Beranda / Romansa / Marry with Sugar Daddy / 3. Menyesakkan Hati

Share

3. Menyesakkan Hati

Penulis: Momy3R
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-14 22:46:29

Tio tidur dengan meringkuk di tempat tidurnya. Anak itu belum makan sejak pagi. Ia mengguncang tubuhnya.

“Tio … Tio!”

Tio bergerak dan membuka matanya. “Ya, Mbak,”

“Makan dulu, Mbak sudah belikan kamu gorengan ayam yang enak dan gurih, yuk!”

Tio mengucek matanya. Ia terpaksa menuruti perintah ibu untuk tidur saja tanpa makan. Padahal kakaknya pulang membawa banyak makanan.

“Mbak, ibu juga belum makan,” ujarnya setengah ragu saat akan mengunyah.

Luna teriris hatinya, ibunya mencemooh pemberian darinya dan menganggapnya membawa makanan yang didapat dari pekerjaan yang haram.

“Nanti Mbak panggil ibu juga untuk makan. Kamu makan aja, ya?”

Tio mengangguk dan langsung lahap begitu ayam gorengnya ditambah lagi. Luna segera mengetuk pintu kamar ibunya. 

Jam masih menunjukkan pukul delapan malam, sejak sore ibunya ngambek tak mau bicara dengannya hanya karena dia membawa banyak belanjaan.

Ia akan mengajak ibunya bicara dan menjelaskan kalau makanan itu ia beli dari uang yang halal. Ibunya membuka pintu, karena tiba-tiba Tio juga ikut memanggil-manggil.

“Bu, makan dulu, Mbak Luna juga beli obat,”

Ibunya terbatuk-batuk dan memang keluar untuk duduk tapi minta Luna menjelaskan semuanya.

“Bu, Luna menjual ponsel, dan …”

Ibunya terdiam, Luna duduk dan menjelaskan semuanya. 

“Jadi … uang itu …”

Luna mengangguk, tersenyum kemudian menjelaskan lagi dengan jelas asal usul yang diterimanya.

“Orang itu nggak mau bawa ponsel ini tapi tetap membayarnya dan seakan membelinya,”

Ibunya menangis, minta Luna memeluknya. “Maafkan ibu, Lun. Ibu kira kamu kerja apa, banyak uang dan bisa beli ini dan itu. Ibu nggak mau kamu salah jalan,”

Luna mengangguk, meminta ibunya untuk makan dan minum obatnya.

Ia merasa lega, ibunya sudah bisa menerima meski sempat tegang tadi karena ia ingin ibunya bahagia meski ia harus menjual sesuatu dan untungnya bertemu dengan orang yang baik.

**

Keesokan paginya, Luna berjalan menyusuri gang sempit menuju rumahnya, ia  arus saja membeli beberapa kebutuhan dapur yang sudah habis dan butuh sekali dibelinya di pasar.

Langkahnya ringan seiring dengan senyum tipis di bibirnya.

Uang yang didapatkan kemarin, masih ia simpan sebagian. Beberapa sudah digunakannya untuk tagihan listrik.

Sisanya tak lupa ia sisihkan untuk obat ibunya. Ada beberapa obat lagi yang belum dibelinya.

Setidaknya, untuk beberapa waktu ke depan, mereka bisa bernapas lega. Ia merasakan sedikit berkurang beban di hatinya.

Sesampainya di depan rumah petaknya yang sederhana, Luna terkejut melihat kerumunan warga. 

Jantungnya berdebar. Perasaan tidak enak langsung menyergap. Ia menerobos kerumunan, dan pandangannya jatuh pada tetangganya, ada Bu RT disini, yang wajahnya tampak cemas.

"Luna! Astaga, Luna!" seru Bu RT panik. "Ibumu... adikmu..."

Kaki Luna lemas. "Ada apa, Bu RT? Ada apa dengan Ibu dan Tio?" 

Dengan suara bergetar, Bu RT menjelaskan. Tio, yang siang itu meminjam motor tetangga untuk suatu keperluan, mengalami kecelakaan.

"Kaki Tio lukanya cukup parah, Lun, dan harus segera dioperasi," kata Bu RT.

"Iya, Lun. Ibumu saat mendengar kabar itu, jantungnya mendadak kambuh, dan langsung dilarikan ke rumah sakit."

"Ya Allah, Ibu ... Tio!" pekiknya.

Luna tidak menyangka, ia akan menghadapi ini. Adiknya kecelakaan dan ibunya juga masuk rumah sakit.

Parahnya lagi, motor yang dipinjam Tio rusak parah, “Pak Bondan menuntut ganti rugi. Tolong kamu segera ke rumah sakit, nanti diantar naik mobil, kebetulan ibu akan kesana sekarang,”

Dunia Luna runtuh seketika. Uang yang baru saja memberinya harapan, kini terasa tak berarti.

Operasi? Ganti rugi? Ia bahkan belum melunasi tagihan-tagihan yang lama.

Dengan diantar Bu RT dan beberapa tetangganya, Luna segera pergi ke rumah sakit. Tiba disana, Luna berlari di antara lorong rumah sakit yang ia lewati. 

Di sana, ia menemukan ibunya terbaring lemah di UGD, wajahnya pucat pasi. Beberapa perawat sedang menanganinya. 

Tak jauh dari sana, Tio terbaring di brankar lain, kakinya diperban dan darah masih sedikit merembes. Wajah adiknya meringis menahan sakit.

“Ibu!” 

Ia melihat ibunya juga terbaring lemah. Ibunya mengulurkan tangan mengharap kedatangannya sejak tadi.

"Lun..." panggil ibunya lirih. "Tio... kakinya..."

Luna memaksakan senyum, berusaha terlihat kuat di depan mereka, ibunya dan juga Tio yang sama-sama sedang terbaring.

"Tidak apa-apa, Bu. Tio pasti sembuh. Ibu juga jangan khawatir."

Dokter menghampiri Luna dengan ekspresi serius. "Adiknya harus segera dioperasi. Tulang keringnya retak parah. Biayanya lumayan besar, sekitar dua puluh lima juta rupiah."

Angka itu bagai palu godam yang menghantam kepala Luna. Dua puluh lima juta rupiah? Dari mana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu?

Tabungan nihil, aset tidak ada. Ponselnya sudah usang, bahkan uangnya tidak sampai dua juta. Satu juta pun itu sudah berkurang.

Luna merasakan keputusasaan yang mendalam. Ia ingin menangis, berteriak, merutuki nasibnya. Di saat ia baru saja merasakan sedikit kelegaan, badai yang jauh lebih besar justru datang menerjang. 

Ditambah lagi, Pak Bondan sang pemilik motor yang dipinjam Tio datang menemuinya, menuntut ganti rugi sebesar lima juta rupiah untuk perbaikan motornya.

"Uangnya sudah harus ada besok, Lun. Adikmu kan sudah merusak motor itu!" bentak pria pemilik motor, tak peduli Luna sedang dalam keadaan kacau.

“Iya, Pak, nanti akan Luna siapkan, tolong jangan minta sekarang. Luna juga sedang bingung ini,” 

Bu RT berbisik di belakangnya, mereka kasihan padanya dan berencana mengumpulkan donasi untuk membantu meringankan bebannya.

Luna hanya bisa menatap nanar. Dua puluh lima juta untuk operasi Tio, lima juta untuk motor, dan ibunya juga butuh perawatan. 

Total tiga puluh juta rupiah, pun itu belum termasuk perawatan ibunya. Sebuah angka yang mustahil baginya. 

Bagaimana ia bisa keluar dari lingkaran kemiskinan dan masalah yang tak ada habisnya ini. Ia merasa terpojok, terhimpit oleh beban hidup yang tiba-tiba melipatgandakan dirinya.

**

Luna terduduk lemas di kursi tunggu rumah sakit, kepalanya pening, hatinya hancur. Struk tagihan rumah sakit untuk Tio yang tertera dua puluh lima juta rupiah terasa seperti vonis mati. 

Di genggamannya, ia meremas selembar surat pernyataan ganti rugi motor yang dituntut lima juta rupiah. Semua seperti batu besar yang menghantam dirinya. 

Ditambah lagi, ibunya masih dalam pengawasan intensif. Tiga puluh juta rupiah lebih. Ia tak tahu harus mencari ke mana.

Pikirannya melayang pada seseorang, pria asing yang tiba-tiba muncul dan menolongnya tempo hari. 

Bisakah ia menghubunginya, kan ada kartu namanya. Tapi untuk apa. Meminta uang lagi. Memangnya siapa dia, sampai meminta uang segala, kerabat bukan, teman bukan bahkan suami juga bukan.

Jika ia menghubunginya, tanpa angin tanpa ada apa-apa tiba-tiba mengatakan sesuatu yang cukup memalukan.

Sampai meminta uang itu terlalu lancang, dan ia bahkan tidak punya nomornya. 

Ia merasa begitu sendirian di tengah badai masalah yang bertubi-tubi.

Saat ia sedang tenggelam dalam keputusasaan, sebuah suara familiar memecah keheningan.

"Luna?"

Luna mengangkat wajahnya perlahan, ia lesu dan tengah melamun, memikirkan banyak permasalahannya.

Ternyata saat mendongak, di depannya telah berdiri seorang pria.

Pria itu mengenakan kemeja biru muda yang rapi, dengan raut wajah yang menunjukkan sedikit kekhawatiran.

Luna terkejut setengah mati. Ia hampir tidak mempercayainya. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Marry with Sugar Daddy    6. Sambutan Dingin

    Angin lembut bulan Juli memainkan helai rambut Luna saat memandang Tio, adiknya, yang tertawa riang di taman rumah sakit. Kakinya telah dioperasi tapi dia harus memakai kursi roda nantinya sampai benar-benar sembuh betul.Beberapa langkah di sampingnya, sang ibu tersenyum tipis, memetik bunga kamboja yang gugur di dekat kakinya.Senyum tipis yang dulu amat jarang terlihat, kini mulai kembali menghiasi wajahnya. Hati Luna menghangat, beban berat yang selama ini menindih pundaknya seolah terangkat. Proses pemulihan ibunya dari sakit yang mendera kini lebih banyak diam namun saat ada Jonathan yang datang membantu, ibunya seperti merasa memiliki nyawa lagi karena Tio mulai berangsur membaik dan kakinya terselamatkan dari kelumpuhan.Kesembuhan untuk kaki Tio memang tidak mudah, butuh waktu yang cukup lama. Luna memandang lega. Mereka berdua, ibu dan adiknya telah sembuh. Bahkan akan pulang dalam keadaan utuh.Jonathan berdiri di belakang Luna, merangkul pinggangnya erat. Hangat tanganny

  • Marry with Sugar Daddy    5. Akhirnya

    "Baiklah Tuan Jonathan... aku … aku bersedia," ucap Luna, suaranya nyaris berbisik, serak menahan getar. Ada rasa pahit yang menyelimuti lidahnya, namun juga secuil kelegaan yang mengerikan.Jonathan menghela napas panjang, seolah beban berat terangkat dari pundaknya. "Baiklah, Luna. Terima kasih. Untuk Bu Mirasih, tolong restui kami, dari awal saya memang menyukai putri ibu. Dan saya akan langsung urus semuanya.”Kelegaan juga terpancar di wajah Bu Mirasih yang memberikan restu meski hati kecilnya mengatakan ragu karena putrinya masih sangat belia untuk pria matang usia Jonathan.“Luna, untuk ibumu dan Tio, jangan khawatir. Semua biaya akan aku tanggung sepenuhnya." imbuh Jonathan lagi.Benar saja, dalam waktu singkat, Jonathan bergerak cepat. Ia mengurus administrasi rumah sakit, memastikan Tio segera masuk ruang operasi malam itu juga. Ia juga memanggil seorang notaris dan penghulu untuk mengurus pernikahan mereka secara siri di rumah sakit. Ya, mereka akan menikah secara agama

  • Marry with Sugar Daddy    4. Aku Bersedia Membantu

    Luna merasa ini seperti mimpi. Ia hampir tidak mempercayainya karena baru saja memikirkannya."Tu-Tuan ... Tuan Jonathan?" Ia tergagap, tak percaya pria itu ada di sana.Jonathan mengangguk pelan. “Ternyata kamu masih ingat aku,”Luna tersenyum, pahit, kali ini jauh lebih pahit dari yang ia rasakan sejak menerima uang satu juta itu."Kebetulan yang sangat kebetulan.” ujarnya lagi.Pria itu tersenyum dan duduk di hadapannya. Sungguh hati Luna menjadi semakin kacau. Ia hampir tidak bisa bernapas karena tercekat.Di hadapan pria itu ia tidak bisa berkata-kata. Matanya berkaca-kaca. Bayangan wajah ibunya dan adiknya yang butuh biaya banyak membuatnya semakin sesak merasakan kenyataan hidup ini.Ia hampir pingsan, apalagi saat mendengar pertanyaan pria itu.“Kenapa kamu di sini, Lun? Apa ... ada masalah?" Matanya menelusuri wajah Luna yang sembab dan lelah.Luna menunduk, malu dengan keadaannya yang kacau. Matanya yang berkaca-kaca semakin deras menetes, Jonathan semakin bingung melihat k

  • Marry with Sugar Daddy    3. Menyesakkan Hati

    Tio tidur dengan meringkuk di tempat tidurnya. Anak itu belum makan sejak pagi. Ia mengguncang tubuhnya.“Tio … Tio!”Tio bergerak dan membuka matanya. “Ya, Mbak,”“Makan dulu, Mbak sudah belikan kamu gorengan ayam yang enak dan gurih, yuk!”Tio mengucek matanya. Ia terpaksa menuruti perintah ibu untuk tidur saja tanpa makan. Padahal kakaknya pulang membawa banyak makanan.“Mbak, ibu juga belum makan,” ujarnya setengah ragu saat akan mengunyah.Luna teriris hatinya, ibunya mencemooh pemberian darinya dan menganggapnya membawa makanan yang didapat dari pekerjaan yang haram.“Nanti Mbak panggil ibu juga untuk makan. Kamu makan aja, ya?”Tio mengangguk dan langsung lahap begitu ayam gorengnya ditambah lagi. Luna segera mengetuk pintu kamar ibunya. Jam masih menunjukkan pukul delapan malam, sejak sore ibunya ngambek tak mau bicara dengannya hanya karena dia membawa banyak belanjaan.Ia akan mengajak ibunya bicara dan menjelaskan kalau makanan itu ia beli dari uang yang halal. Ibunya memb

  • Marry with Sugar Daddy    2. Kekerasan Hati Ibu

    Luna akhirnya bersedia ikut, ia ingin tahu apa yang diinginkan pria tua itu. Selain karena ingin yang dan ponselnya laku, ia juga ingin tahu apa sebenarnya yang diinginkan pria asing yang baru dikenalnya itu.Mereka duduk di kafe yang cukup ramai itu. Masing-masing orang pasti tidak menyadari jika mereka datang untuk bertransaksi ponsel usang.Luna menatap pria itu, setelah mereka duduk, lidahnya kelu. "Ponselmu, biar aku yang beli," ucapnya sesaat setelah mereka duduk.Pria ini akan membeli ponselnya? Untuk apa ponsel usang ini dibelinya. Luna merasa ragu tapi pria itu setengah memaksa.Pria itu minta dia memberikan harga untuk sebuah ponsel dengan banyak bekas jatuh dimana-mana.Dan untuk harga yang dibutuhkan, ia memberikan harga yang memang pantas untuk ponselnya.Tapi ini terlalu aneh untuk menjadi nyata. Apakah ini semacam modus penipuan, yang dilakukan pria itu tak wajar, karena tertarik pada barang kuno dan setengah rusak ini.Otaknya berputar cepat mencari celah, tetapi waja

  • Marry with Sugar Daddy    1. Pertemuan di Sebuah Toko

    Jalanan berdebu, Luna mengusap keringatnya. Ia berjalan ragu sambil mengelus layar ponselnya dengan kain roknya. Keyakinannya untuk menggunakan jalan terakhir ini, terpaksa ia lakukan.Dipandanginya ponsel miliknya. Layar itu tidak mulus, tapi ia menaksir harga ponselnya cukup lumayan nantinya. Meski mungkin nanti rendah tapi pasti bisa untuk meringankan beban yang ada.Luna berdiri mematung di depan etalase kaca, menatap deretan ponsel keluaran terbaru yang berkilauan. Bukan, bukan karena ia ingin membelinya. Justru sebaliknya. Dengan napas tertahan, ia melangkah masuk ke toko ponsel yang ramai itu. Aroma khas elektronik dan parfum pengunjung menyeruak. Jantungnya berdegup tak karuan. Ia harus melakukannya. Sesuatu yang mendesak membuatnya harus menjualnya, ia menggenggam erat benda yang selama ini setia menemaninya.Seorang gadis manis tersenyum saat melihatnya masuk. Luna menghampirinya dengan sedikit gugup. Ia belum pernah datang ke toko ponsel ini selama beberapa tahun ini, ia

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status