Share

3. Lupakan

Bian menanti jawaban Kiyara. Ia merasa seperti sedang mendapat ancaman, merasa jika hidupnya sedang diawasi dan dinilai oleh para saudara iparnya. 

"Nggak. Nggak datang kemari, tapi, lewat pesan singkat." Kiyara akhirnya membuka mulutnya.  Wanita itu kembali menundukkan wajahnya. Jujur, setelah membaca pesan  yang dikirim oleh kakaknya, hati Kiyara justru tidak tenang dan emosinya malah terpancing. 

'Aku tersinggung dengan perkataan mereka, tapi ketika aku berteriak mengatakan jika mereka telah menyinggungku, mereka tidak terima. Mereka justru mengatakan jika aku sudah terlebih dulu menyinggung mereka dan begitu tak tahu malu. Aku jadi bingung sendiri. Bagian mana yang sudah menyinggung mereka. Jika kami, aku dan suamiku memiliki pendapat berbeda dengan mereka, mereka lantas mengatakan kami sok, sok bisa mengatasi semuanya. Lantas, kami disuruh apa? Apakah kami tidak boleh mengatakan apa pun dan merasakan  apa-apa begitu? Apakah mereka menganggap aku dan suamiku  sebuah boneka? Apakah mereka tidak menganggap aku dan suamiku  manusia,  yang juga bisa merasakan sakit hati dan tersinggung? Mengapa hidup begitu tidak adil? Mengapa semua tidak boleh untukku? Aku tidak boleh merasa apa pun, termasuk merasa tersinggung? Aku selalu menjadi yang salah.'

Kiyara justru larut dalam kesedihannya sendiri. Ia melupakan kehadiran suaminya yang masih setia menunggu ceritanya. Dehaman Bian membuat Kyara tersadar. Ia hanya mampu menatap Bian sekilas lalu mengalihkannya ke arah yang lain.

"Memangnya nulis apa?" Bian terus menunggu.

Kiyara menarik nafas dan membuangnya dengan helaan nafas panjang. "Bukan hal yang penting. Hanya saja..." Wanita muda itu kembali menggantungkan kalimatnya. Bibirnya mendadak kelu. Setiap kali ia mencoba mengingat isi pesan itu, ia merasa sembilu semakin dalam menancap ke dalam dadanya. Perih. Sangat perih. 

"Kiya.... Mas menunggu ceritanya," tegur Bian, kembali menyadarkan Kiyara yang sedang bergelut dengan rasa sakitnya.

"Kiya bingung, Mas. Sebenarnya ini adalah masa lalu, yang mungkin kita sendiri sudah lupa dan menganggap itu kisah lalu. Kita sendiri sudah belajar mengambil pelajaran dari kejadian itu, tapi-mereka.." Wanita muda itu jadi bingung sendiri untuk mengungkapkan perasaannya yang berkecamuk.

"Tapi kenapa?" Bian semakin dibuat penasaran. Kerutan dan berbagai perubahan yang terjadi di wajah istrinya itu, sungguh membuatnya ingin membaca pesan yang ada di ponsel ibu dari dua anaknya itu.

"Tapi... Kenapa mereka justru terus mengingatnya? Mengapa mereka masih menyimpan itu semua dalam ingatan mereka dan selalu menggunakan kejadian itu untuk menyerang kita, menyalahkan kita?"

"Apakah kita harus melapor kepada mereka jika kita sudah mengambil pelajaran dari kejadian itu? Haruskah demikian? Sedangkan Allah, Yang Maha Segalanya saja tidak seperti itu. Kiya  jadi kesal. Siapa sebenarnya mereka itu? Apa mereka merasa hidup mereka sudah benar? Apa mereka berhak untuk menghakimi hidup seseorang seolah mereka-lah yang memberi kita hidup..." Kiyara akhirnya mengungkapkan ganjalan di hatinya.

Bian diam terpengkur. Ia tidak pernah melihat istrinya se-emosi saat ini, bila mendapat pesan dari saudaranya. Baru kali ini dirinya melihat istrinya seperti itu. Bian mulai merasa ada yang salah dengan isi pesan yang dikirim iparnya.

"Mas pinjam ponselnya," ucap Bian sambil menengadahkan tangan kanannya di hadapan Kiyara.

Kiyara menggelengkan kepalanya dengan cepat. Ia menyembunyikan ponselnya di balik badannya. "Nggak. Mas nggak perlu membaca isi pesan itu."

"Kenapa? Kalau memang Mas nggak boleh, mulailah bercerita yang benar dan lengkap." Bian mulai menuntut. Rasa penasarannya membuat dirinya sudah tidak sabar lagi untuk mengetahui isi pesan yang sebenarnya.

Kiyara diam sejenak. Beberapa kali menghela nafasnya, lalu akhirnya, ibu dua anak itu memulai ceritanya. Hampir satu jam cerita itu mengalir dari bibir imut Kiyara, dan Bian menyimak dengan terus memperhatikan wajah istrinya yang berubah-ubah. Ia melihat kedua sudut mata Kiyara mulai terdapat gumpalan air yang mulai menggenang. Suara wanita yang sudah dinikahinya selama hampir sepuluh tahun itu, mulai bergetar. Sesekali terlihat usaha Kiyara untuk menguasai dirinya, menahan agar tidak terlalu terbawa emosi sesaat. 

Kiyara diam, lalu meminum air putih yang ada di atas meja tamu, setelah ia selesai menceritakan semuanya. Tanpa dinyana, Bian justu tertawa, membuat Kiyara bengong. Mengapa justru tertawa seperti itu? Mengapa tidak marah? Ia terus menatap suaminya. Apa ada yang lucu dari ceritanya? Apa tadi ada kata-katanya yang salah ucap?

"Mengapa malah tertawa?"

Bian menghentikan tawanya dan menatap intens sang istri. "Lucu aja."

Glek. Kiyara menelan air liurnya sendiri. Lucu? Bagian mana yang menurut suaminya itu masuk bagian yang lucu? Ia mulai mengingat-ingat perkataannya, dan tidak menemukan kata-kata yang ambigu, yang bisa menimbulkan tawa.

"Bagian mana yang lucu?" Kini giliran Kiyara yang menginterogasi. Ia tidak mengerti, mengapa kekhawatirannya tidak terjadi, dan yang terjadi justru sebaliknya?

"Ya, ngerasa lucu aja. Apa mereka nggak punya kerjaan lain sampai-sampai kesalahan kita yang dulu masih erat melekat dalam benak mereka? Apa memang hobi mereka untuk selalu mencampuri urusan rumah tangga  orang lain? Menjadi hakim dalam hidup orang lain?"

Tenggorokannya yang sudah kering sejak tadi, terasa begitu sakit dan perih. Kiyara langsung meminum habis air putih yang sejak tadi ada di atas meja tamu.  Apa yang diucapkan suaminya tidak salah. Mengapa mereka yang justru selalu mengingat kesalahan dirinya dan suaminya? Ia dan suaminya yang melakukan kekeliruan saja, sudah melupakan detail kejadiannya, mengingatnya sebagai pelajaran berharga yang harus dipetik hikmahnya. 

Tapi mereka? Mengapa mereka justru seperti itu? Selalu mengatakan kejadian itu di setiap mereka terlibat silang pendapat satu dengan yang lainnya. Kiyara kembali teringat kata demi kata, kalimat demi kalimat. Dan setiap dirinya teringat akan hal itu, Kiyara mendesah panjang Ia benar-benar tidak habis pikir. Apakah cara dirinya dan suaminya membangun biduk rumah tangga selama ini salah? Dari mana mereka bisa menilai itu semua salah sedang mereka sendiri tidak mengikuti setiap kisah yang dirinya dan suami lalui? 

Jika memang mereka telah melakukan kekeliruan yang hakiki, yang seharusnya orang waras tahu dan bisa melihat jika hal itu salah, bukankah cukup memberi nasihat dan wejangan, jangan sampai jatuh ke lubang yang sama lagi di waktu mendatang, bukan malah selalu mengingat dan menyalahkan kejadian demi kejadian, dan dengan cepat menghakimi apa yang sedang menimpa kami sekarang ini, adalah buah dari kesombongan kami di masa lalu.

Kesombongan? Kesombongan yang mana lagi. Kiyara tak henti-hentinya bertanya dalam hatinya sendiri. 

"Dek!" panggil Bian dengan nada lembut."Kamu percaya sama Mas nggak?" Ia menatap lekat wanita cantik di depannya, yang masih saja sibuk dengan batinnya sendiri.

Tanpa ragu, Kiyara menganggukkan kepalanya. "Kiya percaya sama Mas." 

Bian tersenyum. "Kalau begitu, lupakan tulisan itu."

Kiyara tertegun. Lupakan? 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status