Beranda / Romansa / Marrying Mr Alim / BAB 3. Jazakallahu Khairan?

Share

BAB 3. Jazakallahu Khairan?

Penulis: Ria Humaira
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-08 04:37:19

Brughh…!!

Prakk…!!

"Aduh, di mana sih lingerie gue?"

"Udah ketemu? Gue nggak jual tas Hermès gue. Abisnya gue sayang banget, ini peninggalan almarhum ayah."

"Iya, serah lu dah. Gue sibuk, Sis. Ntar kita sambung lagi. Bye! Assalamualaikum."

Rosa mematikan ponselnya, lalu melemparkannya ke atas ranjang. Ia sibuk sekali sepulang dari kajian Zuhur tadi.

Allah tidak akan menanyakan berapa jumlah harta kita, tapi untuk apa harta itu digunakan dan dari mana kita mendapatkannya.

Di kepala Rosa, kata-kata itu terus terngiang. Apalagi saat kajian tadi, mereka diperlihatkan bagaimana kondisi umat Muslim di berbagai belahan dunia yang mengalami kesulitan.

Rosa dan empat sahabatnya menangis, bahkan sampai terisak-isak. Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk melelang semua pernak-pernik mahal yang mereka miliki. Hasilnya akan mereka sumbangkan ke dinas sosial yang bersangkutan.

"Oh, lingerie 15 juta!! Di mana kah dirimu?"

Rosa mengusap peluhnya. Ia melirik ranjangnya yang sudah penuh dengan berbagai tas, sepatu, high heels, sneakers, bahkan sandal jepit dari merek ternama. Ia harus segera menemukan lingerie limited edition itu karena ia juga berniat menjualnya.

Seingatnya, ia pernah memakainya sekali, lalu menaruhnya kembali di walk-in closet bersama pakaian dalam lainnya. Lingerie itu adalah hadiah dari sang nenek dua tahun lalu.

"Abang…!! Lingerie adek yang 15 juta ke mana?"

Rosa berteriak menuju kamar Zany yang berada di lantai atas. Terlihat pria tampan itu sedang membersihkan iPad-nya.

"Tau dari mana? Yang punya kan kamu," jawab Zany cuek. Pria berkacamata itu kembali sibuk dengan iPad-nya yang kini tampak kinclong.

"Ih, abang…!! Biasanya kan abang yang suka masuk kamar adik, terus beres-beres. Padahal kamar adek udah rapi, tapi abang suka otak-atik sana-sini."

Rosa melipat tangan di dada, kesal. Ia memandangi kakak tertuanya yang tampak acuh.

Zany memang dijuluki Mr. Cleaner di keluarganya. Pria berumur 26 tahun itu tidak suka sesuatu yang kotor, berantakan, atau apa pun yang berbau jorok. Sejak kecil, ia adalah seorang perfeksionis. Semua harus bersih dan tertata rapi.

Oleh karena itu, ia lebih memilih tinggal bersama Rosa di rumah sang kakek ketimbang di rumah ayahnya. Ia tak ingin setiap hari bermandikan liur bayi kembar, belum lagi kekacauan yang mereka buat. Membayangkannya saja sudah membuat Zany bergidik ngeri.

"Warnanya apa?" tanya Zany, menghela napas, mencoba mengingat-ingat apakah ia pernah memindahkan barang dari kamar adiknya.

"Merah gelap, ada renda warna putih, terus tal—"

Puk!

Zany menimpuk kepala adiknya dengan tangannya. "Nggak usah terlalu dijabarkan. Gue tau lingerie, oke?!"

Zany berlalu menuju ranjangnya, meraih ponselnya, lalu kembali asyik dengan iPad-nya.

Lima menit…

Sepuluh menit…

Lima belas menit…

Ah, cukup sudah!

"JADI LINGERIE AKU DI MANA, BANG…?!" Rosa berteriak jengkel sembari menghentak-hentakkan kakinya.

"Au…! Abang kan udah bilang," jawab Zany acuh tak acuh.

"Iiih…! Tadi nanya, giliran ditungguin malah bilang nggak tau. Dasar PHP!" Rosa menggerutu kesal, lalu menjatuhkan dirinya ke atas sofa empuk di sampingnya.

"No, no…! Jorok, keluar! Kamu bau."

Zany menyeret lengan Rosa paksa, sementara wanita itu memasang gaya batunya—tak bergerak sama sekali.

"Lingerie-nya abang taruh di gudang. Sekarang KELUAR!"

Zany menunjuk pintu keluar.

Rosa tersenyum. Akhirnya berhasil juga! Ia mengecup pipi abangnya, lalu berlari secepat kilat keluar dari kamar Zany. Pasti abangnya itu akan mencuci wajahnya berkali-kali. Hahaha!

Rosa tertawa menuju gudang. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana abangnya yang bergelar playboy itu memilih wanita yang dikencaninya. Pastinya kinclong macam porselen.

****

"Ya, bisa transfer dulu. Thanks."

"Oke, UAE, Al Ain PO Box xx… Hmm, oke. Thanks."

"Sandal jepitnya 7 juta, nggak bisa dinego. Ini limited edition, loh. Ini aja kita udah turunin dari harga aslinya."

"High heels-nya udah laku yang ini, Bu. Yang ini aja, ya?"

"Sorry, nggak bisa. Harganya udah segitu."

"Louis Vuitton-nya 50 juta, Tante. Ini limited edition juga. Tante bisa cek keluaran 2013, ini cuma ada 50 biji. Ini salah satunya. Harga aslinya 200 juta, loh."

Kelima gadis itu sibuk melayani para pembeli. Maya dan Lana bertugas menjual secara online, sementara Linda, Siska, dan Rosa melayani pembeli yang datang langsung ke ruko tempat mereka melelang barang-barang branded tersebut.

"Lingerie-nya udah laku. May, pindahin, please." Lana menginstruksikan Maya yang kebetulan berada dekat barang ‘keramat’ itu.

"Handbag-nya 8 juta, Chanel, loh, Mbak. Kualitasnya nggak usah ditanya. Saya belinya tujuh bulan yang lalu."

Maya tersenyum melihat beberapa pembeli yang masih memperhatikan barang-barang dagangan mereka yang kini hanya tersisa sedikit. Kebanyakan memang sudah terjual online sejak pagi tadi.

"Hai…!"

Siska tersenyum melihat seorang pria tampan yang begitu dikenalnya memasuki ruko. Ia bahkan sampai lupa dengan ponselnya yang terus berdering.

"Mau cari apa, Kak Rio?" Rosa, yang lebih waras, langsung bertanya kepada pria itu.

Rio masih memperhatikan barang-barang branded yang berjejer manis di etalase.

"Mau cari tas… yang seperti…"

Rio merogoh ponselnya, hendak memperlihatkan gambar di layar. Namun, Siska tiba-tiba menyerobot, bahkan sampai mendorong Rosa hingga ia tergeser.

Rosa berdecak kesal. Memang dasar Siska…!

"Ini? Dior, Kak. Punyaku, 105 juta. Tapi buat Kakak, aku kasih diskon jadi 100 juta."

Siska tersenyum, beranjak mengambil tas yang dimaksud Rio.

Rosa dan Maya saling melirik, menahan tawa melihat kaki Siska yang gemetar. Sementara itu, Lana hanya bisa menahan tawa karena masih sibuk berbicara di telepon.

"Buat ad—"

"Kakak…! Katanya sebentar. Di mobil panas, tau…!"

Seorang wanita berhijab tiba-tiba memeluk lengan Rio, lalu berbisik pelan. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi Rio hanya tersenyum menanggapinya.

Siska menahan napasnya. Rasanya ini lebih menyakitkan daripada berita Chen menikah atau berita hoaks tentang G-Dragon.

Bayangkan saja, bagaimana perasaanmu saat seseorang yang kamu idolakan—bahkan menjadi cinta pertamamu—ternyata sudah ada yang punya? Tskk…

Sakit… dan begitu sakit…!

"Sebentar dulu, Sayang. Mama suruh Kakak beli tas. Katanya buat temannya."

Rio mengelus perut buncit wanita di sampingnya, lalu tersenyum kepada Siska yang masih setia memegang tas Dior miliknya.

"Tolong dibungkus," pinta Rio. Pria itu meraih dompetnya, lalu menyerahkan kartu debitnya kepada Siska.

"Kenapa tidak berhijab?"

Rio bertanya sembari menunggu Siska membungkus barangnya.

"Kamu cantik kalau berhijab. Aku suka."

Rio mengulum senyum. Bukan bermaksud menggombal, tapi ia merasa lebih bisa menjaga pandangannya jika Siska dan gengnya berhijab.

"Kak, suami aku udah di kafe. Buruan dong."

Wanita di samping Rio merengek. Dan itu sukses membuat hati Siska berbunga-bunga, bahkan cacing-cacing di perutnya ikut berpesta pora mengetahui si pemilik tengah berbahagia.

Rasanya seperti panas sebulan, lalu hujan sehari.

"Silakan," ujar Siska, menyerahkan handbag kepada Rio dengan senyum manis.

"Jazakillahu khairan. Assalamualaikum."

Rio meninggalkan Siska yang masih melongo bak orang idiot. Otaknya memutar ulang kata-kata Rio beberapa detik yang lalu.

"Kamu cantik kalau berhijab. Aku suka."

"Kamu cantik kalau berhijab. Aku suka."

"Kamu cantik kalau berhijab. Aku suka."

"Aku suka."

"Aku suka."

Kyaaaaaaa!!

Siska menangkup pipinya yang sudah memerah. Ia tersenyum lebar saat melayani pelanggan dengan sukacita. Sementara itu, keempat sahabatnya hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah aneh Siska.

Tapi tunggu!

Tadi Rio mengatakan Jazakillahu khairan. Itu artinya apa, ya?

Di Rumah Alfa

Rosa memperhatikan rumah minimalis bercat biru langit di depannya. Beberapa kali ia mencocokkan dengan alamat yang didapatnya dari ruang TU di kampusnya. Rumah ini memang minimalis, tapi Rosa bisa menebak kalau halaman belakangnya pasti luas.

"Bener kok."

Rosa berbicara sendiri, memperhatikan nomor rumah berkavling 28 di samping kirinya. Itu berarti rumah di depannya ini kavling 29.

Gotcha…!

Hari ini, Rosa berniat menyerahkan hasil lelang barangnya kepada Mr. Alim. Berdasarkan informasi yang ia dapat, Mr. Alim bertugas memegang uang donasi. Setelah jumlahnya cukup banyak, barulah dana tersebut ditransfer ke berbagai negara untuk kebutuhan kaum Muslimin.

Rosa memencet bel beberapa kali hingga seorang wanita berhijab hitam membuka pagar untuknya.

"Assalamualaikum, Gu—eh, saya mau cari Mr. Al—eh, maksudnya Kak Alfa."

Rosa merutuk dalam hati. Hampir saja ia keceplosan.

"Waalaikumussalam. Ada, kok. Silakan masuk dulu."

Gadis itu mempersilakan Rosa masuk, melewati taman kecil yang mengantarkan mereka menuju ruang tamu dari pintu samping.

Rosa cukup takjub. Rumah ini memiliki ruang tamu di samping, bukan di bagian depan seperti rumah kebanyakan. Ruangan tersebut minimalis, bercat putih, dengan tiga sofa berukuran sedang dan sebuah meja kaca di tengahnya.

Mini tapi tetap keren, pikir Rosa.

Apalagi catnya, seperti ada daun-daun di setiap dinding. Padahal, itu hanya permainan cat hijau daun yang dibuat sedemikian rupa hingga terlihat begitu berkelas.

"Saya Alifa, adiknya Kak Alfa," ujar wanita itu ramah, menjabat tangan Rosa.

"Saya Rosa."

Rosa tersenyum, lalu memperhatikan sekelilingnya. Tidak ada satu pun gambar yang tertempel di dinding putih itu.

Yaaah… gagal.

Awalnya, ia ingin seperti Oh Ha Ni yang mempermalukan Baek Seung Jo dengan foto masa kecilnya. Tapi di sini nggak ada foto apa pun. Ini GATAL…!! Gagal Total!

"Silakan duduk dulu, Mbak," ujar Alifa.

"Eh, iya. Makasih."

Rosa tersenyum canggung, lalu duduk di sofa.

"Sebentar, saya panggil Kak Alfa dulu."

Alifa berlalu, meninggalkan Rosa yang masih sibuk memperhatikan sekelilingnya.

"Oh, hai!"

Rosa cengo saat melihat Alfa keluar dengan tubuh shirtless, membawa dua ember cucian. Sepertinya pria itu baru selesai mencuci dan hendak menjemurnya di halaman belakang.

"Allahu Akbar!"

Alfa tersentak kaget. Cepat-cepat ia menaruh ember cuciannya, lalu menaikkan celana training yang dipakainya hingga menutupi pusarnya.

Ingat, dalam Islam batas aurat pria itu dari pusar sampai lutut.

"Maaf, ngagetin," ujar Rosa tersenyum, menangkupkan jemarinya.

Alfa tidak membalas. Pipi pria itu perlahan memerah. Ia langsung meninggalkan cucian begitu saja, berjalan cepat ke dalam rumah.

Sementara itu, Rosa masih terdiam, bibirnya sedikit menganga melihat perut kotak-kotak Alfa yang begitu…

My God!

Harusnya gue foto, terus gue sebarin di kampus. Pastinya gue dikira ada sesuatu sama si doi. Terus, abis itu Mr. Alim temuin gue, terus… WE ARE MARRIED!

Hahaha…! Mr. Alim bisa malu juga ternyata!

Batin Rosa menjerit kesenangan. Ini sesuatu yang lang to the ka—langka!

"Maaf, lama. Ini minumnya, silakan."

Alifa kembali, menghidangkan berbagai jenis camilan, tak lupa satu teko teh beserta dua cangkir kosong.

"Kak Alfa lagi ganti baju. Tunggu sebentar, katanya," ujar Alifa sambil menuangkan teh.

"Iya, nggak apa-apa kok. Oh iya, ini Basbousa, buat camilan."

Rosa tersenyum, lalu menyerahkan paper bag besar berisi kue khas Timur Tengah yang ia buat khusus untuk Mr. Alim and the family.

"Jazakillahu khairan, Kak. Ya ampun…! Ini kesukaan Kak Alfa banget! Dia suruh aku belajar bikin, tapi aku belum sempat," ucap Alifa bersemangat. Ia membuka aluminium foil dengan hati-hati.

"Oh, satu loyang! Masya Allah… Makasih banget, Mbak Rosa!"

"Sama-sama, em… Alifa," tanggap Rosa canggung.

Pasalnya, Alfa sudah berdiri di samping adiknya.

"Saya ke belakang dulu, Kak Rosa. Mau taruh ini."

Alifa berlalu, meninggalkan Rosa yang serasa mati gaya di depan Mr. Alim.

"Bawa sini, Dek. Abang mau cicip."

Alfa mengambil sepotong Basbousa sebelum adiknya benar-benar menghilang.

"Sip!" sahut Alifa, lalu meninggalkan mereka.

"Minum dulu tehnya. Camilannya juga dimakan."

Alfa menuangkan teh ke cangkir Rosa, lalu ke cangkirnya sendiri.

Rosa tersenyum anggun, lalu menyeruput teh pelan.

"Aw, panas!"

Rosa spontan menyemburkan tehnya. Ia buru-buru mengipas bibirnya yang terasa terbakar.

"Pelan-pelan," ujar Alfa, menyerahkan tisu.

"Makasih. Kirain tehnya anget," Rosa tersenyum kikuk, merapikan sweaternya malu-malu.

Alfa langsung memalingkan wajahnya. Sweater Rosa melorot, memperlihatkan bahu serta belahan dadanya.

Selalu saja begitu…

Astagfirullah

Astagfirullah!

Astagfirullah!

Alfa harus ekstra istighfar jika tidak ingin mencela Rosa terlalu banyak.

"Sorry."

Rosa tersenyum sok polos. Ia tahu Alfa selalu menghindari tatapannya.

"Oh iya, kami sudah menjual semua barang-barang mahal kami dan bermaksud menyumbangkannya. Totalnya kurang lebih satu setengah miliar. Uangnya mau dalam bentuk tunai atau cek?"

"Bisa transfer ke sini. Jazakillahu khairan untuk sumbangannya."

Alfa menyerahkan kartu nama berlabel universitas, lengkap dengan namanya serta nomor rekening.

"Sama-sama," jawab Rosa bangga.

Siapa lagi di kampus yang bisa menyumbang sebanyak itu? Rosa yakin tidak ada selain gengnya.

"Buat kamu. Dibaca ya, nanti aku tanya kalau ketemu."

Alfa menyerahkan sebuah buku berukuran sedang kepada Rosa.

"Kitabut Tauhid?"

Rosa mengernyitkan dahi, lalu tertawa geli.

"Aku percaya Allah itu satu, kok, jadi nggak perlu buku ini."

Rosa mengembalikan buku itu kepada Alfa.

"Baiklah."

Alfa mengalah. Ia yakin di rumah Rosa sudah ada banyak buku agama. Pak Arka—ayah Rosa—sering memintanya untuk membelikan buku-buku keislaman sekalian.

"By the way, arti Jaza… Jaza… hmm, yang kamu ucapkan tadi itu apa, ya? Itu bahasa Arab, kan?"

Rosa bertanya penasaran. Ia sudah lima kali mendengar kata itu: dua kali di pengajian, satu kali di ruko, dan dua kali di rumah Alfa.

"Jazakillahu khairan untuk perempuan, Jazakallahu khairan untuk laki-laki, dan Jazakumallahu khairan untuk bentuk jamak atau umum," jelas Alfa.

"Lalu, ada hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentang ini. Dari Zaid radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

'Barang siapa yang diberikan satu perbuatan kebaikan kepadanya, lalu dia membalasnya dengan mengatakan: Jazakallahu khair (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan), maka sungguh hal itu telah mencukupi dalam menyatakan rasa syukurnya.'

(HR. At-Tirmidzi [2035], An-Nasa’i dalam Al-Kubra [6/53], Al-Maqdisi dalam Al-Mukhtarah: 4/1321, Ibnu Hibban: 3413, Al-Bazzar dalam Musnadnya: 7/54. Hadits ini dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Tirmidzi.)

"Ooo, thanks! Eh… Ja-za-kal-lahu khairan untuk tehnya."

Rosa tersenyum.

Rasanya menyenangkan mengucapkan Jazakallahu khairan. Mungkin mulai sekarang, ia akan menghafalnya. Selain menyenangkan, ia juga bisa dapat pahala. Secara, itu sunnah, kan?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Marrying Mr Alim    BAB 19. Lamaran.

    "Khitbah itu lamaran. Jadi gini deh, kan ta'aruf tujuan nya nikah. Nah biasanya kan ta'aruf itu tujuannya adalah berkenalan, tentunya harus di temani mahrom. Dalam proses ta'aruf itu nggak boleh pake hati, nanti baver kalau ujungnya tidak ada kecocokan. Tapi setau gue sih ulama menyarankan agar mengkhitbah terlebih dahulu baru ta'aruf. Ya ini sih buat orang yang udah kita kenal tap__"Intinya aja sih, nggak sabar gue." Lana menyela penjelasan Rosa. Ia juga tidak sebodoh itu dalam urusan perta'arufan. "Intinya ada cowok yang nge-khitbah gue dan udah di terima sama kakek." "W H A T ?! Elo yakin?" Rosa tersenyum mengiyakan suara toa Maya dan teman-temannya. Ia sudah menebak reaksi keempat sahabatnya saat dirinya mengatakan sudah di Khitbah. "Kita belum lulus Ros, ya elah jangan bilang elo nggak tahan pengen ena ena mangkanya jadi ngebet pengen nikah." Komentar Lana. Wanita itu tidak mempedulikan reaksi keempat sahabatnya minus Rosa yang menatapnya garang. "Aww, sakit!!" Lana meringi

  • Marrying Mr Alim    18. Tiba-tiba Hijrah!

    TING! TING!Jam berdentang nyaring, menunjukkan pukul 7 pagi tepat. Terlihat dua bersaudara Danis dan Zany sedang menyesap cairan hitam di cangkirnya masing-masing sembari menonton acara berita yang sedang berlangsung di televisi. "Astagfirullah!! Dek..!" Zany nyaris menyemburkan kopinya ketika melihat sang adik yang menuruni tangga dengan wajah kucel nan lesunya di tambah ransel di punggungnya yang membuat Rosa terlihat begitu menyedihkan. "Kamu mau kuliah?" Tanya Danis begitu sang adik mendaratkan bokongnya. Sejenak ia menelisik penampilan sang adik yang lebih mirip gelandangan."Hmm..."Rosa mengangguk mengiyakan. Menuangkan susu coklat ke gelasnya tidak bersemangat. Gadis itu ikut menatap televisi dengan tatapan datarnya. Lagi lagi kisah tragis wanita yang di bunuh kekasihnya. "Abis nangis? Mata kamu bengkak lho dek," Danis menangkup pipi adiknya, memberi isyarat pada Zany agar menyembunyikan remote control televisi. Karena biasanya Rosa akan memindahkan channel ke acara Kpop.

  • Marrying Mr Alim    BAB 17. Undangan.

    "Asuransi pada dasarnya adalah menjamin sesuatu yang belum jelas terjadi. Sedangkan pengertian Ghoror adalah merugikan salah satu pihak atau transaksi yang tidak jelas produknya, waktunya, tempatnya, jenisnya dan harganya. Sedangkan dalam islam konsekuensi hukum transaksi antara lain; tidak boleh ada kebohongan, kedzoliman, ghoror dan manipulasi. Semuanya harus jelas. Bagaimana mungkin seorang mengatakan asuransi halal sedangkan di dalamnya ada kedzoliman. Seperti memakan harta seorang dengan batil. Coba fikirkan di antara 100 % pengguna asuransi yang klaim hanya 36 % atau selebihnya. Ada bahkan yang menggunakan asuransi 5 tahun tidak pernah rawat inap di rumah sakit. Oleh karena itu perusahaan asuransi memiliki keuntungan terbesar. Saya tidak menjelekkan suatu perusahaan, tapi hanya menjelaskan hukum syar'i. Gini deh, kalau masih belum mengerti. Misalnya seseorang mengasuransikan mobilnya, dia sudah membayar premi sekitar setahun dengan total 10 juta. Suatu saat mobil itu tabrakan,

  • Marrying Mr Alim    BAB 16. Bertemu Kembali.

    Antara Pencipta dan Mahluk.Antara Langit dan Bumi.Antara Jin dan Manusia.Antara Bulan dan Bintang.Antara Kamu dan jodohku. Oh kasih.Aku tahu diriku tak pantas di cinta.Melirik pun kau menolak.Menyapa pun kau seolah tak ikhlas.Merindukanmu yang jauh di sana.Aku yang berlumur durja.Tak pantas mencintaimu yang begitu sempurna.Laksana Semut merindukan Bulan . Aku hanya bisa melihatmu dari kejauhan.Merindukanmu yang begitu dingin. Bak salju yang begitu indah.Kau putih namun membuatku sakit.Kau putih namun membuatku membeku.Tolong aku.Tolong hapus rasa ini.Tolong.Tolong jangan muncul lagi di ingatanku.Kenapa di antara milyaran pria hanya engkau yang ku damba.Kenapa di antara sekian pria hanya engkau yang membuatku terpana.Ketaatanmu....Pribadimu.....Wajahmu....Prinsipmu...Oh kasih...Aku tahu diriku tak pantas bermimpi...Namun salah kah aku mencintaimu? Salahkah aku jika berdo'a di sepertiga malam hanya untuk meminta hatimu pada sang Pencipta?Salahkah aku...In

  • Marrying Mr Alim    BAB 15. Minta Maaf.

    Rembulan datang menyinari gelapnya malam, cahayanya beradu dengan kerlap kerlip lampu perkotaan yang ramai. Terlihat dua orang pria dan dua orang wanita keluar dari mobil berplat B1662J . Keempatnya berjalan menuju resepsionis yang langsung menyapa mereka dengan senyumnya. "Ruang VVIP melati nomer 5 di mana ya mbak? " Tanya wanita berhijab abu abu setelah salamnya terjawab. "Lantai paling atas, belok kiri." Jelas sang resepsionis ramah. "Oh ya, terima kasih mbak." Mereka segera bertolak menuju lift yang tidak jauh dari tempatnya. "Rosa beneran siksa kak Fitriani?" Tanya wanita itu akhirnya. Sendari tadi sebenarnya ia tidak sabar untuk bertanya. Mengingat sang kakak _Alfa yang berada di dekat mereka. "Cuma di tampar saja. Tapi nggak sakit kok cuma kebas saja , merah saja enggak." Fitriani tertawa menyentuh pipinya. Menurutnya Rosa itu lucu. Ia mengikuti langkah panjang kedua pria di depannya keluar dari lift. "Kok aku dengar cerita yang enggak enggak sih?" Alifa menggerutu, saat

  • Marrying Mr Alim    BAB 14. Kesalahan Fatal.

    Zany melirik Rolexnya bosan. Sudah 30 menit ia menunggu sang adik yang tidak kunjung menampilkan batang hidungnya. Ia sendari tadi menjadi sasaran empuk mahasiswi yang berlalu lalang, beberapa di antaranya terang-terangan menyapanya bahkan mengajaknya foto bareng. Sebagai cucu orang terkaya ke enam mungkin dirinya yang paling tenar di antara deretan pewaris orang terkaya di Indonesia. Mengingat sepak terjangnya dalam dunia bisnis dan sosialnya terhadap masyarakat luas tentu membuat namanya harum. Ia memang sering kali wara wiri di televisi tanah air sebagai narasumber dan terkadang hadir di beberapa acara bergensi lainnya."Mas Zany, saya lapar." Gadis berhijab di belakangnya bersuara. Setelah sekian lama menatap ponselnya akhirnya gadis aneh itu bersuara. "Tunggu sebentar, saya ke dalam. Makan rotinya." Zany melemparkan sebungkus roti kepada Ii'in. "Minum obat kamu setelah itu. Saya pergi." Zany melenggeng, menutup pintu mobilnya, melirik sekilas pada Asisten spesialnya yang tenga

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status