Share

5. Kesialan Zafirah

Astaga, benar-benar laki-laki itu!

Enak saja main sabet! "Hei, itu punyaku!" Aku mengejarnya. 

"Permisi." Mall ini sangat banyak pengunjung. Aku melewati rombongan Ibu-ibu berseragam yang kompak dengan kacamata hitam mereka. Salah satu dari mereka ada yang menatapku hingga menurunkan kacamata ke hidungnya. Oh, semoga saja ia bukan teman Ibu. 

Aku mengedarkan pandangan. "Aish, kemana laki-laki itu?" Aku tak bisa menemukannya. Apa dia di lantai atas? Oh, jangan sampai ia keluar. Gelas-gelas unyu itu hanya milikku!

"Ah, di sana." Dia sedang bersama seorang wanita dengan anak perempuan digendongnya. Apa itu keluarganya? Masa bodoh dengan wajah tampannya itu, mengambil hak atas orang jomblo adalah sebuah kenistaan! 

"HEII!!—"

Brukk!

"Aduuh." Aku menggigit bibirku menahan rasa perih di lengan karena menabrak troli. Kuharap lenganku tak berdarah.

"Heh, Neng!! Kalo jalan jangan main nyosor nabrak orang! Enak aja nabrak nggak liat-liat dulu kalo jalan. Liat tuh hp saya, jadi jatuh kan! Kalo jalan itu pake mata dong!" 

Astaga, di mana mata Ibu-ibu ini? Jelas-jelas aku memperhatikan sekitar, termasuk dia yang asyik cekikikan dengan orang diteleponnya itu. Aku menghembuskan napas kasar. Astaghfirullah, sabarlah wahai Zafirah, jangan julid ke orang tua.

Dengan pelan aku berusaha bangkit dengan kami yang mulai menjadi pusat perhatian. Tentu saja karena suara Ibu itu yang terlalu keras. Sial. 

"Maaf Bu, saya nggak sengaja," aku berucap pelan. Jangan pernah mencari masalah dengan orang tua, apalagi jika ia adalah ras terkuat di bumi. Setidaknya begitulah nasihat Karina. Ah benar, di mana manusia satu itu? Dan laki-laki itu apa dia sudah pergi?

"HEH! Ngeliat apa kamu?! Nggak sopan banget ngomong sama orang tua! Kamu nggak pernah diajar sopan sama Ibu Bapak kamu?! Gampang banget minta maaf. Itu Hp saya jatuh, SAYA MINTA GANTI RUGII!"

Aku tak akan keberatan jika harus mendapat semprotan atas kesalahan yang murni kulakukan. Tapi ... mengapa harus orangtua yang menjadi patokan atas kesalahan yang kulakukan sendiri? Kedua tanganku kukepal kuat. Bisik-bisik mulai mencemari telingaku.

Ibu-ibu yang umurnya kutaksir 40-an ini mendelik tajam padaku. Lipstik merah, dempulan bedak yang tebal, dengan alis menanjak memenuhi otakku.

Aku berjongkok mengambil handphone yang ditunjuk Ibu itu tadi. Dan kondisi Hp ini masih menyala. Layarnya pun baik-baik saja, nyaris hanya goresan-goresan kecil.

"Handphone-nya baik-baik aja, Bu. Tapi saya bakal tanggung jawab. Tolong jangan bawa-bawa nama orang tua saya." 

"Halaah! ... Yaudah mana sini gantinya?!" 

Aku menghela napas berat. "Untuk sekarang saya belum bisa ngasih. Saya kelupaan bawa uang, Ibu bisa mengirimkan nomor rekening, Bu. Lagian, saya nggak sepenuhnya salah, Bu," gumamku dengan suara kecil di akhir kalimat.

Dan Ibu itu malah berdecih. "Trus maksud kamu saya yang salah?! Saya udah paham modelan orang yang kek kamu! Kamu mau lari dari tanggung jawab kamu, 'kan? Kasih ke saya, nomor orang tua kamu itu, biar mereka yang ganti!" 

Apa yang diharapkannya dari seorang Ayah yang terbaring di rumah sakit? Tidak-tidak! Aku mengusap bulir air di sudut mataku. Oh jangan menangis Zafir. Ayah tidak akan suka jika aku terlalu cengeng.

Apa yang harus kukatakan untuk membuat Ibu-ibu ini percaya?

"Saya memang nggak salah sepenuhnya, Bu. Ibu juga nggak ngeliat sekitar, Ibu yang asyik nelpon sampai nggak sadar nabrak saya."

"Enak aja! Heh, saya itu—"

"Bu, tolong jangan buat keributan di sini. Kenyamanan pembeli adalah prioritas kami. Dan yang lain, tolong jangan berkerumun. Mari kita selesaikan dengan kepala dingin," ucap seorang security Mall ini tiba-tiba menghentikan pertengkaran kami.

"Ini, sebagai ganti kerusakan Handphone Anda." Seseorang memberikan uang berwarna merah pada Ibu-ibu itu. Hei, apa yang dilakukan laki-laki yang tadi mengambil gelas-gelasku ini? 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status