Share

7. Perjodohan Zafirah

Aku berlari menyusuri lorong rumah sakit. Teriakan dari Karina yang  berlari di belakangku tak acuhkan. Begitu mencapai pintu bercat coklat kamar di mana Ayah dirawat aku membuka pintu. 

Pemandangan pertama yang aku lihat adalah wajah Ayah yang balik menatapku sedang duduk di atas brangkar. Aku langsung berhambur ke pelukan Ayah, pria baruh paya yang telah berkepala lima. 

"Ayah, Ayah nggak papa, 'kan? Ayah udah sembuh? Mana yang sakit, Yah? Kasih tau Zafirah." 

Namun Ayah tak membalas pertanyaan, ia mengelap air mataku lalu mengusap pucuk hijab. Ayah mengembangkan senyum yang  membuatku  merasa semakin tak berguna.

"Ayah nggak papa. Alhamdulilah Ayah udah sembuh. Emang kamu kenapa kek orang ditagih hutang gitu, Nak? "

"Alhamdulillah. Hehee, nggak papa, Yah. Zafirah kira penyakit Ayah kambuh. Zafirah dapat kabar tentang Ayah." Aku mengelap air mataku, merasa kikuk. Syukurlah Ayah baik-baik saja. Ayah menderita penyakit maag yang belakangan ini sering kambuh.

"Ooh. Kamu tau itu darimana? Ayah emang tadi habis diperiksa, dan kesehatan Ayah udah makin membaik. Mana Ibu kamu? Kamu ke sini sama Ibu, 'kan?" 

Haruskah aku beritahu jika dalangnya adalah Karina yang baru nongol memberi salam di depan pintu ini? Lengkap dengan senyuman tak berdosanya.

"Itu, Yah, tadi ada cewek yang ngasih tau Karina. Eh ... iya Ibu ... astaga! Zafirah lupa Yah, Zafirah lupa nemenin Ibu beli mesin cuci." Bagaimana aku bisa lupa? Astaga! 

"Hm kamu kebiasaan, Nak." Iya, sih. Ini karena Ibu-ibu dan laki-laki itu. Coba saja dia tidak main ambil gelas-gelasku itu, aku tidak akan membuat keributan. 

"Assalamu'alaikum. Selamat pagi Pak, Nukman."

"Wa'alaikumussalam, Nak Gerald." 

Aku yang merasa tak asing dengan suara lelaki ini menoleh.

"Eh, kamu!" tunjukku tak terima. Walaupun ia sudah berbaik hati atas kebaikan lelaki itu tapi bukan berarti aku tidak mempermasalahkan ketulian laki-laki itu. Ibu-ibu di mall itu bahkan lebih galak daripada Ibu.

Sempat kuliat ekspresinya seperti sedikit terkejut, tapi kembali datar sebagaimana ketika kulihat di mall tadi.  Pandanganku menyipit, mau apa dia dengan Ayah?

"Zafirah," ucap Ayah dengan nada memperingatiku.

"Baik Nak Gerald, seperti yang sebelumnya saya bilang. Ini Zafirah, anak saya. Kamu bisa menanyakan apa yang ingin kamu tanyakan." 

"Mau tanya apa, Yah?" Aku duduk di sofa bersampingan dengan Karina yang sepertinya tidak berniat untuk mengetahui apa-apa. 

"Dia siapa?" tanyaku berbisik pada Karina, melihat Ayah dan laki-laki yang ternyata bernama Gerald ini mulai berbincang-bincang. 

"Dia? Namanya Gerald."

"Ya kalo itu aku juga udah tau, Rin. Maksudku kok bisa kenal Ayah? Dan kenapa nyebut-nyebut namaku."

"Kepedean." Aku menatap Karina kesal. "Iyaa, biasa aja tuh bibir jatoh nanti. Dia ... manusia."

"Aku juga tahu kalo dia manusia Riin! Au ah males ngomong sama kamu!" Aku melipat tangan di depan dada. Anak paud pun tau kalo dia manusia, bukan buaya darat yang suka tebar-tebar pesona ke buaya betina! 

Yah, itupun jika dia bukan buaya darat.

"Dia orang yang mau dijodohin sama kamu, Ra." 

"WHATT?" 

"Syuutt! Pelan-pelan ngomongnya." Karina benar-benar menyebalkan! 

Hei lagipula ini bukan zaman Siti Nurbaya. Apa-apaan mencoba menjodohkanku dengan lelaki yang aku bahkan tak kenal?! Dan dari mana Karina tau?

"Kamu bercanda, Rin. Enggak. Dari mana kamu tau—"

"Raa? Ayah mau ngomong sesuatu sama kamu."

Aku melotot, Karina menatapku dengan senyuman menyebalkannya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status