Angin lembut bulan Juli memainkan helai rambut Luna saat memandang Tio, adiknya, yang tertawa riang di taman rumah sakit.
Kakinya telah dioperasi tapi dia harus memakai kursi roda nantinya sampai benar-benar sembuh betul.Beberapa langkah di sampingnya, sang ibu tersenyum tipis, memetik bunga kamboja yang gugur di dekat kakinya.Senyum tipis yang dulu amat jarang terlihat, kini mulai kembali menghiasi wajahnya.
Hati Luna menghangat, beban berat yang selama ini menindih pundaknya seolah terangkat. Proses pemulihan ibunya dari sakit yang mendera kini lebih banyak diam namun saat ada Jonathan yang datang membantu, ibunya seperti merasa memiliki nyawa lagi karena Tio mulai berangsur membaik dan kakinya terselamatkan dari kelumpuhan. Kesembuhan untuk kaki Tio memang tidak mudah, butuh waktu yang cukup lama. Luna memandang lega. Mereka berdua, ibu dan adiknya telah sembuh. Bahkan akan pulang dalam keadaan utuh. Jonathan berdiri di belakang Luna, merangkul pinggangnya erat. Hangat tangannya menyalurkan kekuatan, mengingatkan Luna bahwa ia tidak sendiri lagi. "Kita akan pulang. Kamu siap, Sayang?" bisiknya lembut di telinga Luna. Luna menoleh, matanya berbinar. "Siap, i-iya aku siap," jawabnya, suara tercekat oleh haru. Hari ini adalah hari kepulangan mereka. Bukan hanya ibu dan Tio yang pulang, tapi Luna juga. Pulang ke rumah Jonathan, ke dalam kehidupan baru sebagai istrinya.Pria itu memintanya untuk pulang ke rumahnya sebagai seorang istri. Tentu saja ia harus menurutinya, mengingat semua pengorbanan pria itu untuk kebutuhan keluarganya.
Ibunya dan Tio sementara akan ikut dengan mereka. Karena ibunya pasti akan perlu perawatan dari Luna dan Jonathan juga butuh Luna sebagai istrinya. Jadi … akhirnya diputuskan mereka pulang menjadi satu di rumah Jonathan untuk sementara waktu sampai kesembuhan ibunya.Kini, mereka benar-benar telah bisa keluar dari rumah sakit. Semua administrasi, diurus Jonathan. Luna lega tapi ia menerima konsekuensinya, menjadi seorang istri dan bersiap mengabdikan dirinya pada pria itu.
"Lun, kamu tidak apa-apa?"
Jonathan, pria itu meremas jemarinya. Seiring berjalannya hari, pria itu selalu menyentuh meski baru menggenggam tangannya.
"A-aku...tidak apa-apa, ehm ..."
"Jangan tegang! Aku bersamamu, ibu dan Tio juga,"
Luna mengangguk, merasa nyaman namun canggung.
Perjalanan menuju rumah Jonathan terasa singkat, diisi tawa renyah Tio dan obrolan ringan Jonathan dengan ibunya. Luna sesekali melirik Jonathan, jantungnya berdegup kencang. Pria itu menempatkan dirinya seolah sebagai menantu yang telah cukup bahagia padahal mereka belum saling menyentuh ataupun melakukan malam pertama mereka. Saat ini, Luna sedang memikirkan bagaimana nanti keluarga suaminya menyambutnya. Ia tahu Jonathan berasal dari keluarga terpandang, jauh berbeda dari latar belakangnya yang sederhana.Ada rasa tak percaya, ia pulang bersama seorang pria kaya dan menikahinya hanya untuk menolong kehidupannya.
Ketika mobil Jonathan memasuki halaman sebuah rumah megah dengan taman asri, Luna merasakan kegugupan menyeruak. Ia mulai berkeringat dingin dan Jonathan menyadarinya. Pria itu tahu istrinya pasti merasa gugup, takut dan canggung saat masuk ke rumahnya. Ia segera memahami dari raut wajah Luna yang tegang.Jonathan menggenggam tangannya, seolah merasakan kegelisahannya. Tangannya meremas penuh perasaan, seolah ingin menenangkan.
"Jangan khawatir, Sayang. Keluargaku, mereka akan menyukaimu," bisiknya meyakinkan. Luna hanya diam, dipandanginya gedung tinggi milik keluarga Jonathan. Mereka tidak tinggal disini nantinya, Jonathan bilang rumahnya ada di deretan ini tapi sedikit jauh dari sini. Mereka datang kesini untuk berkenalan dengan keluarga Jonathan dan agar mereka semua tahu bahwa Jonathan telah menikah. Di teras, beberapa pasang mata menatap kedatangan mereka. Ada seorang wanita paruh baya dengan rambut putihnya yang disanggul rapi dan sorot mata tajam, ada juga seorang pria gagah yang tampak seperti ayah Jonathan, dan beberapa wajah lain yang Luna duga adalah anggota keluarga besar Jonathan. Jonathan tersenyum lebar, melangkah mendekat sambil menggandeng Luna. “Jonathan,dari mana saja kamu? Papa cari-cari kok sulit dihubungi?” “Maaf, John pergi tanpa memberi kabar belakangan ini,” ucap Jonathan seraya menggandeng Luna. Kedua orang tua itu menatap Luna dan juga ibunya serta Tio. Mereka seperti keheranan dan bertanya-tanya. "Mama, Papa, kenalkan, ini Luna. Istriku," ucapnya dengan nada bangga. Senyum Luna mengembang, ia membungkuk hormat. "Selamat siang, Tante, Om," sapanya pelan. Namun, sambutan yang diharapkan Jonathan tidak kunjung datang. Wanita paruh baya yang Jonathan panggil "Mama" itu hanya mengangguk kaku, tanpa senyum sedikit pun. Matanya menyapu Luna dari ujung rambut hingga ujung kaki, tatapan menilai yang membuat Luna merinding.Sorot matanya dipenuhi keraguan, bahkan sedikit sinis.
"Jadi, ini istrimu, John?" suara wanita itu terdengar dingin. "Kenapa tidak bilang-bilang sebelumnya kalau kamu sudah menikah? Dan... Mereka siapa?" Ia menunjuk ke arah ibu dan Tio yang berdiri sedikit di belakang Luna, masih dengan raut bingung. Jonathan terlihat tidak nyaman. "Ma, ini Ibu dan adiknya Luna. Mereka akan tinggal bersama kami sementara waktu." "Oh, begitu." Senyum sinis kini terlihat jelas di bibir wanita itu. "Baru menikah sudah langsung membawa serta seluruh keluarganya. Menarik sekali." Luna merasa darahnya berdesir. Kata-kata itu, tatapan itu, semua menusuknya. Ia tahu Jonathan mungkin tidak pernah menceritakan detail masa lalunya kepada keluarganya, dan ia juga mengerti kenapa. Tapi ia tidak menyangka akan disambut seperti ini. Ia merasakan panas menjalar ke pipinya, rasa canggung yang amat sangat. Tubuhnya menegang, dan ia berharap tanah bisa menelannya saat itu juga.Ia mencengkeram lengan Jonathan erat, seolah mencari perlindungan. Rasanya sangat tidak nyaman diperlakukan seperti ini.
Jonathan merasakan ketidaknyamanan Luna. Ia menatap mamanya dengan tatapan peringatan, namun sang ibu hanya mengangkat bahu, seolah tak peduli. Suasana menjadi hening, dipenuhi ketegangan yang menyesakkan. Ini bukan sambutan yang Luna impikan, jauh dari kelegaan yang ia rasakan beberapa jam yang lalu. Jonathan mencoba memecah kesunyian. "Bagaimana kalau kita semua makan siang bersama? Luna pasti lelah setelah perjalanan panjang." Ia menatap kedua orang tuanya penuh harap. Mama Jonathan menghela napas panjang, seolah Jonathan baru saja meminta hal yang sangat merepotkan. "Maaf, Nak. Mama ada janji arisan bersama istri teman bisnis papamu. Penting sekali, dan ini tidak bisa dibatalkan." Nada suaranya dingin, seolah Luna tidak ada di sana. Papanya Jonathan yang tadinya hanya diam, kini ikut bicara. "Benar, Papa juga ada rapat direksi. Mendadak, tapi sangat krusial untuk proyek terbaru." Ia melirik jam tangannya, seolah benar-benar terburu-buru. Tatapannya pada Luna singkat, nyaris tanpa emosi. "Tapi, Pa, Ma..." Jonathan mencoba membantah, jelas kecewa dengan respons orang tuanya. "Ini istriku. Seharusnya kita makan bersama untuk menyambutnya." Mama Jonathan tersenyum tipis, senyum yang sama sekali tidak mencapai matanya. "Jonathan, kamu tahu prioritas kami. Lagi pula, kalian bisa makan bersama tanpa kehadiran kami, ya kan. Kami punya urusan yang lebih penting." Luna merasa malu dan juga terhina, ia menunduk tanpa berani mendongak.Ia kembali ke rumahnya, beberapa barang ternyata dikumpulkan tetangganya dan ia diminta untuk menyimpannya di rumah tua yang letaknya di pinggir jalan besar.“Bagaimana keadaan ibumu, Lun?”“Ibu baik-baik saja, Alhamdulillah. Tapi harus dirawat intensif di rumah sakit, tekanan darahnya naik,”Beberapa orang mengangguk memahami yang terjadi. Satu orang tetangga yang baik memberi bantuan dengan meminjamkan mobil baknya untuk membawa barang miliknya.Malam itu, setelah semua barang-barang mereka berhasil diselamatkan, Luna memikirkan nasib ke depannya.Ia merasa lelah, tapi ia tahu ia harus kuat. Ia memegang sebuah dompet berisi perhiasan, pemberian Jonathan. Itu adalah satu-satunya hal yang ia miliki yang bisa ia jual.“Lun, sebaiknya kamu sewa kamar saja, harganya lebih murah, juga nantinya kan hanya ibumu dan adikmu saja yang akan menempati,” ucap tetangganya.Beberapa orang berbisik, menanyakan keberadaan suaminya yang sedang kesulitan tapi tak muncul juga kehadirannya.“Suamimu mana
Nyonya Deswanti berdiri mengawasi Jonathan yang berjalan sempoyongan. Ia menyuruh Mira untuk memapah Jonathan.Adiknya yang bernama Tono, merasa cemas dengan keponakannya. “Bukannya dia seharusnya di kantor sekarang, kamu kenapa tega sama anak sendiri, Kak?”Nyonya Deswanti melirik adiknya, tajam dan sedikit melunak karena ia tahu adiknya ini sayang dengan Jonathan sejak kecil.“Aku harus sedikit keras, John kurang berbakti padaku. Seharusnya dia sadar, wanita yang bernama Luna tidak memiliki manfaat apapun di rumah ini,” tukasnya seraya duduk dan menyesapi kopi hangatnya.Tono, begitu miris melihat keadaan keponakannya yang dianggapnya anak sendiri. Ia dan istrinya mati-matian membela sang kakak untuk membantu meluluhkan hati Jonathan agar bersedia menikahi Mira, malah akhirnya jadi begini.“Aku harus bawa dia ke rumah sakit. John memang salah, tapi otaknya tak boleh kamu kuasai, dia masih bisa melakukan segalanya,” ucap Tono cepat.Adiknya melangkah mendekati Jonathan, sedangkan Nyo
“Kamu mau kemana, John?”Jonathan sedang berdiri dan memegang kunci mobil, ia menghentikan langkahnya, lalu menoleh pada mamanya yang bangun karena mendengar suara langkah kakinya.“Aku akan ke rumah orang tua Luna, Mah. Dia istriku. Dia berhak tinggal disini,”“Luna pergi dengan keinginan sendiri. Jadi buat apa kamu mengejarnya. Dia tidak butuh kamu lagi, John. Uang sudah didapatkan,”Jonathan diam, dia terpaku tapi kemudian memutuskan untuk pergi. Langkah kakinya tampak tegas dan mantap untuk pergi ke rumah ibunya Luna. Dia tahu istrinya ada disana saat ini.Nyonya Deswanti hanya diam, tak bisa berkata-kata. Ia membiarkan putranya pergi. Tapi setelah beberapa menit, ia menyuruh seseorang untuk melakukan tugasnya.**G6ari berganti hari, sudah satu minggu Luna berada di rumah ibunya dan kali ini ibunya tidak bisa tinggal diam.Akhirnya ia bertanya dan meyakini bahwa putrinya memiliki masalah yang cukup pelik namun tak memberitahunya.Ia ingin Luna terbuka dan tahu bahwa ia sebagai or
Sepanjang malam, ia tidak bisa tidur. Pikirannya tertuju pada Jonathan yang selalu mengirimnya pesan.Pria itu mencarinya. Dalam pesannya, Jonathan mengetik kalau ia tidak akan menikahi Mira, apapun alasannya.Sungguh ini merupakan hal yang tidak ia inginkan sepanjang hidupnya. Menikahi pria tua kaya dan mengkhianatinya.Ia tahu ini pasti akan terjadi mengingat orang tua Jonathan tidak menyukainya. Keluarga besar pria itu bahkan lebih peduli pada kesehatan mamanya Jonathan ketimbang perasaannya sebagai istri Jonathan.Sesekali ia mendengar beberapa sindiran yang cukup menyedihkan hatinya. Sast itu dia sedang berada di dapur dan keluarga Jonathan datang dengan menyerukan bahwa ia harus menikahi wanita yang berkelas seperti yang diinginkan mamanya.Jonathan, pria itu cukup baik tapi ternyata labil dan tiba-tiba pengakuan mengejutkan membuatnya berpikir.Kehamilan mantan kekasihnya menjadi pangkal utama bahwa ini harus segera diakhiri. Ia akan mengalah tapi bingung harus mengatakan apa se
Dengan tergesa-gesa, Jonathan membawa mobilnya menuju rumah sakit. Di sisinya, Luna terus menggenggam tangannya, sesekali mengusap punggungnya, mencoba menenangkan.Pikiran Jonathan kacau. Kata "kritis" terus terngiang di kepalanya, disusul bayangan wajah mamanya yang pucat dalam mimpinya."Kondisi mamamu kritis, John," ucap pamannya.Jonathan tahu, semua keluarganya sangat memperhatikan mamanya, mereka mewanti-wanti agar ia tak menyakiti hati mamanya lagi.Tapi sekali lagi ia sadar bahwa kini ia telah memiliki Luna dan hanya bisa memikirkan yang terbaik saja.Di usianya yang telah menginjak kepala empat, ia tahu mamanya menginginkan adanya seorang keturunan yang dimilikinya.Sejujurnya ia juga tahu bahwa keinginan memiliki telah lama diidamkan, begitu juga dengan almarhum papanya.Setibanya di rumah sakit, Jonathan langsung berlari ke ruang ICU, diikuti oleh Luna. Di sana, beberapa kerabat dan juga Paman Tono sudah menunggu, raut wajah mereka dipenuhi kecemasan.Tanpa berkata-kata, J
Jonathan mengusap keringatnya. Dari leher sampai punggung basah kuyup karena keringat.Ia merasa aneh dan harus menceritakan hal ini pada Luna. Istrinya kadang sibuk melakukan sesuatu saat ia bangung tidur. Luna selalu bangun pagi setelah melakukan shalat subuh.Ia bangkit dan membuka pakaiannya. Dengan bertelanjang dada, ia menghirup bau harum wawangian udara segar dan pepohonan yang bertiup sepoi-sepoi.Ia mendengus kesal. Pikirannya tak bisa tenang meski ia telah lari dari rumahnya. Ia lari juga dari masalah yang membelit. Mamanya seolah mengejar dirinya hingga ke villa ini."Seharusnya aku bisa hidup tenang bersama Luna," pikirnya dengan perasaan gelisah.Malam demi malam di vila, Jonathan selalu diliputi mimpi buruk. Dalam mimpinya, ia melihat mamanya yang pucat dan marah, rumahnya yang gelap dan kosong.Dan ia akan terbangun dengan napas terengah-engah, merasakan kecemasan yang mendalam. Ia melirik Luna yang terlelap dengan tenang di sisinya, dan ia merasa bersalah. Jonathan tahu