Mahesa mengangkat botol kaca itu dengan tangan kanan yang dibalut perban putih tipis, sudah mulai tembus warna merah muda dari luka yang belum kering.
Ia berniat menuangkan wiski ke dalam gelas, tapi tangan Lukas lebih cepat, menahan gerakannya dengan tegas.
“Lo luka, masih juga mau minum? Mau infeksi, hah?” Nada suara Lukas seperti gabungan antara kesal dan cemas, matanya mengerjap cepat, penuh teguran.
“Cuma luka kecil,” jawab Mahesa dengan enteng, menepis tangan sahabatnya. “Gak papa.”
Tanpa menunggu tanggapan, ia menuang dua gelas penuh. Cairan keemasan itu mengalir mulus, memantulkan cahaya lampu gantung yang hangat di ruang tamu kayu tua mereka, menciptakan ilusi seolah api menari di dasar gelas.
“Minum,” katanya pendek, menyodorkan satu gelas. “Temani gue.”
Lukas menatap gelas itu sebentar. Pandangannya tersangkut pada pantulan cahaya di permukaan minuman, lalu sebuah senyum samar mengendap di wajahnya.
Senyum yang lebih banyak
Anak itu biasanya setenang danau di pagi hari. Tapi hari ini, seolah ada riak yang tak bisa diredam. Kakinya tak berhenti bergerak di bawah meja, jari-jarinya menggenggam pinggir kursi, matanya menatap kosong ke luar jendela, tapi jelas ada badai kecil yang sedang berputar di balik sorotnya.Tak ada satu pun kata yang keluar untuk menjelaskan, hanya sunyi yang terasa berat.Karena itu, suara di ujung telepon terdengar cemas namun penuh harap.“Anak ini biasanya tenang banget. Tapi kali ini dia gelisah bukan main. Tapi dia nggak mau cerita apa-apa. Jadi aku hubungi kamu, siapa tahu bisa bantu cari tiket buat dia...”“Aku urus sendiri. Kamu nggak perlu khawatir,” jawab Nadira mantap. Suaranya tenang, tapi cepat dan tanpa ragu, seperti seseorang yang sudah mengambil keputusan sejak sebelum kalimat itu selesai diucapkan.Begitu panggilan berakhir, Nadira langsung menekan nomor Dipa. Tak ada basa-basi, tak ada ruang untuk ragu.Begitu tersambung,
Mahesa duduk tegak di seberang meja batu, tepat di hadapan Lukas. Kedua tangannya bersedekap, tubuhnya nyaris tak bergerak, seperti patung batu di tengah taman yang lengang.Tapi matanya, tajam seperti ujung belati, menancap pada Lukas dengan pandangan penuh siaga. Bibirnya terkatup rapat, seakan menahan sesuatu yang lebih tajam dari kata-kata."Jago naik kuda? Dari mana dia dapat rasa percaya diri itu?" gumamnya dalam hati, tak sudi mengalihkan sorot matanya.Lukas, tampak lebih santai, menyalakan fitur speakerphone dan meletakkan ponsel di atas permukaan meja yang dingin.Batu meja itu memantulkan cahaya matahari sore yang jatuh dari sela-sela dedaunan, menciptakan bayangan bergerigi di wajah Zayyan yang duduk di sisi kanan.Suasana hening sejenak, hanya diiringi suara burung-burung kecil dari kejauhan dan deru angin yang menggoyangkan ranting.Lalu suara Nadira terdengar, jernih namun sedikit tergesa dari seberang sambungan, “Aku lagi sib
Udara sore menyusup perlahan dari jendela yang terbuka setengah. Tirai tipis berayun pelan, seolah ikut menenangkan hati dua insan yang tengah duduk berdampingan di ruang keluarga yang kini terasa lebih luas dari biasanya.Rak buku tua berdiri tenang di sudut, sebagian lampunya redup, memancarkan cahaya hangat kekuningan yang membingkai foto-foto lama di dinding.Nadira dan Nayaka duduk dalam diam, menghadap bingkai kayu besar yang berisi potret kedua orangtua mereka.Dalam foto itu, sang ayah tampak memeluk bahu ibu mereka, keduanya tersenyum penuh kehidupan.Sekilas, Nadira menahan napas, seakan bisa mencium lagi wangi sabun khas Ibunya, atau mendengar tawa Bapak dari belakang dapur.Keheningan pecah saat Nayaka perlahan berdiri. Suara gesekan kain sofa terdengar samar. Ia menatap adiknya, dan tanpa banyak kata, mengulurkan tangan, mengusap lembut rambut Nadira yang sudah ditata rapi sejak pagi.Matanya memancarkan kehangatan, ada sesuatu
Mahesa mengangkat botol kaca itu dengan tangan kanan yang dibalut perban putih tipis, sudah mulai tembus warna merah muda dari luka yang belum kering.Ia berniat menuangkan wiski ke dalam gelas, tapi tangan Lukas lebih cepat, menahan gerakannya dengan tegas.“Lo luka, masih juga mau minum? Mau infeksi, hah?” Nada suara Lukas seperti gabungan antara kesal dan cemas, matanya mengerjap cepat, penuh teguran.“Cuma luka kecil,” jawab Mahesa dengan enteng, menepis tangan sahabatnya. “Gak papa.”Tanpa menunggu tanggapan, ia menuang dua gelas penuh. Cairan keemasan itu mengalir mulus, memantulkan cahaya lampu gantung yang hangat di ruang tamu kayu tua mereka, menciptakan ilusi seolah api menari di dasar gelas.“Minum,” katanya pendek, menyodorkan satu gelas. “Temani gue.”Lukas menatap gelas itu sebentar. Pandangannya tersangkut pada pantulan cahaya di permukaan minuman, lalu sebuah senyum samar mengendap di wajahnya.Senyum yang lebih banyak
Mata Nadira tampak berkilat—bukan oleh cahaya lampu gantung kafe kecil itu, tapi oleh lapisan bening yang hampir tumpah dari pelupuknya.Senyumnya tetap mengembang, meski matanya memuat sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kebahagiaan.Ada haru, dan mungkin juga kerinduan."Terima kasih, Giranda. Kamu juga jaga diri baik-baik, ya," katanya pelan, suaranya seperti embusan angin sore yang lewat di sela dedaunan kering.Dari sisi meja yang lain, muncul kepala Bayu, separuh wajahnya masih terpantul dalam layar ponsel yang menyala.Senyumnya lebar dan nakal, seolah ia baru saja melanggar sebuah aturan penting."Nadira, gara-gara kamu nih, aku jadi bisa makan kue. Biasanya mereka galak banget, pantang ngizinin," ujarnya sambil menunjuk potongan kue tart yang tinggal remah di piring plastik."Selamat ulang tahun, ya?"Nadira menggeleng, tapi senyumnya tak pudar. Ia menatap Bayu seperti seorang kakak yang tak bisa menahan geli m
Bukan Nadira yang berubah. Ia hanya menarik kembali apa yang dulu sempat ia buka: sisi lembutnya, yang dulu hanya Mahesa yang bisa menjamah.Kini, sisi itu menghilang seperti kabut pagi yang disapu angin. Yang tertinggal adalah tajamnya tatapan, dinginnya nada, dan ketegasan langkah yang menggelegar di tiap ruangan yang ia lewati.Suara Rafael menembus lamunan Mahesa seperti ketukan jari di permukaan kaca.“Pak Mahesa, tadi sempat bicara sama Mbak Nadira?” tanyanya santai, tapi matanya menyiratkan rasa ingin tahu yang terlalu besar untuk disembunyikan.Mahesa hanya menoleh sekilas, bibirnya menekan satu helaan napas yang nyaris menjadi dengusan.“Kenapa cepat banget keluar? Sayang banget, padahal kesempatan langka,” lanjut Rafael, lalu tertawa kecil, “Kita udah bikin Teguh panik banget, lho. Dia kira kita mau nyulik dia. Apa saya perlu siapin bingkisan buat minta maaf?”Mahesa mendesis, lelah, “Lakukan saja apa yang menurutmu perlu.”