Share

Tangan Ibu Yang Tak Sampai

"Ann." Dia memegang tanganku lembut. Mata biru saphire-nya menatap penuh permohonan. Aku ingin menjawab, tapi suara halus tapi tajam dari belakangku membuat jantungku berhenti berdetak.

"Dokter akan segera datang." Entah sejak kapan Harold telah berdiri di dekat pintu sambil menatap kami berdua dengan mata hijau emerald-nya yang sarat dengan luka. Aku lansung melepaskan genggaman Sill dari tanganku.

"Harold?" Aku berseru.

"Aku akan menunggu John di luar. Jika kalian masih ingin berbicara, teruskan saja. Aku tidak akan menganggu." Dia berbalik pergi meninggalkan kami tanpa peduli aku yang telah memanggil namanya.

Harold.... 

Dia pasti sudah salah paham. Aku bergegas untuk mengejarnya, tapi ketika kakiku akan beranjak, Sill menahanku.

"Tetaplah disini!" Ia memohon, tapi aku tidak mau mendengarkan. Terpaksa aku melepas tanganku dari genggamannya secara kasar. "Ann!" Ia mencoba lagi untuk menghentikanku, tapi aku menepisnya. Aku terus berlari meninggalkannya.

"Harold!" Seruku memanggil. Aku meraih tanganya, dan untungnya ia pun berhenti. "Ini salah paham," kataku tegas. "Aku dan Sill tidak melakukan apa-apa." Dadaku seperti terbakar saat menjelaskannya. Berlari seperti tadi ternyata menguras napasku.

"Aku percaya padamu, Ann," kata Harold. "Tapi aku tidak suka dengan perbuatannya tadi. Aku tidak menyangka dia akan memintamu kembali. Seharusnya aku sudah menduga bahwa ia tidak main-main." Mata hijaunya menyipit. 

"Jangan terlalu di pikirkan," kataku. "Bagaimanapun akan pernah mau. Aku tidak akan pernah kembali bersamanya." Menyentuh wajahnya dengan jemariku, menelusuri setiap garis tegasdi wajah itu, berhenti di atas bibir merah mudanya, lalu aku mencium Harold.

"Ann, kau tidak akan meninggalkanku, kan?" Harold bertanya setelah ciuman kami. Aku memeluknya da menyadarkan wajahku di atas pundaknya. "Tentu saja tidak, Harold. Aku mencintaimu."

"Aku juga memcintaimu, Ann," balasnya.

Kami akhirnya melepas pelukan ketika bel pintu berbunyi. "Itu pasti John, aku akan membuka pintu," kata Harold. Aku mengannguk dan membiarkannya pergi ke depan.

Dokter John Smith adalah temanku dan Harold sejak ia menyelamatku dari percobaan bunuh diriku bertahun-tahun yang lalu. Tanpa pertolongannya, aku pasti sudah tak ada di sini.

"Kau terlihat begitu mencintainya," ujar Sill.

Aku segera berbalik. Mata biru memandang dingin. Sama seperti dulu. Kejam dan tanpa perasaan. Itu sungguh membuat perutku mual. Keringat dingin mulai menetes dari pelipisku, bahkan aku mulai merasakan tubuhku mulai gemetar. Sejak dulu aku selalu takut apabila jika mata biru cerah itu berubah menjadi gelap, ketika emosi terbakar dalam matanya yang biasanya tanpa ekspresi itu.

Aku berjalan mundur ketika Sill mendekat. "Ada apa? Kenapa tubuhmu gemetaran, Ann?" tanyanya. Tangan Sill mulai terulur berusaha untuk menyentuh wajahku, tapi berhenti ketika ia menatap mataku. "Kenapa kau ketakutan?" Suara Sill melembut tapi juga terdengar sedih. Tangannya ia tarik kembali dan ia pun pergi ketika mendengar suara langkah kaki mendekati kami.

"Ann, ada apa?" Untunglah Harold datang bersama John. "Tidak apa-apa, Sayang." Aku tersenyum padanya.

"Untuk saat ini keadaannya akan baik-baik saja. Tapi..., jika bisa saya sarankan, lebih baik segera di bawa ke rumah sakit untuk perawatan yang lebih baik." Dr. Smith menyatakan setelah memeriksa Karrel.

"Aku akan mengurusnya, karena sebenarnya kami juga sudah memikirkan untuk melakukan hal itu. Tapi,—" Sill menatap sedih Karrel. "Anak saya menolak, tidak mau pergi ke rumah sakit sebelum bertemu dengan Mamanya." 

Jantungku lansung berdetak dengan rasa sakit yang menusuk. Seperti sebuah bilah pedang telah menusuk ke dalam, ketika aku mendengar alasan Karrel tidak mau di obati.

Harold khawatir,  saat ia melihat tubuhku gemetaran dan wajahku berubah pucat.

"Apa kau baik -baik saja, Sayang?" Dia memeluk bahuku dan menariku ke pelukannya. 

"Anastasia?" Suara Harold menyadarkanku. Harold tidak pernah menyebutkan nama lengkapku, kecuali dia sedang sangat khawatir atau marah.

"Aku baik-baik saja." Mataku masih terfokus pada Karrel.

"Apa kau sunguh-sungguh?" Harold bertanya lagi.

"Aku sehat, tapi kepalaku hanya sedikit pusing tadi sesaat." Aku memegang kepalaku pura-pura sakit. Tapi, Harold sepertinya masih belum percaya.

"Ada apa? Jangan menatapku seperi itu, Sayang. Aku benar baik - baik saja," aku berbohong lagi.

"Jika itu yang sebenarnya, maka baiklah. Aku cemas karena tadi wajahmu sempat terlihat pucat tapi sekarang sepertinya sudah lebih baik." Harold membelai lembut kepalaku dan akhirnya tidak membahas hal itu lagi. Walau aku dapat melihat dari matanya, dia masih belum mempercayaiku sepenuhnya.

"Ini bukan salahmu, Ann." Kata Harold tiba-tiba tanpa melihat wajahku. Mata hijau musim seminya mengarah pada Karrel yang terbaring, masih belum sadar. "Karrel sakit bukan karenamu. Jadi berhenti menyalahkan dirimu sendiri dalam hatimu sekarang, Sayang."

Apa? Kenapa Harold bisa tahu apa yang ada di dalam pikiranku?

Harold tersenyum, seperti mengerti kenapa aku melihatnya terkejut sekarang. "Aku Suamimu, jadi tentu saja aku harus dapat mengerti apa yang sedang ada dalam hati dan pikiran Istriku bukan?"

Aku tersenyum malu. Bersyukur pada Tuhan telah memberikanku seorang Suami baik seperti Harold.

"Apa kalian sudah selesai? Di sini kami tengah membicarakan keadaan Karrel, tapi kalian berdua sibuk dengan dunia kalian sendiri." Sebuah suara dingin merusak kedamaian sesaatku. Mata biru musim dingin milik Sill kini sedang menatap tajam menusuk ke arahku.

Aku menundukan kepalaku penuh rasa bersalah. "Maafkan kami. Kami tidak bermaksud untuk—"

"Seperti kau peduli dengan keadaan Karrel saja sekarang," potong Sill kejam.

Hatiku lansung berdenyut sakit ketika Sill mengatakan hal itu. Tapi aku memang salah tadi. Andai saja aku tidak bersikap begitu kejam terhadap Karrel, mungkin semua ini tidak akan terjadi,— Tidak.

Ini semua bukan salahku seutuhnya. Benar apa yang dikatakan Harold, aku harusnya berhenti menyalahkan diriku sendiri. Aku akui diriku memang salah, tapi Sill juga bersalah dalam hal ini. Karrel sakit bukan karena aku, tapi Sill, pikirku egois.

"Seperti kau juga dapat menjaga Karrel dengan baik saja." Aku membalasnya dengan senyum sinis.

Mata biru melebar, lalu cahaya di dalamnya makin redup.

Apa yang sebenarnya telah ku katakan?!

Karrel sakit pasti bukan salah Sill juga, aku seharusnya tidak berkata seperti itu! Itu sama saja, aku tak ada bedanya dengan prilaku buruk Sill sebelumnya.

Aku hendak menarik ucapanku kembali, tapi Karrel tiba-tiba terbangun.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status