Bian menanti jawaban Kiyara. Ia merasa seperti sedang mendapat ancaman, merasa jika hidupnya sedang diawasi dan dinilai oleh para saudara iparnya.
"Nggak. Nggak datang kemari, tapi, lewat pesan singkat." Kiyara akhirnya membuka mulutnya. Wanita itu kembali menundukkan wajahnya. Jujur, setelah membaca pesan yang dikirim oleh kakaknya, hati Kiyara justru tidak tenang dan emosinya malah terpancing.
'Aku tersinggung dengan perkataan mereka, tapi ketika aku berteriak mengatakan jika mereka telah menyinggungku, mereka tidak terima. Mereka justru mengatakan jika aku sudah terlebih dulu menyinggung mereka dan begitu tak tahu malu. Aku jadi bingung sendiri. Bagian mana yang sudah menyinggung mereka. Jika kami, aku dan suamiku memiliki pendapat berbeda dengan mereka, mereka lantas mengatakan kami sok, sok bisa mengatasi semuanya. Lantas, kami disuruh apa? Apakah kami tidak boleh mengatakan apa pun dan merasakan apa-apa begitu? Apakah mereka menganggap aku dan suamiku sebuah boneka? Apakah mereka tidak menganggap aku dan suamiku manusia, yang juga bisa merasakan sakit hati dan tersinggung? Mengapa hidup begitu tidak adil? Mengapa semua tidak boleh untukku? Aku tidak boleh merasa apa pun, termasuk merasa tersinggung? Aku selalu menjadi yang salah.'
Kiyara justru larut dalam kesedihannya sendiri. Ia melupakan kehadiran suaminya yang masih setia menunggu ceritanya. Dehaman Bian membuat Kyara tersadar. Ia hanya mampu menatap Bian sekilas lalu mengalihkannya ke arah yang lain.
"Memangnya nulis apa?" Bian terus menunggu.
Kiyara menarik nafas dan membuangnya dengan helaan nafas panjang. "Bukan hal yang penting. Hanya saja..." Wanita muda itu kembali menggantungkan kalimatnya. Bibirnya mendadak kelu. Setiap kali ia mencoba mengingat isi pesan itu, ia merasa sembilu semakin dalam menancap ke dalam dadanya. Perih. Sangat perih.
"Kiya.... Mas menunggu ceritanya," tegur Bian, kembali menyadarkan Kiyara yang sedang bergelut dengan rasa sakitnya.
"Kiya bingung, Mas. Sebenarnya ini adalah masa lalu, yang mungkin kita sendiri sudah lupa dan menganggap itu kisah lalu. Kita sendiri sudah belajar mengambil pelajaran dari kejadian itu, tapi-mereka.." Wanita muda itu jadi bingung sendiri untuk mengungkapkan perasaannya yang berkecamuk.
"Tapi kenapa?" Bian semakin dibuat penasaran. Kerutan dan berbagai perubahan yang terjadi di wajah istrinya itu, sungguh membuatnya ingin membaca pesan yang ada di ponsel ibu dari dua anaknya itu.
"Tapi... Kenapa mereka justru terus mengingatnya? Mengapa mereka masih menyimpan itu semua dalam ingatan mereka dan selalu menggunakan kejadian itu untuk menyerang kita, menyalahkan kita?"
"Apakah kita harus melapor kepada mereka jika kita sudah mengambil pelajaran dari kejadian itu? Haruskah demikian? Sedangkan Allah, Yang Maha Segalanya saja tidak seperti itu. Kiya jadi kesal. Siapa sebenarnya mereka itu? Apa mereka merasa hidup mereka sudah benar? Apa mereka berhak untuk menghakimi hidup seseorang seolah mereka-lah yang memberi kita hidup..." Kiyara akhirnya mengungkapkan ganjalan di hatinya.
Bian diam terpengkur. Ia tidak pernah melihat istrinya se-emosi saat ini, bila mendapat pesan dari saudaranya. Baru kali ini dirinya melihat istrinya seperti itu. Bian mulai merasa ada yang salah dengan isi pesan yang dikirim iparnya.
"Mas pinjam ponselnya," ucap Bian sambil menengadahkan tangan kanannya di hadapan Kiyara.
Kiyara menggelengkan kepalanya dengan cepat. Ia menyembunyikan ponselnya di balik badannya. "Nggak. Mas nggak perlu membaca isi pesan itu."
"Kenapa? Kalau memang Mas nggak boleh, mulailah bercerita yang benar dan lengkap." Bian mulai menuntut. Rasa penasarannya membuat dirinya sudah tidak sabar lagi untuk mengetahui isi pesan yang sebenarnya.
Kiyara diam sejenak. Beberapa kali menghela nafasnya, lalu akhirnya, ibu dua anak itu memulai ceritanya. Hampir satu jam cerita itu mengalir dari bibir imut Kiyara, dan Bian menyimak dengan terus memperhatikan wajah istrinya yang berubah-ubah. Ia melihat kedua sudut mata Kiyara mulai terdapat gumpalan air yang mulai menggenang. Suara wanita yang sudah dinikahinya selama hampir sepuluh tahun itu, mulai bergetar. Sesekali terlihat usaha Kiyara untuk menguasai dirinya, menahan agar tidak terlalu terbawa emosi sesaat.
Kiyara diam, lalu meminum air putih yang ada di atas meja tamu, setelah ia selesai menceritakan semuanya. Tanpa dinyana, Bian justu tertawa, membuat Kiyara bengong. Mengapa justru tertawa seperti itu? Mengapa tidak marah? Ia terus menatap suaminya. Apa ada yang lucu dari ceritanya? Apa tadi ada kata-katanya yang salah ucap?
"Mengapa malah tertawa?"
Bian menghentikan tawanya dan menatap intens sang istri. "Lucu aja."
Glek. Kiyara menelan air liurnya sendiri. Lucu? Bagian mana yang menurut suaminya itu masuk bagian yang lucu? Ia mulai mengingat-ingat perkataannya, dan tidak menemukan kata-kata yang ambigu, yang bisa menimbulkan tawa.
"Bagian mana yang lucu?" Kini giliran Kiyara yang menginterogasi. Ia tidak mengerti, mengapa kekhawatirannya tidak terjadi, dan yang terjadi justru sebaliknya?
"Ya, ngerasa lucu aja. Apa mereka nggak punya kerjaan lain sampai-sampai kesalahan kita yang dulu masih erat melekat dalam benak mereka? Apa memang hobi mereka untuk selalu mencampuri urusan rumah tangga orang lain? Menjadi hakim dalam hidup orang lain?"
Tenggorokannya yang sudah kering sejak tadi, terasa begitu sakit dan perih. Kiyara langsung meminum habis air putih yang sejak tadi ada di atas meja tamu. Apa yang diucapkan suaminya tidak salah. Mengapa mereka yang justru selalu mengingat kesalahan dirinya dan suaminya? Ia dan suaminya yang melakukan kekeliruan saja, sudah melupakan detail kejadiannya, mengingatnya sebagai pelajaran berharga yang harus dipetik hikmahnya.
Tapi mereka? Mengapa mereka justru seperti itu? Selalu mengatakan kejadian itu di setiap mereka terlibat silang pendapat satu dengan yang lainnya. Kiyara kembali teringat kata demi kata, kalimat demi kalimat. Dan setiap dirinya teringat akan hal itu, Kiyara mendesah panjang Ia benar-benar tidak habis pikir. Apakah cara dirinya dan suaminya membangun biduk rumah tangga selama ini salah? Dari mana mereka bisa menilai itu semua salah sedang mereka sendiri tidak mengikuti setiap kisah yang dirinya dan suami lalui?
Jika memang mereka telah melakukan kekeliruan yang hakiki, yang seharusnya orang waras tahu dan bisa melihat jika hal itu salah, bukankah cukup memberi nasihat dan wejangan, jangan sampai jatuh ke lubang yang sama lagi di waktu mendatang, bukan malah selalu mengingat dan menyalahkan kejadian demi kejadian, dan dengan cepat menghakimi apa yang sedang menimpa kami sekarang ini, adalah buah dari kesombongan kami di masa lalu.
Kesombongan? Kesombongan yang mana lagi. Kiyara tak henti-hentinya bertanya dalam hatinya sendiri.
"Dek!" panggil Bian dengan nada lembut."Kamu percaya sama Mas nggak?" Ia menatap lekat wanita cantik di depannya, yang masih saja sibuk dengan batinnya sendiri.
Tanpa ragu, Kiyara menganggukkan kepalanya. "Kiya percaya sama Mas."
Bian tersenyum. "Kalau begitu, lupakan tulisan itu."
Kiyara tertegun. Lupakan?
Kiyara tertegun. Ia mengucap saran suaminya itu berulang-ulang. Lupakan? Semudah itu? Kedua mata Kiyara memandang Bian dengan pandangan yang sarat rasa keberatan. Enak sekali mereka, protesnya dalam hati."Kiya nggak mau!" Emosinya kembali naik. "Kalau didiamkan saja, ya Mas, besok-besok hari mereka akan seperti ini terus. Ya kalau mereka... tsk..." Kiyara tidak meneruskan kalimatnya."Apa susahnya? Cuma melupakan saja kan, mudah?" Bian menatap Kiyara. Ia sudah memprediksi reaksi Kiyara. Maka dari itu, ia lebih merendahkan suaranya untuk membujuk istrinya itu.Kepala Kiyara terus menggeleng-geleng. "Nggak mungkin semudah itu, Mas. Luka itu, sakit hati hari itu, ketika Kiya mendengar sindirian mereka tentang kehidupan pernikahan kita yang menurut mereka terlalu boros, yang nggak bisa mendidik anak, tingkah anak-anak yang begitu susah diatur, tidak seperti cara bapak dan ibu mendidik anak-
Ponsel Kiyara terlepas dari genggaman tangan Bian. Matanya menatap kosong pemandangan di depannya. Kiyara berlari dari dalam, ke luar menghampiri Bian. Kedua matanya langsung melihat ke bawah kaki Bian. Ia segera mengambil ponselnya. Tidak pecah, tidak retak, tapi tidak tahu masih bisa berfungsi atau tidak."Kenapa, Mas?" Kiyara menatap Bian penuh dengan tanda tanya. Wajah Bian yang kaku, keras dan dingin terlihat begitu mengerikan. Kiyara lalu menatap ponsel yang baru saja ia pungut dari bawah tempat Bian berdiri. Ia menekan tombol on, mencoba mengaktifkan kembali benda pipih itu, tapi gagal. Ia lantas menatap kesal Bian yang masih tetap bergeming di tempatnya berdiri."Rusak, Mas." Kiyara menyoroti wajah Bian yang masih suram. "Ada apa, sih? Kenapa sampai harus banting hape segala? Kalau udah kayak gini, Kiya gimana mau cari order?" tanyanya kesal. Melihat Bian yang tidak juga mengucapkan sepatah kata pun, Kiyara segera
Wajah Kiyara tak kalah terkejut dari Bian. Emosi yang sempat menghilang kini kembali datang, merayap masuk memenuhi rongga dada dan isi kepalanya. Seakan asap siap untuk ke luar, mengepul di atas kepala dan kedua telinganya. "Mau apa Kakak datang kemari?" hardik Kiyara, membuat Ardi terkejut. Pria paruh baya itu tidak menyangka jika adik bungsunya berani menghardiknya. "Memang kenapa? Kakak datang karena ingin mendengar jawabanmu. Mana hape-mu?" Ardi mengedarkan pandangannya mencari benda pipih yang sejak satu jam lalu dihubunginya tapi tidak juga ada jawaban. "Apa kamu memang tidak mau menjawab telpon kakak?" Ardi menatap tajam Kiyara. Kiyara menekan emosinya. Umpatan dan kata-kata kasar sudah berdesak-desakan dalam mulutnya, saling berebut, minta dimuntahkan dari bibir mungil Kiyara. "Apa sebenarnya tujuan kakak-kakak semua? Apa memang sengaja ingin memisahkan Kiya dengan Mas Bian? Ingin melihat Ayu dan Bagas jadi anak-anak broken home?" Satu kata pedas akhirnya meluncur bebas dar
"Maaf dengan sangat, Kak. Silakan kakak pulang dulu. Mohon maaf. Sudah waktunya untuk beristiratahat." Bian kembali mengingatkan Ardi. Kali ini ia harus berani untuk bersikap tegas, meski terkesan kurang ajar, tapi ini adalah langkah terbaik yang harus ia ambil untuk menghentikan semua omong kosong iparnya itu. "Baik. Ini adalah pilihan kalian sendiri. Jangan pernah menyalahkan siapa pun atas keputusan yang kalian ambil. Apa yang aku ucapkan sebelumnya, maka itulah yang akan terjadi diantara kita." Ardi memutar tubuhnya, memunggungi adik kandung dan iparnya, berjalan dengan langkah lebar sembari menahan amarah. Kiyara sama sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun, tidak juga mengucap kata perpisahan. Ia sudah terlanjur sakit hati. Kesedihan dan rasa sakit di dalam hatinya, membuatnya tidak lagi menyimpan rasa yang sama dengan sebelumnya pada sang kakak. Kekecewaan yang menumpuk dari hari ke hari membuatnya enggan untuk merespon perkataan Ardi. Biarlah semua seperti ini. Mungkin in
Apa harus menjadi kaya lebih dulu untuk menolak bantuan seseorang? Kiyara menelan salivanya. "Tidak penting sudah kaya atau tidak. Yang penting Mas Bian masih bisa membelikan mainan dan jajanan kesukaan anak-anak," tandas Kiyara dengan suara sedikit bergetar menahan emosi."Bagaimana denganmu? Apakah Bian juga sudah bisa membelikan pakaian baru dan kosmetik untukmu? Apakah Bian juga sudah bisa mengajakmu jalan-jalan? Piknik, pergi ke tempat wisata?"Kiyara menggigit bibir bawahnya. Apa-apaan kakaknya ini? Sengaja mencari masalah baru atau bagaimana? Apa belum cukup mereka merendahkan dirinya dan suami kemarin? Masih belum puas mereka menghina dirinya dan menginjak-injak harga diri suaminya?"Maksud kakak apa bertanya seperti itu?" tanya Kiyara tajam. Dirinya sudah menanggalkan rasa hormatnya pada pria itu."Tidak ada maksud apa-apa. Hanya bertanya saja apa tida
Bian masih menatap layar ponselnya. Kedua matanya masih terbelalak usai membaca rangkaian kalimat yang baru saja masuk ke dalam ponselnya. Berulang kali ia mengerjapkan keduanya, mengira dan merasa yakin jika dirinya past telah salah baca dan salah mengartikan kalimat-kalimat dan angka yang tertera di sana, namun ternyata kata-kata itu masih sama, tidak berubah sedikitpun, masih tetap kalimat-kalimat dan angka yang sama.Kiyara, demi melihat sikap suaminya yang seperti itu, semakin merasa penasaran. Sebenarnya pesan apa yang dikirim kepada suaminya, kalimat-kalimat seperti apa yang sudah membuat suaminya tercekat seperti sekarang ini, hingga pria itu bergeming, masih melihat layar ponsel yang baru dibelinya. "Mas? Mas kenapa?" Kiyara benar-benar tidak sabar ingin ikut membaca pesan itu."Kiya! Coba kamu baca pesan ini. Apa benar angka yang tertera di sana sejumlah itu? Apa tidak salah tulis? Kebanyakan atau..." Kiyara mengangguk dan langsung mengambil ponsel baru itu dari tanga
Bian menjadi tegang. "Mengapa Papa tiba-tiba ingin bicara dengan Kiyara?" Suaranya sedikit bergetar. Hal yang sangat jarang terjadi. Papa yang selama ini tidak begitu banyak berinteraksi dengan Kiyara, tiba-tiba menelpon mencari istrinya. Lumrahkan jika dirinya khawatir dan curiga? "Memangnya kenapa? Apa Papamu ini tidak boleh mencari menantunya sendiri?" "Aneh." Jawaban pendek Bian langsung membungkam bibir tebal Pak Atmaja. Pria tua itu tidak merespon jawaban Bian. "Betulkan, Pa? Aneh. Mengapa tiba-tiba Bapak ingin berbicara langsung dengan Kiyara. Selama ini Papa tidak pernah seperti ini. Ada masalah apa hingga mencari Kiyara? Cukup katakan pada Bian, biar nanti Bian sampaikan pada Kiyara," ucap Bian membuat pria tua di ujung sana merasa tersudut. "Kamu dikasih jampi-jampi apa sama wanita itu sampai seperti ini?" "Jampi-jampi? Maksud Papa apa?" Bian semakin mengernyitkan keningnya. Ada apa ini sebenarnya? "Kamu begitu banyak berubah sejak menikah dengan wanita itu." Berubah
Kiyara meringis kesakitan dalam diam. Sialan! Mengapa pasangan suami istri menyebalkan ini bertamu saat suaminya tidak di rumah, umpat Kiyara dalam hati. "Maksud kakak apa? Saya tidak punya uang sebanyak itu." Ini orang kenapa sih, datang-datang minta uang? Kiyara memandang kesal Murni, istri Henri, kakak iparnya. Mengapa mereka datang saat Mas Bian tidak di rumah? Selalu saja mencari gara-gara di saat suaminya tidak sedang ada di rumah. "Tsk. Jangan bohong kamu! Kalau kamu tidak punya uang, mengapa bisa membangun rumah sebagus ini?" Murni menatap kesal Kiyara. "Bisa membangun rumah sebagus ini, masa iya tidak punya uang?" cibir Murni. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, dan ia hanya menemukan satu buah televisi lcd ukuran empat puluh dua inci, yang tergantung di tengah ruang dan sebuah laptop. Iisshhhh! Sumpah demi apa pun, saat ini Kiyara sangat ingin menarik wanita berhati iblis di depannya itu, ke dalam bak mandi dan menenggelamkan kepalanya hingga ke dasar bak. Su