Ketika pelayan datang mengantarkan pesanan mereka, Ruby sama sekali tidak bersemangat untuk memakan lobster-nya. Sementara Adam memakan makanannya dengan tenang, seolah Ruby memang mengerti pada situasi yang dihadapi Adam.
Duh bodoh sekali sih diriku, keluh Ruby. Adam tidak akan melamarmu, Ruby. Sekalipun iya, itu akan membutuhkan waktu yang lama sekali. Ruby pernah membaca buku agenda pria itu, dan tertulis bahwa target pria itu menikah saat adiknya lulus kuliah. Sementara adiknya saja baru lulus SMA. Ya ampun. Berapa lama lagikah itu? Tiga tahun? Empat tahun? Ruby tidak yakin ia bisa menunggu Adam selama itu.
Di tengah kerisauannya, Ruby tertawa melihat sepasang kekasih yang bertengkar di depannya. Bukan pertengkaran yang anarkis. Sang pria disiram segelas wine oleh kekasihnya, dan setelah kekasih pria itu pergi, pria itu hanya tersenyum saja.
Tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa. Bahkan kelihatannya pria itu sangat senang dipermalukan seperti itu. Ya, Ruby dapat melihat senyum yang tersungging di bibir pria itu. Karena pria itu tengah tersenyum…padanya.
Mata mereka saling bertemu. Sekali lihat saja Ruby dapat menarik kesimpulan tentang pria itu; bajingan. Ya, pria itu terlihat seperti seorang bajingan. Bagaimana bisa pria itu memberikan senyum menggoda seperti itu, di saat baru ditinggal kekasihnya? Atau mungkin, bukan kekasihnya? Simpanannya, mungkin?
Mengingat ada Adam di depannya, Ruby langsung mengalihkan pandangannya pada kekasihnya.
“Apakah Senin malam kamu sibuk, Sayang?” tanya Adam.
Ruby mengangguk. “Aku akan tampil di The Living Room,” katanya. “Apakah kamu berniat untuk mengajakku ke suatu tempat pada Senin malam?”
“Ya, bosku ulang tahun, dan aku tidak tahu siapa yang akan kuajak.” Adam mengangkat bahu. “Mungkin aku akan berangkat ke pesta itu sendiri.”
“Maafkan aku, tapi aku sudah terikat kontrak untuk Senin ini.”
“Benarkah?” Adam terdiam. “Kukira kamu tidak membutuhkan penghasilan lagi untuk saat ini.”
“Maksudmu?” Sepasang mata Ruby menyipit.
“Entahlah, aku merasa kamu seperti dulu lagi. Seperti saat SMA. Kamu sangat populer dengan sifat hedonismemu itu. Mungkin kamu bisa menyembunyikan semua itu dariku, By, tapi aku bisa melihatnya. Kamu terlihat senang dengan kemewahan ini.”
“Siapa yang tidak suka dengan kemewahan ini? Aku sudah bekerja keras di sini, apakah aku tidak layak untuk makan di sini?”
Adam menggeleng. “Bukan restoran ini yang kumaksud. Apakah kamu masih sering belanja barang-barang mahal, Ruby? Tolong jujur padaku.”
Kata orang, tidak ada salahnya jika berbohong untuk kebaikan. Tapi Adam tahu sekali bagaimana menekan Ruby untuk berkata jujur. “Ya. Tapi kamu harus mendengarkan penjelasanku.” Ruby mulai memakan lobster-nya, seolah memberikan tenaga untuk dirinya menjelaskan pada Adam.
“Aku tetap di sini, Ruby.”
“Sebentar lagi anak pertama Mas Edo akan berulang tahun, dan aku menghadiahkannya beberapa pakaian Louis Vuitton.”
“Dan…”
Oke, baiklah, Ruby harus mengatakan terus terang. “Aku juga membeli beberapa potong pakaian untukku sendiri.”
“Dan….”
“I bought some clothes and assesories at Dolce & Gabbana.” Ruby tersenyum, bersalah, seperti anak kecil yang mengaku telah mencuri permen. “Aku sudah lama tidak belanja, aku harap kamu mengerti dengan semua itu, Adam.”
“Bukan hanya kamu yang harus mengaku.” Adam menghela napas panjang. “Aku harus katakan ini padamu.”
“Mengenai hal apa?”
“Apakah kamu keberatan kalau kita tidak menikah untuk…selamanya?”
“Maksudmu, kamu ingin kumpul kebo? Kukira kamu tahu itu dosa, Dam,” tanggap Ruby santai. Ah, cepat atau lambat Adam akan mengatakan hal ini, dan Ruby sudah mempersiapkan dirinya untuk berpisah dari pria ini.
“Tidak, kita tidak perlu melakukannya, tapi kita masih bisa seperti ini. Aku tidak akan marah dengan pengakuanmu barusan. Karena sekarang kusadar, aku sangat takut berkomitmen.”
“Aku dapat melihatnya.”
“Dan kamu merasa tidak keberatan?”
Ruby menggeleng. “Aku hanya memberikan sebuah tawaran untukmu. Kita berpisah sekarang, atau kita menikah satu atau dua tahun lagi. Well, kukira itu waktu yang cukup lama untuk mempersiapkan dirimu untuk menikah, dan aku akan menunggu, Adam.”
“Kamu tidak mengerti, Ruby. Pernikahan bukanlah suatu permainan. Apakah kamu siap terikat denganku? Apakah aku sudah mengatakan padamu bahwa aku tidak ingin memiliki istri yang bekerja?”
“Ya, dan itu tidak masalah bagiku.”
“Istri yang lebih suka di rumah. Memasak, menyiapkan baju untukku, dan mengurusi segala keperluan di rumah.”
Does it sound like a butler? “Aku tahu.”
“Dan semua itu belum cukup, Ruby.” Adam merasa dadanya sesak. “Aku ingin istri yang benar-benar menurut padaku.”
AKU BISA MELAKUKANNYA! Ruby ingin sekali meneriakkan kalimat itu di depan Adam. Mengapa Adam masih belum percaya padanya? Untuk Adam, Ruby bisa melakukan apapun. Dan seharusnya Adam tahu itu.
“Dan kukira sebaiknya kita berpisah,” kata Adam akhirnya. “Aku tidak akan menjadi suami yang baik untukmu, Ruby. Aku akan menjadi suami yang sangat sibuk, dan sebelum malam ini, aku tidak pernah berpikir untuk menikah denganmu. Maafkan aku.”
“Bagaimana dengan kontrak itu? Ketika kamu bilang mengenai lamaran itu, aku teringat pada kontrak itu.” “Curse the contract. Kamu tidak akan meninggalkan suamimu yang satu ini, kan?” Attar terus mencium, menggigit, leher serta bahu istrinya. “I will never give up on you, Rubiniaku. You’re the light of my life, I love you so much. Way too much.” “Attar, katakan dulu apa yang terjadi dengan kontrak itu.” Ruby membalikkan tubuhnya dan menatap suaminya dengan penuh tuntutan. “Apa yang kamu lakukan dengan perjanjian itu?” “Well, aku tidak peduli dengan perjanjian itu. Kakekmu juga sudah tidak ada, bukan? Bahkan notaris yang menyaksikan perjanjian itu sudah pergi juga. Dan aku.” Attar terdiam sejenak. “Aku tidak perlu kontrak atau jaminan apa pun untuk memilikimu dan anak-anak.” “Benarkah?” “Mau taruhan? Sebelumnya, aku ingin tahu apakah aku masih kuat menggendongmu atau tidak.” Dengan tubuhnya yang kekar Attar ma
ItaliaPemuda dengan memakai kemeja kotak-kotak menggandeng gadis kecil berambut panjang. “Papa!” teriak gadis kecil itu.“Miriam!” Attar menghampiri putri kecilnya dan menggendongnya. “Bagaimana jalan-jalannya dengan Kak Eda?”Tujuh tahun berlalu begitu cepat. Attar bersyukur, dengan kesehatannya yang semakin membaik, dan di usianya yang menginjak empat puluh, ia mendapat semuanya—anak-anak yang cantik dan tampan yang pintar—istri yang begitu sabar menghadapinya. Kehidupannya sangat sempurna tujuh tahun terakhir, setelah puluhan tahun sebelumnya ia habiskan dengan kebohongan dan kemarahan yang tak terkendali.Attar menamakan anak keduanya Miriam. Sebagai tanda hormatnya pada sang nenek yang sudah lama pergi. Nenek yang dicintai kakeknya, yang akan selamanya Attar kenang akan kebaikan sang kakek semasa hidupnya.Sebelum meninggalkan Hardana Land dan tinggal di Singapura, Attar melakuk
“Kata Tante Nina, Oom Attar tidak bisa bawa yang berat-berat dulu sejak serangan kayak Kakek.”Anak kecil tidak mungkin berbohong. Agar tidak membahas lebih lanjut, Attar bangkit dan mengajak istrinya untuk ke kamarnya yang berada di lantai yang sama. Sebelumnya ia menitip pesan pada Eda untuk menemani Kakek Malik dan Nenek Lenny di sana.Ketika Attar mendorong kursi roda istrinya ke kamar, sosok Kakek Gun dan keluarga Adiwangsa lainnya muncul. Mereka menjelaskan bahwa di luar macet sekali hingga Kakek Gun harus naik helikopter dari Menara Adiwangsa yang lokasinya tak jauh dari rumah.Kakek Gun meminta Ruby untuk beristirahat dulu sementara keluarga Adiwangsa menjenguk Hasyim. Ruby menolak, namun tak punya pilihan karena Edo dan Shera ikut mengkhawatirkan keadaannya.Begitu sampai kamar Attar membantu istrinya untuk bangun dan berbaring di tempat tidur. Dipastikannya kepala istrinya sudah nyaman dengan bantalnya. Kemudian ia duduk di tepi temp
“Kakek saya tidak pernah terlihat sakit.”“Anda pun juga begitu. Tapi Anda pernah serangan juga, bukan?” Dokter Prapto, dokter yang sama yang menangani Attar ketika ia dirawat. “Sekarang temuilah anggota keluarga yang lain di lorong, Pak Attar.”Dengan lemas Attar keluar dari kamar kakeknya. Di lorong sudah ada semua anggota keluarga Hardana, termasuk dari keluarga menantu. Adam, Fariz, dan sepupu yang lain memeluknya, memberi semangat padanya.Attar menghampiri istrinya yang duduk di atas kursi roda di pojok sebelah ibunya. Sebelumnya Attar memeluk mama-papanya, dan meminta Eda untuk mendoakan kakek buyutnya agar cepat sembuh.Ia duduk di kursi yang paling dekat dengan istrinya. “Bagaimana ceritanya? Kata Pak Mahdi dia serangan di kamarmu.”Ruby mengangguk. “Kakek mengakui semuanya di depanku.”“Apakah kamu menyakitinya?”Mata Ruby menyipit. Apakah suaminya berni
“Kakek Hasyim,” kata Ruby. “Ada perlu apa kemari?” Tidak perlu bertanya sebenarnya. Ia tahu apa yang ingin dikatakan kakek. Mengenai hubungan mereka yang sebenarnya. Tapi Ruby tidak tertarik. Yang diinginkannya adalah menemui Attar, membahas jenis kelamin bayinya.“Apakah Attar belum memberitahu bahwa aku…”“Kakekku? Sudah.”Ketenangan yang ditunjukkan Ruby membuat Hasyim terbelalak. “Kamu tidak marah atau benci padaku, Rubinia…”“Saya tidak punya pilihan, bukan,” jawab Ruby sinis. “Anda sudah mendapatkan apa yang Anda inginkan. Attar tidak dipenjara, dan saya telah menikah atas kehendak Anda.”“Ruby, saya tidak menyangka kamu berpikir seperti itu mengenai saya…” Hasyim mengira dirinya sudah baik pada cucunya yang satu ini. Ia telah lama berdiam diri dengan fakta yang ditelannya puluhan tahun. Dan reaksi Ruby adalah beban besar untuk
Armand memiliki temper yang sulit diduga. Ketika Edo masuk usia remaja, sikap Armand berubah pada putranya. Kasih sayang yang dulu disalurkannya pada anak-anaknya sirna begitu saja. Berganti dengan kemarahan karena anak-anaknya tidak ada yang menghargainya sebagai kepala rumah tangga, kebenciannya pada Gunawan yang tak pernah bersikap tegas padanya, bahkan seakan menunjukkan sikap tidak sayang pada anaknya dengan mendukung hubungan Armand dengan Hasyim.Hingga suatu hari Hasyim melakukan kesalahan.Dia tidak bisa mengekang dirinya untuk mengakui Armand. Pada acara open house Lebaran yang diadakan keluarga Adiwangsa, ia memanggil Ruby dengan sebutan yang tak biasa. “Hai, gadis kecil. Tidak salam pada kakekmu?”Ruby menoleh padanya dengan heran. Saat itu ia sudah remaja dan dia bukan cucu Hasyim. “Saya bukan Nina,” kata Ruby kikuk.“Tentu saja. Kamu Rubinia. Cucuku.”Percakapan mereka tidak berlanjut tatka
“Mustahil untuk membuka pintu maafmu,” bisik Attar di lehernya. “Aku insyaf, lelaki yang kini menjadi suamimu lelaki yang serakah, meraup apa yang diinginkannya, dan sekarang kamu menyadarkan aku bahwa malaikat pun tak sanggup memaafkan aku.”“Aku bukan malaikat,” jawab Ruby, masih memunggungi suaminya. “Aku hanya wanita tolol yang mencintaimu.”“Aku tetap suamimu, Nia. It’s my duty to ease your ache, and…” “Berhentilah mengesankan kamu melakukan ini karena statusmu,” bentak Ruby. Ia berbalik menatap suaminya. “Bisakah sekali saja kamu katakan padaku, kamu merawatku, menolongku, karena kamu seorang manusia yang memiliki hati nurani? Seorang suami yang mencintai istrinya?”“Kalau pun aku mengatakannya, kamu tidak akan percaya lagi padaku,” jawab Attar kaku. “Aku tidak perlu membusakan mulutku dengan janji-janji lagi. Aku akan buktika
“Mengapa kamu di sini?”“Mengapa aku di sini?” Suara Attar meninggi mendengar pertanyaan istrinya. “Well, kenapa aku harus di tempat lain di saat istriku sedang dirawat?”“Kamu terbiasa di kantor setiap akhir tahun atau bersama Nina dan yang lainnya berpesta menyambut tahun baru.”“Aku tidak begitu semangat di Hardana Land untuk saat ini. Bagaimana menurutmu jika aku pindah ke perusahaan Stephen? Hm, Stephen ini teman Fariz yang waktu itu kuceritakan. Dia yang menawarkan aku jadi CEO di Osvaldo Property.”Ruby mengernyit tanda tidak setuju. “Itu artinya kita akan tinggal di Singapura?”“Kita bisa berpisah dan aku bisa pulang setiap akhir minggu. Yah, mungkin juga tidak, karena uangku tidak akan sebanyak saat di Hardana Land dan aku tidak bisa memesan pesawat pribadiku sesukaku di sana.”“Aku tidak setuju jika kita harus berpisah. Maksudku, kita
“Mengapa tidak kamu saja yang melakukan proyek ini? Aku yakin kamu bisa menggantikan aku di sini. Kamu lebih berhak.”“Oh, Tara, bahkan aku tidak merasa ada bedanya kamu cucu Kakek atau bukan,” dengus Fariz. “You’re always my leader, cousin. Aku menyesal telah mengantarkan pesan Stephen mengenai tawaran itu. Mereka selalu welcome kapan pun kamu menerima mereka.”“Tidak ada ketegasan sekali. Mengapa tidak mencari CEO lain saja?”“Memang banyak pengusaha properti yang sukses, tapi mereka memilih untuk menjaga perusahaan mereka sendiri. Stephen berpikir dengan anggota keluarga Hardana yang banyak, melepasmu bukanlah masalah besar untuk kita. Tapi nyatanya, itu masalah juga.”“Aku percaya padamu.”“Tidak, Attar,” jawab Fariz tegas. “Aku akan sangat membencimu jika kamu meninggalkan perusahaan ini. Aku tahu passion-ku bukan di sini.