Tio tidur dengan meringkuk di tempat tidurnya. Anak itu belum makan sejak pagi. Ia mengguncang tubuhnya.
“Tio … Tio!”
Tio bergerak dan membuka matanya. “Ya, Mbak,”
“Makan dulu, Mbak sudah belikan kamu gorengan ayam yang enak dan gurih, yuk!”
Tio mengucek matanya. Ia terpaksa menuruti perintah ibu untuk tidur saja tanpa makan. Padahal kakaknya pulang membawa banyak makanan.
“Mbak, ibu juga belum makan,” ujarnya setengah ragu saat akan mengunyah.
Luna teriris hatinya, ibunya mencemooh pemberian darinya dan menganggapnya membawa makanan yang didapat dari pekerjaan yang haram.
“Nanti Mbak panggil ibu juga untuk makan. Kamu makan aja, ya?”
Tio mengangguk dan langsung lahap begitu ayam gorengnya ditambah lagi. Luna segera mengetuk pintu kamar ibunya.
Jam masih menunjukkan pukul delapan malam, sejak sore ibunya ngambek tak mau bicara dengannya hanya karena dia membawa banyak belanjaan.
Ia akan mengajak ibunya bicara dan menjelaskan kalau makanan itu ia beli dari uang yang halal. Ibunya membuka pintu, karena tiba-tiba Tio juga ikut memanggil-manggil.
“Bu, makan dulu, Mbak Luna juga beli obat,”
Ibunya terbatuk-batuk dan memang keluar untuk duduk tapi minta Luna menjelaskan semuanya.
“Bu, Luna menjual ponsel, dan …”
Ibunya terdiam, Luna duduk dan menjelaskan semuanya.
“Jadi … uang itu …”
Luna mengangguk, tersenyum kemudian menjelaskan lagi dengan jelas asal usul yang diterimanya.
“Orang itu nggak mau bawa ponsel ini tapi tetap membayarnya dan seakan membelinya,”
Ibunya menangis, minta Luna memeluknya. “Maafkan ibu, Lun. Ibu kira kamu kerja apa, banyak uang dan bisa beli ini dan itu. Ibu nggak mau kamu salah jalan,”
Luna mengangguk, meminta ibunya untuk makan dan minum obatnya.
Ia merasa lega, ibunya sudah bisa menerima meski sempat tegang tadi karena ia ingin ibunya bahagia meski ia harus menjual sesuatu dan untungnya bertemu dengan orang yang baik.
**
Keesokan paginya, Luna berjalan menyusuri gang sempit menuju rumahnya, ia arus saja membeli beberapa kebutuhan dapur yang sudah habis dan butuh sekali dibelinya di pasar.
Langkahnya ringan seiring dengan senyum tipis di bibirnya.
Uang yang didapatkan kemarin, masih ia simpan sebagian. Beberapa sudah digunakannya untuk tagihan listrik.
Sisanya tak lupa ia sisihkan untuk obat ibunya. Ada beberapa obat lagi yang belum dibelinya.
Setidaknya, untuk beberapa waktu ke depan, mereka bisa bernapas lega. Ia merasakan sedikit berkurang beban di hatinya.
Sesampainya di depan rumah petaknya yang sederhana, Luna terkejut melihat kerumunan warga.
Jantungnya berdebar. Perasaan tidak enak langsung menyergap. Ia menerobos kerumunan, dan pandangannya jatuh pada tetangganya, ada Bu RT disini, yang wajahnya tampak cemas.
"Luna! Astaga, Luna!" seru Bu RT panik. "Ibumu... adikmu..."
Kaki Luna lemas. "Ada apa, Bu RT? Ada apa dengan Ibu dan Tio?"
Dengan suara bergetar, Bu RT menjelaskan. Tio, yang siang itu meminjam motor tetangga untuk suatu keperluan, mengalami kecelakaan.
"Kaki Tio lukanya cukup parah, Lun, dan harus segera dioperasi," kata Bu RT.
"Iya, Lun. Ibumu saat mendengar kabar itu, jantungnya mendadak kambuh, dan langsung dilarikan ke rumah sakit."
"Ya Allah, Ibu ... Tio!" pekiknya.
Luna tidak menyangka, ia akan menghadapi ini. Adiknya kecelakaan dan ibunya juga masuk rumah sakit.
Parahnya lagi, motor yang dipinjam Tio rusak parah, “Pak Bondan menuntut ganti rugi. Tolong kamu segera ke rumah sakit, nanti diantar naik mobil, kebetulan ibu akan kesana sekarang,”
Dunia Luna runtuh seketika. Uang yang baru saja memberinya harapan, kini terasa tak berarti.
Operasi? Ganti rugi? Ia bahkan belum melunasi tagihan-tagihan yang lama.
Dengan diantar Bu RT dan beberapa tetangganya, Luna segera pergi ke rumah sakit. Tiba disana, Luna berlari di antara lorong rumah sakit yang ia lewati.
Di sana, ia menemukan ibunya terbaring lemah di UGD, wajahnya pucat pasi. Beberapa perawat sedang menanganinya.
Tak jauh dari sana, Tio terbaring di brankar lain, kakinya diperban dan darah masih sedikit merembes. Wajah adiknya meringis menahan sakit.
“Ibu!”
Ia melihat ibunya juga terbaring lemah. Ibunya mengulurkan tangan mengharap kedatangannya sejak tadi.
"Lun..." panggil ibunya lirih. "Tio... kakinya..."
Luna memaksakan senyum, berusaha terlihat kuat di depan mereka, ibunya dan juga Tio yang sama-sama sedang terbaring.
"Tidak apa-apa, Bu. Tio pasti sembuh. Ibu juga jangan khawatir."
Dokter menghampiri Luna dengan ekspresi serius. "Adiknya harus segera dioperasi. Tulang keringnya retak parah. Biayanya lumayan besar, sekitar dua puluh lima juta rupiah."
Angka itu bagai palu godam yang menghantam kepala Luna. Dua puluh lima juta rupiah? Dari mana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu?
Tabungan nihil, aset tidak ada. Ponselnya sudah usang, bahkan uangnya tidak sampai dua juta. Satu juta pun itu sudah berkurang.
Luna merasakan keputusasaan yang mendalam. Ia ingin menangis, berteriak, merutuki nasibnya. Di saat ia baru saja merasakan sedikit kelegaan, badai yang jauh lebih besar justru datang menerjang.
Ditambah lagi, Pak Bondan sang pemilik motor yang dipinjam Tio datang menemuinya, menuntut ganti rugi sebesar lima juta rupiah untuk perbaikan motornya.
"Uangnya sudah harus ada besok, Lun. Adikmu kan sudah merusak motor itu!" bentak pria pemilik motor, tak peduli Luna sedang dalam keadaan kacau.
“Iya, Pak, nanti akan Luna siapkan, tolong jangan minta sekarang. Luna juga sedang bingung ini,”
Bu RT berbisik di belakangnya, mereka kasihan padanya dan berencana mengumpulkan donasi untuk membantu meringankan bebannya.
Luna hanya bisa menatap nanar. Dua puluh lima juta untuk operasi Tio, lima juta untuk motor, dan ibunya juga butuh perawatan.
Total tiga puluh juta rupiah, pun itu belum termasuk perawatan ibunya. Sebuah angka yang mustahil baginya.
Bagaimana ia bisa keluar dari lingkaran kemiskinan dan masalah yang tak ada habisnya ini. Ia merasa terpojok, terhimpit oleh beban hidup yang tiba-tiba melipatgandakan dirinya.
**
Luna terduduk lemas di kursi tunggu rumah sakit, kepalanya pening, hatinya hancur. Struk tagihan rumah sakit untuk Tio yang tertera dua puluh lima juta rupiah terasa seperti vonis mati.
Di genggamannya, ia meremas selembar surat pernyataan ganti rugi motor yang dituntut lima juta rupiah. Semua seperti batu besar yang menghantam dirinya.
Ditambah lagi, ibunya masih dalam pengawasan intensif. Tiga puluh juta rupiah lebih. Ia tak tahu harus mencari ke mana.
Pikirannya melayang pada seseorang, pria asing yang tiba-tiba muncul dan menolongnya tempo hari.
Bisakah ia menghubunginya, kan ada kartu namanya. Tapi untuk apa. Meminta uang lagi. Memangnya siapa dia, sampai meminta uang segala, kerabat bukan, teman bukan bahkan suami juga bukan.
Jika ia menghubunginya, tanpa angin tanpa ada apa-apa tiba-tiba mengatakan sesuatu yang cukup memalukan.
Sampai meminta uang itu terlalu lancang, dan ia bahkan tidak punya nomornya.
Ia merasa begitu sendirian di tengah badai masalah yang bertubi-tubi.
Saat ia sedang tenggelam dalam keputusasaan, sebuah suara familiar memecah keheningan.
"Luna?"
Luna mengangkat wajahnya perlahan, ia lesu dan tengah melamun, memikirkan banyak permasalahannya.
Ternyata saat mendongak, di depannya telah berdiri seorang pria.
Pria itu mengenakan kemeja biru muda yang rapi, dengan raut wajah yang menunjukkan sedikit kekhawatiran.
Luna terkejut setengah mati. Ia hampir tidak mempercayainya.
Ia kembali ke rumahnya, beberapa barang ternyata dikumpulkan tetangganya dan ia diminta untuk menyimpannya di rumah tua yang letaknya di pinggir jalan besar.“Bagaimana keadaan ibumu, Lun?”“Ibu baik-baik saja, Alhamdulillah. Tapi harus dirawat intensif di rumah sakit, tekanan darahnya naik,”Beberapa orang mengangguk memahami yang terjadi. Satu orang tetangga yang baik memberi bantuan dengan meminjamkan mobil baknya untuk membawa barang miliknya.Malam itu, setelah semua barang-barang mereka berhasil diselamatkan, Luna memikirkan nasib ke depannya.Ia merasa lelah, tapi ia tahu ia harus kuat. Ia memegang sebuah dompet berisi perhiasan, pemberian Jonathan. Itu adalah satu-satunya hal yang ia miliki yang bisa ia jual.“Lun, sebaiknya kamu sewa kamar saja, harganya lebih murah, juga nantinya kan hanya ibumu dan adikmu saja yang akan menempati,” ucap tetangganya.Beberapa orang berbisik, menanyakan keberadaan suaminya yang sedang kesulitan tapi tak muncul juga kehadirannya.“Suamimu mana
Nyonya Deswanti berdiri mengawasi Jonathan yang berjalan sempoyongan. Ia menyuruh Mira untuk memapah Jonathan.Adiknya yang bernama Tono, merasa cemas dengan keponakannya. “Bukannya dia seharusnya di kantor sekarang, kamu kenapa tega sama anak sendiri, Kak?”Nyonya Deswanti melirik adiknya, tajam dan sedikit melunak karena ia tahu adiknya ini sayang dengan Jonathan sejak kecil.“Aku harus sedikit keras, John kurang berbakti padaku. Seharusnya dia sadar, wanita yang bernama Luna tidak memiliki manfaat apapun di rumah ini,” tukasnya seraya duduk dan menyesapi kopi hangatnya.Tono, begitu miris melihat keadaan keponakannya yang dianggapnya anak sendiri. Ia dan istrinya mati-matian membela sang kakak untuk membantu meluluhkan hati Jonathan agar bersedia menikahi Mira, malah akhirnya jadi begini.“Aku harus bawa dia ke rumah sakit. John memang salah, tapi otaknya tak boleh kamu kuasai, dia masih bisa melakukan segalanya,” ucap Tono cepat.Adiknya melangkah mendekati Jonathan, sedangkan Nyo
“Kamu mau kemana, John?”Jonathan sedang berdiri dan memegang kunci mobil, ia menghentikan langkahnya, lalu menoleh pada mamanya yang bangun karena mendengar suara langkah kakinya.“Aku akan ke rumah orang tua Luna, Mah. Dia istriku. Dia berhak tinggal disini,”“Luna pergi dengan keinginan sendiri. Jadi buat apa kamu mengejarnya. Dia tidak butuh kamu lagi, John. Uang sudah didapatkan,”Jonathan diam, dia terpaku tapi kemudian memutuskan untuk pergi. Langkah kakinya tampak tegas dan mantap untuk pergi ke rumah ibunya Luna. Dia tahu istrinya ada disana saat ini.Nyonya Deswanti hanya diam, tak bisa berkata-kata. Ia membiarkan putranya pergi. Tapi setelah beberapa menit, ia menyuruh seseorang untuk melakukan tugasnya.**G6ari berganti hari, sudah satu minggu Luna berada di rumah ibunya dan kali ini ibunya tidak bisa tinggal diam.Akhirnya ia bertanya dan meyakini bahwa putrinya memiliki masalah yang cukup pelik namun tak memberitahunya.Ia ingin Luna terbuka dan tahu bahwa ia sebagai or
Sepanjang malam, ia tidak bisa tidur. Pikirannya tertuju pada Jonathan yang selalu mengirimnya pesan.Pria itu mencarinya. Dalam pesannya, Jonathan mengetik kalau ia tidak akan menikahi Mira, apapun alasannya.Sungguh ini merupakan hal yang tidak ia inginkan sepanjang hidupnya. Menikahi pria tua kaya dan mengkhianatinya.Ia tahu ini pasti akan terjadi mengingat orang tua Jonathan tidak menyukainya. Keluarga besar pria itu bahkan lebih peduli pada kesehatan mamanya Jonathan ketimbang perasaannya sebagai istri Jonathan.Sesekali ia mendengar beberapa sindiran yang cukup menyedihkan hatinya. Sast itu dia sedang berada di dapur dan keluarga Jonathan datang dengan menyerukan bahwa ia harus menikahi wanita yang berkelas seperti yang diinginkan mamanya.Jonathan, pria itu cukup baik tapi ternyata labil dan tiba-tiba pengakuan mengejutkan membuatnya berpikir.Kehamilan mantan kekasihnya menjadi pangkal utama bahwa ini harus segera diakhiri. Ia akan mengalah tapi bingung harus mengatakan apa se
Dengan tergesa-gesa, Jonathan membawa mobilnya menuju rumah sakit. Di sisinya, Luna terus menggenggam tangannya, sesekali mengusap punggungnya, mencoba menenangkan.Pikiran Jonathan kacau. Kata "kritis" terus terngiang di kepalanya, disusul bayangan wajah mamanya yang pucat dalam mimpinya."Kondisi mamamu kritis, John," ucap pamannya.Jonathan tahu, semua keluarganya sangat memperhatikan mamanya, mereka mewanti-wanti agar ia tak menyakiti hati mamanya lagi.Tapi sekali lagi ia sadar bahwa kini ia telah memiliki Luna dan hanya bisa memikirkan yang terbaik saja.Di usianya yang telah menginjak kepala empat, ia tahu mamanya menginginkan adanya seorang keturunan yang dimilikinya.Sejujurnya ia juga tahu bahwa keinginan memiliki telah lama diidamkan, begitu juga dengan almarhum papanya.Setibanya di rumah sakit, Jonathan langsung berlari ke ruang ICU, diikuti oleh Luna. Di sana, beberapa kerabat dan juga Paman Tono sudah menunggu, raut wajah mereka dipenuhi kecemasan.Tanpa berkata-kata, J
Jonathan mengusap keringatnya. Dari leher sampai punggung basah kuyup karena keringat.Ia merasa aneh dan harus menceritakan hal ini pada Luna. Istrinya kadang sibuk melakukan sesuatu saat ia bangung tidur. Luna selalu bangun pagi setelah melakukan shalat subuh.Ia bangkit dan membuka pakaiannya. Dengan bertelanjang dada, ia menghirup bau harum wawangian udara segar dan pepohonan yang bertiup sepoi-sepoi.Ia mendengus kesal. Pikirannya tak bisa tenang meski ia telah lari dari rumahnya. Ia lari juga dari masalah yang membelit. Mamanya seolah mengejar dirinya hingga ke villa ini."Seharusnya aku bisa hidup tenang bersama Luna," pikirnya dengan perasaan gelisah.Malam demi malam di vila, Jonathan selalu diliputi mimpi buruk. Dalam mimpinya, ia melihat mamanya yang pucat dan marah, rumahnya yang gelap dan kosong.Dan ia akan terbangun dengan napas terengah-engah, merasakan kecemasan yang mendalam. Ia melirik Luna yang terlelap dengan tenang di sisinya, dan ia merasa bersalah. Jonathan tahu