Share

LIMA

Ruby enggan tinggal di New York. Satu-satunya alasan mengapa ia di sana ia ingin mewujudkan impiannya. Sekarang, Adam telah pergi. Apa yang bisa ia lakukan di sini selain menghabiskan uang keluarganya?

Ia bisa pindah dari apartemennya yang berada di Brooklyn ke sebuah penthouse  di Manhattan. Lalu menghabiskan uangnya dengan belanja pakaian, sepatu, dan keperluan wanita lainnya, tanpa merasa tidak enak hati karena Adam sudah tidak bersamanya lagi.

Ah, Adam.

Aneh sekali. Ruby memang merasa sedih, tetapi hanya sekadar itu. Ia tahu dirinya seharusnya sedih. Namun di sisi lain, ia merasa dirinya bebas. Ia bisa bebas berbelanja dan melakukan hal-hal yang menyenangkan.

Seperti siang ini. Ia menghabiskan waktunya di Manhattan Mall. Membeli beberapa pakaian dalam di Victoria’s Secret dan membeli beberapa sepatu di Nine West. Hari ini adalah surganya.

Di tengah-tengah ia mencari sepatu untuknya, ponselnya berbunyi. Telepon dari nomor tak dikenal. “Good afternoon, Beautiful Being.”

Tidak perlu waktu lama untuk mengenali suara itu. “How did you get my number?”

Pertanyaan bodoh. Pria itu bisa dengan gampang bertanya pada salah satu anggota keluarganya. Namun jawaban pria itu membuatnya terbelalak. “Dari pria yang kini menjadi mantan kekasihmu.”

You.. what?!”

“Ya, pria bernama Adam yang memberitahuku. Can we meet up? Where are you now?”

“Keberatan jika kamu jelaskan bagaimana Adam memberikan nomor teleponku?”

Meet me at the Central Park then. Now.”

Klik. Pria itu memutus sambungan begitu saja, tanpa peduli dengan jawaban Ruby. Huh. Dalam hati Ruby mengeluh sendiri, tidak adakah satupun pria yang bisa menghargainya? Atau ia memang bukan tipe perempuan yang pantas untuk dihargai?

Terus terang Ruby enggan menemui pria itu. Pria yang sama sekali tidak dikenalnya. Namun entah mengapa, Ruby ingin sekali membahas pernikahannya dengan pria itu. Setelah semalaman menangisi Adam, ia berpikir untuk  menikah saja dengan pria yang tidak dikenalnya.

Terdengar gila memang. Kegilaan sendiri sudah menjadi bagian hidup Ruby. Dibesarkan di keluarga yang tidak diragukan lagi kekayaannya, memiliki  ayah yang layaknya Don Juan meski sudah lama meninggal, serta kakak yang memiliki sifat seperti ayahnya.

Dan sekarang… keluarganya menjodohkannya dengan pria yang luar biasa tampan. Ya, sebenarnya, fisik bukanlah kriteria yang dicari Ruby. Entahlah. Ada sesuatu di dalam diri Attar, yang belum bisa dideskripsikan olehnya.

Attar adalah tipe pria yang diidamkannya tanpa sadar. Pria itu memiliki garis wajah yang tegas, dan di lain sisi, Ruby bisa melihat sifat humoris dalam diri pria itu.

Hah, mikir apa aku ini, desahnya. Kamu baru bertemu dengannya sekali, Ruby. Jangan bodoh. Pria yang telah bersamamu untuk waktu yang lama saja bsia meninggalkanmu!

Untuk alasan yang ia sendiri tidak tahu, Ruby melangkahkan kakinya untuk menemui Attar di taman.

***

Attar menatap pesan singkat dari kakak Ruby. Meskipun Edo pernah membatalkan pernikahannya dengan sepupunya, hubungannya dengan dirinya dan kakak Ruby  yang sempat dekat itu tidak terputus. Bahkan, dengan adanya perjodohan itu, hubungan keduanya semakin dekat.

Kini Attar berdiri di tengah keramaian Central Park, sebuah taman yang berada di Manhattan, dengan dua gelas cappuccino yang ia beli di Stumpton Coffee Roasters/

Selama menunggu Ruby, ia tertawa sendiri. Hah. Sejak kapan dirinya melakukan hal ini untuk perempuan? Perempuan yang belum dikenalnya—dan sangat cantik. Attar sering bertemu perempuan cantik, tapi tidak ada yang seperti Ruby. Ia sudah mengenal Ruby sejak dulu, jauh sebelum mereka saling mengenal.

Terakhir mereka bertemu sebelum malam itu ketika pesta pertunangan Edo dengan sepupunya, empat tahun yang lalu. Saat itu Attar sudah memperhatikannya, namun enggan mendekati perempuan itu.

Entahlah. Ia merasa, perempuan seperti Ruby sulit ditaklukkan. Apalagi saat itu Ruby tidak sendiri. Ia bersama pria yang kini ia tahu adalah mantan kekasih Ruby. Dan Attar merasa itu adalah peluang yang besar untuknya mendekati Ruby.

Dari jauh Attar melihat sosok perempuan dengan banyak plastik belanjaan di kedua tangannya. Ia tersenyum. “You’re late.”

“Ya, aku tahu. Aku sudah berjalan dengan sangat cepat, sampai aku lupa menaruh semua barang ini di mobil,” jawab Ruby.

“Kamu terlihat sangat excited.”

Oh, really? Cepat jelaskan padaku mengapa Adam bisa memberikan nomorku padamu, dan...”

“Dan kamu akan pergi?” sela Attar.  “Jangan mengira aku mengejarmu, Ruby. Kakekmulah yang meminta kita menikah.“

Ruby tergelak. “Kakek? Meminta kita menikah?“ Ruby menggeleng dengan tegas. “No way. Just so you know, kakekku sangat menyayangiku. Jadi, tidak mungkin dia memintaku menikah dengan seseorang yang tidak kukenal, oke?”

“Aku kira kasih sayang kakekmu sudah berkurang,” jawab Attar. “Beliaulah yang membiayai kedatanganku kemari. Beliau hanya ingin aku melamarmu. Dan kamu kira aku ingin melakukannya?”

“Jadi, kenapa kamu di sini, kalau kamu tidak ingin melamarku?”

Sekali lagi Attar menahan kesabarannya. Ya ampun. Belum ada perempuan yang sesadis ini padanya. “Hanya ingin membuat kesepakatan padamu.”

“Aku tidak akan menikah denganmu, cucu dari Bapak Hasyim Hardana.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status