Share

Bab 1 : Namanya Raditya

"Jadi, dia teman SMA kamu?"

Aruna menyandarkan tubuhnya sambil membuang napas panjang dengan gaya berlebihan. Dalam kepalanya, Aruna merasa ada yang salah dengan hari ini. Bukan karena pekerjaannya terasa lebih berat hari ini, tapi karena kahadiran seseorang dari masa lalu yang seakan menjadi sebuah tanda tanya bagi perempuan itu.

Untuk apa kembali bertemu?

Aruna ingat sosok itu. Namanya Raditya. Teman SMA yang pernah sekelas dengan Aruna saat duduk di bangku kelas sebelas dulu. Aruna ingat bagaimana murid-murid perempuan dikelas memuji-muji ketampanan Raditya. Aruna juga ingat bagaimana lapangan sekolah selalu ramai dengan teriakan tiap kali Raditya dan teman-temannya bermain futsal. Dan Aruna juga masih mengingat ketika laki-laki itu dengan berani mengatakan perasaannya pada Aruna.

Katakan Aruna terlalu pemilih, tapi menurut Aruna, laki-laki seperti Raditya bukan tipe kesukaannya. Dengan terang-terangan, Aruna menolak Raditya. Aruna sempat mengatakan alasan tidak masuk akal dengan mengatakan dirinya ingin fokus pada pelajaran. Tapi siapa yang sangka, keesokan harinya, Aruna justru mendapat pengakuan cinta dari laki-laki yang memang pujaan hatinya sejak kelas sepuluh.

"Yang membuat ku heran adalah, dia bahkan masih ingat alasanku menolaknya saat itu."

Bukan hanya alasannya, Raditya bahkan ingat dengan jelas kalau Aruna juga sempat berkencan dengan teman futsalnya.

"Antara ingatannya memang bagus, atau karena kamu memang menjadi kenangan yang nggak terlupakan untuknya."

Aruna berkedip. Kepalanya agak di miringkan tanpa sadar ketika memikirkan kemungkinan kedua dari kalimat teman serumahnya itu. Bagi Aruna sendiri, Raditya bukan sosok yang layak untuk terus diingat. Apalagi dikenang sampai bertahun-tahun. Kisah soal Raditya seakan hanya menjadi cerita selingan yang bisa dengan mudah dilupakan Aruna.

"Terus.. apa yang kalian bicarakan tadi?"

"Nggak banyak. Cuma bertanya soal kabar dan bertukar nomor ponsel."

"Hmm.. Apa mungkin dia masih punya rasa untuk kamu?"

Aruna mendelik. "Mbak, ih!"

Aruna sudah mengenal perempuan bernama Nisa itu lima tahun belakangan. Meskipun bukan saudara kandung, Aruna sudah menganggap perempuan yang usianya tiga tahun lebih tua darinya itu seperti kakaknya sendiri.

"Lagipula menurutku, dia pasti bisa menerima Adhisty."

Aruna merapatkan bibir. Pikirannya melayang ke sosok mungil yang saat ini sedang tertidur pulas di dalam kamar. Sosok mungil yang menjadi alasan Aruna untuk bertahan sampai detik ini.

"Aku nggak tau, Mbak. Sepertinya Raditya nggak punya maksud sejauh itu."

"Hmm.. Mudah-mudahan."

"Aku ke kamar dulu." pamit Aruna sebelum bangkit berdiri.

Didalam kamarnya, Aruna duduk disisi tempat tidur. Kedua matanya tidak beralih sedikitpun dari sosok mungil yang menguasai tempat tidur kecil didalam kamar. Wajah cantiknya terlihat damai, terlelap di temani mimpi paling indah.

Aruna tahu, bahwa perpisahannya dengan sang mantan suami akan begitu menyulitkan untuk Adhisty dan dirinya. Tapi Aruna juga tahu, dia sudah kehilangan banyak alasan untuk mempertahankan pernikahan mereka. Aruna sudah memikirkan banyak hal sebelum benar-benar memutuskan untuk berpisah.

Aruna sempat kesulitan untuk melanjutkan hidupnya setelah berpisah. Tapi dia diingatkan lagi tentang tanggungjawab yang baru di milikinya. Ada Adhisty bersamanya, anak perempuan cantik yang saat itu masih belum genap setahun usianya. Saat itulah, Aruna bertemu Nisa. Perempuan itu mengenalkan Aruna pada temannya yang memiliki sebuah mini market yang saat ini menjadi tempat Aruna bekerja.

Dering ponsel yang diletakan Aruna di atas meja kecil disamping tempat tidur menyadarkan perempuan itu dari lamunannya. Dengan enggan di ambilnya benda mungil itu dan seketika sebelah alisnya terangkat mendapati satu nama yang tertera dilayar. Sekarang hampir pukul sebelas malam, dan Raditya seakan menjadi satu dari sekian banyak manusia yang tidak tahu malu untuk menganggu waktu istirahat orang lain.

Setelah membuang napas pelan, Aruna menerima panggilan itu. "Halo?"

"Aruna?" suara Raditya terdengar, dan entah kenapa suaranya yang baru didengar lagi oleh Aruna sejak pagi tadi itu sudah memiliki efek menenangkan. "..kupikir sudah tidur."

Aruna berdeham pelan, entah untuk alasan apa, mendadak Aruna mendapati jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. "Sepertinya aku akan mengabaikan telepon ini kalau memang sudah tidur."

"Iya, aku tahu. Maaf karena mengganggu malam-malam begini tapi aku hanya merasa terlalu senang karena bisa bertemu dengan kamu lagi."

"..kenapa?"

"Entahlah. Seperti .. aku diberi kesempatan lagi untuk menyelesaikan sesuatu yang dulu ingin aku mulai dengan kamu."

"..."

"Maaf."

Aruna menghela napas pelan. "Masih ada yang ingin kamu bicarakan?"

"Kenapa dulu kamu menolakku tapi menerima Gilang? Padahal menurutku, bukan maksudku menurut kebanyakan orang, aku lebih tampan dari Gilang."

Sekali lagi, Aruna menghela napas tanpa sadar diikuti gerakan tangannya menggaruk alis dengan bingung. Mengingat ini hanya bagian dari cerita masalalu, membuat Aruna berpikir kalau lebih baik dia mengatakan yang sebenarnya. "Karena kamu bukan tipeku."

Hening sebentar sebelum suara Raditya kembali terdengar. Nada suaranya terdengar heran ketika berkata, "kupikir aku tipe laki-laki kesukaan banyak gadis. Tapi kenapa aku nggak bisa jadi tipe kesukaanmu?"

"Itu karena aku berbeda." kata Aruna dengan nada percaya diri. Matanya melirik sebentar ke arah Adisthy yang bergerak pelan dalam tidurnya sebelum kembali bersuara dengan suara yang sedikit lebih pelan, "harusnya kamu mendekati gadis lain kalau kamu tau kamu tipe kesukaan mereka."

"Aku maunya kamu."

Aruna merapatkan bibir. Apa-apaan ini? Mereka bukan murid SMA lagi! Tapi kenapa yang dilakukan Raditya seperti pemuda SMA yang sedang mendekati teman sekelasnya?

"Waktu itu, maksudku. Maksudku, saat kita SMA, aku maunya dengan kamu."

Aruna merasa seperti ingin menelan Raditya karena perkataannya yang begitu menyebalkan. Perempuan itu hanya bergumam pelan sebagai jawaban, tanda kalau dirinya masih mendengarkan.

"Hubungan kamu dengan Gilang waktu itu, bertahan berapa lama?"

Pertanyaan itu membuat pikiran Aruna kembali melayang ke masa putih abu-abunya. Sekalipun bukan murid populer disekolah, masa SMA menjadi masa yang begitu menyenangkan untuk Aruna. Dimasa itu juga Aruna pertama merasakan indahnya memiliki kekasih.

Aruna ingat, sejak kelas sepuluh, dirinya sudah menaruh hati pada Gilang. Bukan hanya karena tampan, tapi juga karena sosoknya yang sedikit pendiam begitu menarik dimata Aruna. Tapi siapa yang menyangka, kalau ternyata Gilang juga merasakan hal yang sama. Tepat dikelas sebelas, Gilang menyatakan perasaannya pada Aruna. Tanpa merasa perlu untuk berpikir dua kali, Aruna mengiyakan keinginan laki-laki itu untuk menjadikan Aruna sebagai kekasihnya.

Hubungan mereka berjalan baik. Gilang begitu sabar untuk menghadapi kerewelan Aruna. Tapi kisah manis itu tidak bertahan lama. Karena tepat setelah pengumuman kelulusan, Gilang mengatakan tentang keinginannya untuk kuliah di Jepang.

"Setahun."

"Sebentar."

"Setahun untuk kisah cinta anak remaja itu termasuk lama."

"Setahun itu paling hanya diisi jalan-jalan keliling kota, tertawa cekikikan, pergi makan dan nonton lalu sisanya menangis. Benar, kan?"

Aruna diam.

"Lain ceritanya kalau kamu menerimaku hari itu. Setahun bersama mungkin sudah kukenalkan dengan Ibu dan Ayahku dirumah. Mungkin kamu juga sudah bisa akrab dengan adik perempuanku, pergi berdua dengannya layaknya saudara. Mungkin juga aku sudah mengenal keluarga kamu dengan baik."

Aruna mencibir. "Maaf karena sekali lagi harus menyadarkan kamu kalau kamu bukan tipeku."

"Aku tau." jeda sebentar sebelum laki-laki itu melanjutkan dengan lebih jelas, "tapi maaf karena mungkin aku akan kembali mencoba mendapatkan kamu sekali lagi, Aruna."

****

"Benar nggak papa?"

"Iya. Lagipula hari ini aku libur, anggap saja Adhisty menemaniku dirumah."

Aruna mengambil tas kecil miliknya sambil menatap Nisa yang balas menatapnya dengan raut meyakinkan. Biasanya Aruna akan membawa Adhisty, menitipkan anak perempuan itu pada pemilik rumah yang memang menyukai anak kecil. Tapi lain dengan hari ini, karena hari ini Nisa libur, perempuan itu menawarkan diri untuk menjaga Adhisty. Bukan hal baru bagi Aruna menitipkan Adhisty pada Nisa, tapi mengingat kalau perempuan itu juga butuh istirahat sedikit memberatkan Aruna.

"Baiklah. Aku pergi dulu."

Setelah melihat anggukan kepala Nisa, Aruna segera melangkah keluar rumah. Hanya perlu waktu kurang dari sepuluh menit untuk sampai ke mini market tempatnya bekerja. Tapi Aruna sengaja berangkat lebih awal agar sempat merapihkan tempat itu lebih dulu.

Aruna tahu pemilik rumah begitu baik padanya. Memberikannya tempat tinggal, menawarkannya pekerjaan, dan bukan sekali dua kali direpotkan dengan kehadiran Adhisty dirumah mereka. Pernah ketika Aruna begitu panik karena Adhisty tiba-tiba demam, pemilik rumah dengan baik hati mengantarkan Aruna ke klinik terdekat. Padahal jam saat itu sudah hampir menunjukan pukul sepuluh malam. Tapi keluarga itu seakan tidak terlihat keberatan untuk selalu direpotkan oleh Aruna.

Pekerjaan Aruna berjalan lancar, seperti biasa. Perempuan itu melayani pembeli yang datang dengan ramah dan senyum. Dia masih mensyukuri kehidupannya saat ini sampai bayangan seseorang tertangkap oleh kedua matanya.

Raditya memasuki mini market dengan langkah lebar dan percaya diri. Laki-laki itu segera menuju ke arah lemari dingin, mengambil dua botol air mineral ukuran kecil dan membawanya menuju kasir. Ada beberapa pembeli lain yang juga berniat membayar, jadi laki-laki itu terpaksa mengantri sambil terus memandangi wajah perempuan yang berdiri dibalik mesin kasir itu.

Raditya tahu dia mungkin terlihat aneh sekarang. Jauh-jauh dari tempat kerjanya, datang kesini hanya untuk bertemu Aruna. Tapi Raditya tahu dia begitu menginginkan melihat perempuan itu lagi. 

Raditya begitu merindukan kedua mata bulat yang sering mendelik malas ke arahnya. Juga cibiran sinis yang selalu keluar dari mulut Aruna tiap kali mendengar kalimat-kalimat tak masuk akal yang Raditya katakan. Tapi percayalah, laki-laki itu hanya berusaha bersikap jujur. Bukan mencoba merayu, tapi memang mengatakan apa yang ada dikepalanya saat itu.

Raditya meletakan dua botol air mineralnya dimeja kasir. Setelah mengantri, akhirnya laki-laki itu mendapat gilirannya untuk dilayani sang kasir yang begitu menarik pandangannya. Raditya menahan senyum, kedua matanya sama sekali tidak lepas dari sosok Aruna yang sedang berkutat dengan pekerjaannya. Di mata Raditya, perempuan itu terlihat berkali-kali lipat lebih cantik dari yang terakhir kali dilihatnya.

Tangan kurus Aruna terulur, menyerahkan dua botol air mineral milik Raditya yang sudah dikemas dalam kantong plastik putih. Raditya segera membuka dompet, menyerahkan selembaran uang dengan nominal paling besar pada Aruna. Tanpa mengatakan apapun, Aruna menerima uang kertas itu dan memberikan kembalian. Selesai dengan kegiatan itu, tidak lantas membuat Raditya segera pergi dari tempatnya berdiri.

Raditya masih disana. Berdiri diam didepan meja kasir sambil memandangi Aruna. Laki-laki itu masih setia mengawasi dengan kedua matanya, sampai kemudian dilihatnya Aruna mengangkat wajah, balas menatap kedua matanya dengan sorot angkuh yang terlihat menggemaskan bagi laki-laki itu.

"Apa?" Aruna mengangkat sebelah alis dengan gaya malas, menunjukan dengan jelas kalau perempuan itu terlihat terganggu dengan kehadiran Raditya.

"Nggak papa. Cuma masih ingin memandangi kamu lebih lama lagi."

"Aku sedang bekerja. Nggak punya waktu untuk mendengarkan omong kosong kamu itu."

"Aku tahu, dan aku nggak merasa sedang mengatakan omong kosong ke kamu."

Aruna terlihat harus menelan kembali kalimatnya ketika seorang pria datang menghampiri meja kasir. Perempuan itu mengalihkan wajah, tersenyum ramah dan kembali melakukan pekerjaannya dengan senang hati. Ganti Raditya yang mengangkat sebelah alis melihat itu.

"Terimakasih. Silahkan datang kembali." Aruna menyerahkan kembalian pada pria itu, lengkap dengan suara lembut dan senyum manis yang membuat pembeli tadi ikut balas menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyum.

Setelah memastikan pria tadi keluar dari mini market, Raditya berdeham. "Kamu kelihatan cukup ramah ke pembeli lain."

"Aku memang selalu ramah ke semua pembeli yang datang."

"Tapi aku nggak melihat kamu ramah padaku sekarang. Bukannya aku juga pembeli disini?"

"Kamu berharap aku bersikap seperti apa?"

"Mungkin sekedar bersuara manis dan senyum? Kamu bahkan nggak memberikan itu padaku."

Aruna terlihat mendelik, hal yang memang selalu dilihat Raditya tiap kali perempuan itu kesal karena ucapannya. Detik berikutnya, Aruna kembali menatap Raditya. Ada senyum lebar yang menghiasi wajah cantiknya. Tapi Raditya justru sedikit memundurkan kepalanya ketika melihat senyum mengerikan itu.

"Terimakasih. Silahkan datang kembali." Aruna memaksakan dirinya untuk tetap tersenyum, suaranya juga terdengar tertekan ketika mengatakan itu.

Raditya mendengus pelan, tanpa sadar kepalanya menggeleng tak percaya dengan kelakuan Aruna. "Itu terlalu berlebihan. Aku nggak menerima sesuatu yang berlebihan. Nggak baik."

Aruna melotot. "Kamu tuh--"

"Mamaaa .."

Raditya mengalihkan pandangannya ke arah pintu masuk mini market. Terlihat seorang perempuan muda yang sedang menggendong seorang anak perempuan. Kedua mata laki-laki itu mengawasi sambil tetap berdiri diam ditempatnya. Sampai kemudian pandangannya mendapati Aruna berlari dari tempatnya berdiri menghampiri perempuan itu. Bukan hanya itu, Aruna juga mengambil alih anak perempuan digendongan perempuan itu dengan cekatan.

Sebentar .. Apa-apaan ini?

Jadi, sekali lagi Raditya ditolak? Kenapa rasanya laki-laki itu nyaris tidak bisa merasakan degupan jantungnya sendiri karena merasa begitu terkejut. Jadi .. Aruna punya anak? Perempuan itu sudah menikah? Rasanya Raditya ingin mentertawakan dirinya sendiri yang begitu bodoh. Kenapa tidak dia tanyakan sejak awal soal itu? Kenapa dia begitu percaya diri mengira kalau Aruna juga perempuan bebas seperti dirinya?

"Setahuku, sekarang masih jam kerja, kan?" suara perempuan tadi memasuki telinga Raditya, menyadarkan laki-laki itu dari pikiran kosongnya sendiri.

"Maksud Mbak?" sekarang suara Aruna. Dan kenapa suara perempuan itu tiba-tiba terdengar mengerikan bagi Raditya?

"Mbak mau membeli beberapa cemilan, makanya datang kesini. Lagipula Adhisty sepertinya kangen dengan kamu."

"Iya, mungkin karena tadi pagi aku pergi saat Adhisty masih tidur."

"Kamu nggak mau mengenalkan kami?"

"Eh?"

Mendadak Raditya merasa seperti orang bodoh yang hanya berdiri diam sambil mengamati kedua perempuan yang sedang mengobrol didekatnya. Laki-laki itu merasa ingin menghilang ketika pandangan kedua perempuan itu beralih padanya. Dengan gugup, Raditya berdeham pelan. Mencoba menormalkan degup jantungnya kembali.

"Raditya." tangan Raditya terulur ke arah perempuan asing tadi.

"Nisa." perempuan itu menyebutkan namanya sambil menjabat tangan Raditya. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas ketika melanjutkan, "teman serumah Aruna."

Eh?

Sebentar .. Bukankah seharusnya Aruna tinggal dengan anak dan suaminya? Lalu kenapa Aruna justru tinggal dengan teman perempuannya? Maksudnya .. Kemana suami Aruna? Apa dia ..

"M-maksudnya?"

"Kami tinggal bersama. Aku dan Aruna. Oh, dengan Adhisty juga." jelas perempuan bernama Nisa itu dengan senyum ramah.

"Bukannya Adhisty .."

"Anaknya Aruna." Nisa menyela, seakan paham. Perempuan itu melanjutkan dengan nada menggurui, "Tidak ada laki-laki. Aruna sudah berpisah dengan suaminya, makanya dia tinggal bersamaku."

Perlu waktu beberapa detik bagi Raditya untuk mencerna kalimat itu dengan baik. Otaknya sekan berhenti berpikir. Tapi begitu dia menyadari maksud kalimat Nisa, senyum lebarnya kembali terukir menghiasi wajah tampannya.

"Senang mendengarnya."

Nisa tertawa pelan. Nada suaranya terdengar geli ketika berkata, "Merasa memiliki kesempatan?"

"Mbak!"

Raditya menoleh, kembali memandangi Aruna yang berdiri diantara mereka. Pandangannya bertahan sebentar pada anak perempuan yang berada dalam gendongan Aruna. Anak perempuan itu terlihat cantik, kedua matanya yang bulat sama seperti milik Aruna, menatap ke arah Raditya. Dalam kepalanya, anak itu pasti heran karena ini pertemuan pertama mereka.

Raditya mengulurkan tangannya, menyentuh pipi gendut anak perempuan itu. Senyumnya melebar ketika mengatakan, "Hai, Adhisty. Perkenalkan, namaku Raditya. Teman Mama kamu saat masih sekolah dulu."

..dan doakan, semoga segera menjadi teman hidup untuk Mama kamu.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status