Share

Masak Daging Misterius
Masak Daging Misterius
Penulis: AishaPena

Masak Daging Aneh

"Wid, Widia ... buka pintunya! Cepat!" Suara ketukan pintu dan juga suara keras Danu berhasil membuat Widia seketika terjaga dari lelapnya yang baru 30 menit itu. 

"Bang Danu, benarkah itu suara dia?" Di keheningan malam tentu lah ada sedikit rasa takut dan waspada bagi seorang wanita yang hanya tinggal sendiri di rumah nya. Rumah yang baru saja dibangun itu terletak 200 meter dari pemukiman warga. Danu --suami Widia-- sengaja memilih tempat yang agak berjarak supaya istrinya tidak banyak bergaul dengan warga lain. 

"Widia ...!" teriak Danu semakin keras. Dia terus menggedor pintu begitu menggemparkan. 

"I-iya, Bang. Sebentar," sahut wanita yang mengenakan daster kusut itu bergegas bangkit dari ranjang besinya. Menyambut sang suami yang sudah delapan bulan tak pulang. Delapan bulan yang lalu pria itu pergi merantau ke pulau seberang untuk bekerja di tambang minyak.

Langkah Widia terhenti di depan pintu, tangannya sedikit gemetar saat membuka slot kunci. Meski belum terlihat, wajah garang penuh amarah sudah terbayang oleh istrinya. Saat pria di balik pintu itu menyadari bahwa pintunya sudah bisa dibuka, ia mendorong kasar pintu tersebut sehingga Widia hampir terjungkal. 

"Lama sekali sih? Kau tak kenal suara suami sendiri, hm? Atau kau sedang menyembunyikan pria lain di rumah ini?" Kedua bola mata Danu membulat sempurna, rahangnya mengeras seperti hendak menerkam perempuan di hadapannya.

"Maaf, Bang. Aku hanya waspada, takutnya perampok atau orang jahat yang mengetuk pintu." 

"Waspada, waspada. Aku tau kau ini terlalu nyenyak tidur. Memangnya kau bisa menyembunyikan mata merahmu itu, dasar pembohong." Wanita itu menunduk. Suaminya terlalu teliti untuk bisa ia kelabui. 

"Nyalakan kompor! Masak daging ini sekarang juga!" bentak Danu menjatuhkan satu kantong keresek hitam tebal ukuran 40 dan hampir mengenai sebelah kaki Widia. Perempuan itu mengikat rambutnya yang sebelumnya terurai sepunggung. Tubuhnya merengkuh mengambil dan membuka ikatan keresek tersebut.

Seketika angan Widia terlonjak kaget melihat tumpukan daging tanpa tulang di dalam keresek hitam itu. Widia menutup hidung, kepalanya mulai pusing. Ia benar-benar diuji kesabaran oleh suaminya. Sudah tahu bahwa Widia bukan penyuka daging. Namun, Danu seolah amnesia akan hal itu bahkan pura-pura tidak tahu. 

"Huek!" Akhirnya, rasa tak enak dari dalam perut perlahan merambat sampai ke kerongkongan Widia. Ia sudah tak tahan lagi menahan mual sampai mulutnya pun mulai bereaksi. 

"Heh, Wid! Sampai kapan kau seperti itu di sana hah? Cepat masak sekarang juga!" 

"Tapi, Bang. Kalau masak sekarang, bumbu-bumbunya nggak ada. Sedangkan yang punya warung sudah terlelap jam segini," ucap Widia masih berusaha menutup hidungnya supaya tidak mencium bau amis. 

"Kalau nunggu besok, daging itu semakin bau. Kau bisa merebusnya dulu malam ini. Kau ini, begitu saja mesti aku ajari." Danu berlalu setelah mengganti pakaiannya ke luar rumah sambil memantik api di depan lintingan nikotin yang menyelip di sela jarinya. Sanggup tidak sanggup, Widia tetap harus menjalankan titah suaminya itu. Sambil memproses daging bawaan suaminya itu, Widia sempat menerka daging hewan apa yang dibawa Danu. Tampilan dan teksturnya baru kali ini ia lihat. Namun, Widia tak memikirkannya secara berlanjut. Secepat mungkin ia mengerjakan tugasnya. Selain ia tahu watak sang suami yang tempramen itu, Widia juga tak mau berlama-lama dengan hal yang tidak ia sukai. 

Usai mengolah bawaan Danu, perempuan itu mengganti pakaiannya lalu menemui suaminya di teras rumah. 

"Ini, Bang. Kopinya," ucap Widia meletakan segelas kopi hitam. Seburuk apapun sikap suami, ia tetap menampakan pelayanan terbaik meski sering kali tak dihargai. Diam-diam, Widia duduk di samping pria itu. 

"Bang, i-itu yang tadi. Daging apa ya? Kok, perasaan aku baru melihat tampilannya." 

"Daging babi," jawabnya enteng.

"Astagfirullah, itu kan haram, Bang." 

"Haram itu kalau kau memakannya sebagai orang yang patuh agama. Kalau kau tak merasa begitu, ya biasa saja." 

"Maksud, Abang?" Sebenarnya ia tak berani menyelah, namun ia penasaran juga. Jangan-jangan selama merantau Danu sudah bukan muslim lagi. 

"Kau pikir saja lah, sendiri. Aku males ngejelasin sama istri yang kurang pintar seperti kamu, pasti kau akan tanya lagi. Maksud, Abang? Maksud, Abang? Apa nggak lelah? Sudahlah, jangan kau bahas lagi daging apa itu. Kalau kau cerewet, aku sumpelin juga daging itu ke mulutmu supaya mingkem." 

Dada Widia kembung kempis menahan semua rasa yang menyergapi. Marah, kesal, sedih, dan penasaran. Namun, apa daya. Daripada ancaman suaminya menjadi nyata, Widia memilih diam tak mau bersuara lagi. 

"Selama aku pergi, apa yang diributkan di kampung ini?" tanya Danu di sela-sela menghisap batang rokok yang tinggal separuh itu. 

"Eum, aku tidak tau, Bang. Karena aku jarang keluar rumah. Paling keluar cuma buat beli bumbu dan keperluan lain di warung terdekat." Sebenarnya, banyak yang ingin ia keluhkan kepada sang suami tentang tanggapan masyarakat kepada keluarga kecilnya. Meski terdengar samar, Widia bersama Danu sering menjadi cibiran dengan julukan mahluk anti sosial. Karena Widia tahu watak suami yang mudah tersinggung bisa saja mengamuk. Maka, ia memilih tak mengungkapkannya. Widia lebih suka mencari aman. 

"Mulai besok, kau keluar saja. Gabung sama mereka. Tak perlu mengurung diri seperti pintaku sebelumnya. Dan ingat, rekam semua yang keluar dari mulut mereka." Setelah menoleh ke arah istrinya, ia meluruskan kembali pandangannya menerawang ke angkasa hitam sambil menghisap asap rokok.

Widia terdiam, berusaha mencerna apa yang disampaikan suaminya. Meskipun ia tak tahu maksud dan tujuan pria itu. 

"Ba-baik, Bang." Widia mengiyakan meski ragu untuk menjalankannya esok hari. 

"Kau simpan dimana daging itu?" 

"Di panci, Bang. Baru aku rebus setengah matang."

"Ya sudah, lanjut tidur saja sana!" 

"Hm," desis Widia menghela nafas lega. Ia bersyukur karena suaminya tidak meminta ditemani sepanjang malam. Ia pun beranjak dan melangkah gontai kembali ke dalam kamar. 

Di kamar, pakaian Danu yang dipakai saat pulang dari rantauan berserakan di lantai. Widia memunguti pakaian itu sambil menjauhkan indra penciumannya. Seketika bau amis menyeruak ke rongga hidung. Percis sekali dengan bau yang ia hirup saat membuka kantong keresek hitam berisi daging aneh. 

Widia kembali membuka pintu kamarnya. Ia berniat menyimpan pakaian kotor itu ke keranjang cucian. Posisi kamar mandi dan dapur masih dalam satu ruangan. Saat kaki Widia berada di ambang pintu ruangan itu. Danu sudah lebih dahulu berada di sana. Menghadap ke panci berisi rebusan daging setengah matang, membelakangi posisi Widia, dan berkata.

"Sekarang, kau sudah merasakan hukuman atas ancamanmu itu, Ratih."

Kedua netra milik Widia terbelalak. Hatinya penuh tanya, mengapa suaminya mengucapkan nama 'Ratih'. Saat itu pula, Widia membayangkan sosok pemilik nama itu. Seorang gadis yang beralamat masih satu kampung dengannya. Kini, gadis bernama Ratih itu pun tengah hangat-hangatnya menjadi buah bibir warga kampung sebab kepergiannya yang mendadak sehari setelah Bang Danu pergi merantau. Dan sampai saat ini, gadis itu belum jua kembali.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Aas Aisah
Antara gemetar sama mual ... tapi seruuu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status