Share

3. Polemik Hubungan Karina

Aku meremas tanganku, gugup. Pandanganku terus mengarah ke jendela memperhatikan kendaraan lalu-lalang. Aku menyesal lupa membawa handphone-ku sehingga suasana akward ini akan terus berlanjut sampai tujuh menit ke depan. Jika saja aku membawanya, tentu leherku takkan keram karena terus menoleh ke samping, sukar melirik manusia setengah batu ini. 

Hanya suara desing mobil BMW ini saja yang seolah menertawai kesunyian kami. Bahkan Revi tak menggeluarkan sepatah kata pun setelah aku mengucapkan maaf karena telah mengganggu waktu pekerjaannya. 

Aku menghela napas gusar. Namun, kedua netraku langsung menyipit begitu memastikan wanita yang sedang menangis di halte bus itu. Aku mengenalnya. Kemana lelaki brengsek itu?

"Kak Revi, tolong berhenti, kak."

"Kenapa?" Revi memberhentikan mobilnya di pinggir jalanan tak jauh dari halte itu. 

Aku merogoh tas selempangku sembrono tak mengindahkan pertanyaannya. Meringis diri ini melihat gopek melompat dari tasku. Aku tersenyum malu-malu. Haish, dompetku ketinggalan!

"Hehe coba mana tangannya, Kak." 

Tak disangka-sangka Revi menurut mengulurkan tangannya. "Makasih Kak udah nganterin saya." Eits, gopek begini juga berharga! Beli air gelas seharga 500 rupiah, bisa menghasilkan hingga 500 ribu jika beruntung dilakukan di sekitar lampu merah.

"Untuk apa?" 

Mengapa lelaki ini banyak tanya sekali? 

"Ya buat ngamen— eh, hehehe, terserah Kak Revi aja buat apa." Tidak-tidak! Jangan pernah berusaha membangunkan singa yang sedang tidur! Tatapan Revi yang mendelik bukan sesuatu yang bagus untuk ditatap.

"Nggak nggak. Kamu pikir saya supir tempo doloe? Nih, ambil lagi duitmu." Aku menerima uangku kembali dengan perasaan dongkol. 

"Nggak usah manyun kek gitu. Mukamu jelek kalo kek gitu. Sana buruan keluar," usirnya tanpa ragu.

"Iyaa! Makasih ya!" Aku tersenyum terpaksa seraya menutup pintu mobil Revi kencang dengan semangat. Dasar orang kaya!

Aku menghela napas berat berjalan mendekati Karina. Air mata di pipi chubby-nya begitu kentara. Tidak ada pekerjaan yang lebih buruk daripada menasehati orang yang tak membutuhkan itu. 

"Senangnya dalam hati, kalau berduit banyak. Dunia ... terasa ... kita yang punya!" Segera kurangkul pundak Karina, yang lagi-lagi mulutku melontarkan kalimat bodoh. "Rin? Kamu kenapa?" 

"Ak–sal selingkuh, Ra. Aku nggak tau aku kurang apalagi buat dia. Aku udah berusaha buat selalu menjadi apa yang dia mau. Ta–tapi, aku nggak bakal bisa sempurna di mata dia." 

Itulah masalahnya, jika tak bisa sempurna di matanya, congkel saja mata pacarmu itu! Namun tidak, aku tak memiliki keberanian sebesar itu, aku hanya diam mengusap punggung Karina yang sesegukan di pelukan. Jangan pernah menasehati orang yang memilih menjadi budak cinta.

"Namanya juga manusia, Rin. Pasti ada aja setannya." 

Apa? Aku tak salah menanggapi curhatannya, 'kan? Salahkan saja Karina yang dulu tidak memedulikan petuahku.

"Iya juga, sih, Ra." Akhirnya dia menangguk setuju. "Kalo boleh jujur, Aksal kebanyakan ngeliat cewek lain. Dia mata keranjang. Suka ke klub sama cewek. Minum sampe mabuk-mabukan." Aku melotot tak percaya menatap Karina. 

"Dan ... semalam dia vc ke aku mau ngomong ..." 

Wahh, ini nggak bisa dibiarin nih! "Ngomong apa?" Sebenarnya apa yang ada di dalam otak sahabat yang sedari SD bersamaku ini? Aku menunggu menatap wajahnya yang tampak polos dan ragu. 

"Dia, mau putus sama aku."

 Alhamdulilah. "Trus terus?" 

"Ta–tapi aku nggak mau, Ra! Aku nggak peduli mau dia lagi tidur sama cewek lain juga ... aku tetep mau jadi pacar dia. Aku sayang banget sama dia." 

Oh, beritahu aku jika ada yang ingin membeli Karina, aku akan dengan senang hati menjualnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status