Share

Bab 5

Seperti tersambar petir di siang hari. Begitu kalimat yang tepat untuk mendiskripsikan apa yang Ameli rasakan saat ini. 

"Tapi, Bu? Saya masih ingat tetap kerja di sini!" ucap Ameli dengan menahan air mata.

"Maaf, seperti saya sudah tidak bisa memperkerjakan Anda lagi karena kami tidak ingin bertanggungjawab jika sesuatu hal yang buruk terjadi dengan kehamilan Anda," jawab Bu Yeni sambil kembali menyodorkan amplop berisi uang agar Ameli segera menerimanya.

Dengan berat hati, Ameli menerima amplop tersebut dan kemudian beranjak keluar dari ruangan. Ketika Ameli berjalan melewati beberapa pelanggan, tanpa sengaja mata Ameli tertuju pada sosok pria memakai jas berwarna hitam. Ameli melihat pria itu dari belakang sedang bersama seorang wanita.

"Aku seperti tidak asing dengan pria itu," gerutunya.

Ameli menghentikan langkah kaki dan mencoba memperhatikannya. Dan benar saja, ketika pria itu hendak menoleh untuk memanggil pelayan, Ameli sangat terkejut ketika akhirnya mengetahui siapa sebenarnya pria itu.

"Astaga! Tidak mungkin! Itu Amar!" ucapnya seketika sambil berusaha menyembunyikan wajah dengan kedua telapak tangan dan bergegas untuk pergi.

Langkah kaki Ameli hari itu terasa sangat berat. Tubuhnya terasa lemas. Hati dan pikirannya kacau. Dia tidak menyangka bahwa hari ini mendapat banyak hal yang melukai hatinya.

"Amar sedang bersama siapa? Apa dia sudah menikah lagi?" gerutunya dalam hati.

Tanpa sengaja ketika Ameli membuka ponsel, terdapat notifikasi dari salah satu situs yang mengabarkan sebuah pernikahan mewah yang akan digelar beberapa hari lagi. Berita pernikahan itu berasal dari putera semata wayang pemilik sekaligus pendiri Wijaya grup.

Jantung Ameli seketika berhenti berdetak ketika membaca judul berita tersebut. Dengan hati was-was dan jari gemetaran, Ameli membaca perlahan berita itu. Dan benar saja, semakin dia membaca berita itu, semakin hatinya terasa tercabik-cabik. Berita yang berisi tentang rencana pernikahan Amar dengan wanita yang berprofesi sebagai model mampu melengkapi kekecewaan dan rasa sakit hati yang Ameli alami hari ini. Ameli segera mematikan ponsel dan bergegas untuk pulang menemui mamanya.

Sampai di kontrakan, Ameli menangis histeris sambil memeluk mamanya. Dengan ekspresi wajah terkejut dan gerakan tangan yang terbatas, Bu Mila berusaha menenangkan Ameli meski dia tahu apa yang sebenarnya terjadi. Hari itu, hidup Ameli terasa benar-benar berakhir. Dia tidak tahu harus berbuat apa lagi setelah ini.

Namun, ketika dia melihat mama dan bayi yang berada di dalam perutnya, Ameli berusaha untuk bangkit. 

"Jika tidak aku, siapa lagi?" tekadnya dalam hati.

Ameli mengubur kepedihannya dalam-dalam. Besoknya dia memutar otak untuk mendapatkan uang tanpa harus bekerja dibawah pimpinan orang lain. Setelah berpikir panjang, akhirnya Ameli mempunyai ide untuk membuat sebuah produk perawatan kulit dan wajah. Ameli memilih membuat produk perawatan kulit dan wajah dari bahan alami dengan alasan mudah ditemui dan tentu saja bisa menekan biaya produksi.

Proses yang Ameli lalui cukup panjang hingga akhirnya Ameli berhasil membuat satu sampel produk yang harus dia uji kelayakannya terlebih dahulu. Urusan pembuatan produk perawatan kulit dan wajah belum selesai, Ameli mengalami pendarahan hebat. Beruntung, pemilik kontrakan membantu Ameli pergi ke rumah sakit.

Tidak berselang lama, bayi berjenis kelamin laki-laki lahir dengan berat tiga koma dua kilogram dan Ameli beri nama Jendra Pamungkas. Selama berada di rumah sakit, Ameli ditemani oleh Bu Ana. Hingga Bu Ana dengan senang hati membantu meminjami uang kepada Ameli untuk biaya kelahiran di rumah sakit. Ameli merasa hidupnya tertolong.

Setelah masa pemulihan selesai, Ameli kembali melanjutkan merintis bisnisnya. 

"Aku sudah kehabisan uang, jadi tidak mungkin bisa membayar biaya promosi," gerutunya dalam hati.

Ameli akhirnya memasarkan produknya sendiri dari pintu ke pintu ataupun ditiupkan ke toko-toko kecil. Setelah melewati jatuh bangun, akhirnya bisnis Ameli melejit dalam kurun waktu lima tahun. Kini, Ameli sudah bisa membeli rumah, mobil, menebus biaya pembebasan papanya di penjara, mempunyai banyak karyawan dan juga cabang store di mana-mana. Dan di saat itu juga, kehidupan Ameli jauh membaik.

"Mama...?" teriak Jendra yang berlari menghampiri Ameli yang masih berada di dalam mobil.

Siang itu, Ameli meluangkan waktu untuk menjemput Jendra yang kini sudah duduk di bangku Sekolah Taman Kanak-kanak.

"Semakin besar, Jendra semakin mirip dengan Amar. Bagaimana bisa aku melupakan dia jika Jendra begitu mirip dengannya?" gumam Ameli dalam hati.

"Mama, tadi Jendra dikatain teman-teman kalau Jendra nggak punya papa. Kenapa teman-teman Jendra bisa bilang begitu? Kan, kata mama, papanya Jendra sedang bekerja di luar negeri? Iya, kan, Ma?" tanya Jendra dengan suara khas anak-anak.

"Iya, jelas, dong! Papanya Jendra, kan, sedang pergi jauh!" jawab Ameli sambil memutar setir mobilnya.

"Tadi juga ada yang ngatain kalau Jendra itu anak haram. Memangnya anak haram itu apa, sih, Ma?" tanya Jendra dengan lugu sambil mengemut lolipop.

Deg!

Jantung Ameli seketika terasa berhenti berdetak.

"Emmm..., Jendra sudah makan belum, Sayang?" tanya Ameli mengalihkan pertanyaan.

"Belum," jawab Jendra sambil menggelengkan kepala.

"Okay, Jendra mau makan apa? Pizza? Hot dog atau pasta?" ujar Ameli menyebut nama-nama makanan yang Jendra suka.

"Pizza aja, deh, Ma." jawab Jendra.

"Okay, kita beli, ya!" jawab Ameli sambil bernafas lega.

Pikiran Ameli saat itu kembali terganggu dengan sebutan yang ditujukan untuk putera semata wayangnya.

"Bagaimana pun Jendra tidak bersalah, tapi aku yang salah. Kenapa ada orang yang tega menyebut dia anak haram? Dari mana teman Jendra tahu sebutan anak haram jika tidak ada orang dewasa yang mengajari?" gerutu Ameli kesal di dalam hati.

"Sampai kapanpun, aku tidak akan mempertemukan Jendra dengan Amar! Aku tidak akan pernah mengatakan kepada Jendra kalau ayahnya sebenarnya adalah seorang CEO perusahaan Wijaya grup," tegasnya dalam hati.

***

"Amar, pernikahan mu dengan Frieda sudah menginjak lima tahun. Apa kalian berdua tidak ingin mempunyai momongan?" tanya Bu Mega sambil menatap wajah Amar yang terlihat sayu. 

"Momongan? Tentu saja Amar ingin, Ma! Tapi memang belum waktunya Amar dan Frieda di kasih, jadi Amar bisa apa?" respon Amar dengan suara lebih bervolume.

"Mama hanya tanya, kenapa jawabanmu begitu kepada mama?" tanya Bu Mega dengan suara lebih keras.

"Ada apa ini? Kenapa kalian saling berteriak? Ini di perusahaan, bukan di rumah!" teriak Pak Hadi yang baru saja masuk ke dalam ruangan milik Amar.

"Karena Mama bertanya tentang hal itu berkali-kali, Pa! Harus berapa kali juga Amar menjelaskan tapi Mama tidak pernah mengerti," jawab Amar membela diri.

"Kenapa kalian tidak membicarakan hal ini di rumah?" tanya Pak Hadi.

"Sengaja mama datang ke sini, Pa. Kalau di rumah ada Frieda. Mama tidak enak dengannya," jawab Bu Mega sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada.

"Tapi, yang dikatakan oleh mamamu memang benar, Nak. Kamu harus segera mempunyai momongan sebagai penerus perusahaan ini. Lihatlah! Papa sudah tua. Usia kamu juga semakin bertambah," ucap Pak Danang sambil berjalan mendekati Amar dan memegang pundaknya.

Amar terdiam dengan tatapan kosong. Pikirannya bukan tertuju kepada apa yang kedua orangtuanya bicarakan. Tapi ada hal lain di dalam rum

ah tangganya yang selama ini dia sembunyikan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status