Compartir

Masakan Mertua
Masakan Mertua
Autor: Jingga Amelia

Bab 1

last update Última actualización: 2025-01-15 10:47:45

"Masak apa, Bu?"

"Masak sayur sop, tuh ada di bawah tudung saji," jawab mertuaku cuek, lalu keluar dari dapur. 

Sayur sop katanya? Padahal tadi aku mencium bau ayam yang sedang di goreng. Di rumah ini aku memang tak diijinkan memasak, seluruh kebutuhan dapur ibu mertuaku lah yang mengaturnya. Katanya kalau aku yang masak boros dan tak enak dimakan, jadi aku selalu memakan apa yang beliau masak.

Dengan cepat aku mengambil nasi beserta sayur sop yang beliau katakan lalu menghampiri Huda, anak lelakiku yang sudah menunggu di teras rumah. Di rumah ini aku hidup bersama Mas Lukas, ibunya, dan kakak kandung Mas Lukas yang ditinggal suaminya merantau keluar negeri.

"Diana, nanti bilang sama suamimu kalau minyak di rumah habis, ya. Sekalian beli telur dua kilo, habis juga." Ibu berteriak dari dalam rumah, seperti biasa ketika hari sabtu pasti ada saja yang titipan Ibu pada Mas Lukas.

Dan seperti biasa pula beliau selalu minta dibelikan telur ataupun daging, tapi tak sekalipun aku melihatnya memasak bahan makanan itu. Namun, ketika Mas Lukas sampai di rumah, tiba-tiba saja makanan itu sudah tersaji di atas meja makan. Aneh memang, tapi begitulah ibu mertuaku.

Aku hanya mengiyakan apa yang Ibu suruh tanpa banyak bicara lagi karena sejujurnya saja malas berdebat. Lima tahun berada di dekatnya rasanya sudah sangat hafal dengan sifat dan sikapnya. Makanan yang dimasak olehnya, selalu hilang.

..

Pukul lima sore, Mas Lukas sudah datang dengan membawa pesanan yang Ibu minta. Ia tergopoh-gopoh masuk dengan membawa barang belanjaan serta kantong plastik putih berisi makanan untuk Huda.

"Hallo, Sayang. Ini Ayah belikan makanan," kata suamiku dengan mengelus puncak kepala anak kami yang berusia empat tahun.,

Anakku berteriak kegirangan, lalu dengan senang membuka beberapa makanan ringan yang dibelikan oleh ayahnya. Aku yang sedang melipat baju di depan tv hanya tersenyum, lalu melanjutkan pekerjaanku.

"Bagi! Aku mau ini, ini, sama ini!" Kudengar Bara, anak kakak iparku sedikit keras.

Tak berselang lama Huda menangis, dia berlari ke arahku dengan membawa satu permen di tangannya. "Semua diminta sama Kak Bara, Bu," ucapnya mengadukan perbuatan Bara, kakak keponakannya.

Aku menatap tajam Bara yang sedang mengunyah makanan yang ia rebut dari Huda. Tanpa rasa bersalah, anak berusia tujuh tahun itu justru menjulurkan lidah kepada kami.

"Kakak, dibagi dong makanannya. Kan ayahnya Huda beli empat, kenapa diambil tiga?"

"Enggak! Aku mau ini semua!"

Huda semakin histeris ketika Bara mengatakan demikian. Aku berusaha menenangkan, tapi Huda tak kunjung diam. Memang bukan kali pertama seperti ini, tapi rasanya aku sangat jengkel dengan perilaku anak dari kakak iparku itu.

Biasanya jika seperti ini, Mbak Rita akan membela anaknya dan justru menyalahkan anakku yang terlalu pelit kayanya. Padahal Bara tak pernah mau berbagi dengan Huda jika dia yang punya terlebih dahulu.

"Ada apa, Huda? Kenapa menangis?" Mas Lukas keluar kamar, dia menghampiri anaknya yang masih menangis.

Dengan tersedu anak kecil itu menceritakan apa yang baru saja dialami, dan bukannya menenangkan anaknya dia justru menatapku. "Diana, seharusnya kamu mengajarkannya arti berbagi. Jangan seperti ini. Sudah, nanti kita beli lagi, Huda."

Aku? Tidak mengajarkan arti berbagi? Lalu apa yang baru saja kuucapkan baru saja? Mas Lukas memang begitu, dia tak mau keributan terjadi dan lebih memilih menyalahkanku.

..

Malam harinya ketika kami sedang makan malam, seperti biasa Ibu hanya akan mengeluarkan empat potong lauk di atas meja. Satu untuknya, satu untuk Mbak Rika, satu untuk Bara, dan satu untuk suamiku, Mas Lukas.

"Ibu, Huda mau ayam goreng."

"Ehh, bukannya dari pagi kamu udah makan? Sekarang giliran yang lain!" jawab Ibu spontan ketika anakku merengek minta ayam goreng yang ada di meja.

Anak kecil itu hanya menatapku, dia merasa tak makan ayam goreng tapi selalu saja begitu kata-kata yang Ibu lontarkan ketika di meja makan. Anak sekecil itu mana mungkin bisa berontak, sedangkan aku juga hanya bisa pasrah karena tak mampu melawan ibu mertuaku sendiri. Mas Lukas akan marah jika aku berkata kasar sedikit saja pada ibunya.

"Diana, kamu ajari anakmu itu ya, jangan serakah! Kamu juga," tutur Ibu ketus, seolah-olah kami lah yang menghabiskan ayam goreng itu, padahal sedikitpun kami tak mencicipi makanan itu.

Aku hanya diam, selama hampir lima tahun begitulah sikap dan perilaku Ibu kepadaku. Makanannya akan selalu hilang saat siang hari, dan ketika malam akan terhidang dengan jumlah yang sedikit. Katanya aku tidak boleh makan karena saat siang sudah makan, padahal ketika siang hanya ada sayur atau bahkan kadang tak ada lauk apapun.

"Ibu ... Aku mau ayam goreng!" rengek Huda lagi memecah konsentrasiku.

"Iya, besok masak lagi, ya," bujukku dengan mengambilkan sayur sop ke dalam piringnya.

"Tidak. Aku mau sekarang. Aku mau ayam goreng, Ibuuu ...." Huda kembali menangis, membuat suasana makan malam menjadi kacau.

"Makan punya Ayah saja, Huda. Ini untuk jagoan Ayah," kata Mas Lukas dengan memberikan jatah ayam gorengnya pada si kecil.

Namun, dengan secepat kilat Ibu mengambilnya lagi dan mengembangkannya pada piring Mas Lukas. "Jangan kebiasaan dimanja, Lukas. Biarkan dia menangis. Cepat makan bagianmu, sejak pagi dia sudah makan ayam," tandas Ibu dengan penuh penekanan, seperti kami benar-benar telah memakannya.

Aku menatap Ibu dan Mas Lukas secara bergantian. Di rumah ini aku merasa benar-benar dibedakan. Tak hanya aku, begitu juga dengan Huda. Padahal Huda adalah darah daging Mas Lukas sendiri.

Mbak Rita dengan lahapnya memakan jatah makananya, sedikitpun tak memperdulikan teriakan Huda. Dan hal itu membuatku semakin tersulut emosi, karena dia juga tak berbeda jauh dengan ibunya.

Dengan sigap aku mengambil ponsel, lalu memesan sekotak ayam goreng dari restoran cepat saji untuk Huda. Rasa-rasanya sudah cukup aku mengalah selama ini.

"Lho, memangnya kamu ada uang, Dek? Kan aku belum kasih ke kamu gajian minggu ini?" tanya Mas Lukas terheran ketika aku menekan tombol pesan di layar ponselku.

Judul : Masakan Mertua

Continúa leyendo este libro gratis
Escanea el código para descargar la App
Comentarios (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kamu aja yg goblok sebagai istri. 5 th diperlakukan seperti itu dan tetap bertahan.
VER TODOS LOS COMENTARIOS

Último capítulo

  • Masakan Mertua   Bab 16

    Waktu terus berjalan, kabar tentang Tania yang meninggalkan kota juga sudah sampai di telingaku. Meskipun masih ada sedikit kekhawatiran di hatiku, aku berusaha mempercayai keputusan Pak Arya.Hubungan kami kembali berjalan seperti semula. Bahkan, kini aku merasa ada lebih banyak kejujuran dan keterbukaan dari Pak Arya. Sedangkan aku juga selalu berkata jujur padanya agar tidak lagi.Namun, di tengah kebahagiaanku itu, kabar lain mulai tersebar. Kabar soal Mas Lukas dan keluarganya cukup membuat perhatianku teralihkan. Ternyata, selama ini keluarga Lukas memiliki banyak utang di bank. Karena gagal melunasi cicilan, semua aset mereka disita. Rumah mereka dijual, beberapa barang berharga mereka diambil alih, dan mereka akhirnya harus pindah keluar kota.“Diana, kamu tahu tentang keluarga Mas Lukas? Semua asetnya disita bank. Katanya, Mbak Rita punya pinjaman besar yang tak bisa mereka bayar. Sekarang mereka pindah ke luar kota,” kata salah satu pelanggan yang kebetulan sedan makan di k

  • Masakan Mertua   Bab 15

    Beberapa hari berselang, suasana sibuk mulai menyita pikiranku. Mawar sedang sibuk membungkus pesanan nasi kotak, dan beberapa karyawan lain sibuk dengan pelanggan.Aku berusaha menenangkan diri dan memfokuskan perhatian pada pekerjaan. Apa yang terjadi kemarin aku anggap hanya angin lalu yang tak perlu aku pikirkan. Namun, pikiranku terus melayang-layang, kembali ke wajah perempuan yang beberapa hari yang lalu sempat merusak suasana hatiku. Ada sesuatu tentang cara bicaranya—entah itu rasa cemburu, kebencian, atau mungkin sekadar keputusasaan—yang membuatku merasa harus menyelidiki lebih jauh.Sebenarnya aku ingin sekali percaya pada Pak Arya. Aku lihat sorot keseriusan dalam matanya. Namun tetap, dalam sudut hatiku masih ada sedikit keraguan. Sore itu, setelah semua pesanan selesai, aku duduk di kursi dekat jendela sambil menyeruput teh hangat. Ponselku berdering lagi. Kali ini pesan dari Pak Arya.[Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan. Bisa kita bertemu malam ini?]Aku menarik na

  • Masakan Mertua   Bab 14

    Aku kembali ke kedai dengan kepala yang penuh pertanyaan. Siapa wanita itu? Apa benar dia kekasih Pak Arya? Ataukah ini hanya upaya untuk menjatuhkanku seperti yang sering terjadi sebelumnya?Helaan napas panjang keluar dari bibirku saat aku membuka pintu kedai, aroma kopi dan makanan menyapa hangat, tapi hatiku tetap bergemuruh.Selama ini aku memang tak pernah mendengar desas-desus apapun perihal Pak Arya. Kabarnya tenang, tak ada berita tentang kehidupannya. Mungkin ia sengaja menyembunyikan apapun yang berhubungan dengan masalah pribadinya. Mengingat bahwa dia adalah seorang kepala desa yang mana harus tetap mempertahankan wibawanya. "Ada apa, Mbak? Mukanya kusut begitu," tanya Mawar sambil menata beberapa gelas di rak.Aku menggeleng pelan. "Nggak apa-apa, cuma lagi banyak pikiran," jawabku singkat, karena aku belum ingin bercerita kepada siapapun perihal ini. Terlebih sebelum aku menanyakan langsung pada Pak Arya. Siapa tau, apa yang wanita itu katakan dan apa yang aku pikirka

  • Masakan Mertua   Bab 13

    "Kamu mau menikah?" tanya Mas Lukas yang tiba-tiba menghadangku di tengah jalan. Kebetulan hari ini aku tidak bawa mobil jadi ikut angkutan umum dan turun lumayan jauh dari kedai. Aku terkejut karena tiba-tiba Mas Lukas ada di depanku. Apakah ia memang sudah mengikutiku atau hanya kebetulan saja."Em, belum. Kenapa?"Mas Lukas tersenyum miring dan melirikku tajam. "Bohong," ujarnya dingin.Aku hanya menghela nafas panjang, lalu membalas tatapan elangnya. Memang begitu Mas Lukas sejak dulu. Jika ada yang ia tak suka dariku, pasti ia akan menatapku seperti itu. "Benar ataupun tidak, memangnya kenapa? Ada masalah apa denganmu, Mas?""Aku tidak rela jika Huda memiliki ayah baru."Mulutku menganga, "lantas?""Kamu tahu yang aku maksud dan jangan berbelit-beli, Diana."Aku terkekeh kecil, Mas Lukas memang pandai bergurau. Namun kali ini aku tidak berniat bergurau soal ini. Seharusnya dia sudah tidak berani menampakkan wajahmya di depanku, terlebih sejak kejadian Mbak Rita kemarin. Namun

  • Masakan Mertua   Bab 12

    Udara pagi ini terasa sejuk dengan mentari pagi menyapa lembut dedaunan yang berembun. Biasanya aku tak bersemangat ini jika hendak ke kedai. Namun hari ini aku terlihat sangat bersemangat. “Selamat pagi, Mbak Diana” sapa Pak Arya ramah membuatku terkejut. Bagaimana bisa sepagi ini dia sudah sampai di kedai. Biasanya dia dan anaknya datang pukul sembilan atau sepuluh. Aku membalas senyumnya, mencoba menyembunyikan debar di dadaku. “Selamat pagi, Pak Arya. Pagi, Aira,” balasku, tak lupa mengusap lembut kepala gadis kecil itu.Setelah beberapa menit berbasa-basi, aku akhirnya menarik napas panjang dan berkata, “Pak Arya, saya ingin bicara serius mengenai apa yang Bapak sampaikan kemarin.”Wajah Pak Arya berubah serius namun tetap lembut. Ia menatapku dengan penuh perhatian. “Tentu. Apa yang ingin kamu sampaikan?” jawabnya membuatku takut dan hendak mengurungkan niatku. Aku merapatkan kedua tanganku di atas meja, mencoba merangkai kata-kata yang tepat. “Saya sudah memikirkan apa yang

  • Masakan Mertua   Bab 11

    Malam itu, setelah Aira bertanya dengan polosnya tentang "ibu baru," pikiranku dipenuhi banyak hal. Aku tahu, waktunya sudah tiba untuk berbicara dengan Huda. Sebagai anakku, pendapatnya sangat berarti. Aku tak ingin mengambil langkah besar tanpa memastikan bahwa Huda merasa nyaman dengan perubahan ini.Setelah makan malam, kami duduk di ruang tamu. Huda sedang menggambar sesuatu di buku gambarnya, seperti biasa. Aku duduk di sampingnya, merapikan rambutnya yang mulai panjang."Huda, Ibu mau ngomong sesuatu sama kamu," kataku pelan.Dia mengangkat wajahnya, tersenyum kecil, dan meletakkan pensilnya. "Apa, Bu?"Aku mengatur napas, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Kamu tahu kan, sekarang kita sering ketemu sama Pak Arya dan Aira?"Huda mengangguk dengan semangat. "Iya, Ma. Aku suka main sama Aira. Dia lucu, nggak seperti anak-anak lain yang suka ganggu."Aku tersenyum, lega mendengar antusiasmenya. "Bagaimana menurut kamu tentang Pak Arya? Mama lihat kamu juga sering ngobrol sama

Más capítulos
Explora y lee buenas novelas gratis
Acceso gratuito a una gran cantidad de buenas novelas en la app GoodNovel. Descarga los libros que te gusten y léelos donde y cuando quieras.
Lee libros gratis en la app
ESCANEA EL CÓDIGO PARA LEER EN LA APP
DMCA.com Protection Status