atas meja nakas, selembar kertas dengan stempel resmi tergeletak menantang. Surat perjanjian cerai.

Nadira menatap halaman terakhir, matanya terpaku pada coretan tanda tangan Mahesa. Tangannya gemetar saat ujung jarinya menyusuri lengkung huruf-huruf itu, seolah ingin menyerap sisa-sisa kenangan yang terkubur di sana.

Ia menarik napas dalam-dalam, menahan gelombang emosi yang nyaris meledak. Lalu, dengan satu gerakan pasti, ia menandatangani dokumen itu.

Selesai. Titik.

Di samping kertas itu, sebuah liontin emas kecil bersinar lembut diterpa cahaya lampu meja. Liontin itu karyanya sendiri.

Hampir setahun ia mengukirnya, menuangkan detil demi detil seperti merajut harapan di setiap lekuknya.

Hadiah yang seharusnya ia berikan untuk ulang tahun pernikahan esok hari. Tapi harapan itu kini hanya sisa debu.

Selama bertahun-tahun, Nadira terbiasa menyiapkan kejutan-kejutan kecil untuk Mahesa. Lukisan, jam tangan antik, bahkan lagu yang ia nyanyikan sendiri.

Semua selalu sama: tatapan hambar, senyum seadanya, lalu terlupakan. Atau lebih buruk lagi, dibuang.

Hatinya perih mengingatnya, tapi ia sudah terlalu lelah untuk terluka lagi.

Ketika ia melangkah keluar dari apartemen mewah itu, malam Jakarta menyambutnya dengan lampu-lampu jalan yang temaram.

Sebuah mobil hitam berkilau berhenti tepat di pinggir trotoar. Dengan langkah ringan namun mantap, Nadira masuk ke dalamnya.

Bau kulit kursi mobil bercampur aroma parfum pria samar-samar memenuhi ruang sempit itu.

“Aku sudah resmi bercerai,” ujarnya tenang, nyaris datar.

Pria di balik kemudi, mengenakan kacamata hitam meski malam telah lama turun, menyunggingkan senyum miring yang penuh arti.

“Selamat datang kembali, Nadira.” Tangannya menyodorkan sebuah laptop tipis ke arahnya. “Saatnya kau jadi dirimu sendiri lagi. Kami semua sudah menunggu.”

Nadira menarik napas panjang, menenangkan detak jantungnya yang berdegup cepat. Begitu laptop terbuka, jari-jarinya segera menari di atas keyboard.

Layar menyala dengan pendar kebiruan, menampilkan serangkaian kode rumit yang bergulir cepat.

Ia menghapus jejak digitalnya satu per satu, menghapus keberadaannya dari sistem pengawasan, seolah-olah Nadira tak pernah menghuni apartemen itu, bahkan tak pernah ada di kota ini.

Keesokan paginya, di sebuah rumah besar bergaya kolonial di Menteng, suara langkah sepatu asisten Mahesa menggema di lorong marmer yang mengilap.

“Pak Pradana, Bu Nadira sudah pergi,” lapornya hati-hati.

Mahesa, dengan dasi yang masih setengah longgar di lehernya, mendorong daun pintu kamar utama.

Aroma mawar langsung menyambutnya, lembut dan familiar, seakan Nadira baru saja berdiri di sana beberapa detik yang lalu.

Ruangan itu, berbeda dari sudut lain rumah mereka, berwarna cerah. Seprai kuning pastel menyelimuti ranjang besar, memantulkan cahaya matahari pagi yang menembus tirai renda.

Tirai itu bergoyang pelan, seolah berbisik, membisikkan kepergian yang tak sempat diucapkan.

Ia melangkah ke meja nakas. Surat perjanjian cerai tergeletak rapi, kini lengkap dengan dua tanda tangan.

Namun matanya justru tertumbuk pada benda kecil di sebelahnya. Sebuah liontin emas, berkilau seperti setetes embun yang tertangkap sinar pagi.

Di bagian belakangnya, namanya terukir dengan halus, sementara sisi depannya menampilkan ukiran mawar yang begitu detail, seakan kelopak bunganya bisa disentuh dan dihitung helainya.

Mahesa mengusap liontin itu pelan, ujung jarinya mengelus garis-garis kecilnya. Kenangan berkelebat, tentang bagaimana Nadira menanam mawar-mawar itu di halaman, sendiri, tanpa pernah ia temani.

Mahesa tak pernah sekalipun memberinya setangkai mawar. Ironis.

Di samping liontin itu, sebuah kartu kecil tergeletak. Tulisan tangan Nadira yang rapi menari anggun di atas kertas ivory:

“Selamat ulang tahun pernikahan ketiga. Selamat tinggal, Mahesa.”

Alis Mahesa terangkat tipis. Ia melirik ke kalender di atas meja. Memang hari ini ulang tahun pernikahan mereka.

Waktu berlalu begitu cepat. Terlalu cepat.

Genggaman tangannya mengencang pada liontin emas itu, sementara pikirannya berputar-putar, dihantui satu pertanyaan sederhana yang terasa menyesakkan,

Dari mana Nadira mendapatkan uang untuk membeli perhiasan semahal ini?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi   Bab 12: Aroma Mawar di Tengah Badai

    Lantai marmer putih mengilap menyambut langkah-langkah Nadira yang mantap. Lorong kantor Wulandaru Group memanjang seperti galeri seni, dengan lukisan-lukisan modern abstrak menggantung di dindingnya, memantulkan cahaya lampu gantung kristal yang berkilau halus.Aroma samar lavender dari diffuser yang tersembunyi di sudut-sudut ruangan bercampur dengan wangi parfum mewah Nadira, menciptakan atmosfer elegan yang nyaris sakral.Para karyawan pura-pura tenggelam dalam layar komputer mereka, jemari menari di atas keyboard, tetapi mata mereka sesekali mencuri pandang.Ada gelombang kecil kekaguman yang bergetar di udara, seperti bisikan angin yang tak tertangkap telinga.“Wah, Bu Wulandaru itu memang punya aura luar biasa,” bisik seorang staf muda, suaranya nyaris seperti desis kagum.Hari itu, Nadira membungkus dirinya dalam jumpsuit biru navy yang jatuh pas mengikuti lekuk tubuhnya, mempertegas siluet ramping namun tegas.Bahannya b

  • Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi   Bab 11: Serangan Balasan

    "Nadira," suara Rafka terdengar nyaris seperti bisikan, nyaris tenggelam di antara deru samar AC yang tak lagi berfungsi."AC-nya sudah rusak beberapa hari ini. Kapan bisa bener? Dingin banget."Udara di ruang keluarga itu memang terasa ganjil, lembab sekaligus menggigit. Bau anyir dari karpet wol tua bercampur aroma kopi sisa pagi tadi, membuat suasana semakin tidak nyaman.Di tengah ruangan yang temaram, Nadira melangkah pelan, jemarinya membelai punggung kursi kulit sambil melemparkan senyum kecil, nyaris sinis."Aku bukan tukang servis. Mana aku tahu," sahutnya santai, seakan percakapan itu hanya angin lalu. Tawa pelannya terdengar seperti serpihan es yang jatuh ke lantai dingin.Ia berbalik, gaun tidurnya yang sutra mengibas lembut mengikuti gerakannya saat ia melangkah keluar ruangan, meninggalkan mereka dengan pikiran masing-masing.Tina berdiri di samping ayahnya, matanya menyipit, rahangnya mengeras. "Ayah, lihat sendiri kan sikap dia..."Suaranya penuh protes, telunjuknya me

  • Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi   Bab 10: Ini Rumahku

    Nadira menatap kosong layar ponselnya. Cahaya dari gawai itu memantul redup di mata lelahnya, memperjelas lingkaran gelap di bawah kelopak.Jemarinya sesekali menggulirkan berita yang sama: kabar pertunangan Mahesa dan Naura terpampang di mana-mana, seakan mengejeknya.Ia menghela napas, berusaha menepis rasa nyeri yang berdenyut di dadanya."Sudahlah, aku sudah move on," bisiknya, namun suara itu nyaris tak meyakinkan dirinya sendiri.Bayangan hari pernikahannya dengan Mahesa kembali menghantuinya. Hanya ruangan sempit KUA, tanpa hiasan, tanpa gaun putih, tanpa tamu, tanpa restu.Semuanya serba diam-diam. Bahkan surat nikah itu pun diurus sendiri, seperti menandatangani kontrak rahasia dengan takdir.Begitu kontras dibandingkan dengan pesta mewah Naura yang kini disorot media.Nadira menarik selimut tebal hingga ke dagu, mencoba mengurung dirinya dari hiruk pikuk dunia. Namun suara musik dari kamar sebelah justru mengoyak keheningan malam.Bass berdentum menghantam dinding tipis kont

  • Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi   Bab 9: Gaun yang Tak Pernah Kupilih

    "Bagaimana? Aku kelihatan cantik, Mahesa?" suara Naura melayang ringan, nyaris berbisik, di antara gemerlap lampu butik pengantin mewah di sudut Senopati.Di balik cermin besar berbingkai emas, bayangannya berputar anggun. Gaun putih itu jatuh mengikuti lekuk tubuhnya, menyisakan kilau samar dari manik-manik halus yang memantulkan cahaya temaram.Wajahnya berpendar, rona merah muda menyembul malu-malu dari pipi yang biasanya pucat. Sesekali jemarinya merapikan rambut ikal yang kini diluruskan rapi, seakan tiap helai helai rambut itu sudah dirundingkan dengan waktu.Ada kerlip antusiasme di matanya, meski di benaknya terselip secuil cemas.Mahesa hanya menatap. Sepasang matanya seperti menembus cermin, menembus Naura, dan berhenti di kenangan yang tak pernah benar-benar ia kubur.Nadira. Bayangannya menyeruak pelan. Senyum Nadira dulu selalu hadir, tulus dan sederhana, seperti embun pagi yang menempel di ujung dedaunan.Tapi akhir-akhir ini, embun itu perlahan menguap, tersapu panas ya

  • Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi   Bab 8: Retakan Halus

    Dengan tarikan paksa, Rafka memaksa sudut bibirnya melengkung menjadi senyum. Mata hitamnya berusaha menyalurkan ketulusan yang bahkan ia sendiri ragukan.“Nadira, beri kami sedikit waktu. Masih banyak hal yang harus kami benahi,” ucapnya dengan nada merendah, seperti aktor yang sudah berkali-kali memainkan peran ini di hadapan mendiang Arum.Di hadapannya, Nadira berdiri dengan anggun dingin. Cahaya lampu kristal di ruang tamu memantulkan kilaunya pada gaun satin lembut yang membalut tubuhnya.Senyumnya tak lebih dari bayangan tipis di ujung bibir, menyiratkan ejekan halus. Dulu, Rafka sempat berpikir bahwa Nadira dan ayahnya, Arum, adalah orang-orang berhati lapang, penuh welas asih.Tapi kenyataan menamparnya keras. Mereka bisa ramah, tentu, tetapi hanya ketika keadaan berpihak pada mereka.“Baiklah,” suara Nadira keluar lirih, seperti alunan biola di ujung kesabaran. “Aku beri kalian waktu.”Namun, di sudut hatinya yang beku, ia menanam benih lain. Waktu itu bukan hadiah, melainka

  • Mantan Suami Memohon Cintaku Lagi   Bab 7: Badai Baru Dimulai

    Teriakan Aidan merobek keheningan malam, menggema di lorong panjang vila mewah itu. Udara pekat dengan aroma logam darah yang menguar dari pelipisnya yang robek.Tubuhnya sedikit gemetar, tapi sorot matanya mencoba bertahan, menatap sosok perempuan yang kini berdiri hanya beberapa langkah di depannya.Nadira melangkah perlahan, langkahnya mantap, nyaris angkuh. Gaun hitam sederhana yang membalut tubuhnya berkilau samar di bawah sorotan lampu gantung kristal.Bayangannya menari-nari di dinding marmer, seolah ikut menikmati kejatuhan lawan.“Nikmatin aja, Aidan,” ucapnya datar, nyaris berbisik, namun penuh racun. “Hari-hari indahmu sudah selesai.”Suara hak sepatunya beradu dengan lantai, mengiringi tatapannya yang dingin. Tanpa perlu menoleh, Nadira memberi isyarat kecil dengan tangannya.Dua pria berjas hitam yang sejak tadi berdiri tegak di sudut ruangan langsung bergerak. Tubuh Aidan diseret tanpa ampun, suara gesekan sepatu kulitnya meninggalkan jejak panjang di lantai mengilap.Na

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status