Share

Bersama Satu Atap

Nayra baru saja berganti pakaian. Sementara Maxime sedang duduk di ruang tamu.

Gadis berambut panjang itu terdiam sejenak untuk mengendalikan degup jantungnya yang terus berdentum kuat. Ia melirik sekilas, lalu kembali meremas tangan yang keringatan karna berdebar.

Pria penyelamat itu masih ada di luar. Maxime, seolah takdir yang datang dalam hidupnya. Padahal bisa saja Max tidak memedulikan ponselnya yang ketinggalan di mobil. Mungkin dengan mengembalikannya di lain hari atau kesempatan. Tapi Max memilih langsung mengembalikan ponsel Nayra hari itu juga. Untunglah, Max datang tepat waktu.

Nayra keluar dari kamar menemui Max yang sedang duduk di sofa.

“Max, maaf jadi buat kamu repot,” sesal Nayra yang saat itu mengenakan kaos agak longgar dengan celana pendek, juga rambut yang diikat. Penampilan Nayra itu sedikit menarik perhatian Maxime. Tapi, segera pria itu mengalihkan pandangan, tak ingin membuat Nayra jadi tidak nyaman.

“Ah, kamu udah baik-baik aja?” tanya Maxime masih cemas karena kejadian tadi.

Nayra melihat sisi kanan pipi Maxime, ada sedikit memar di sana. "Max, kamu terluka?"

Maxime menyentuh pipinya. "Tidak, Nay, ini hanya luka kecil. Kamu sebaiknya memikirkan kondisi kamu. Saya antar ke dokter, ya?"

Memang Nayra mengalami trauma karena kejadian tadi. Tapi kalau dia ke dokter, itu hanya semakin menggirik opini publik nantinya. Urusannya akan panjang, mengingat dirinya adalah seorang publik figur.

“Aku udah tenang kok, sini biar aku kompres wajah kamu yang terkena pukulan tadi, maafin aku ya, karena nolongin aku, kamu jadi terkena pukulan si brengsek itu.”

"Tidak perlu, Nayra. Luka ini tidak seberapa," tolak Maxime.

Nayra menghela napas. "Tunggu sebentar."

Ia mengambil kotak obat yang ada di dapur. Tak lupa mengambil alat kompres yang diisi air es untuk menghilangkan memarnya.

Maxime melihat Nayra membawa kotak obat serta alat kompres. Ia jadi tidak enak, karena jadinya malah membuat gadis itu repot.

"Nayra padahal saya sudah katakan, ini tidak masalah. Besok saya akan obati lukanya—"

Nayra pelan-pelan menempelkan ice bag pada pipi Max yang memar.

"Ini semua karena kamu menolongku, Max. Maaf, ya," ucap Nayra kedengaran menyesal.

Maxime sedikit meringis. Ternyata rasanya lumayan perih.

"Perih, kan?" Nayra ikut meringis. "Tahan sebentar."

"Tidak apa-apa, Nayra." Maxime memegang tangan Nayra yang sedang membantu mengompresnya.

Nayra menatap Max, ia lalu menarik napas. "Aku mau bantu kompres aja kok."

Maxime mengangguk lalu melepaskan sentuhan di tangan Nayra.

"Kenapa kamu memilih mengembalikan ponselku langsung? Padahal, kamu bisa meminta orang suruhan," kata Nayra.

Maxime tersenyum. "Repot sekali jika harus menyuruh orang. Kebetulan saya menemukan ponsel kamu saat kamu baru saja turun dari mobil saya."

Nayra mengangguk canggung. "Hem, tapi kamu jadi kena pukul. Aku tidak enak, Max."

“Itu bukan apa-apa, saya malah menyesal kalau aku tadi nggak datang, saya hanya mau mengembalikan handphone kamu yang tertinggal, tak disangka malah ada pria kurang ajar yang nekat mau menjahati kamu. Ada untungnya juga ponsel kamu tertinggal, Nay. Saya jadi tahu kamu ada bahaya."

Max menatap wajah Nayra yang masih fokus mengompres wajahnya yang memar.

Nayra tidak menyangka akan ada kebetulan yang sangat luar biasa seperti ini dalam hidupnya. Mungkin ini merupakan keberuntungan langka yang dia miliki.

"Kalau gak ada kamu, aku gak tau tadi gimana." Nayra menatap Max sekilas. Ia kelihatan sedih.

Maxime memperhatikan Nayra yang masih terbawa suasana tadi. Jelas saja, itu pasti menyisakan trauma mendalam bagi Nayra. Pria brengsek itu tak bisa di biarkan begitu saja.

“Nay, dia mantan pacar kamu?”

Max tiba-tiba merasa penasaran siapa sebenarnya pria tadi.

Nayra mengangguk. “Iya, dia brengsek. Dia sangat kurang ajar. Waktu itu aku menemukan dia main perempuan. Sekarang, gak tahu kenapa dia malah datang lagi."

Ada bulir bening yang tertahan di ujung mata Nayra. Bagaimana bisa gadis sebaik itu mendapatkan pria yang sangat tidak bermoral, pikir Max.

"Maaf, kalau pertanyaan saya bikin kamu jadi teringat lagi akan orang dan hal yang tidak mengenakkan."

"Gapapa, Max. It's okay. Lagi pula, itu sudah berlalu."

"Nayra, kejadian seperti ini jangan sampai terulang kembali." Maxime menatap tulus gadis di depannya.

"Iya, tidak boleh, tidak akan," angguk Nayra.

"Menurut saya, apartemen kamu sudah tidak aman lagi, Nay."

Nayra juga berpikir begitu. Karena Jordan bahkan tahu kombinasi sandi apartemen miliknya. Kalaupun diganti, sewaktu-waktu Jordan bisa datang lagi.

"Kamu sebaiknya pindah," ujar Maxime memberi masukan. "Pindah ke tempat yang lebih privasi dan terjaga keamanannya."

Namun di mana tempat yang semacam itu ada? Tetap saja dia tinggal sendirian, kemungkinan Jordan akan mengganggu lagi juga masih sangat terbuka lebar selama Nayra masih ada di sekitar ibukota.

Maxime meraih tangan Nayra. Saat itu wajah Nayra memerah, keduanya pun saling menatap.

Deg

Jantung Nayra terus berdegup kencang. Tatapan mata Max begitu memperdayainya. Seolah waktu terhenti, bahkan detak jarum jam pun dikalahkan oleh suara detak jantungnya saat ini.

Maxime mengusap pipi Nayra, kemudian tersenyum.

“Dia nggak pantas untuk kamu, Nay.”

Nayra makin meleleh ketika mendengar ucapan Maxime.

"Kamu beruntung sudah bisa lepas dari orang semacam itu."

Nayra terpaku dengan tatapan Maxime. Dia juga melihat ke tangannya yang sedang digenggam oleh pria itu. Tangan Maxime menghangatkan telapak tangannya yang dingin. Nyaman sekali, membuatnya merasa aman di dalam genggaman itu.

"Saya rasa dia akan datang lagi. Tapi kalau boleh saya beri nasihat, kamu jangan terbuai dengan bujuk rayu pria yang sudah berbuat tak layak kepada kamu, Nayra."

Nayra mengangguk.

“Ah, tentu saja, dia brengsek dan siapa yang mau dengan pria yang seperti itu. Lagi pula banyak pria yang jauh lebih baik darinya,” jawab Nayra yang mendadak jadi salah tingkah.

“Hm, kamu benar. Kamu baik, kamu cantik, pasti akan ada pria yang tepat untuk kamu.”

Maxime begitu tenang. Ia mengambil ice bag yang ada di tangan Nayra.

“Aku bisa sendiri kok, makasih ice bag-nya,” ucapnya.

Apa ini? Max baru saja mengubah cara bicaranya. Tidak lagi menggunakan kata 'saya' melainkan 'aku' dan itu terdengar lebih akrab di telinganya.

Nayra selalu gugup, ketika berbicara dengan Maxime. Karisma pria itu begitu kuat, bahkan Nayra dibuat diam membisu, terutama karena sikap Max yang begitu tenang.

Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Nayra merasa tidak tega jika Max pulang selarut ini. Tapi bukankah Maxime ada di sana karena dia yang menahannya. Karena kondisinya, Max jadi belum pulang. Nayra jadi tidak enak pada duda satu anak itu.

“Max, kamu nggak pulang kan? Ini udah malam,” tanya Nayra canggung. “Maksudku, aku cemas aja kalau kamu pulang selarut ini,” tambah Nayra.

“Enggak apa-apa, aku pulang saja. Lagi pula tidak baik kalau kita berduaan seperti ini.” Maxime masih dengan senyumannya dan pembawaannya yang begitu bersahaja.

Nayra mengangguk ragu. “Iya,” jawabnya kaku.

Kalau boleh, Nayra ingin terus ada Maxime disampingnya. Tapi hubungan mereka berdua tidak sedekat itu.

Maxime memperhatikan gerak-gerik Nayra yang tampak gelisah. Mungkinkah gadis itu masih diliputi ketakutan karena tadi, pikirnya.

“Nay, kamu masih takut?"

"T-tidak kok." Nayra menggeleng. "Aku akan antar kamu sampai ke depan," lanjutnya berbicara pada Maxime sambil berjalan ke pintu.

Tapi Maxime yakin Nayra ketakutan sendirian. Mendadak dia juga jadi kepikiran bagaimana jika sesuatu yang buruk tadi, terulang kembali. Ada baiknya kalau dia menemani Nayra dulu.

"Nayra, maaf, tapi apa aku boleh menginap?”

Tentu saja Nayra terkejut. Tidakkah dia salah dengar? Max ingin menginap? Tapi bukankah itu tadi yang diharapkan Nayra agar pria itu tetap tinggal.

“Me-menginap?” Nayra sampai gagap. "Kamu mau tidur di apart aku?"

Maxime mengangguk. “Maksudku, aku bisa tidur di sofa. Asalkan kamu nggak ketakutan. Aku paham kamu pasti masih syok."

Nayra terdiam, ia bingung harus menjawab apa. Dia memang ingin Maxime menemaninya. Ada rasa tidak enak menahan lebih lama. Tapi bukankah itu tidak baik. Maxime dan dirinya tidak ada ikatan, tapi mereka berduaan di satu tempat. Nayra takut Max berpikir bahwa dirinya bukan wanita baik-baik.

“Aku nggak ada niat jelek, aku hanya tidak mau kamu ketakutan,” ucap Maxime.

Nayra menyadari hal itu. Maxime sosok yang sangat baik, pasti pria itu tidak bermaksud buruk terhadapnya. Apalagi Maxime sudah melindunginya.

“Baiklah, kalau tidak merepotkan. Tapi, Natasha?”

Nayra mendadak teringat putri Maxime, mungkin saja anaknya itu menunggu daddy-nya pulang ke rumah.

“Aku akan menyampaikan pesan pada pelayan di rumah, tidak perlu cemas lagipula Nath pasti sudah tidur sejak tadi,” balas Maxime.

“Ah kalau begitu baiklah."

"Hem. Dengan begitu aku merasa lebih lega."

"Lega?"

"Ya, aku cemas terjadi sesuatu dengan kamu kalau sendirian, Nayra."

Siapa yang tidak meleleh jika diberikan perhatian yang luar biasa semacam itu. Nayra jadi terkesima dengan perlakukan Maxime padanya. "Terima kasih, Max, maaf aku udah bikin kamu repot."

"Santai saja." Maxime duduk kembali di sofa.

"Em, Max, apa kamu mau mandi? Aku ada pakaian pria, kebetulan waktu itu untuk keperluan shooting.”

“Apa kamu pernah berperan jadi pria?”

“Iya, waktu itu peranku menyamar, kurasa bajunya seukuran denganmu karena di badanku kebesaran, apa kamu nggak keberatan?”

Maxime tersenyum. “Iya, boleh.”

Nayra pun segera mengambil handuk dan juga pakaian ganti untuk Maxime. Saat itu juga Maxime pun bergegas untuk mandi, rasanya kurang nyaman tidur dengan pakaian formal batin Max yang akhirnya menerima tawaran Nayra.

Demi apa pun juga, saat itu degup jantung Nayra terus berpacu dengan cepat. Rasanya seperti mimpi, ia berada dalam satu atap dengan pria sekeren Maxime.

“Nayra kendalikan dirimu. Astaga kenapa dia begitu mempesona, bahkan dia sangat jantan.”

Puji-pujian untuk Max terus terucap dari bibir Nayra, gadis itu merasa gugup dan salah tingkah.

“Nggak mungkin aku suka sama dia, kan?”

Ia mengambil pakaian untuk Maxime, kemudian kembali ke ruang tamu. "Max, ini pakaiannya. Kamu bisa langsung mandi."

"Terima kasih, Nayra. Kalau begitu, aku mandi dulu." Maxime mengambil pakaian di tangan Nayra lalu pergi ke kamar mandi yang ada di kamar Nayra.

Sewaktu Maxime masuk ke kamar Nayra, ia tersenyum melihat dekorasi kamar Nayra yang mirip dengan dekorasi kamar Natasha.

"Lucu sekali, rupanya dia memang berbeda," kata Maxime.

Sementara Nayra masih berusaha menenangkan diri. Siapa yang tidak gelagapan jika di dalam rumahnya ada seorang pria tampan. Apalagi sikap heroik Maxime membuat pandangan Nayra semakin kagum saja.

"Nayra, lo bisa tenang kan. Inget, dia udah punya anak."

Namun sebeenarnya Nayra merasa semakin menyukai Maxime setelah tahu pria itu seorang ayah yang baik. Padahal seumur hidupnya, dia tak pernah menyukai tipikal pria sugar daddy sepeerti Maxime. Kalau mau dia bisa mendapatkan pria seperrti itu mengingat profesinya yang cukup mendukung.

Beberapa waktu kemudian...

Saat Nayra sedang bersemu, sambil memegangi kedua pipinya yang terasa panas. Maxime tiba-tiba keluar dari toilet dengan bertelanjang dada. Tampak jelas bentuk otot-otot yang begitu banyak di tubuh Max yang atletis itu.

Rambut Max yang basah membuat tetesan airnya mengenai otot perutnya yang terlihat seksi. Hal itu membuat Nayra membelalak dan seketika langsung menutup matanya. Maxime melihat reaksi Nayra dan secepatnya ia segera mengenakan pakaian yang diberikan Nayra tadi.

"Maaf Max, apa kamu udah pakai baju?" tanya Nayra tersipu.

“Udah, kok,” Max duduk tepat di sini Nayra.

Nayra pun perlahan membuka mata.

“Maaf ya, aku nggak terbiasa.”

Max terkekeh pelan. “Iya, aku yang minta maaf, ingat di rumah. Lupa kalau ini di apartemen gadis. Maaf, ya.”

Maxime begitu sopan, tentu saja Nayra semakin tidak tahan, rasanya detik itu juga Nayra ingin mengatakan bahwa ia menyukai Maxime. Tapi, hal itu di urungkan nya, apa kata Max nanti terhadapnya. Masa baru bertemu sudah bilang suka, gengsi.

“Kamu nggak apa-apa, tidur di sofa?”

Max mengangguk. “Tidak masalah, mana mungkin aku tidur di ranjang bersama kamu. Itu namanya kurang ajar,” ujarnya.

Nayra kembali tersenyum. “Kamu baik, Max.”

Maxime menyentuh telapak tangan Nayra. “Kamu tidur, ya. Jangan dipikirkan masalah yang tadi, ada aku di sini, kamu nggak perlu takut lagi.”

Nayra hampir pingsan rasanya saat tangan Max kembali menyentuh tangannya.

“Iya, aku tidur dulu, ya. Ini selimut dan bantal untuk kamu. Semoga kamu tidur nyenyak, ya.”

“Iya, good night, Nayra. Semoga mimpi indah.”

Nayra ingin sekali memeluk Maxime saat itu juga, ia malah merasa gemas dengan sikap manis Max yang sungguh membuatnya terbuai.

“Iya, kamu juga.”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Lwxyy
Mau lanjut baca tapi udh di kunci, bentar top up dlu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status