Share

3. Lupakan

last update Terakhir Diperbarui: 2022-03-01 23:31:55

Bian menanti jawaban Kiyara. Ia merasa seperti sedang mendapat ancaman, merasa jika hidupnya sedang diawasi dan dinilai oleh para saudara iparnya. 

"Nggak. Nggak datang kemari, tapi, lewat pesan singkat." Kiyara akhirnya membuka mulutnya.  Wanita itu kembali menundukkan wajahnya. Jujur, setelah membaca pesan  yang dikirim oleh kakaknya, hati Kiyara justru tidak tenang dan emosinya malah terpancing. 

'Aku tersinggung dengan perkataan mereka, tapi ketika aku berteriak mengatakan jika mereka telah menyinggungku, mereka tidak terima. Mereka justru mengatakan jika aku sudah terlebih dulu menyinggung mereka dan begitu tak tahu malu. Aku jadi bingung sendiri. Bagian mana yang sudah menyinggung mereka. Jika kami, aku dan suamiku memiliki pendapat berbeda dengan mereka, mereka lantas mengatakan kami sok, sok bisa mengatasi semuanya. Lantas, kami disuruh apa? Apakah kami tidak boleh mengatakan apa pun dan merasakan  apa-apa begitu? Apakah mereka menganggap aku dan suamiku  sebuah boneka? Apakah mereka tidak menganggap aku dan suamiku  manusia,  yang juga bisa merasakan sakit hati dan tersinggung? Mengapa hidup begitu tidak adil? Mengapa semua tidak boleh untukku? Aku tidak boleh merasa apa pun, termasuk merasa tersinggung? Aku selalu menjadi yang salah.'

Kiyara justru larut dalam kesedihannya sendiri. Ia melupakan kehadiran suaminya yang masih setia menunggu ceritanya. Dehaman Bian membuat Kyara tersadar. Ia hanya mampu menatap Bian sekilas lalu mengalihkannya ke arah yang lain.

"Memangnya nulis apa?" Bian terus menunggu.

Kiyara menarik nafas dan membuangnya dengan helaan nafas panjang. "Bukan hal yang penting. Hanya saja..." Wanita muda itu kembali menggantungkan kalimatnya. Bibirnya mendadak kelu. Setiap kali ia mencoba mengingat isi pesan itu, ia merasa sembilu semakin dalam menancap ke dalam dadanya. Perih. Sangat perih. 

"Kiya.... Mas menunggu ceritanya," tegur Bian, kembali menyadarkan Kiyara yang sedang bergelut dengan rasa sakitnya.

"Kiya bingung, Mas. Sebenarnya ini adalah masa lalu, yang mungkin kita sendiri sudah lupa dan menganggap itu kisah lalu. Kita sendiri sudah belajar mengambil pelajaran dari kejadian itu, tapi-mereka.." Wanita muda itu jadi bingung sendiri untuk mengungkapkan perasaannya yang berkecamuk.

"Tapi kenapa?" Bian semakin dibuat penasaran. Kerutan dan berbagai perubahan yang terjadi di wajah istrinya itu, sungguh membuatnya ingin membaca pesan yang ada di ponsel ibu dari dua anaknya itu.

"Tapi... Kenapa mereka justru terus mengingatnya? Mengapa mereka masih menyimpan itu semua dalam ingatan mereka dan selalu menggunakan kejadian itu untuk menyerang kita, menyalahkan kita?"

"Apakah kita harus melapor kepada mereka jika kita sudah mengambil pelajaran dari kejadian itu? Haruskah demikian? Sedangkan Allah, Yang Maha Segalanya saja tidak seperti itu. Kiya  jadi kesal. Siapa sebenarnya mereka itu? Apa mereka merasa hidup mereka sudah benar? Apa mereka berhak untuk menghakimi hidup seseorang seolah mereka-lah yang memberi kita hidup..." Kiyara akhirnya mengungkapkan ganjalan di hatinya.

Bian diam terpengkur. Ia tidak pernah melihat istrinya se-emosi saat ini, bila mendapat pesan dari saudaranya. Baru kali ini dirinya melihat istrinya seperti itu. Bian mulai merasa ada yang salah dengan isi pesan yang dikirim iparnya.

"Mas pinjam ponselnya," ucap Bian sambil menengadahkan tangan kanannya di hadapan Kiyara.

Kiyara menggelengkan kepalanya dengan cepat. Ia menyembunyikan ponselnya di balik badannya. "Nggak. Mas nggak perlu membaca isi pesan itu."

"Kenapa? Kalau memang Mas nggak boleh, mulailah bercerita yang benar dan lengkap." Bian mulai menuntut. Rasa penasarannya membuat dirinya sudah tidak sabar lagi untuk mengetahui isi pesan yang sebenarnya.

Kiyara diam sejenak. Beberapa kali menghela nafasnya, lalu akhirnya, ibu dua anak itu memulai ceritanya. Hampir satu jam cerita itu mengalir dari bibir imut Kiyara, dan Bian menyimak dengan terus memperhatikan wajah istrinya yang berubah-ubah. Ia melihat kedua sudut mata Kiyara mulai terdapat gumpalan air yang mulai menggenang. Suara wanita yang sudah dinikahinya selama hampir sepuluh tahun itu, mulai bergetar. Sesekali terlihat usaha Kiyara untuk menguasai dirinya, menahan agar tidak terlalu terbawa emosi sesaat. 

Kiyara diam, lalu meminum air putih yang ada di atas meja tamu, setelah ia selesai menceritakan semuanya. Tanpa dinyana, Bian justu tertawa, membuat Kiyara bengong. Mengapa justru tertawa seperti itu? Mengapa tidak marah? Ia terus menatap suaminya. Apa ada yang lucu dari ceritanya? Apa tadi ada kata-katanya yang salah ucap?

"Mengapa malah tertawa?"

Bian menghentikan tawanya dan menatap intens sang istri. "Lucu aja."

Glek. Kiyara menelan air liurnya sendiri. Lucu? Bagian mana yang menurut suaminya itu masuk bagian yang lucu? Ia mulai mengingat-ingat perkataannya, dan tidak menemukan kata-kata yang ambigu, yang bisa menimbulkan tawa.

"Bagian mana yang lucu?" Kini giliran Kiyara yang menginterogasi. Ia tidak mengerti, mengapa kekhawatirannya tidak terjadi, dan yang terjadi justru sebaliknya?

"Ya, ngerasa lucu aja. Apa mereka nggak punya kerjaan lain sampai-sampai kesalahan kita yang dulu masih erat melekat dalam benak mereka? Apa memang hobi mereka untuk selalu mencampuri urusan rumah tangga  orang lain? Menjadi hakim dalam hidup orang lain?"

Tenggorokannya yang sudah kering sejak tadi, terasa begitu sakit dan perih. Kiyara langsung meminum habis air putih yang sejak tadi ada di atas meja tamu.  Apa yang diucapkan suaminya tidak salah. Mengapa mereka yang justru selalu mengingat kesalahan dirinya dan suaminya? Ia dan suaminya yang melakukan kekeliruan saja, sudah melupakan detail kejadiannya, mengingatnya sebagai pelajaran berharga yang harus dipetik hikmahnya. 

Tapi mereka? Mengapa mereka justru seperti itu? Selalu mengatakan kejadian itu di setiap mereka terlibat silang pendapat satu dengan yang lainnya. Kiyara kembali teringat kata demi kata, kalimat demi kalimat. Dan setiap dirinya teringat akan hal itu, Kiyara mendesah panjang Ia benar-benar tidak habis pikir. Apakah cara dirinya dan suaminya membangun biduk rumah tangga selama ini salah? Dari mana mereka bisa menilai itu semua salah sedang mereka sendiri tidak mengikuti setiap kisah yang dirinya dan suami lalui? 

Jika memang mereka telah melakukan kekeliruan yang hakiki, yang seharusnya orang waras tahu dan bisa melihat jika hal itu salah, bukankah cukup memberi nasihat dan wejangan, jangan sampai jatuh ke lubang yang sama lagi di waktu mendatang, bukan malah selalu mengingat dan menyalahkan kejadian demi kejadian, dan dengan cepat menghakimi apa yang sedang menimpa kami sekarang ini, adalah buah dari kesombongan kami di masa lalu.

Kesombongan? Kesombongan yang mana lagi. Kiyara tak henti-hentinya bertanya dalam hatinya sendiri. 

"Dek!" panggil Bian dengan nada lembut."Kamu percaya sama Mas nggak?" Ia menatap lekat wanita cantik di depannya, yang masih saja sibuk dengan batinnya sendiri.

Tanpa ragu, Kiyara menganggukkan kepalanya. "Kiya percaya sama Mas." 

Bian tersenyum. "Kalau begitu, lupakan tulisan itu."

Kiyara tertegun. Lupakan? 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Marrying You (Again)   30. Kembali Bersama

    "Cepat! Aku tidak mau masalah ini berlarut-larut. Jangan sampai Bian melaporkan kejadian ini ke polisi. Aku tidak mau nama baikku dan keluargaku tercoret karena ulahmu!"Murni tergagap. Ia tidak punya pilihan lain. Ia harus merelakan mobil yang baru ia beli satu bulan lalu. Dengan langkah gontai, Murni mengambil kunci mobil dari dalam tasnya, dan menyerahkannya kepada Henri."Yang lain?"Hah?! Murni menatap Henri dengan tatapan bingung. "Apa maksudmu yang lain?""Kunci mobil yang lain. Kau tidak hanya punya satu mobil, bukan? Jika hanya ini yang kau serahkan untuk melunasi hutangmu pada Bian, maka tidak cukup. Ingat, hutangmu lebih dari setengah milyar. Aku hanya akan membantu sebesari yang aku tahu saja. Dua puluh juta. Tidak lebih."Murni menggigit bibir bagian bawahnya. Habislah dia. Ia tidak punya lagi mobil yang bisa ia banggakan di depan teman sosialitanya. Murni mengeluarkan dua kunci mobil dari laci meja riasnya. Ia tidak rela, akan tetapi tangan Henri dengan cepat mengambil

  • Marrying You (Again)   29. Kwitansi

    Hujan turun begitu deras, membuat suasana hati Bian semakin sendu. Ia merasa sangat kesepian. Suara canda dan tawa Bagas beserta Ayu, membuat Bian berpikir untuk menjemput Kiyara. Tapi- Tunggu dulu... Dimana ia dapat menemukan Kiyara? Kemana perginya Kiyara saja, ia tidak tahu.Bian mengusap kasar wajahnya. Andai dirinya mendengar semua nasihat dan peringatan dari Kiyara, pasti ia tidak akan mengalami semua ini. Hidupnya berantakan. Tidak ada istri yang biasanya melayani semua kebutuhannya, tidak juga anak yang menghibur dirinya dengan rengekan dan teriakan mengganggu mereka.Bian menatap sisi kasurnya yang kini kosong. Ia menyentuh sisi yang kini terasa sangat dingin. Lagi, Bian hanya bisa menghembuskan napas kasar. Ia menatap bantal dan guling yang tertata rapi di sebelahnya.Ia merindukan sosok yang biasa menemani istirahat malamnya. Sosok yang selalu panik jika ia pulang kehujanan, yang selalu mengomel jika ia melewatkan jam makan siang."Aah, Kiyara! Kamu ada dimana, Sayang?" Bia

  • Marrying You (Again)   28. Bisakah Ibu?

    Kiyara sedang mengangkat jemuran ketika ponselnya berdering. Dengan sigap, Kiyara mengambil benda pipih itu di atas nakas.K: "Halo?"M: "Selamat Sore, Bu. Ini saya, Maryono, Bu."Wajah Kiyara seketika cerah.K: "Bagaimana kabarnya, Mar?"M: "Baik, Bu. Bapak sekarang sudah kembali bekerja di pabrik, Bu. Sejak tiga hari yang lalu. Pulang dari rumah sakit langsung ke pabrik, tapi hanya sebentar. Saya mengingat pesan Ibu untuk menjaga bapak."Kiyara mengangguk puas. Ia harus memberi sesuatu kepada pemuda itu karena sudah bersedia menjaga suaminya dengan begitu tulus.K: "Terima kasih, ya? Saya tidak tahu harus bagaimana untuk berterima kasih sama kamu?"M: "Oh-Tentu tidak , Bu. Ini sudah kewajiban saya sebagai karyawan bapak. Bapak sudah sangat baik kepada kami, sudah seyogyanya kami membalas kebaikan bapak."K: "Sampaikan ucapan terima kasih saya kepada teman-teman kamu di sana."M: "Baik, Bu. Eng-..."Kiyara menangkap sesuatu yang ingin diutarakan Maryono, tapi pemuda itu tampaknya rag

  • Marrying You (Again)   27. Kenyataan Untuk Bian

    Kiyara menatap Bian yang masih terlelap. Ada rasa bersalah yang dirasakan Kiyara melihat suaminya yang terbaring lemah di hadapannya. Namun, sebuah kilatan amarah melintas di kedua netranya."Lihat, Mas! Saat kau sakit seperti ini, dimana mereka yang kamu beri bantuan kemarin? Dimana mereka saat kamu menderita seperti sekarang? Datang melihat pun tidak. Mereka sama sekali tidak peduli denganmu, Mas. Mereka hanya peduli dengan perut mereka sendiri. Mereka mendekatimu hanya saat kamu punya uang."Kiyara menghembuskan napasnya. "Tapi mengapa ... Mengapa kau justru lebih mendengarkan mereka yang memanfaatkanmu? Kau justru lebih memilih mereka daripada keluargamu sendiri? Aku dan anak-anak justru kau abaikan. Kau lebih mementingkan mereka daripada kami?"Terdengar sedikit isakan tapi itu hanya sebentar. Kiyara menyeka air mata yang sempat memenuhi sudut matanya. "Semoga Mas bisa segera sembuh. Ada banyak kebenaran yang harus Mas ketahui. Jadi, jangan menyerah."Selama tiga hari, Kiyara menj

  • Marrying You (Again)   26. Jatuh Sakit

    "Lagipula Kiyara, apakah kamu rela ada perempuan lain yang menggantikan posisimu di sisinya? Bian itu ganteng loh. Tante berani taruhan, pasti dulu banyak yang ngantri untuk jadi istrinya." Melina terus berusaha meyakinkan Kiyara.Kiyara hanya menyimak penuturan wanita paruh baya itu. Ia tidak lagi berani membantah. Tidak mudah bagi Kiyara untuk melupakan semua kejadian masa lalunya bersama Bian. Sikap Bian yang membuat dirinya mengajukan cerai, sungguh meninggalkan luka mendalam di hatinya."Udah, Ma. Setidaknya, biarkan Kiyara berpikir dan menenangkan dirinya dulu. Bian juga sekali-kali harus dipaksa mikir. Dia juga keterlaluan. Mama bayangkan sendiri, jika Papa seperti Bian, apakah Mama bisa bertahan sampai sejauh ini seperti Kiyara?"Melina setuju. Mungkin ini adalah jalan terbaik untuk Bian dan Kiyara. Perpisahan sementara ini bisa jadi salah satu cara untuk keduanya saling memahami satu sama lain. Utamanya untuk Bian. Pria itu tampaknya harus merasakan kehilangan dulu baru bisa

  • Marrying You (Again)   25. Nasihat Melina

    Bian masih duduk terpengkur di kursi makan. Pandangannya keosong. . Hingga pagi ini, Kiyara belum juga kembalil. Ia tidak tahu harus menghubungi siapa.Di saat pikirannya melayang entah kemana, mencari sosok Kiyara di sela ingatannya beberapa hari yang lalu, sebuah pesan masuk membuat Bian terlonjak dari duduknya."Pak Bian. Saya mau order mukena sebanyak 50 puluh kodi. Motif yang saya pillih akan saya kirim segera. Saya juga akan mengirim tanda jadi sebesar tiga puluh persen di awal, tiga puluh persen saat barang akan dikirim, dan sisanya akan saya bayar setelah barang dalam perjalanan."Bian hanya membaca pesan itu dengan ekspresi datar. Tidak seperti biasanya. Ia akan melonjak kegirangan lalu lari mencari Kiyara,dan langsung menghambur memeluk istri tercintanya itu.Jumlah order yang tertera di layar ponselnya tidak dapat mengusir kesedihannya. Apalah arti pesanan besar tetapi ia tidak memiliki seorang pun untuk berbagi kebahagiaan.Ponsel Bian berdering. Bian hanya mengabaikannya

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status