Salah satu bandara di suatu tempat di Jakarta terlihat sangat ramai. Tidak seperti biasanya, kali ini tempat tersebut bagaikan lautan wartawan yang haus akan informasi. Membentuk kerumunan bagai kawanan semut dan menunggu seseorang keluar dari pesawat yang baru saja mendarat.
Seketika, pusat perhatian semua orang teralihkan pada seorang pria yang turun menggandeng lengan wanita berambut pirang di sampingnya. Tubuh tinggi tegap itu berjalan dengan tenang, tidak peduli meski ia tahu banyak orang yang menunggunya saat ini. Kedua mata tajamnya yang tersembunyi di balik kacamata hitam mengedar di antara banyaknya wartawan yang datang. Dan kemudian mendengkus rendah.
“Kai .…”
Wanita di sebelahnya berbisik.
“Kau sudah biasa menghadiri acara besar, tidak perlu malu berada di hadapan wartawan kecil seperti ini.”
Pria yang dipanggil Kai itu mengeratkan genggaman tangannya pada wanita tersebut. Mengisyaratkan agar tidak terlalu peduli dengan apa yang terjadi.
Bagaikan rudal, dirinya dibombardir dengan berbagai pertanyaan yang hampir sama oleh setiap wartawan. Dan dengan sigap orang-orang yang bertugas mengawalnya itu bertindak. Membuat pembatas dengan badan besar mereka agar tidak ada wartawan yang kelewatan.
.
.
.
Brakk!
Nathalie membanting kasar buku note bersampul biru gelap di tangannya ke arah meja kerja. Membuat dua temannya yang sedang menatap layar plasma terperanjat nyaris mengumpat. Mereka mengalihkan pandangan ke arah Nathalie yang baru saja datang dengan deru napas tak beraturan, raut kesal tercetak jelas menghiasi wajah cantik wanita itu.
“Ada masalah hidup apa kau?”
Ariska, teman satu profesinya itu mengangkat wajah. Mengernyitkan dahinya tipis saat melihat Nathalie mulai mengurut pelipisnya pelan. Ariska pikir, separuh dari beban hidup teman anehnya itu terdapat di kepalanya.
“Kali ini sulit?” tanya Jordi, pria blasteran Amerika-Indonesia berambut pirang dengan beberapa helai kehitaman yang duduk di sebelah Ariska. Pria dengan manik biru sapphire itu menoleh pada Ariska kala Nathalie tidak menjawab pertanyaannya. Ia dan Ariska berpandangan dalam beberapa saat, lalu keduanya menggeleng.
Lain halnya dengan Nathalie, ia menghela napas panjang, lalu menyahut botol mineral yang berdiri di sebelahnya dengan gerakan kilat. Meneguk isi di dalamnya seperti orang kesetanan. Belum selesai, ia kembali meluapkan emosinya dengan meremas botol air tersebut hingga tak berbentuk dan menimbulkan suara khas.
“Ini lebih gila dari yang kalian bayangkan.” Ia menyeka sudut bibirnya, memandang dua temannya itu secara bergantian. Diliriknya buku note yang tergeletak tak berdaya di atas meja, sebelum kemudian ia mendecih pelan.
Ariska menghentikan jemarinya yang sedang menari di atas keyboard. Memilih untuk mengistirahatkan jarinya sejenak dan mendengar cerita Nathalie.
“Apa bagianmu hari ini?” tanya wanita dengan wajah bulat nan manis itu.
“Kau tahu apa yang sedang menjadi trending topik selama tiga hari berturut-turut?”
Ariska terlihat sedang berpikir.
“Penemuan patung kuda?”
Nathalie menggeleng.
“Hilangnya seratus ekor kambing di Bandung?”
“Nope.”
“Lalu, apakah harga ikan yang sedang melonjak naik?”
“Aris, apakah kau begitu suka pada binatang?”
Nathalie mendesah rendah, tidak habis pikir dengan tebakan yang keluar dari mulut Ariska. Jika bukan karena kebaikan hatinya, mungkin ia sudah menjitak kening wanita itu.
“Hey, Ariska. Apa kau benar-benar tidak tahu siapa yang sedang menduduki pencarian teratas tiga hari ini?”
Jordi memandang ke arah wanita itu dengan tatapan mengejek. Membiarkan Ariska melotot padanya sebagai bentuk perlawanan.
“Memangnya kau tahu?” Wanita berambut pendek itu balik bertanya, setengah tidak percaya.
Dan satu-satunya pria yang ada di dalam ruangan ini memutar kedua bola matanya bosan.
“CEO Perusahaan Hyden—”
Nathalie menjentikkan jarinya, memotong perkataan Jordi yang baru saja membuka suara. Seperti tidak membiarkan pria itu menjelaskan lebih banyak.
“Yap. Itu dia, CEO itu, kenapa dia pulang dari Inggris dan membawa kekasihnya hingga menimbulkan berita besar? Apa dia sedang berusaha mencari perhatian publik?”
Nathalie berdecak kesal. Padahal hal ini adalah bagian yang paling tidak ia suka. Mewawancarai hubungan orang lain, terlebih pada orang-orang kaya seperti CEO dari Perusahaan Hyden yang sedang berkembang pesat saat ini. Mungkin terdengar aneh, namun inilah kenyataannya. Dirinya sangat menghindari interaksi dengan orang-orang kaya yang ada di sekelilingnya.
“Bukankah CEO itu sudah terkenal bahkan sebelum ia membawa kekasihnya kemari? Dia terkenal tampan dan pintar, menjadi CEO di usia muda bukanlah hal yang mudah.” Jordi membeberkan pemikirannya, menatap Nathalie dengan kedua tangan yang saling bertautan menyangga dagunya yang runcing.
Tidak ada yang dikatakan Nathalie setelah itu selain hanya mengangguk. Ia tidak dapat menyangkal akan hal ini. Segala pencapaian yang telah diraih oleh CEO itu membuat namanya tidak asing lagi di telinga. Dia adalah salah satu orang terpenting di negara ini. Seperempat aset di negara ini adalah miliknya. Cukup membuktikan jika ia bukanlah orang sembarangan.
“Jordi, apa kau ingin mengambil bagianku?”
Pria setengah bule itu menggeleng cepat.
“Tawarkan saja pada Ariska, dia tidak alergi pada pria kaya.”
Ada sebagian kalimat Jordi yang sedang menyindirnya, Nathalie tahu itu. Pria itu lantas terkekeh saat mendapati tatapan tajam yang ia layangkan. Tahu jika meminta kepada Jordi tidak akan pernah membuahkan hasil, Nathalie pun mengalihkan pandangannya pada satu temannya lagi.
“Aris—”
“Aku akan sangat senang jika menggantikan bagianmu, Nat. Namun, kali ini aku tidak bisa. Masih banyak yang harus aku kerjakan sebelum pak tua itu datang dan memberikan semburan lava.” Ariska tersenyum penuh arti padanya.
“Ini berita besar, kau akan untung saat mendapatkannya,” lanjutnya. Mencoba meyakinkan Nathalie agar ia dapat menghadapi hal yang paling dihindari.
Wanita berambut lurus hitam panjang sepunggung itu menghela napas pelan. Matanya indahnya yang seperti kacang almond terlihat ragu untuk melakukan pekerjaannya kali ini.
“Tapi ... bukankah mewawancarai hubungan orang lain termasuk pelanggaran privasi?”
Jordi memberikan reaksi pertama atas apa yang baru saja Nathalie ucapkan. Pria itu tertawa keras hampir terpingkal-pingkal.“Hey, apa kau sedang hidup di zaman megalodon? Apakah sekarang privasi masih berlaku pada sebagian orang, terutama pada orang seperti Kai?” tanya pria itu sambil mengusap sudut matanya yang berair.“Kau memanggil namanya seolah kau dekat dengannya." Pandangan Nathalie menelisik pada Jordi.Seketika, pria itu terbatuk-batuk seraya melotot tajam. “Aku hanya tidak suka memanggil seseorang secara formal.”Nathalie mengendikkan kedua bahunya tidak peduli.“Jordi benar, tidak ada privasi bagi orang seperti dia. Kau akan mudah mendapat informasi,” timpal Ariska.Sementara Nathalie hanya diam, mencerna apa yang diucapkan oleh kedua temannya. Memang benar, seharusnya ini akan berjalan dengan mudah. Ia seharusnya bisa menyelesaikannya dengan cepat.Selain itu, ia sendiri tida
“Thalia ....”Nathalie mengerutkan dahi. Helaian rambutnya yang tidak ikut terkucir bergoyang pelan kala ia memiringkan sedikit kepalanya.“Maaf?”Sekilas, ia dapat melihat jika pria yang ada di hadapannya itu tercenung dalam beberapa saat.“Ah, tidak.”Wanita itu mengangguk pelan. “Kalau begitu ... apakah bisa kita mulai?”Ia bertanya tanpa rasa canggung. Dirinya sudah menjalani profesinya selama empat tahun terakhir, rasa percaya dirinya terbentuk dengan sangat baik. Di hadapan CEO yang pernah menjadi mantan tunangannya, tidak akan membuat dirinya kehilangan fokus, semuanya akan baik-baik saja. Meski tatapan mengintimidasi yang sedari tadi dilemparkan padanya sedikit mengganggu.“Tentu saja.”Kai melangkah duduk di kursi kebesarannya. Setelah itu barulah Nathalie mendudukkan diri. Sengaja tidak membawa laptop, ia mengeluarkan bolpoin dan note yang ada dalam tas. Menc
“Apa maumu?”Ia berucap sarkas, yang sayangnya malah mengundang kekehan kecil sehingga membuat dirinya mendengkus.“Kau memang tidak pernah berubah … Thalia,” ujar pria itu nyaris terdengar seperti bisikan.“Tidak ada Thalia di sini. Kau mengenali orang yang salah.”Nathalie mempertahankan wajah datarnya. Sekilas, ia sempat melihat jika Kai yang kini beranjak dari tempat duduk itu menaikkan salah satu alis.“Siapa pun namanya, aku tidak peduli. Karena kalian adalah orang yang sama.”Seringai yang ditampilkan oleh pria yang berjarak beberapa langkah darinya itu sama sekali tidak berubah. Tiga tahun tidak bertemu, ia masih tetap sama, baik sifat maupun tindakannya.Dan sialnya lagi, dirinya terjebak di sini dan tidak memiliki kesempatan untuk melarikan diri. Tanpa sadar, kedua tangannya telah mengepal erat.“Aku bisa melaporkanmu atas tindakan kurang ajar ini,” an
Kai memarkirkan mobil tepat pukul satu dini hari. Ia berjalan cepat masuk ke dalam rumahnya yang besarnya berkali-kali lipat dari rumah biasa pada umumnya. Bau keringat yang menguar dari badannya membuat ia ingin segera menuju kamar mandi, membersihkan diri dan tidur. Malam yang sedikit berbeda dari biasanya. Kali ini ia tampak begitu bersemangat mengeluarkan seluruh tenaganya untuk memberikan pukulan terbaik pada samsak tinju, melampiaskan semua yang mengganggu pikirannya pada benda tak bersalah tersebut. Hingga tak sadar, hari mulai merambat naik.“Are you okay?” Suara lembut yang menyapa indra pendengarnya membuat Kai menoleh. Ia mengernyit, menatap wanita yang duduk di atas kasur dan tersenyum menyambut kepulangannya, kedua matanya terlihat sayu.“Kenapa belum tidur?”Pria itu mengurungkan niat awal, beralih mendekat pada wanita yang memiliki manik mata sebiru laut dasar.“Aku menunggumu,” balasn
“Ruangan CEO … tidak terlalu buruk.”Kai semakin merapatkan diri. Sementara Nathalie semakin mengeratkan cengkramannya pada kedua bahu lebar di hadapannya. Matanya awas memandang pria itu, berjaga-jaga jika ia melakukan hal di luar pemikirannya. Dilihat dari tatapan buas yang kini sedang mengintimidasi dirinya, Nathalie yakin Kai tidak akan tidak melakukan sesuatu. Terlebih ia adalah tipikal orang yang akan melakukan segala cara untuk mendapat apa yang diinginkannya.“Lepaskan. Jika aku berteriak sekarang, kau akan tamat.”Tidak ada yang tidak Kai sukai selain melihat gurat keberanian yang kini memancar jelas dari wanita yang ada di dalam dekapannya. Yang sejak tadi terus berusaha untuk melarikan diri. Namun naas, kelinci kecil tidak akan pernah bisa kabur dari incaran serigala berwajah tampan satu ini.Kai mendengus, menahan tawa.“Teriaklah, dan kau tahu apa yang akan terjadi setelah ini.” Ia mendekatkan
“Kai?” Nathalie mengulang pertanyaan dari lawan bicaranya. Heran saja jika seseorang yang baru pertama kali bertemu dengannya tiba-tiba menanyakan hal tersebut. Ia tidak pernah berpikir jika Kai yang akan menceritakan sesuatu pada orang lain, apa lagi tentang masa lalunya. Pria itu memiliki kepribadian yang tertutup, sangat tertutup hingga siapa pun tidak akan dapat menggali tentangnya lebih dalam. Hanya pada orang-orang kepercayaannya saja ia akan menceritakan masalahnya. Diamnya Nathalie selama beberapa saat itu mengundang tanda tanya Angelista. “Sudah kuduga, kau pasti mengenalnya.” Si pirang itu menyipitkan matanya. Dan Nathalie paling tidak suka jika seseorang menatap dirinya penuh penasaran. “Tidak. Aku tidak mengenalnya,” balasnya datar. Mengabaikan wanita itu, ia kembali melanjutkan langkah kakinya. “Tunggu.” Angelista menahan lengan Nathalie. Pandangan Nathalie kini turun, memperhatikan tangan putih yan
“Kai!” Angelista berlari kecil menuju pria itu. Wajah cantiknya kian berbinar kala ia sudah berada di depan Kai yang kini masih terdiam tanpa kata. “Kau sudah lama menungguku?” tanyanya antusias sembari menggenggam kedua tangan besar Kai. Yang dibalas dengan gelengan kepala pelan dari pria itu. “Tidak. Aku baru saja sampai,” balasnya. “Ingin pergi sekarang?” Wanita bersurai pirang itu mengangguk. Sesaat, ia tersadar jika ia melupakan satu orang lagi yang ada di sini. Seseorang yang sedari tadi menjadi teman bicaranya sebelum Kai datang. Angelista lantas menoleh, memandang Nathalie yang masih berdiri di belakangnya. “Nathalie!” seru Angelista. Dan seseorang yang dipanggil hanya menghela napas pelan. “Ya?” “Aku harus pergi sekarang, sampai jumpa!” Nathalie mengangguk, tersenyum tipis. Memperhatikan pasangan yang ada di depan matanya. Bagaimana Kai yang membukakan pintu mobil untuk Angelista, yang kemudian diikuti ol
Irine meletakkan cangkir yang ada di tangannya dengan perlahan ke meja bundar di depannya. Di hadapannya kini, duduk seorang pria yang tidak mengeluarkan sepatah kata pun setelah bertemu dengannya. “Kau kembali lagi,” ujar wanita itu pelan. Pandangannya jatuh terfokus pada Kai yang juga memandangnya dengan ekspresi seperti biasa, datar. Detik selanjutnya, Kai menarik napas, mengeluarkannya perlahan. Ia menatap sekeliling, mengamati ruangan kerja Irine yang tampak mewah. Ruangan bernuansa putih dengan beberapa hiasan bunga tulip itu terkesan tenang, sangat cocok untuk Irine yang sejak dulu menyukai situasi kondusif. “Butikmu semakin besar saja,” kata pria itu. Mengabaikan perkataan Irine yang ditujukan padanya. Irine menarik salah satu sudut bibirnya ke atas, melirik ke arah toilet yang masih belum juga menampakkan tanda-tanda Angelista akan keluar dari tempat tersebut. Wajar saja, baru lima menit berlalu. Mungkin wanita berkebangsaan Inggris itu tenga