"Berhenti natap aku kayak gitu."
Namira terlonjak di tempat. Kedua bola matanya mengerling ke kanan dan ke kiri. Mencoba menghindari tatapan pria yang kini sudah membuka mata sepenuhnya. Sudah menjadi kebiasaan setiap pagi, Namira melakukan hal itu, memandangi sang suami yang tengah tertidur. Tampan dan menawan. Itu jawaban yang selalu ia sematkan setiap Arhan bertanya. Ah, rasanya ia tak ingin membiarkan sang suami untuk pergi keluar rumah. Ia ingin menikmati ketampanannya seorang diri. "Hei!" tegur Arhan disela lamunannya. Namira kembali terlonjak kaget. Namun tak lama ia mengulas senyum manis. "Ayo, bangun. Hari ini Mas ada rapat di kantor." "Tau banget, ya, jadwal suami sendiri." Arhan mencubit hidung Namira, sesekali menggoyangkannya perlahan karena gemas. Sedangkan Namira hanya mengangkat bahu tak acuh. Ia membenarkan posisi duduknya, hendak turun dari ranjang untuk menyiapkan pakaian dan sarapan untuk sang suami. Belum kakinya menginjak lantai marmer, Arhan berhasil mencuri satu kecupan di bibir dengan secepat kilat. "Sarapan pagiku," ujarnya cepat setelah berdiri tepat di sisi ranjang. Mengantisipasi respon sang istri yang mungkin saja akan memukulnya. Namira melongo, kemudian bibirnya cemberut menatap sedih sang suami. "Eh? Kenapa, Ay?" Arhan segera menghampiri Namira dengan mata yang mengikuti gerak langkahnya. "Kenapa cuman kecupan?" Pertanyaan Namira berhasil membuat Arhan salah tingkah. Ia mengulum bibirnya malu-malu. Bagaimana bisa istrinya mengatakan hal semacam itu? Akan tetapi, seketika pandangannya berubah buas di mata Namira. Tubuh bagian atas pun condong ke depan dalam hitungan detik. "Kalau begitu, apa pagi ini kita akan bercumbu mesra hingga malam menjelang?" Namira mendorong dada Arhan dengan kedua tangan untuk menjauh. "Maaf, Tuan. Sepertinya pagi ini tidak bisa terlaksana, sebab ada bocah kecil yang sedang menyaksikan kita saat ini." Penuturan Namira persis seperti para pekerja yang diharuskan bersikap sopan dan santun dengan senyum yang harus selalu terpatri. Penolakan secara halus dengan menjelaskan situasi dan kondisinya pagi ini cukup membuat Arhan kesal. Terlebih kenyataan ia yang kini sudah memiliki anak laki-laki berusia satu tahun. Sialnya, benar saja apa yang dikatakan sang istri, bayi itu tengah mengamati mereka yang duduk di sisi ranjang. "Ay. Boleh gak, sih, dia dititipin dulu di rumah Ibu?" Kini Arhan merengek seraya menunjuk anak laki-lakinya yang tengah berdiri di sisi ranjang bayi. "Kayaknya, sih, Ibu bakal seneng, ya. Tapi ...," "Tapi apa?" Arhan tidak sabaran ingin mengetahui kelanjutan kalimat yang akan dilontarkan sang istri. "Akunya yang gak mau." Namira tersenyum seolah tak ada yang serius dari hal itu. Ia berjalan mendekat ke arah anak laki-lakinya bernama Elio. "Ayo, Nak." Namira membawa Elio keluar dari kamar yang kini tengah penuh dengan segala amarah dan kekesalan yang menumpuk di dada pria terkasihnya. Sebelum benar-benar menghilang dari hadapan Arhan, Namira menyembulkan kepalanya di daun pintu. "Aku tunggu di bawah, ya, Sayang. Inget hari ini kamu ada rapat, loh. Jadi jangan lama-lama di kamar mandinya." Berbeda dengan Namira yang berucap santai, Arhan justru menatap sengit wanita itu juga anak kecil di pangkuannya. --- Namira tersenyum kala aroma parfum suaminya sudah menguar menusuk hidung. Sorot matanya menangkap sosok tinggi atletis yang turun sembari mengancingkan lengan baju. Tak lupa jas yang tersampir di bahu. "Kayaknya aku gak sempet sarapan, deh, Ay." Ungkapan penyesalan yang sudah pasti mendapat respon sedih dari sang istri. Ia mencium dahi Namira dengan satu tangan bertengger di pinggang ramping wanita itu. "Maaf." "Kenapa?" Namira melirik jarum jam yang berdetak di dinding. "Masih sempat, kok, Mas." "Kliennya udah dateng katanya." Namira mengembuskan napasnya lelah. "Yaudah, deh. Ini kamu bekal aja, ya." Arhan mengangguk di bahu Namira. Saat ini posisinya tengah memeluk Namira dari belakang. "Maaf, ya, Ay. Tapi ini ...," Namira menengokkan kepalanya ke samping. Lagi, ia mengembuskan napas kala netranya menangkap kain panjang yang harus disimpul di leher. "Kalau gak ada aku, kamu bisa apa, sih, Mas?" Arhan menukik alisnya menatap Namira yang tengah fokus menyimpulkan dasi. "Emangnya kamu mau ke mana, Ay? Gak bakal aku izinin kamu pergi-pergian kalau gitu." "Kenapa?" "Takut kamu kabur." Namira mengulas senyum di sela kesibukan tangannya. Ia tak lagi menimpali ucapan Arhan yang kini tengah mengajak bicara Elio di kursi makan bayinya. "Oh iya, Ay. Kalau kamu mau ke kantor, agak siangan aja, ya." "Kenapa?" "Takutnya aku masih rapat sama klien. Kasian kamu kalau harus nunggu lama." Akhir-akhir ini Namira sering mengunjungi atau sekedar ingin makan siang bersama dengan sang suami. Entah apa alasannya. Tapi, meskipun begitu, Arhan senang karena waktu bertemu istri dan anaknya semakin banyak dengan inisiatif Namira yang repot-repot datang ke kantor. Wanita yang memiliki rambut panjang sebahu dengan menyanggulnya sembarang itu mengangguk. Tak ada lagi suara yang keluar. Tangan dan matanya masih fokus pada dasi yang hampir selesai. Arhan yang mengamati ekspresi Namira merasa bersalah karena pasti alasannya yaitu mereka tak bisa sarapan bersama di meja makan. Padahal sang istri sudah menyiapkan beberapa lauk yang akan menemani sarapan kali ini. Tidak hanya itu, Arhan juga memikirkan segala kemungkinan lain. Namira termasuk wanita yang selalu overthinking. Apakah kali ini Namira tengah memikirkan banyak hal tentang sesuatu yang baru saja ia ucapkan? Terlihat dari gerak-gerik Namira yang terkesan cuek. Saat ini ia tengah sibuk menyuapi Elio yang sudah mulai makan bubur bayi. "Ay," panggil Arhan lirih. "Apa?" "Liat aku dulu," pinta Arhan. Mengais fokus sang istri. Mata mereka beradu tatap. Tidak ada yang berbicara, Arhan sibuk mengamati ekspresi Namira yang kini pandangannya telah berpaling. "Gak ada apa-apa, Ay. Ini aku murni karena takut kamu bosen nunggu akunya lama. Jangan mikir yang aneh-aneh." Arhan mendekat, ia mengusap pucuk kepala Namira berulang. "Aku tau, banyak kekhawatiran dalam diri kamu. Tapi gak ada yang perlu kamu khawatirkan. Kita udah nikah bahkan udah punya Elio. Aku mohon percaya sama aku."Perjalanan pulang mereka setelah menyelesaikan urusan dengan Pak Ato ditemani dengan kerutan di wajah Namira yang sejak tadi mencoba mengingat sesuatu yang rasanya ada yang kurang.Keluhan tak hentinya Arhan dapatkan dari sang istri yang meminta membantunya untuk mengingat. Bagaimana mungkin ia tahu apa yang dimaksudkan oleh Namira, sementara wanita itu saja tidak tahu apa yang tengah dicarinya.Arhan mulai frustrasi menghadapi wanita di sampingnya. “Coba jelasin tentang apa?” tanyanya seraya fokus pada kemudi dan jalanan yang cukup padat.“Tentang masalah kita ini. Kayak masih ada sesuatu yang harus kita selesaian, Mas.”“Apa? Semuanya udah kita tangani, Sayang. Iyan, Raya, Pak Ato, nggak ada lagi yang perlu dicemaskan. Fokus kita sekarang cuman rumah Papa sama Mama. Paling tinggal mikirin siapa yang bakal ngurusin kontrakan setelah Pak Ato berhenti.”Namira menggeleng pelan seraya masih berusaha mengingatnya dengan hati-hati. “Kalau masalah rumah sama kontrakan itu udah aku pikirin
Hanya tinggal satu masalah lagi yang harus mereka selesaikan. Setelah beristirahat sebentar, Arhan dan Namira segera pergi ke rumah Pak Ato. Mereka berharap kali ini laki-laki paruh baya itu ada di tempat supaya dalam satu waktu semuanya tuntas.Mereka hanya pergi berdua. Elio dititipkan pada Bi Ida dan Pak Marwan di villa. Sepertinya akan membutuhkan waktu beberapa hari untuk mengembalikan rumah orang tua Namira kembali tampak bersih lagi dan layak huni. Jadi mereka semua akan tinggal di villa untuk sementara.Sebelum mereka memutuskan pergi menemui Pak Ato. Namira beserta Arhan sudah berbicara dengan Bima mengenai solusi dari masalah yang terjadi. Keputusan akhirnya sesuai kesepakatan bersama.Setelah menempuh jarak yang tidak begitu jauh, akhirnya mereka sampai di satu rumah dengan halaman tidak terlalu besar. Keduanya masuk dengan penuh harap. Arhan maupun Namira sengaja tidak menghubungi Pak Ato terlebih dahulu bahwa ada yang perlu dibicarakan secara langsung diantara mereka. Awa
Entah pada kata yang mana, hati Iyan melembut sejenak mendengar permintaan maaf dari Raya. Namun tak lama ia kembali mengamuk. Dalam kesadarannya mendadak tak terima jika ia mengampuni wanita itu dengan mudah. Padahal ini sudah berlangsung bertahun-tahun.Iyan berteriak. Menepis tangan Arhan yang mencoba menahan untuk tak kembali menerjang Raya. Laki-laki itu berlalu pergi keluar sampai membuat Namira melongo dan meminta suaminya untuk mengejar sebab masalah mereka belum selesai. Rencana ini harus tetap berjalan bagaimana pun caranya.Saat Namira tengah meminta suaminya untuk melakukan sesuatu, Iyan kembali masuk dengan cara berjalan mundur. Di depannya ada dua orang bertubuh kekar yang menghadang langkah laki-laki itu yang akan meninggalkan villa.“Apa maksudnya ini?” tanya Iyan pada Arhan yang menyunggingkan senyum. Kini tubuhnya sudah sepenuhnya berbalik dan dua orang tak dikenal itu berdiri di belakangnya.Arhan memasukkan dua tangannya pada saku celana. “Siapa yang izinin kamu pe
Iyan refleks berdiri. Ia menghadang Arhan yang berjalan mendekat ke arah mereka seorang diri. Laki-laki itu tahu alasan Namira kabur karena sang suami yang berselingkuh sehingga membuat wanita itu memilih pergi. Ia mencoba melindungi mantan kekasihnya dari suaminya, takut-takut akan menarik pulang dengan paksa apalagi melihat tengah bersama dengan dirinya.Mata kedua laki-laki itu bertemu, saling memandang dengan tatapan sengit penuh pertarungan lewat sorot yang tajam. Langkah Arhan begitu tegas, tapi tak membuat Iyan ciut hanya karena hal itu. Laki-laki itu justru semakin mengepalkan tangan yang terentang, menyembunyikan Namira beserta anaknya di balik punggung. “Kamu diem di situ aja. Biar aku yang hadapi dia.”Andai Namira tengah berada dalam huru-hara rumah tangga yang sebenarnya atau kejadian saat ini sesuai dengan yang Iyan pikirkan, sudah pasti ia terbuai dengan apa yang mantan kekasihnya itu lakukan.Sikap Iyan benar-benar mencerminkan seorang laki-laki pelindung, yang kebanya
Karena tiba-tiba ada rencana yang harus dirubah sebab keberadaan Iyan yang tak di sangka-sangka ternyata ada di hotel yang sama dengan Namira. Wanita itu dengan spontan menjalankan rencana di luar yang sudah disepakati.Namira pikir, mengoptimalkan rencana untuk menggaet Iyan tanpa meninggalkan curiga adalah usaha untuk membuat laki-laki itu tetap ada dalam jangkauannya. Itu sebabnya ia meminta tolong pada sang mantan kekasih untuk mengantar dirinya ke villa.Semula Namira merasa bangga akan hal itu, tapi ternyata malah menjadi boomerang untuknya sampai semalaman terpikirkan beberapa kemungkinan buruk yang akan menimpa dirinya dan sang anak.Beruntung semalam Pak Marwan sudah mendapatkan kunci dari sang pemilik villa, jadi pagi ini Namira tinggal menempatinya saja tanpa dicurigai oleh Iyan.Sesampainya mereka di villa. Iyan dengan sigap membantu menurunkan barang-barang milik Namira. Dua tas jinjing di kedua tangannya bukanlah sesuatu yang merepotkan, beratnya saja tak terasa menurut
Akhirnya mereka sampai pada hari di mana akan membungkam dan membuat Iyan dan Raya tak bisa berkutik lagi. Namira berharap semuanya berjalan lancar hari ini supaya bisa fokus pada hal lain yang tak kalah penting.Karena nyatanya masalah yang menimpa rumah tangganya bisa berpengaruh besar ke segala hal dalam hidup mereka, tak terkecuali dampak utamanya adalah hubungannya dengan Arhan.Berbicara tentang hari ini, semalam Namira sudah memberitahu Arhan semuanya mengenai pertemuan tak sengajanya dengan Iyan. Memang ia tak tahu apa yang sebenarnya mantan kekasihnya itu lakukan di Bandung.Namun mengingat laki-laki itu memang asli orang Bandung dan orang tuanya yang baru ia ketahui ternyata Pak Ato juga ada di kota yang sama dengannya saat ini. Jadi tidak menutup kemungkinan kalau salah satunya urusan Iyan adalah mengunjungi ayahnya.Jika diperkenankan untuk berpikir lebih luas lagi. Sebenarnya ada yang mengganggu pikiran Namira tentang keberadaan Iyan yang katanya baru sampai kemarin. Apa