"Ya begitulah istrimu, Lukas. Boros, sukanya jajan makanan cepat saji," tukas Mbak Rita ketus, padahal sekalipun aku tidak pernah memesan apapun meski semua lauk selalu hilang di siang hari, bahkan ketika Huda merengek.
"Benar begitu, Dek?" tanya Mas Lukas yang terlihat mulai teracuni oleh perkataan Mbak Rita.
"Diana, seharusnya kamu itu jangan boros-boros. Kasihan suamimu. Lagipula Ibu sudah masak banyak, tapi kamu justru pesan makanan dari luar. Mending uangnya di tabung," sahur Ibu terdengar sangat bijaksana.
Padahal ketika Mas Lukas tidak ada, aku dan Huda tak pernah mendapatkan makanan seperti yang beliau katakan pada Mas Lukas. Seolah aku adalah istri yang tidak pandai bersyukur dan selalu melakukan pemborosan dengan membeli makanan dari luar.
"Betul itu, Dek. Seharusnya ...."
"Mas, bahkan setiap hari aku dan Huda tak pernah makanan masaka ...."
"Sudah, jangan ribut di atas meja makan. Pamali. Makan apa yang ada!" potong Ibu seperti mengalihkan pembicaraan.
Huda masih menangis, membuat suasana semakin kacau. Dengan sigap aku lantas menggendong Huda dan membawa piringnya. Aku berharap, pesananku akan segera datang dan Huda bisa makan ayam goreng.
..
Pucuk di cinta ulampun tiba, ketika aku tengah menghibur Huda tiba-tiba pesananku sudah sampai di depan rumah. Dengan gembira aku menyambutnya, lalu menyuruh anak lelakiku itu untuk segera makan. Rasanya senang, melihatnya bisa makan selahap itu.
Huda adalah tipe anak yang jarang sekali rewel, tapi entah kenapa seharian ini dia seperti merasakan apa yang aku rasakan. Jika perasaanku sedikit kacau, maka Huda akan lebih kacau dariku. Namun mau bagaimana lagi, perasaanku tak bisa kuatur begitu saja.
"Dek, kamu marah?"
Suara Mas Lukas mengagetkanku. Aku hanya meliriknya, lalu kembali fokus menyuapi Huda. Anak kecilku itu memegang satu paham ayam di tangan kanannya, sedang aku menyuapi nasi dari piring yang kupegang.
"Kenapa harus marah? Bukankah biasanya memang seperti itu?"
"Em ... Maaf jika situasi tadi membuatmu tidak nyaman. Tapi, Dek. Seharusnya kamu jangan begitu lagi, ya. Aku tidak ingin ibuku tersinggung."
Selalu saja begitu yang ia katakan. Bahkan aku hampir hafal dengan kata-kata yang selalu ia lontarkan.
"Ini ada uang dua ratus ribu, kamu simpan, ya. Jangan boros-boros," ucap suamiku lagi dengan menyodorkan dua lembar uang seratus ribuan.
Mas Lukas bekerja sebagai buruh bangunan, dalam seminggu ia akan digaji sebesar satu juta rupiah oleh bosnya. Dan setiap gajian aku selalu diberi dua ratus ribu, dua ratus ribu dia gunakan untuk biaya transportasi, sedangkan sisanya selalu masuk kepada Ibu.
Terdengar tak adil, tapi begitulah. Katanya uang itu untuk kebutuhan sehari-hari. Aku sama sekali tidak diberi wewenang untuk mengelola keuangan kami. Bahkan tak jarang, uang dua ratus ribuku juga diambil oleh Ibu ketika Mas Lukas bekerja.
Uang yang ia sodorkan hanya kuterima, lalu melanjutkan menyuapi Huda. Besok hari minggu, biasanya Mas Lukas libur dan aku ingin mengajaknya untuk berkunjung ke rumah orangtuaku. Sudah sebulan ini aku tak berkunjung ke sana, rasanya ada rindu yang sangat dalam untuk mereka.
..
"Pulangnya jangan malam-malam. Nanti siang ada arisan teman-temanku di sini," kata Mbak Rita ketika aku hendak naik ke atas motor matic suamiku.
"Memangnya ada apa, Mbak?" tanyaku dengan polosnya.
"Ya bersih-bersih lah. Masa ya harus aku yang bersih-bersih? Ogah banget!" jawabnya ketus, lalu berlalu ke dalam rumah lagi.
Di rumah ini, hanya memasaklah pekerjaan yang tak kukerjakan. Semua pekerjaan hampir seluruhnya kukerjakan. Mulai bersih-bersih rumah, halaman, mengepel lantai, mencuci, menyetrika, bahkan kadang aku juga harus membersihkan rumput liar di kebun belakang. Tak ada yang membantuku, selain Mas Lukas ketika sedang libur kerja. Mertua dan kakak iparku berkata, jika itu memang harus kulakukan sebagai ganti biaya selama tinggal di rumah ini.
"Ayo, Dek. Masalah itu kita pikir nanti. Keburu siang, kasihan Huda," ujar suamiku, membuat lamunanku buyar seketika.
Dengan sigap aku lantas naik ke atas motor dan Mas Lukas pun segera memutar gasnya. Motor matic berwarna biru yang dibeli Mas Lukas menggunakan uang pesangonku ketika keluar kerja itu sudah kami miliki selama hampir lima tahun juga, sama dengan usia pernikahan kami.
Selama lima tahun ini aku merasa jika keluarga suamiku seperti tak menghargaiku. Mereka selalu merendahkanku, dan juga membeda-bedakanku.
Sebenarnya jika hanya aku, aku tak masalah. Namun mereka pun ternyata juga membedakan Huda, padahal dia adalah darah daging mereka sendiri.
Ditengah perjalanan, aku teringat oleh perkataan Ayah ketika kami tersambung di telepon tempo hari. Kata-katanya terdengar sangat serius, bahkan beliau juga menyuruhku untuk pulang secepatnya.
"Diana, Ayah baru saja mendapatkan rejeki yang terbilang tak sedikit. Pulanglah, sepertinya Ayah tidak bisa jika menyimpannya sendiri. Ayah dan ibumu ingin, semua ini kamu yang pegang. Terserah mau kamu apakan. Mau buat modal usaha, atau simpanan. Pulanglah, Ayah tidak tenang memegang uang sebanyak ini."
Sampai telepon tertutup, aku sama sekali tidak tahu apa yang dimaksud oleh Ayah. Uang apa? Dan dari mana? Begitu juga dengan jumlahnya. Ayah tak mau terus terang padaku. Katanya, beliau akan jelaskan ketika aku sampai di rumah.
"Dek, kalau sampai di rumah orangtuamu jangan katakan soal Ibu dan Mbak Rita, ya. Aku tidak ingin mereka jelek dimata kedua orangtuamu," tutur Mas Lukas ketika aku sedang memikirkan soal perkataan Ayah disambungan telepon tempo hari.
"Iya," jawabku singkat.
"Terlebih masalah makanan semalam. Aku tidak enak, nanti dikira ibuku pelit dan tidak mau membagi makanannya denganmu."
Bukankah memang seperti itu? Tapi kamu selalu tak percaya dengan semua cerita yang kukatakan padamu.
Pov Rita II"Rita, makan dulu. Jangan siksa dirimu dengan mengurung diri di kamar. Kasian Bara," ucap Ibu dari luar kamar, tapi sedikitpun aku tak menanggapinya.Sejak kepulangan Mas Irwan kemarin, aku masih saja mengurung diri di dalam kamar. Rasanya duniaku seperti runtuh. Harapan dan angan-angan yang kubayangkan selama ini harus kandas begitu saja.Semua yang kuimpikan sejak dulu harus hilang dan sia-sia. Mas Irwan, suami yang kubanggakan nyatanya bisa bersikap demikian. Dia tak ubahnya seperti serigala berbulu domba. Aku pikir kepergiannya keluar negeri memang murni karena ingin mencari nafkah untuk anak dan istrinya. Nyatanya aku salah, kepulangannya justru menjadi bencana bagiku.Rumah mewah, kendaraan pribadi, hal itulah yang menjadi angan-anganku beberapa tahun belakangan ini. Semua sudah hampir terwujud, bahkan aku sampai mengosongkan perutku agar tabunganku semakin banyak. Namun ternyata, semua itu justru dirampas kembali oleh Mas Irwan dengan mudah. Dan lebih parahnya lagi
Pov Rita[Besok aku akan pulang, tolong siapkan semua tabunganku]Kedua mataku menyipit, Mas Irwan pulang? Bukankah kontraknya masih setahun lagi? Dan kenapa dia bicara soal tabungan. Tabungannya dia bilang?[Kamu bercanda, Mas?][Tidak. Aku serius. Tunggu aku di rumah]Meskipun ada sesuatu yang mengganjal dalam hatiku, tapi aku berusaha berfikir positif. Mungkin Mas Irwan ingin memberiku kejutan.Ah, suamiku itu memang paling bisa membuatku bahagia. Meskipun kami dipisahkan oleh jarak yang sangat jauh, tapi dia selalu membuatku bahagia setiap waktu. Mas Irwan adalah lelaki terbaik yang pernah kukenal, dia selalu memanjakanku dan membuatku bahagia.[Tapi, bukankah kontrakmu masih setahun lagi, Mas?]Pesanku tak lantas di balas, mungkin ia sedang sibuk di luar negeri sana. Lagipula sudah bisa berhubungan dengannya saja aku sangat bersyukur.Beruntung, dijaman sekarang ini sudah sangat canggih sehingga beda negara pun kami masih bisa saling mengirimkan kabar. Meskipun aku tinggal jauh,
"Mas Irwan?"Aku mengangguk ketika Mas Lukas mengulangi kata-kataku. "Iya, Mas Irwan. Awalnya aku tak sengaja menabrak wanita hamil, dan ternyata itu adalah istri muda Mas Irwan. Dia membawa wanita itu pergi, tapi tak berselang lama ketika aku di toko buah Mas Irwan mendatangiku lagi," terangku, kali ini aku menatapnya.Wajah Mas Lukas terlihat marah. Wajar saja, adik mana yang tak marah ketika melihat kakaknya menderita. Meskipun mungkin itu semua adalah karma atas apa yang sudah dilakukan Mbak Rita selama ini."Lalu? Apa yang dia perbuat? Jika aku bertemu dengannya, rasanya ingin sekali kupenggal kepalanya." Nada bicara Mas Lukas penuh amarah, sepertinya dia benar-benar benci dengan lelaki yang menjadi iparnya itu.Aku menghela nafas panjang mendengar penuturan Mas Lukas. "Tidak usah seperti itu. Toh kamu sendiri juga belum sepenuhnya sempurna menjadi seorang imam. Semua orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing, kan?"Mas Lukas menundukkan kepalanya, sepertinya dia menyada
Pada akhirnya aku membiarkan ibu mertuaku dan Mas Lukas pergi dari kediamanku. Kami telah setuju jika masalah ini akan diselesaikan oleh Mas Lukas selaku adik dari Mbak Rita. Lagipula aku juga tidak tahu harus berbuat apa di sana nanti, terlebih Mbak Rita tidak pernah bersikap baik kepadaku.Aku menatap iba pada ibu mertuaku yang sudah naik ke atas motor Mas Lukas. Meskipun dulu beliau sempat berbuat yang tak baik kepadaku, tapi bagaimanapun juga dia tetap lah seorang ibu dari lelaki yang saat ini hidup denganku.Sebisa mungkin rasa benci dan sakit hatiku terhadapnya kuhapus karena aku tidak ingin menyakiti diriku sendiri dengan memendam penyakit dalam hati. Biarlah, kuserahkan semuanya kepada Tuhan Yang Maha Esa.Saat motor Mas Lukas telah tak terlihat olehku, aku baru tersadar jika hari ini semua kebutuhan rumah sudah habis. Mau tak mau aku harus ke pasar bersama Huda tentunya, karena aku tak mungkin meninggalkannya sendirian di rumah.Gegas aku bersiap-siap, dan mengajak Huda ke pas
"Bu, bagaimana keadaanmu? Apa sudah mendingan?" tanya Mas Lukas lagi ketika Ibu belum menjawab perkataan sebelumnya."Aku sudah baik, seperti yang kamu lihat."Terdengar sedikit ketus, tapi bagiku itu bukan hal baru lagi karena Ibu memang selalu seperti itu kepadaku. Namun yang aneh bagiku adalah sikap yang Ibu tunjukkan pada Mbak Rita. Kenapa sekarang jadi begini? Bukankah selama ini Ibu terlihat sangat melindungi anak perempuannya itu."Syukurlah, kemarin Mbak Rita menemuiku kasih kabar kalau Ibu sakit. Memangnya kenapa, Bu? Apa masih ada hubungannya sama renovasi dapur? Bukankah Lukas sudah katakan kalau ....""Sudahlah, jangan sok perduli pada Ibu. Kamu urus saja hidupmu itu."Sejujurnya saja aku sedikit heran dengan sikap Ibu. Tak biasanya beliau seperti ini. Apa mungkin, Ibu bersikap seperti ini karena telah ditinggalkan oleh Mas Lukas?"Bu, bukannya begitu. Lagipula Lukas tak punya uang sebanyak itu, Ibu tahu sendiri kerjaan Lukas itu seperti apa," tandas Mas Lukas merendah, ta
Pada akhirnya aku ikut dengan Mas Lukas ke rumah Ibu, Huda kubawa serta karena memang tidak ada yang menjaga di rumah. Semenjak kepindahanku ke kontrakan pun aku belum sempat mengunjungi orangtuaku karena kesibukan di kedai sangat padat. Lagipula aku juga masih berbenah kontrakan dan aku takut jika kabar yang kubawa akan membuat mereka semakin kepikiran.Sepanjang perjalanan Mas Lukas hanya diam. Dia tak banyak bicara seperti biasanya. Mungkin dia sedang memikirkan ibunya yang kata Mbak Rita mogok makan karena perihal renovasi dapur.Sebelum berangkat, aku sudah sepakat dengan Huda jika dia tidak boleh berbuat macam-macam di rumah neneknya. Aku takut jika nanti Huda akan rewel selama di sana."Em, kita nggak mampir beli oleh-oleh dulu, Mas?" tanyaku basa-basi, tak lain hanya untuk membuka pembicaraan."Nggak usah. Kita langsung kesana aja, aku pengen lihat kondisi Ibu."Kuanggukkan kepalaku, lalu meliriknya lewat pantulan kaca spion. Mas Lukas tampak serius mengendarai motornya, sedan
"Bagaimana keadaannya, Pak? Maaf saya belum bisa berkunjung," ucapku lewat sambungan telepon dengan Pak Nias.Diseberang sana kudengar sangat ramai, entah beliau sedang ada dijalan atau memang usaha kami yang ramai. Harapanku usaha yang tengah kudirikan ini bisa berkembang dengan cepat, mengingat jika makanan adalah kebutuhan pokok bagi semua orang. Dan aku pun yakin jika masakan-masakannya pun juga enak."Wah, saya sampai kewalahan, Mbak. Dulu saat masih menjadi milik saya tidak sampai seperti ini. Nanti saya akan kirimkan hasil laba seminggu ini pada Anda, rasanya seminggu ini saja sudah bisa menutup modal awal yang Mbak keluarkan," tuturnya membuatku tertegun."Apa saya tidak salah dengar?""Tidak. Silahkan kesini jika Mbak Diana tidak percaya. Sepertinya kita juga harus mencari karyawan lagi karena pelanggan begitu banyak.""Alhamdulillah, berarti ini rejeki kita, Pak," ujarku dengan penuh rasa syukur."Ah, tidak. Ini sih karena rejeki Mbak Diana yang bagus, buktinya dulu waktu ma
Tepat dua hari, seperti yang Mas Lukas janjikan, dia benar-benar datang dan menjemputku serta Huda. Raut wajahnya sumeringah, tapi kulihat ada setitik kesedihan di dalamnya."Ibu sudah tahu soal ini?" tanyaku memecah keheningan.Kebetulan siang ini waktu menginapku sudah habis, mau tak mau aku juga harus segera keluar. Huda pun nampaknya juga tidak nyaman berada di tempat ini."Sudah," jawabnya singkat."Lalu?""Sudah, tidak usah bahas itu sekarang. Yang penting kamu ikut denganku dulu."Aku hanya mengangguk, lalu menuntun Huda dan mengikutinya. Entah Mas Lukas akan membawa kami kemana, aku menurut saja dengannya. Semoga kali ini dia tak lagi-lagi mengecewakanku.Mas Lukas menghentikan angkot, lalu membawaku melesat meninggalkan tempat penginapan. "Bu, kenapa tidak naik mobil bagus seperti kemarin lagi?" tutur Huda polos."Em ... Itu ....""Kita naik ini saja dulu, Sayang. Uang Ayah habis untuk membayar kontrakan," jawab Mas Lukas sebelum aku melontarkan kata-kata."Bu, besok kalau a
Pov Lukas"Mana mungkin Lukas kaya gitu, Bu? Dia kan lebih percaya sama omongan Ibu. Udah, Ibu bilang gitu aja nanti dia pasti percaya," tutur Mbak Rita terdengar aneh ketika aku baru selesai mandi.Mungkin mereka tidak tahu jika aku sudah di depan pintu dapur, karena aku memang belum lama masuk ke dalam rumah. Kacamataku tertinggal di kamar mandi, dan hal itulah yang membuatku kembali ke sana.Namun baru sampai di depan pintu dapur aku mendengar pembicaraan aneh antara Mbak Rita dan Ibu. Entah apa yang sedang mereka bicarakan tapi mereka menyebut namaku."Eheemm ...." Aku berdehem lalu masuk ke dapur dan berlalu ke kamar mandi guna mengambil kacamataku.Mata sebelah kananku sedikit bermasalah karena minus, kadang aku memang menggunakan kacamatanya untuk membantuku melihat agar lebih jelas. Namun tak setiap saat kugunakan, rasanya aku kurang begitu percaya diri jika menggunakannya setiap saat. Padahal Diana sudah menyuruhku untuk menggunakannya terus, katanya biar tidak tambah parah.