Duduk berhadapan dengan lelaki yang menepuk bahunya tadi membuat Namira lupa tentang apa yang sebelumnya ia rasakan. Semua rasa tak nyaman itu seolah melebur setelah melihat wajah tampan dengan warna kulit sedikit kecoklatan.
Meski rasanya tak nyaman karena kembali bersinggungan dengan lelaki di masa lalu, Namira tetap setuju atas ajakan untuk menikmati secangkir kopi dingin di sebuah kafe dekat danau.
Keduanya menunjukkan ekspresi berbeda. Namira memasang wajah gugup dengan menempatkan telapak tangan pada gelas kopi yang cukup tinggi. Sedangkan lelaki pemilik lesung pipi di sebelah kiri itu menampilkan senyum sumringah, sesekali gemas dengan tingkah Namira yang kentara gugup.
“Gimana kabar kamu?” Kepala dimiringkan untuk bisa melihat wajah cantik Namira yang tengah menunduk. Tak berani beradu tatap.
Gerak-gerik lelaki itu mengambil atensi Namira hingga kepala diangkat, tatap mereka bertemu. Namira mengulas senyum canggung namun tetap cantik. “Kabar aku baik, kamu?”
“Sebentar. Kamu masih inget aku ‘kan?” tanya lelaki itu memastikan kalau Namira setuju atas ajakannya bukan sekedar tak enak, tapi karena mereka pernah kenal dan saling kenal.
Lagi. Namira mengulas senyum. Kali ini begitu menawan dan tentu saja cantik. “Aku inget kok. Iyan ‘kan?”
Rona merah di pipi Namira keluar. Jantungnya berdegup kencang hanya dengan menyebut nama lelaki yang pernah mengisi penuh hatinya.
Lupakah ia tentang apa yang tengah terjadi sebelumnya? Bukankah amarah begitu menguasai dirinya? Lantas apa yang tengah ia lakukan sekarang?
Lelaki itu mengangguk, bersyukur. “Kabar aku baik tentu saja. Makanya sekarang ada di depan kamu.”
Keduanya tersenyum. Merasa lucu hanya karena kata yang lelaki dengan nama Radiyan Malik itu lontarkan.
Bukan hanya karena itu, tindakan mereka dalam menyeruput minuman pun bersamaan tanpa persiapan sehingga suaranya pun beriringan.
Tindakan tak disengaja kembali menarik mereka pada masa mereka berpacaran.
Cukup lama mereka menikmati momen tanpa suara. Sibuk memandangi tenangnya air, rindang-nya pepohonan hingga menikmati sejuknya udara. Saat ini Namira sangat nyaman.
“Kamu lagi ngapain di sini sendirian?” Iyan bertanya tanpa menoleh. Penglihatannya cukup awas dengan kondisi Namira setelah mata mereka beradu tatap. Merah dan sembab.
“Nggak ngapa-ngapain. Pengen aja ke sini,” jawabnya seraya kembali menyeruput kopi yang tak lagi begitu dingin.
Namira mengambil fokus menatap Iyan, posisi duduknya dibenarkan. “Kamu sendiri ngapain di sini?”
Selagi menunggu, satu kentang goreng masuk mulut lengkap dengan saus. Ia ambil yang kedua hingga ketiga kalinya sampai mulut hampir penuh kemudian dikunyah.
Iyan tampak berpikir untuk memberi jawaban sampai Namira kembali berujar, “Kalo nggak mau kasih tau juga nggak apa-apa. Bukan pertanyaan yang wajib di jawab juga.”
Lelaki itu melempar tawa mendengar jawaban Namira. Tangannya dengan cepat melambai di udara. “Nggak. Nggak. Kebetulan aja ada kerjaan di sini.”
Namira mengangguk seraya menyuapkan beberapa makanan yang dipesan dengan nyaman tanpa mengalihkan tatapan. Fokus mendengarkan dan memperhatikan.
Tidak ada yang berubah, gumam Namira dalam hati. Lantas memberi respon dengan tersenyum atas segala ucapan Iyan.
“Kamu masih suka fotografi?”
“Sangat. Aku ke sini juga karena itu.”
“Katanya karena kerjaan. Eh- kerjaan kamu photographer?”
Iyan mengangguk dengan menarik kedua sudut bibir, rasanya menyenangkan melihat perubahan ekspresi Namira yang berubah-ubah.
“Siapa yang kamu foto?” Namira jauh lebih antusias ketika tahu pekerjaan Iyan sejurus dengan hobi lelaki itu dulu.
“Ada lah, pasangan yang mau nikah.”
“Wah!” seru Namira membuka mulut cukup lebar, matanya memancarkan aura senang dan kagum. “Aku boleh liat hasilnya?”
Tanpa penolakan, Iyan mengeluarkan kamera yang selalu ia bawa. Tubuh Namira sedikit condong, begitupun Iyan. Mereka melihat hasil jepretan itu bersama-sama.
Ungkapan kagum Namira keluar setiap Iyan menggeser dari satu foto ke foto yang lain. Siapapun akan suka dengan respon Namira, termasuk lelaki yang berharap cinta lamanya akan bersemi kembali.
---
Sepulang menenangkan diri dengan seseorang yang tak disangka akan kembali bertemu, Namira mampir ke rumah Ibu mertua untuk mengajak Elio pulang.
Langkahnya ia bawa memasuki rumah, pandangannya mengedar, lantai bawah tak ada siapapun. Lantas ia berjalan menaiki tangga. Derap langkahnya melambat, berusaha tidak mengeluarkan suara yang akan menghentikan percakapan yang saat ini sedang ia dengarkan.
“Nggak mau. Kamu harus minta maaf sendiri. Jelasin sedetail mungkin ke dia.”
“Mama bantu sedikit lah biar Namira nggak marah-marah banget sama aku.”
“Itu salah kamu, kenapa Mama harus ikutan repot?”
Namira bawa kakinya mendekat ke arah sumber suara. Percakapan Ibu-anak itu sudah membuat ia paham maksudnya.
“Ma.” Namira mendorong pintu yang terbuka sedikit. Tangannya sigap menyalami keduanya bergantian, meski respon yang ia berikan berbeda.
“Ay,” panggil Arhan lirih menatap Namira yang tak sudi beradu tatap dengannya. Tangannya berusaha meraih dan mengusap-nya perlahan.
Wanita itu tak menggubris segala tindakan Arhan, fokusnya saat ini hanya pada satu bayi yang tidur di atas kasur besar milik Ibu mertuanya. “Elio nggak rewel ‘kan, Ma?’
“Nggak kok. Hari ini aktif banget sampe ketiduran karena cape,” ujarnya seraya memandangi wajah mungil yang tampak tenang.
“Syukurlah. Makasih, ya, Ma. Maaf jadi ngerepotin Mama.”
“Sering-sering mampir, Nak. Biar Mama bisa sering main juga sama Elio.”
Ucapan Ibu mertuanya hanya Namira balas dengan senyuman. Kemudian setelah beberapa saat mereka pamit pulang.
---
Perjalanan pulang yang hanya menghabiskan waktu 20 menit saja rasanya begitu lama. Tak ada percakapan, hanya deru mobil yang mereka kendarai yang terdengar.
Sesekali Arhan berdeham mencoba mengambil alih fokus sang istri, namun tak ada respon. Wanita itu sibuk dengan ponsel di genggaman. Mengetik beberapa kalimat kemudian menekan dial kirim.
Arhan penasaran, ingin tahu dengan siapa Namira bertukar pesan. Tapi, yang lebih penting adalah mengembalikan keadaan mereka saat ini menjadi kembali baik-baik saja.
Lelaki dengan paras tampan itu tengah memikirkan banyak kata yang perlu dikeluarkan, menimang kalimat seperti apa yang akan meredakan amarah wanita di sampingnya. Segala pembelaan dengan kalimat apapun seperti tak akan pernah didengar, hanya terlihat sebagai alasan menepis kecurigaan.
Perjalanan pulang mereka setelah menyelesaikan urusan dengan Pak Ato ditemani dengan kerutan di wajah Namira yang sejak tadi mencoba mengingat sesuatu yang rasanya ada yang kurang.Keluhan tak hentinya Arhan dapatkan dari sang istri yang meminta membantunya untuk mengingat. Bagaimana mungkin ia tahu apa yang dimaksudkan oleh Namira, sementara wanita itu saja tidak tahu apa yang tengah dicarinya.Arhan mulai frustrasi menghadapi wanita di sampingnya. “Coba jelasin tentang apa?” tanyanya seraya fokus pada kemudi dan jalanan yang cukup padat.“Tentang masalah kita ini. Kayak masih ada sesuatu yang harus kita selesaian, Mas.”“Apa? Semuanya udah kita tangani, Sayang. Iyan, Raya, Pak Ato, nggak ada lagi yang perlu dicemaskan. Fokus kita sekarang cuman rumah Papa sama Mama. Paling tinggal mikirin siapa yang bakal ngurusin kontrakan setelah Pak Ato berhenti.”Namira menggeleng pelan seraya masih berusaha mengingatnya dengan hati-hati. “Kalau masalah rumah sama kontrakan itu udah aku pikirin
Hanya tinggal satu masalah lagi yang harus mereka selesaikan. Setelah beristirahat sebentar, Arhan dan Namira segera pergi ke rumah Pak Ato. Mereka berharap kali ini laki-laki paruh baya itu ada di tempat supaya dalam satu waktu semuanya tuntas.Mereka hanya pergi berdua. Elio dititipkan pada Bi Ida dan Pak Marwan di villa. Sepertinya akan membutuhkan waktu beberapa hari untuk mengembalikan rumah orang tua Namira kembali tampak bersih lagi dan layak huni. Jadi mereka semua akan tinggal di villa untuk sementara.Sebelum mereka memutuskan pergi menemui Pak Ato. Namira beserta Arhan sudah berbicara dengan Bima mengenai solusi dari masalah yang terjadi. Keputusan akhirnya sesuai kesepakatan bersama.Setelah menempuh jarak yang tidak begitu jauh, akhirnya mereka sampai di satu rumah dengan halaman tidak terlalu besar. Keduanya masuk dengan penuh harap. Arhan maupun Namira sengaja tidak menghubungi Pak Ato terlebih dahulu bahwa ada yang perlu dibicarakan secara langsung diantara mereka. Awa
Entah pada kata yang mana, hati Iyan melembut sejenak mendengar permintaan maaf dari Raya. Namun tak lama ia kembali mengamuk. Dalam kesadarannya mendadak tak terima jika ia mengampuni wanita itu dengan mudah. Padahal ini sudah berlangsung bertahun-tahun.Iyan berteriak. Menepis tangan Arhan yang mencoba menahan untuk tak kembali menerjang Raya. Laki-laki itu berlalu pergi keluar sampai membuat Namira melongo dan meminta suaminya untuk mengejar sebab masalah mereka belum selesai. Rencana ini harus tetap berjalan bagaimana pun caranya.Saat Namira tengah meminta suaminya untuk melakukan sesuatu, Iyan kembali masuk dengan cara berjalan mundur. Di depannya ada dua orang bertubuh kekar yang menghadang langkah laki-laki itu yang akan meninggalkan villa.“Apa maksudnya ini?” tanya Iyan pada Arhan yang menyunggingkan senyum. Kini tubuhnya sudah sepenuhnya berbalik dan dua orang tak dikenal itu berdiri di belakangnya.Arhan memasukkan dua tangannya pada saku celana. “Siapa yang izinin kamu pe
Iyan refleks berdiri. Ia menghadang Arhan yang berjalan mendekat ke arah mereka seorang diri. Laki-laki itu tahu alasan Namira kabur karena sang suami yang berselingkuh sehingga membuat wanita itu memilih pergi. Ia mencoba melindungi mantan kekasihnya dari suaminya, takut-takut akan menarik pulang dengan paksa apalagi melihat tengah bersama dengan dirinya.Mata kedua laki-laki itu bertemu, saling memandang dengan tatapan sengit penuh pertarungan lewat sorot yang tajam. Langkah Arhan begitu tegas, tapi tak membuat Iyan ciut hanya karena hal itu. Laki-laki itu justru semakin mengepalkan tangan yang terentang, menyembunyikan Namira beserta anaknya di balik punggung. “Kamu diem di situ aja. Biar aku yang hadapi dia.”Andai Namira tengah berada dalam huru-hara rumah tangga yang sebenarnya atau kejadian saat ini sesuai dengan yang Iyan pikirkan, sudah pasti ia terbuai dengan apa yang mantan kekasihnya itu lakukan.Sikap Iyan benar-benar mencerminkan seorang laki-laki pelindung, yang kebanya
Karena tiba-tiba ada rencana yang harus dirubah sebab keberadaan Iyan yang tak di sangka-sangka ternyata ada di hotel yang sama dengan Namira. Wanita itu dengan spontan menjalankan rencana di luar yang sudah disepakati.Namira pikir, mengoptimalkan rencana untuk menggaet Iyan tanpa meninggalkan curiga adalah usaha untuk membuat laki-laki itu tetap ada dalam jangkauannya. Itu sebabnya ia meminta tolong pada sang mantan kekasih untuk mengantar dirinya ke villa.Semula Namira merasa bangga akan hal itu, tapi ternyata malah menjadi boomerang untuknya sampai semalaman terpikirkan beberapa kemungkinan buruk yang akan menimpa dirinya dan sang anak.Beruntung semalam Pak Marwan sudah mendapatkan kunci dari sang pemilik villa, jadi pagi ini Namira tinggal menempatinya saja tanpa dicurigai oleh Iyan.Sesampainya mereka di villa. Iyan dengan sigap membantu menurunkan barang-barang milik Namira. Dua tas jinjing di kedua tangannya bukanlah sesuatu yang merepotkan, beratnya saja tak terasa menurut
Akhirnya mereka sampai pada hari di mana akan membungkam dan membuat Iyan dan Raya tak bisa berkutik lagi. Namira berharap semuanya berjalan lancar hari ini supaya bisa fokus pada hal lain yang tak kalah penting.Karena nyatanya masalah yang menimpa rumah tangganya bisa berpengaruh besar ke segala hal dalam hidup mereka, tak terkecuali dampak utamanya adalah hubungannya dengan Arhan.Berbicara tentang hari ini, semalam Namira sudah memberitahu Arhan semuanya mengenai pertemuan tak sengajanya dengan Iyan. Memang ia tak tahu apa yang sebenarnya mantan kekasihnya itu lakukan di Bandung.Namun mengingat laki-laki itu memang asli orang Bandung dan orang tuanya yang baru ia ketahui ternyata Pak Ato juga ada di kota yang sama dengannya saat ini. Jadi tidak menutup kemungkinan kalau salah satunya urusan Iyan adalah mengunjungi ayahnya.Jika diperkenankan untuk berpikir lebih luas lagi. Sebenarnya ada yang mengganggu pikiran Namira tentang keberadaan Iyan yang katanya baru sampai kemarin. Apa