Share

6. Pahlawan Tanpa Nama

Tak ada hujan tak ada petir ia menyodorkan uang yang kutaksir sejumlah 500 ribu pada Ibu-ibu itu. Oh, no! Aku menggelengkan kepala. "Jangan, nggak usah. Ini urusan saya." 

Ibu itu lagi-lagi mendelik tajam padaku. "Apa?" ketusnya. "Ini baru bener. Makasih ya, Aa Tampan." 

Lihatlah mata Ibu-ibu itu, mirip lampu sen motor Mio asik berkedip-kedip. Dan benar saja, wanita itu  langsung melongos pergi dengan mengibaskan rambutnya. Astaghfirullah, hari ini aku benar-benar julid.

Atensiku kembali pada sosok laki-laki yang sampai sekarang tak kutahu namanya. Ia melangkah menuju kasir. 

"H–hei!"

Benar saja, ia membawa semua barang pembelinya ke kasir. Jika dilihat dari belakang, outfit laki-laki yang umurnya 25-an ini layaknya orang Korea. Dan aku baru sadar, laki-laki ini begitu tinggi, mungkin 175 cm.

Aku berdeham. Dan sekilas ia melirikku. "Eumm makasih, ya. Nanti uang kamu bakal saya ganti. Dan ... Oh, ini ...." Aku merogoh isi tas selempangku. Menyodorkannya buku note kecil beserta pulpen. "Tolong catet nomor rekening kamu di sini."

"Enggak usah diganti." 

Eh?

"Ini gelas-gelas milik kamu." Aku terdiam. Ia menyodorkan gelas-gelas kaca itu di meja kasir. Tak kusangka laki-laki ini memberikanku gelas-gelas yang sempat diambilnya tadi! Kyaaa!

Siapa yang mau menolaknya? Aku pun jika diijinkan menikah dengannya pasti akan mau! Eh. Mendadak pipiku terasa panas, senyum tulus berusaha kuukir di bibirku. 

"Mm–makasih ya, O–om." Tunggu saja, lain waktu akan kuganti, insyaallah.

Alis tebal lelaki itu terangkat. "Om? Nama saya Geovano." 

Nama yang keren. Sekeren Revi. Tidak, bahkan mungkin Geovani lebih keren dibanding Revi. Wajahnya sedikit mirip dengan Zayn Malik. 

Apa aku terlalu banyak menonton film Drakor? Lihatlah, harapan untuk hidup bersama Geovano diam-diam telah kurajut. Huaaa!!

Aku mengekori Geovano dari belakang. Menelepon Karina yang tak kunjung menampakkan batang hidungnya. 

Dan Geovano berlalu dari Mall ini dengan menaiki taksi. Tanpa sepatah kata dan tanpa menoleh kepadaku. Eh, ke mana keluarganya tadi? 

Langkahku berhenti. Astaga, harapan apa yang baru saja kau rajut itu Zafirah!!

Aku menggelengkan kepala. "Nggak-nggak. Laki nggak cuma dia doang, Ra." 

"Oi!"

Aku terlonjak kaget. Mendelik kesal pada si empu yang sedari tadi kucari.

"Kamu dari mana aja sih, Rin? Aku dari tadi nyariin kamu tau." 

"Iya deh, maap. Udah nggak usah manyun kek gitu. Aku tadi abis belanja banyak. Nih, buat kamu," ucap Karina seraya terkekeh pelan. Aku menerimanya. 

Kali ini Karina membawa 10 totebag. Apa yang Karina beli akan selalu dibeli sepasang olehnya. Aku jadi tak enak hati untuk sesuka hati. Lunturlah amarah pada Ibu-ibu tadi itu. 

"Udah dong, jangan marah sama aku lagi, Ra. Tapi tadi serius yah, aku ada urusan tadi telponan sama Mama." Karina tersenyum menunjukkan dua jari piece-nya.

Baiklah. Aku mengangguk paham. "Iya, nggak papa. Ohiya makasih, yah. Jadi urusan kamu dan Mama udah selesai?"

"Hu'um udah."

"Baguslah—" Karina memang tipe wanita idaman. Selain bisa bergulat di dunia designer, memasak Karina juga merupakan dokter spesialis. Kalo kata kerennya ; Wanita Multitalenan.

"Oh astaga, Ibu!"

Benar saja, bunyi telpon masuk di handphone Karina dengan nama Ibu yang terpampang.

Aku menunggu dengan perasaan dongkol karena wajah Karina yang tak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya. Andai aku membawa Handphone-ku itu.

"Gimana, Rin?" tanyaku ketika panggilan mereka terputus.

Karina menghela napas berat. "Ra, Ayahmu lagi butuh bantuan kamu. Ayah ... kritis." 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status