Share

DUA

Itu kebiasaan mereka. Setiap malam Sabtu, Ruby selalu menjemput Adam dan mengajak kekasihnya ke tempat yang ia mau, seperti bar, klub, atau menonton bioskop.

Setelah Adam dan dirinya memakai sabuk pengaman, Ruby meluncurkan mobilnya dari Wall St ke suatu tempat yang membuat Adam kesal karena penasaran. Ruby sama sekali tidak merasa bersalah mengenai hal itu. Semakin pria itu marah, pria itu semakin terlihat seksi. Dan Ruby senang melihatnya.

“Mengapa kamu senang sekali membuatku marah,” keluh Adam dengan nada pasrah. Marah pada kekasihnya hanya menghabiskan waktu. Adam tidak pernah bisa marah sekali pada Ruby, karena ia terlalu mencintai perempuan itu. “Ini sudah tengah malam, By. Apakah kamu tidak mau aku yang menyetir?”

“Terima kasih, tapi aku sama sekali belum mengantuk.” Ruby menyetel lagu Far East Movement. “Bankir sepertimu harus dihibur, Adam. Kamu terlihat sangat tertekan dengan setelan formal seperti itu.”

Adam melepaskan dasinya dan melepaskan dua kancing dari atas kemejanya. “Kamu tahu, aku selalu iri padamu. Lulus dari New York University, tapi ujung-ujungnya jadi penyanyi indie. Kamu memiliki keluarga yang menganut demokrasi.”

“Tidak juga. Karena itu aku tidak berani pulang ke Jakarta. Karena kalau mereka tahu apa yang aku lakukan di sini, aku bisa digantung. Tidak, tidak akan ada satupun anggota keluargaku yang berani melakukan itu.”

Kemudian, keduanya sama-sama diam. Menyadari bahwa Ruby adalah putri kesayangan dari keluarga Adiwangsa, yang selalu mendapatkan apa yang ia inginkan. Berbeda dengan Adam. Adam berasal dari keluarga menengah di Jakarta. Orangtuanya menyekolahkannya di Amerika untuk mengembangkan perekonomian keluarganya.

Meskipun mereka berasal dari kalangan yang berbeda, mereka saling melengkapi. Ruby yang bosan dengan kegiatan sosialita yang menurutnya sangat monoton, menemukan kebahagiaan lain dengan Adam. Adam yang tidak pernah menuntutnya untuk melakukan ini-itu, membuat Ruby sangat mencintai pria itu, begitupun sebaliknya. Bersama Adam, Ruby adalah dirinya sendiri, dan Adam sangat menyukai semangat yang ada di dalam diri perempuan itu.

Ruby menghentikan mobilnya di Beaver St. “Kukira kita sudah sampai.”

Adam menatap restoran yang ada di depannya. “Kita akan malam di Delmonico’s? Not such a bad idea.”

Mereka turun dari mobil. Ini pertama kalinya mereka makan malam di restoran mewah.  Biasanya mereka makan bersama di restoran seperti Kenka, Shake Shack, dan segala jenis restoran yang harganya masih terjangkau.

Malam ini, Ruby menginginkan sesuatu yang berbeda. Selama ia berpacaran dengan Adam, mereka belum pernah merasakan hal-hal yang mewah. Sebenarnya, bukan mereka. Ruby sering diam-diam makan di restoran kelas atas. Sayangnya, ia hanya bisa melakukannya sendiri.

Pelayan mengantarkan mereka ke meja makan mereka. Belum sempat Adam membuka menu, Ruby segera memesan pada pelayan, “Dua Delmonico’s Lobster Tail dan dua red wine.

Setelah pelayan mencatat pesanannya dan pergi, Adam bertanya dengan dahi mengernyit. “Kamu sering ke sini?”

Untuk sesaat Ruby terdiam. Ya, Adam pasti akan marah padanya. Adam tidak menyukai hal-hal yang berbau kesenangan dan mewah. Segala kesenangan terasa salah bagi pria itu, mengingat perjuangannya yang keras di kota metropolitan ini.

“Bagaimana kamu bisa mengatakan hal itu?” tanya Ruby berlagak bodoh. “Aku sudah melihat menunya di internet, dan kurasa itu sesuai dengan selera kita.”

“Selera kita?” Adam terdiam. “Kamu tahu aku jarang sekali makan di tempat seperti ini, Ruby. Terakhir kita makan di tempat seperti ini ketika kamu berulang tahun ke dua empat, setahun yang lalu, bukan? Di mana waktu itu… Aku lupa.”

“Di Butter, Sayang.” Ruby menggigit bibirnya. Ketidaktenangan dalam diri Adam terlihat jelas di mata pria itu, membuat Ruby merasa bersalah. “Kamu merasa tidak nyaman?”

“Apakah kamu perlu bertanya? Restoran seperti ini hanya menghabiskan uang saja, Ruby. Kita bisa menggunakan uang itu untuk hal yang berguna, seperti membeli mobil, keliling kota…”

“Menikah.”

“Apa?”

“Menikah. Kamu tidak ingin menikah, Adam?”

“Untuk saat ini, belum. Apakah kamu ingin menikah, Ruby?”

Tatapan Adam yang sama sekali tidak mengerti dirinya, membuat Ruby kesal. “Ya.” Dan aku tidak ingin memintamu untuk melamarku.

“Maafkan aku,” kata Adam menyesal. “Sungguh, aku tidak bermaksud mengatakan belum. Hanya saja pekerjaanku sangat menyita waktuku, dan kamu tahu, adikku yang bungsu, Arini, akan masuk kuliah. Aku memiliki tanggung jawab untuk membiayai kuliahnya, Sayang.”

Ya, ya, ya. Berhubungan dengan Adam berarti berhubungan dengan keluarganya. Awalnya, Ruby sangat mengagumi sifat family-oriented yang dimiliki pria itu. Namun lama-lama itu menjemukan untuk Ruby. Adam selalu mementingkan keluarganya di atas segalanya.

Tapi tidak sekarang. Setelah sekian tahun bersama, Ruby menginginkan lebih. Ia tidak ingin mengerti Adam lagi. Ia ingin Adam-lah yang mengerti dirinya, dengan mengesampingkan urusan keluarga pria itu, dan mengutamakan kekasihnya.

Ya, dan itu tidak akan terjadi. Adam yang pekerja keras tidak akan melamar Ruby. Atau mungkin, selama ini Adam hanya kasihan padanya, mengingat Ruby-lah yang pertama kali menyatakan cinta pada pria itu di SMA dulu.

Dan sekarang, Ruby yang menginginkan pria itu untuk melamarnya. Ya Allah. Memang hanya Adam, pria yang ada di muka bumi ini?

“Ya, aku mengerti,” kata Ruby lemas. “Kamu harus bekerja keras untuk keluargamu. Itu yang terbaik.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status