Share

Bab 2

Author: Jingga Amelia
last update Last Updated: 2025-01-15 10:48:15

"Ya begitulah istrimu, Lukas. Boros, sukanya jajan makanan cepat saji," tukas Mbak Rita ketus, padahal sekalipun aku tidak pernah memesan apapun meski semua lauk selalu hilang di siang hari, bahkan ketika Huda merengek.

"Benar begitu, Dek?" tanya Mas Lukas yang terlihat mulai teracuni oleh perkataan Mbak Rita.

"Diana, seharusnya kamu itu jangan boros-boros. Kasihan suamimu. Lagipula Ibu sudah masak banyak, tapi kamu justru pesan makanan dari luar. Mending uangnya di tabung," sahur Ibu terdengar sangat bijaksana.

Padahal ketika Mas Lukas tidak ada, aku dan Huda tak pernah mendapatkan makanan seperti yang beliau katakan pada Mas Lukas. Seolah aku adalah istri yang tidak pandai bersyukur dan selalu melakukan pemborosan dengan membeli makanan dari luar.

"Betul itu, Dek. Seharusnya ...."

"Mas, bahkan setiap hari aku dan Huda tak pernah makanan masaka ...."

"Sudah, jangan ribut di atas meja makan. Pamali. Makan apa yang ada!" potong Ibu seperti mengalihkan pembicaraan.

Huda masih menangis, membuat suasana semakin kacau. Dengan sigap aku lantas menggendong Huda dan membawa piringnya. Aku berharap, pesananku akan segera datang dan Huda bisa makan ayam goreng.

..

Pucuk di cinta ulampun tiba, ketika aku tengah menghibur Huda tiba-tiba pesananku sudah sampai di depan rumah. Dengan gembira aku menyambutnya, lalu menyuruh anak lelakiku itu untuk segera makan. Rasanya senang, melihatnya bisa makan selahap itu.

Huda adalah tipe anak yang jarang sekali rewel, tapi entah kenapa seharian ini dia seperti merasakan apa yang aku rasakan. Jika perasaanku sedikit kacau, maka Huda akan lebih kacau dariku. Namun mau bagaimana lagi, perasaanku tak bisa kuatur begitu saja.

"Dek, kamu marah?" 

Suara Mas Lukas mengagetkanku. Aku hanya meliriknya, lalu kembali fokus menyuapi Huda. Anak kecilku itu memegang satu paham ayam di tangan kanannya, sedang aku menyuapi nasi dari piring yang kupegang.

"Kenapa harus marah? Bukankah biasanya memang seperti itu?"

"Em ... Maaf jika situasi tadi membuatmu tidak nyaman. Tapi, Dek. Seharusnya kamu jangan begitu lagi, ya. Aku tidak ingin ibuku tersinggung."

Selalu saja begitu yang ia katakan. Bahkan aku hampir hafal dengan kata-kata yang selalu ia lontarkan.

"Ini ada uang dua ratus ribu, kamu simpan, ya. Jangan boros-boros," ucap suamiku lagi dengan menyodorkan dua lembar uang seratus ribuan.

Mas Lukas bekerja sebagai buruh bangunan, dalam seminggu ia akan digaji sebesar satu juta rupiah oleh bosnya. Dan setiap gajian aku selalu diberi dua ratus ribu, dua ratus ribu dia gunakan untuk biaya transportasi, sedangkan sisanya selalu masuk kepada Ibu.

Terdengar tak adil, tapi begitulah. Katanya uang itu untuk kebutuhan sehari-hari. Aku sama sekali tidak diberi wewenang untuk mengelola keuangan kami. Bahkan tak jarang, uang dua ratus ribuku juga diambil oleh Ibu ketika Mas Lukas bekerja.

Uang yang ia sodorkan hanya kuterima, lalu melanjutkan menyuapi Huda. Besok hari minggu, biasanya Mas Lukas libur dan aku ingin mengajaknya untuk berkunjung ke rumah orangtuaku. Sudah sebulan ini aku tak berkunjung ke sana, rasanya ada rindu yang sangat dalam untuk mereka.

..

"Pulangnya jangan malam-malam. Nanti siang ada arisan teman-temanku di sini," kata Mbak Rita ketika aku hendak naik ke atas motor matic suamiku.

"Memangnya ada apa, Mbak?" tanyaku dengan polosnya.

"Ya bersih-bersih lah. Masa ya harus aku yang bersih-bersih? Ogah banget!" jawabnya ketus, lalu berlalu ke dalam rumah lagi.

Di rumah ini, hanya memasaklah pekerjaan yang tak kukerjakan. Semua pekerjaan hampir seluruhnya kukerjakan. Mulai bersih-bersih rumah, halaman, mengepel lantai, mencuci, menyetrika, bahkan kadang aku juga harus membersihkan rumput liar di kebun belakang. Tak ada yang membantuku, selain Mas Lukas ketika sedang libur kerja. Mertua dan kakak iparku berkata, jika itu memang harus kulakukan sebagai ganti biaya selama tinggal di rumah ini.

"Ayo, Dek. Masalah itu kita pikir nanti. Keburu siang, kasihan Huda," ujar suamiku, membuat lamunanku buyar seketika.

Dengan sigap aku lantas naik ke atas motor dan Mas Lukas pun segera memutar gasnya. Motor matic berwarna biru yang dibeli Mas Lukas menggunakan uang pesangonku ketika keluar kerja itu sudah kami miliki selama hampir lima tahun juga, sama dengan usia pernikahan kami.

Selama lima tahun ini aku merasa jika keluarga suamiku seperti tak menghargaiku. Mereka selalu merendahkanku, dan juga membeda-bedakanku. 

Sebenarnya jika hanya aku, aku tak masalah. Namun mereka pun ternyata juga membedakan Huda, padahal dia adalah darah daging mereka sendiri.

Ditengah perjalanan, aku teringat oleh perkataan Ayah ketika kami tersambung di telepon tempo hari. Kata-katanya terdengar sangat serius, bahkan beliau juga menyuruhku untuk pulang secepatnya.

"Diana, Ayah baru saja mendapatkan rejeki yang terbilang tak sedikit. Pulanglah, sepertinya Ayah tidak bisa jika menyimpannya sendiri. Ayah dan ibumu ingin, semua ini kamu yang pegang. Terserah mau kamu apakan. Mau buat modal usaha, atau simpanan. Pulanglah, Ayah tidak tenang memegang uang sebanyak ini."

Sampai telepon tertutup, aku sama sekali tidak tahu apa yang dimaksud oleh Ayah. Uang apa? Dan dari mana? Begitu juga dengan jumlahnya. Ayah tak mau terus terang padaku. Katanya, beliau akan jelaskan ketika aku sampai di rumah.

"Dek, kalau sampai di rumah orangtuamu jangan katakan soal Ibu dan Mbak Rita, ya. Aku tidak ingin mereka jelek dimata kedua orangtuamu," tutur Mas Lukas ketika aku sedang memikirkan soal perkataan Ayah disambungan telepon tempo hari.

"Iya," jawabku singkat.

"Terlebih masalah makanan semalam. Aku tidak enak, nanti dikira ibuku pelit dan tidak mau membagi makanannya denganmu."

Bukankah memang seperti itu? Tapi kamu selalu tak percaya dengan semua cerita yang kukatakan padamu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
wanita tolol kayak gini g pantas ditiru. g memberi manfaat karakter tokoh cerita yg punya otak kosong begini. membela anaknya sendiri aja g mampu. cuma ngangkang aja kemampuannya.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Masakan Mertua   Bab 16

    Waktu terus berjalan, kabar tentang Tania yang meninggalkan kota juga sudah sampai di telingaku. Meskipun masih ada sedikit kekhawatiran di hatiku, aku berusaha mempercayai keputusan Pak Arya.Hubungan kami kembali berjalan seperti semula. Bahkan, kini aku merasa ada lebih banyak kejujuran dan keterbukaan dari Pak Arya. Sedangkan aku juga selalu berkata jujur padanya agar tidak lagi.Namun, di tengah kebahagiaanku itu, kabar lain mulai tersebar. Kabar soal Mas Lukas dan keluarganya cukup membuat perhatianku teralihkan. Ternyata, selama ini keluarga Lukas memiliki banyak utang di bank. Karena gagal melunasi cicilan, semua aset mereka disita. Rumah mereka dijual, beberapa barang berharga mereka diambil alih, dan mereka akhirnya harus pindah keluar kota.“Diana, kamu tahu tentang keluarga Mas Lukas? Semua asetnya disita bank. Katanya, Mbak Rita punya pinjaman besar yang tak bisa mereka bayar. Sekarang mereka pindah ke luar kota,” kata salah satu pelanggan yang kebetulan sedan makan di k

  • Masakan Mertua   Bab 15

    Beberapa hari berselang, suasana sibuk mulai menyita pikiranku. Mawar sedang sibuk membungkus pesanan nasi kotak, dan beberapa karyawan lain sibuk dengan pelanggan.Aku berusaha menenangkan diri dan memfokuskan perhatian pada pekerjaan. Apa yang terjadi kemarin aku anggap hanya angin lalu yang tak perlu aku pikirkan. Namun, pikiranku terus melayang-layang, kembali ke wajah perempuan yang beberapa hari yang lalu sempat merusak suasana hatiku. Ada sesuatu tentang cara bicaranya—entah itu rasa cemburu, kebencian, atau mungkin sekadar keputusasaan—yang membuatku merasa harus menyelidiki lebih jauh.Sebenarnya aku ingin sekali percaya pada Pak Arya. Aku lihat sorot keseriusan dalam matanya. Namun tetap, dalam sudut hatiku masih ada sedikit keraguan. Sore itu, setelah semua pesanan selesai, aku duduk di kursi dekat jendela sambil menyeruput teh hangat. Ponselku berdering lagi. Kali ini pesan dari Pak Arya.[Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan. Bisa kita bertemu malam ini?]Aku menarik na

  • Masakan Mertua   Bab 14

    Aku kembali ke kedai dengan kepala yang penuh pertanyaan. Siapa wanita itu? Apa benar dia kekasih Pak Arya? Ataukah ini hanya upaya untuk menjatuhkanku seperti yang sering terjadi sebelumnya?Helaan napas panjang keluar dari bibirku saat aku membuka pintu kedai, aroma kopi dan makanan menyapa hangat, tapi hatiku tetap bergemuruh.Selama ini aku memang tak pernah mendengar desas-desus apapun perihal Pak Arya. Kabarnya tenang, tak ada berita tentang kehidupannya. Mungkin ia sengaja menyembunyikan apapun yang berhubungan dengan masalah pribadinya. Mengingat bahwa dia adalah seorang kepala desa yang mana harus tetap mempertahankan wibawanya. "Ada apa, Mbak? Mukanya kusut begitu," tanya Mawar sambil menata beberapa gelas di rak.Aku menggeleng pelan. "Nggak apa-apa, cuma lagi banyak pikiran," jawabku singkat, karena aku belum ingin bercerita kepada siapapun perihal ini. Terlebih sebelum aku menanyakan langsung pada Pak Arya. Siapa tau, apa yang wanita itu katakan dan apa yang aku pikirka

  • Masakan Mertua   Bab 13

    "Kamu mau menikah?" tanya Mas Lukas yang tiba-tiba menghadangku di tengah jalan. Kebetulan hari ini aku tidak bawa mobil jadi ikut angkutan umum dan turun lumayan jauh dari kedai. Aku terkejut karena tiba-tiba Mas Lukas ada di depanku. Apakah ia memang sudah mengikutiku atau hanya kebetulan saja."Em, belum. Kenapa?"Mas Lukas tersenyum miring dan melirikku tajam. "Bohong," ujarnya dingin.Aku hanya menghela nafas panjang, lalu membalas tatapan elangnya. Memang begitu Mas Lukas sejak dulu. Jika ada yang ia tak suka dariku, pasti ia akan menatapku seperti itu. "Benar ataupun tidak, memangnya kenapa? Ada masalah apa denganmu, Mas?""Aku tidak rela jika Huda memiliki ayah baru."Mulutku menganga, "lantas?""Kamu tahu yang aku maksud dan jangan berbelit-beli, Diana."Aku terkekeh kecil, Mas Lukas memang pandai bergurau. Namun kali ini aku tidak berniat bergurau soal ini. Seharusnya dia sudah tidak berani menampakkan wajahmya di depanku, terlebih sejak kejadian Mbak Rita kemarin. Namun

  • Masakan Mertua   Bab 12

    Udara pagi ini terasa sejuk dengan mentari pagi menyapa lembut dedaunan yang berembun. Biasanya aku tak bersemangat ini jika hendak ke kedai. Namun hari ini aku terlihat sangat bersemangat. “Selamat pagi, Mbak Diana” sapa Pak Arya ramah membuatku terkejut. Bagaimana bisa sepagi ini dia sudah sampai di kedai. Biasanya dia dan anaknya datang pukul sembilan atau sepuluh. Aku membalas senyumnya, mencoba menyembunyikan debar di dadaku. “Selamat pagi, Pak Arya. Pagi, Aira,” balasku, tak lupa mengusap lembut kepala gadis kecil itu.Setelah beberapa menit berbasa-basi, aku akhirnya menarik napas panjang dan berkata, “Pak Arya, saya ingin bicara serius mengenai apa yang Bapak sampaikan kemarin.”Wajah Pak Arya berubah serius namun tetap lembut. Ia menatapku dengan penuh perhatian. “Tentu. Apa yang ingin kamu sampaikan?” jawabnya membuatku takut dan hendak mengurungkan niatku. Aku merapatkan kedua tanganku di atas meja, mencoba merangkai kata-kata yang tepat. “Saya sudah memikirkan apa yang

  • Masakan Mertua   Bab 11

    Malam itu, setelah Aira bertanya dengan polosnya tentang "ibu baru," pikiranku dipenuhi banyak hal. Aku tahu, waktunya sudah tiba untuk berbicara dengan Huda. Sebagai anakku, pendapatnya sangat berarti. Aku tak ingin mengambil langkah besar tanpa memastikan bahwa Huda merasa nyaman dengan perubahan ini.Setelah makan malam, kami duduk di ruang tamu. Huda sedang menggambar sesuatu di buku gambarnya, seperti biasa. Aku duduk di sampingnya, merapikan rambutnya yang mulai panjang."Huda, Ibu mau ngomong sesuatu sama kamu," kataku pelan.Dia mengangkat wajahnya, tersenyum kecil, dan meletakkan pensilnya. "Apa, Bu?"Aku mengatur napas, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Kamu tahu kan, sekarang kita sering ketemu sama Pak Arya dan Aira?"Huda mengangguk dengan semangat. "Iya, Ma. Aku suka main sama Aira. Dia lucu, nggak seperti anak-anak lain yang suka ganggu."Aku tersenyum, lega mendengar antusiasmenya. "Bagaimana menurut kamu tentang Pak Arya? Mama lihat kamu juga sering ngobrol sama

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status