"Baiklah Tuan Jonathan... aku … aku bersedia," ucap Luna, suaranya nyaris berbisik, serak menahan getar.
Ada rasa pahit yang menyelimuti lidahnya, namun juga secuil kelegaan yang mengerikan.
Jonathan menghela napas panjang, seolah beban berat terangkat dari pundaknya.
"Baiklah, Luna. Terima kasih. Untuk Bu Mirasih, tolong restui kami, dari awal saya memang menyukai putri ibu. Dan saya akan langsung urus semuanya.”
Kelegaan juga terpancar di wajah Bu Mirasih yang memberikan restu meski hati kecilnya mengatakan ragu karena putrinya masih sangat belia untuk pria matang usia Jonathan.
“Luna, untuk ibumu dan Tio, jangan khawatir. Semua biaya akan aku tanggung sepenuhnya." imbuh Jonathan lagi.
Benar saja, dalam waktu singkat, Jonathan bergerak cepat. Ia mengurus administrasi rumah sakit, memastikan Tio segera masuk ruang operasi malam itu juga.
Ia juga memanggil seorang notaris dan penghulu untuk mengurus pernikahan mereka secara siri di rumah sakit.
Ya, mereka akan menikah secara agama dulu baru kemudian mempersiapkan secara negara karena keadaan sekarang uwng terdesak.
Waktu seolah berjalan begitu cepat, Luna merasakan dirinya seperti boneka yang digerakkan oleh takdir dan kebutuhan.
Sekali lagi ia berusaha tegar untuk sebuah kesempatan yang baik menyelamatkan dua nyawa yang disayanginya.
Ibunya menggenggam tangannya erat dan memberi keyakinan bahwa hidup mereka akan lebih baik setelah semuanya diatasi dan dibantu Jonathan calon suaminya.
Luna memeluk ibunya. “Bu, maafkan Luna. Ini … ini harus terjadi, menikah disini nantinya,”
Ibunya menepuk punggungnya dan tersenyum. “Lun, ibu akan terus mendoakan kamu agar kehidupanmu jauh lebih baik setelah menikah,”
Luna duduk sambil memeluk tangan ibunya. Ia sedang menunggu persiapan pernikahan.
Persiapan dilakukan Jonatan, semuanya sendiri, bahkan katanya tanpa ada satupun keluarganya yang hadir.
Sebenarnya ia ingin bertanya tapi apa daya, Jonathan pria yang benar-benar bertanggung jawab. Saat ibunya mengeluh kesakitan, langsung dipanggilnya dokter dan beberapa perawat untuk memantau perkembangan kesehatannya.
Beberapa jam kemudian, di sebuah ruang rawat inap yang telah disiapkan Jonathan untuk ibunya, suasana haru sekaligus pilu menyelimuti.
Ibunya, yang tubuhnya masih lemah namun kesadarannya sudah pulih, tergolek di ranjang.
Air mata tak henti mengalir di pipi keriputnya saat ia melihat putrinya berdiri di samping Ardan, seorang pria yang usianya sekitar lima belas tahun lebih tua darinya.
Sebuah akad nikah sederhana dilangsungkan dengan disaksikan oleh ibunya, seorang saksi dari pihak rumah sakit yang diatur Jonathan, dan seorang penghulu.
"Saya terima nikah dan kawinnya Luna Salsabila binti Rahardian dengan mas kawin tersebut dibayar tunai," suara Jonathan tegas dan jelas.
Luna merasakan sebuah ikatan baru melingkupi dirinya, bukan ikatan cinta yang diimpikan setiap gadis, melainkan ikatan tanggung jawab dan pengorbanan.
Ia menatap ibunya yang tersenyum getir, seolah berkata padanya, 'Maafkan Ibu, Nak. Maafkan Ibu yang tidak bisa berbuat apa-apa selain menyaksikanmu berkorban.'
Kesedihan itu mengiris hati Luna lebih dalam daripada rasa terpaksa yang ia rasakan. Ia tahu ibunya paham betul mengapa pernikahan ini terjadi.
Ya … pernikahan ini terjadi untuk menyelamatkan dua nyawa yang berharga.
Nyawa Tio yang akan segera dioperasi, dan nyawa ibunya sendiri. Ia harus rela menjalaninya.
Setelah akad selesai, Jonathan menggenggam tangan Luna erat, sebuah sentuhan yang terasa asing namun entah mengapa juga menenangkan.
"Sekarang, kamu sudah jadi istriku, Lun," bisiknya pelan.
"Jangan khawatirkan apa pun. Aku akan mengurus semuanya."
Malam itu, mereka sah menjadi suami istri. Tio masib berada di ruang perawatan sambil menunggu kapan waktunya akan di operasi.
Beberapa perawat bahkan sesekali mengecek kondisi ibunya di ruang rawat. Dan ini membuat Luna semakin tenang. Ia merasa lebih nyaman setelah sah menjadi istri pria itu.
Luna melihat sisi lain dari Jonathan, sisi yang penuh tanggung jawab dan perhatian, meskipun pernikahan mereka adalah hasil sebuah kesepakatan yang tak terhindarkan.
Setelah Tio di cek karena akan di operasi, ibunya juga ditangani lebih serius. Menikahi Jonathan ternyata benar-benar telah menyelamatkan ibu dan adiknya.
Keputusan besar memang telah diambilnya. Luna berdiri mematung saat melihat ibunya sedang ditangani dokter dan beberapa perawat.
**
Luna merasakan sedikit kelegaan saat dokter keluar dan mengabarkan bahwa adiknya sudah melewati masa kritis.
Ibu Mirasih juga menunjukkan tanda-tanda perbaikan, meskipun masih harus beristirahat total. Semua itu berkat Jonathan.
Pria itu menepati janjinya, bahkan lebih. Ia tidak hanya menanggung biaya, tetapi juga memastikan Luna dan keluarganya mendapatkan penanganan terbaik.
Malam semakin larut. Jonathan masih setia menemani Luna di ruang tunggu, meskipun Luna sudah berulang kali memintanya untuk pulang dan beristirahat.
"Tuan, terima kasih kamu sudah banyak membantu kami. Seharusnya Anda pulang saja, beristirahat di rumah," ujar Luna sungkan.
Jonathan hanya tersenyum tipis. "Tidak apa-apa, Luna. Saya ingin memastikan semuanya beres. Lagipula, sekarang kita sudah sah."
Kata-kata itu membuat Luna sedikit canggung. Sah. Sebuah kata yang begitu besar maknanya, namun terasa begitu asing dalam konteks hubungan mereka.
Ia masih belum bisa sepenuhnya mencerna bahwa ia kini adalah istri dari pria di sampingnya ini.
Keheningan menyelimuti mereka. Luna menunduk, memainkan jemarinya yang dingin. Tiba-tiba, ia merasakan sebuah sentuhan lembut di tangannya.
Jonathan meraih jemari Luna, menggenggamnya perlahan.
Luna terkesiap, jantungnya berdegup lebih kencang. Ini adalah sentuhan fisik pertama mereka setelah akad nikah.
Jonathan mengusap punggung tangan Luna dengan ibu jarinya, gerakannya menenangkan namun juga memicu sensasi aneh di perut Luna.
"Luna," panggil Jonathan, suaranya rendah dan dalam. "Lihat saya."
Luna mengangkat wajahnya, menatap mata Jonathan yang gelap. Ada ketenangan di sana, namun juga sesuatu yang intens.
"Kita sudah sah di mata agama dan hukum, Luna," ucap Jonathan, suaranya sedikit bergetar.
"Artinya, tidak ada lagi batasan di antara kita. Sentuhan ini... adalah hakku sebagai suamimu."
Luna menelan ludah. Ia tahu itu, tetapi kenyataan bahwa Jonathan mengatakannya secara langsung, dengan tatapan yang begitu lekat, membuatnya merasa tegang. Ia belum terbiasa dengan gagasan ini, dengan kedekatan yang tiba-tiba ini.
Jonathan mendekatkan wajahnya perlahan. Luna menahan napas. Ia bisa merasakan napas hangat Jonathan menerpa wajahnya.
Jantungnya berpacu gila-gilaan. Ia ingin menghindar, namun tubuhnya seolah terpaku.
Matanya terpejam saat bibir Jonathan menyentuh keningnya, sebuah ciuman lembut yang terasa seperti janji.
Kemudian, Jonathan menarik diri sedikit, namun tangannya masih menggenggam erat jemarinya. "Jangan takut, Luna," bisiknya.
"Aku tahu ini semua mendadak untukmu. Tapi aku akan berusaha menjadi suami yang baik. Dan kamu... kamu tidak perlu merasa berhutang budi. Ini adalah awal dari kehidupan kita yang baru."
Luna membuka matanya. Ada kehangatan yang menjalar dari keningnya ke seluruh tubuhnya.
Meskipun pernikahan ini dimulai dari sebuah keterpaksaan, sentuhan dan kata-kata Jonathan barusan sedikit melunakkan hatinya.
Pria itu benar-benar telah memposisikan dirinya sebagai suami untuknya. Sebagai pria yang siap melindunginya.
Ia masih merasa bingung dan takut akan masa depan, tetapi setidaknya, ia tidak sendirian lagi.
Angin lembut bulan Juli memainkan helai rambut Luna saat memandang Tio, adiknya, yang tertawa riang di taman rumah sakit. Kakinya telah dioperasi tapi dia harus memakai kursi roda nantinya sampai benar-benar sembuh betul.Beberapa langkah di sampingnya, sang ibu tersenyum tipis, memetik bunga kamboja yang gugur di dekat kakinya.Senyum tipis yang dulu amat jarang terlihat, kini mulai kembali menghiasi wajahnya. Hati Luna menghangat, beban berat yang selama ini menindih pundaknya seolah terangkat. Proses pemulihan ibunya dari sakit yang mendera kini lebih banyak diam namun saat ada Jonathan yang datang membantu, ibunya seperti merasa memiliki nyawa lagi karena Tio mulai berangsur membaik dan kakinya terselamatkan dari kelumpuhan.Kesembuhan untuk kaki Tio memang tidak mudah, butuh waktu yang cukup lama. Luna memandang lega. Mereka berdua, ibu dan adiknya telah sembuh. Bahkan akan pulang dalam keadaan utuh.Jonathan berdiri di belakang Luna, merangkul pinggangnya erat. Hangat tanganny
"Baiklah Tuan Jonathan... aku … aku bersedia," ucap Luna, suaranya nyaris berbisik, serak menahan getar. Ada rasa pahit yang menyelimuti lidahnya, namun juga secuil kelegaan yang mengerikan.Jonathan menghela napas panjang, seolah beban berat terangkat dari pundaknya. "Baiklah, Luna. Terima kasih. Untuk Bu Mirasih, tolong restui kami, dari awal saya memang menyukai putri ibu. Dan saya akan langsung urus semuanya.”Kelegaan juga terpancar di wajah Bu Mirasih yang memberikan restu meski hati kecilnya mengatakan ragu karena putrinya masih sangat belia untuk pria matang usia Jonathan.“Luna, untuk ibumu dan Tio, jangan khawatir. Semua biaya akan aku tanggung sepenuhnya." imbuh Jonathan lagi.Benar saja, dalam waktu singkat, Jonathan bergerak cepat. Ia mengurus administrasi rumah sakit, memastikan Tio segera masuk ruang operasi malam itu juga. Ia juga memanggil seorang notaris dan penghulu untuk mengurus pernikahan mereka secara siri di rumah sakit. Ya, mereka akan menikah secara agama
Luna merasa ini seperti mimpi. Ia hampir tidak mempercayainya karena baru saja memikirkannya."Tu-Tuan ... Tuan Jonathan?" Ia tergagap, tak percaya pria itu ada di sana.Jonathan mengangguk pelan. “Ternyata kamu masih ingat aku,”Luna tersenyum, pahit, kali ini jauh lebih pahit dari yang ia rasakan sejak menerima uang satu juta itu."Kebetulan yang sangat kebetulan.” ujarnya lagi.Pria itu tersenyum dan duduk di hadapannya. Sungguh hati Luna menjadi semakin kacau. Ia hampir tidak bisa bernapas karena tercekat.Di hadapan pria itu ia tidak bisa berkata-kata. Matanya berkaca-kaca. Bayangan wajah ibunya dan adiknya yang butuh biaya banyak membuatnya semakin sesak merasakan kenyataan hidup ini.Ia hampir pingsan, apalagi saat mendengar pertanyaan pria itu.“Kenapa kamu di sini, Lun? Apa ... ada masalah?" Matanya menelusuri wajah Luna yang sembab dan lelah.Luna menunduk, malu dengan keadaannya yang kacau. Matanya yang berkaca-kaca semakin deras menetes, Jonathan semakin bingung melihat k
Tio tidur dengan meringkuk di tempat tidurnya. Anak itu belum makan sejak pagi. Ia mengguncang tubuhnya.“Tio … Tio!”Tio bergerak dan membuka matanya. “Ya, Mbak,”“Makan dulu, Mbak sudah belikan kamu gorengan ayam yang enak dan gurih, yuk!”Tio mengucek matanya. Ia terpaksa menuruti perintah ibu untuk tidur saja tanpa makan. Padahal kakaknya pulang membawa banyak makanan.“Mbak, ibu juga belum makan,” ujarnya setengah ragu saat akan mengunyah.Luna teriris hatinya, ibunya mencemooh pemberian darinya dan menganggapnya membawa makanan yang didapat dari pekerjaan yang haram.“Nanti Mbak panggil ibu juga untuk makan. Kamu makan aja, ya?”Tio mengangguk dan langsung lahap begitu ayam gorengnya ditambah lagi. Luna segera mengetuk pintu kamar ibunya. Jam masih menunjukkan pukul delapan malam, sejak sore ibunya ngambek tak mau bicara dengannya hanya karena dia membawa banyak belanjaan.Ia akan mengajak ibunya bicara dan menjelaskan kalau makanan itu ia beli dari uang yang halal. Ibunya memb
Luna akhirnya bersedia ikut, ia ingin tahu apa yang diinginkan pria tua itu. Selain karena ingin yang dan ponselnya laku, ia juga ingin tahu apa sebenarnya yang diinginkan pria asing yang baru dikenalnya itu.Mereka duduk di kafe yang cukup ramai itu. Masing-masing orang pasti tidak menyadari jika mereka datang untuk bertransaksi ponsel usang.Luna menatap pria itu, setelah mereka duduk, lidahnya kelu. "Ponselmu, biar aku yang beli," ucapnya sesaat setelah mereka duduk.Pria ini akan membeli ponselnya? Untuk apa ponsel usang ini dibelinya. Luna merasa ragu tapi pria itu setengah memaksa.Pria itu minta dia memberikan harga untuk sebuah ponsel dengan banyak bekas jatuh dimana-mana.Dan untuk harga yang dibutuhkan, ia memberikan harga yang memang pantas untuk ponselnya.Tapi ini terlalu aneh untuk menjadi nyata. Apakah ini semacam modus penipuan, yang dilakukan pria itu tak wajar, karena tertarik pada barang kuno dan setengah rusak ini.Otaknya berputar cepat mencari celah, tetapi waja
Jalanan berdebu, Luna mengusap keringatnya. Ia berjalan ragu sambil mengelus layar ponselnya dengan kain roknya. Keyakinannya untuk menggunakan jalan terakhir ini, terpaksa ia lakukan.Dipandanginya ponsel miliknya. Layar itu tidak mulus, tapi ia menaksir harga ponselnya cukup lumayan nantinya. Meski mungkin nanti rendah tapi pasti bisa untuk meringankan beban yang ada.Luna berdiri mematung di depan etalase kaca, menatap deretan ponsel keluaran terbaru yang berkilauan. Bukan, bukan karena ia ingin membelinya. Justru sebaliknya. Dengan napas tertahan, ia melangkah masuk ke toko ponsel yang ramai itu. Aroma khas elektronik dan parfum pengunjung menyeruak. Jantungnya berdegup tak karuan. Ia harus melakukannya. Sesuatu yang mendesak membuatnya harus menjualnya, ia menggenggam erat benda yang selama ini setia menemaninya.Seorang gadis manis tersenyum saat melihatnya masuk. Luna menghampirinya dengan sedikit gugup. Ia belum pernah datang ke toko ponsel ini selama beberapa tahun ini, ia