"Mas, kalau siang ketika kamu kerja, Ibu itu tidak pernah membagi makanannya denganku. Katanya Ibu tidak masak, ataupun kalau masak pasti cuma sayur sisa. Semua masakan yang beliau buat selalu dihidangkan ketika kamu pulang. Semua cerita yang dikatakan kalau aku sudah makan lauk sejak pagi, itu bohong."
"Ah, mana mungkin seperti itu, Dek. Ibu orangnya nggak kaya gitu kok."
Bibirku serasa bosan berkata seperti itu pada Mas Lukas. Di dua tahun pernikahan kami, aku sudah sangat sering berkata seperti itu tapi Mas Lukas sama sekali tidak percaya padaku.
Kenapa aku bisa bertahan sampai lima tahun? Anakku, Huda, butuh ayahnya. Aku tak mungkin egois dengan meminta cerai atau berpisah dengan Mas Lukas hanya karena masalah ini. Lagipula, aku malu dengan orangtuaku jika sampai bercerai. Ayah dan ibuku sudah sangat percaya padaku jika aku bisa memilih lelaki yang bisa membahagiakanku. Serasa lucu jika tiba-tiba aku pulang dan bercerai.
Sebenarnya aku juga sedih dengan perlakuan mertuaku itu. Terlebih sikap Mas Lukas yang serasa tak perduli dengan perkataanku.
Selama lima tahun ini aku masih bisa menahan, tapi entah sampai kapan lagi aku bertahan dalam keadaan seperti ini. Sekarang, Huda sudah beranjak dewasa, aku tak punya alasan lagi untuk sedikit tegas pada ayahnya.
"Em, Mas ... Aku mau ngomong," kataku di tengah perjalan kami. Pikiranku melayang, berbagai kenangan masalalu tiba-tiba saja melintas dan rasanya aku sudah tak tahan lagi.
Hampir setiap hari aku diperlakukan berbeda oleh mertuaku. Entah apa alasannya, tapi beliau selalu menganggapku rendah dan berbeda. Namun ketika di depan Mas Lukas, beliau akan bersikap semanis madu.
"Ngomong apa, Dek? Ngomong aja," jawabnya dengan fokus pada perjalanan kami.
"Sebenarnya aku sama Huda selalu dibedakan oleh ibumu. Kenapa ya, Mas? Nggak seperti Mbak Rita dan Bara."
Mas Lukas melirikku dari kaca spion. Raut wajahnya berubah. Memang seperti itu dirinya, selalu tak suka jika aku menyinggung soal ibunya.
"Dibedakan bagaimana? Bukannya sama saja? Mbak Rita makan, kamu juga makan. Dia makan daging kamu juga makan," ujarnya dingin.
"Itukan yang kamu lihat, Mas? Setiap siang, Ibu tidak pernah berlaku adil padaku dan Mbak Rita. Bahkan kepada Huda pun begitu. Kenapa kamu tidak pernah mau percaya padaku?"
"Bukannya aku tidak percaya, tapi memang begitu kan yang kulihat."
"Iya memang itu yang kamu lihat, tapi tidak begitu jika kamu tidak ada!" Nada bicaraku semakin tinggi ketika Mas Lukas masih saja tak percaya padaku.
"Bahkan kamu lihat sendiri kan semalam waktu Huda merengek minta ayam goreng? Apa reaksi ibumu?"
"Oh iya, darimana semalam kamu dapat uang, Dek? Masa iya uangmu masih?" tanya Mas Lukas terdengar mengalihkan pembicaraan.
Aku menghela nafas panjang, "jangan mengalihkan pembicaraan, Mas."
"Sudahlah, Diana. Aku tidak suka kamu menjelek-jelekkan ibuku seperti itu. Suka atau tidak suka, dia tetap ibuku, dan kamu wajib menghormatinya. Aku tidak mau jadi anak durhaka hanya karena masalah seperti ini. Toh kalian sama-sama kenyang, kan?"
"Aku punya bukti, Mas. Dan kamu harus percaya padaku. Nanti kalau sampai di rumah Ibu, akan kutunjukkan padamu," tandasku dengan penuh penekanan dan dengan rasa geram.
Tak sekali dua kali Mas Lukas bersikap demikian, dan sekarang rasanya aku sudah muak dengan sikapnya yang seperti itu. Membawa anak perempuan orang, tapi dia tak mau mempercayaiku.
..
Kedatanganku dan Mas Lukas serta Huda disambut hangat oleh Ayah dan Ibu. Mereka terlihat sangat senang, terlebih Huda adalah cucu pertamanya.
"Istirahat saja dulu, biar Huda bersama kami," ucap Bapak dengan menggendong Huda ke depan.
Aku hanya mengangguk, lalu masuk ke dalam kamar yang dulu menjadi tempatku ketika belum menikah. Rasanya aku selalu rindu dengan ruangan ini karena di tempat inilah aku menghabiskan hampir seluruh waktu luangku.
Mas Lukas masih terdiam usai pertengkaran kecil kami di atas motor beberapa saat yang lalu. Sepertinya dia marah padaku, tapi kali ini aku tak terlalu memperdulikannya.
"Ini Mas yang kubicarakan tadi. Dengarlah," kataku dengan menyodorkan sebuah rekaman suara.
Di sana aku sengaja merekam suara ibu mertuaku yang tengah marah. Seharusnya Mas Lukas percaya setelah ini.
Rekaman kuambil selama dua menit. Ada beberapa percakapan yang tertangkap, dan di sana jelas terlihat kalau Ibu sangat tidak suka denganku.
"Kamu keterlaluan, Dek. Seharusnya kamu tidak seperti ini. Ibu sudah membesarkanku, menyekolahkanku, tapi kenapa sekarang justru seperti ini balasanmu."
Kedua mataku membola. Mas Lukas tetap masih tak percaya padaku?
"Ka-kamu masih belum percaya, Mas?"
"Bukannya aku tidak percaya, tapi aku hanya tidak ingin berdebat dengan Ibu. Aku takut jadi anak durhaka!" jawabnya dengan nada sedikit keras lalu keluar kamar.
Kedua bahuku naik turun. Amarahku serasa sudah sampai di ubun-ubun. Sekuat apapun aku membuktikan pada Mas Lukas, sepertinya ia tak akan percaya dengan perkataanku.
Jika seperti ini, apa aku harus tetap tinggal di rumah Ibu dan Ayah? Rasanya aku sudah tak tahan lagi berada di rumah itu.
Jika pun kedua orangtuaku tahu masalah ini, pasti mereka juga tak terima dengan perlakuan keluarga Mas Lukas. Aku juga sudah dibesarkan oleh kedua orangtuaku, mereka menyekolahkanku dan memberikan kasih sayang penuh kepadaku. Lalu, apa bedanya dengannya? Apa orangtuaku juga akan terima jika tahu soal masalah ini?
Ah, Mas Lukas harus tahu kalau aku tidak bisa terus menerus diperlakukan seperti ini. Dia boleh egois, tapi aku juga bisa membalas sikap egoisnya.
Pov Rita II"Rita, makan dulu. Jangan siksa dirimu dengan mengurung diri di kamar. Kasian Bara," ucap Ibu dari luar kamar, tapi sedikitpun aku tak menanggapinya.Sejak kepulangan Mas Irwan kemarin, aku masih saja mengurung diri di dalam kamar. Rasanya duniaku seperti runtuh. Harapan dan angan-angan yang kubayangkan selama ini harus kandas begitu saja.Semua yang kuimpikan sejak dulu harus hilang dan sia-sia. Mas Irwan, suami yang kubanggakan nyatanya bisa bersikap demikian. Dia tak ubahnya seperti serigala berbulu domba. Aku pikir kepergiannya keluar negeri memang murni karena ingin mencari nafkah untuk anak dan istrinya. Nyatanya aku salah, kepulangannya justru menjadi bencana bagiku.Rumah mewah, kendaraan pribadi, hal itulah yang menjadi angan-anganku beberapa tahun belakangan ini. Semua sudah hampir terwujud, bahkan aku sampai mengosongkan perutku agar tabunganku semakin banyak. Namun ternyata, semua itu justru dirampas kembali oleh Mas Irwan dengan mudah. Dan lebih parahnya lagi
Pov Rita[Besok aku akan pulang, tolong siapkan semua tabunganku]Kedua mataku menyipit, Mas Irwan pulang? Bukankah kontraknya masih setahun lagi? Dan kenapa dia bicara soal tabungan. Tabungannya dia bilang?[Kamu bercanda, Mas?][Tidak. Aku serius. Tunggu aku di rumah]Meskipun ada sesuatu yang mengganjal dalam hatiku, tapi aku berusaha berfikir positif. Mungkin Mas Irwan ingin memberiku kejutan.Ah, suamiku itu memang paling bisa membuatku bahagia. Meskipun kami dipisahkan oleh jarak yang sangat jauh, tapi dia selalu membuatku bahagia setiap waktu. Mas Irwan adalah lelaki terbaik yang pernah kukenal, dia selalu memanjakanku dan membuatku bahagia.[Tapi, bukankah kontrakmu masih setahun lagi, Mas?]Pesanku tak lantas di balas, mungkin ia sedang sibuk di luar negeri sana. Lagipula sudah bisa berhubungan dengannya saja aku sangat bersyukur.Beruntung, dijaman sekarang ini sudah sangat canggih sehingga beda negara pun kami masih bisa saling mengirimkan kabar. Meskipun aku tinggal jauh,
"Mas Irwan?"Aku mengangguk ketika Mas Lukas mengulangi kata-kataku. "Iya, Mas Irwan. Awalnya aku tak sengaja menabrak wanita hamil, dan ternyata itu adalah istri muda Mas Irwan. Dia membawa wanita itu pergi, tapi tak berselang lama ketika aku di toko buah Mas Irwan mendatangiku lagi," terangku, kali ini aku menatapnya.Wajah Mas Lukas terlihat marah. Wajar saja, adik mana yang tak marah ketika melihat kakaknya menderita. Meskipun mungkin itu semua adalah karma atas apa yang sudah dilakukan Mbak Rita selama ini."Lalu? Apa yang dia perbuat? Jika aku bertemu dengannya, rasanya ingin sekali kupenggal kepalanya." Nada bicara Mas Lukas penuh amarah, sepertinya dia benar-benar benci dengan lelaki yang menjadi iparnya itu.Aku menghela nafas panjang mendengar penuturan Mas Lukas. "Tidak usah seperti itu. Toh kamu sendiri juga belum sepenuhnya sempurna menjadi seorang imam. Semua orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing, kan?"Mas Lukas menundukkan kepalanya, sepertinya dia menyada
Pada akhirnya aku membiarkan ibu mertuaku dan Mas Lukas pergi dari kediamanku. Kami telah setuju jika masalah ini akan diselesaikan oleh Mas Lukas selaku adik dari Mbak Rita. Lagipula aku juga tidak tahu harus berbuat apa di sana nanti, terlebih Mbak Rita tidak pernah bersikap baik kepadaku.Aku menatap iba pada ibu mertuaku yang sudah naik ke atas motor Mas Lukas. Meskipun dulu beliau sempat berbuat yang tak baik kepadaku, tapi bagaimanapun juga dia tetap lah seorang ibu dari lelaki yang saat ini hidup denganku.Sebisa mungkin rasa benci dan sakit hatiku terhadapnya kuhapus karena aku tidak ingin menyakiti diriku sendiri dengan memendam penyakit dalam hati. Biarlah, kuserahkan semuanya kepada Tuhan Yang Maha Esa.Saat motor Mas Lukas telah tak terlihat olehku, aku baru tersadar jika hari ini semua kebutuhan rumah sudah habis. Mau tak mau aku harus ke pasar bersama Huda tentunya, karena aku tak mungkin meninggalkannya sendirian di rumah.Gegas aku bersiap-siap, dan mengajak Huda ke pas
"Bu, bagaimana keadaanmu? Apa sudah mendingan?" tanya Mas Lukas lagi ketika Ibu belum menjawab perkataan sebelumnya."Aku sudah baik, seperti yang kamu lihat."Terdengar sedikit ketus, tapi bagiku itu bukan hal baru lagi karena Ibu memang selalu seperti itu kepadaku. Namun yang aneh bagiku adalah sikap yang Ibu tunjukkan pada Mbak Rita. Kenapa sekarang jadi begini? Bukankah selama ini Ibu terlihat sangat melindungi anak perempuannya itu."Syukurlah, kemarin Mbak Rita menemuiku kasih kabar kalau Ibu sakit. Memangnya kenapa, Bu? Apa masih ada hubungannya sama renovasi dapur? Bukankah Lukas sudah katakan kalau ....""Sudahlah, jangan sok perduli pada Ibu. Kamu urus saja hidupmu itu."Sejujurnya saja aku sedikit heran dengan sikap Ibu. Tak biasanya beliau seperti ini. Apa mungkin, Ibu bersikap seperti ini karena telah ditinggalkan oleh Mas Lukas?"Bu, bukannya begitu. Lagipula Lukas tak punya uang sebanyak itu, Ibu tahu sendiri kerjaan Lukas itu seperti apa," tandas Mas Lukas merendah, ta
Pada akhirnya aku ikut dengan Mas Lukas ke rumah Ibu, Huda kubawa serta karena memang tidak ada yang menjaga di rumah. Semenjak kepindahanku ke kontrakan pun aku belum sempat mengunjungi orangtuaku karena kesibukan di kedai sangat padat. Lagipula aku juga masih berbenah kontrakan dan aku takut jika kabar yang kubawa akan membuat mereka semakin kepikiran.Sepanjang perjalanan Mas Lukas hanya diam. Dia tak banyak bicara seperti biasanya. Mungkin dia sedang memikirkan ibunya yang kata Mbak Rita mogok makan karena perihal renovasi dapur.Sebelum berangkat, aku sudah sepakat dengan Huda jika dia tidak boleh berbuat macam-macam di rumah neneknya. Aku takut jika nanti Huda akan rewel selama di sana."Em, kita nggak mampir beli oleh-oleh dulu, Mas?" tanyaku basa-basi, tak lain hanya untuk membuka pembicaraan."Nggak usah. Kita langsung kesana aja, aku pengen lihat kondisi Ibu."Kuanggukkan kepalaku, lalu meliriknya lewat pantulan kaca spion. Mas Lukas tampak serius mengendarai motornya, sedan
"Bagaimana keadaannya, Pak? Maaf saya belum bisa berkunjung," ucapku lewat sambungan telepon dengan Pak Nias.Diseberang sana kudengar sangat ramai, entah beliau sedang ada dijalan atau memang usaha kami yang ramai. Harapanku usaha yang tengah kudirikan ini bisa berkembang dengan cepat, mengingat jika makanan adalah kebutuhan pokok bagi semua orang. Dan aku pun yakin jika masakan-masakannya pun juga enak."Wah, saya sampai kewalahan, Mbak. Dulu saat masih menjadi milik saya tidak sampai seperti ini. Nanti saya akan kirimkan hasil laba seminggu ini pada Anda, rasanya seminggu ini saja sudah bisa menutup modal awal yang Mbak keluarkan," tuturnya membuatku tertegun."Apa saya tidak salah dengar?""Tidak. Silahkan kesini jika Mbak Diana tidak percaya. Sepertinya kita juga harus mencari karyawan lagi karena pelanggan begitu banyak.""Alhamdulillah, berarti ini rejeki kita, Pak," ujarku dengan penuh rasa syukur."Ah, tidak. Ini sih karena rejeki Mbak Diana yang bagus, buktinya dulu waktu ma
Tepat dua hari, seperti yang Mas Lukas janjikan, dia benar-benar datang dan menjemputku serta Huda. Raut wajahnya sumeringah, tapi kulihat ada setitik kesedihan di dalamnya."Ibu sudah tahu soal ini?" tanyaku memecah keheningan.Kebetulan siang ini waktu menginapku sudah habis, mau tak mau aku juga harus segera keluar. Huda pun nampaknya juga tidak nyaman berada di tempat ini."Sudah," jawabnya singkat."Lalu?""Sudah, tidak usah bahas itu sekarang. Yang penting kamu ikut denganku dulu."Aku hanya mengangguk, lalu menuntun Huda dan mengikutinya. Entah Mas Lukas akan membawa kami kemana, aku menurut saja dengannya. Semoga kali ini dia tak lagi-lagi mengecewakanku.Mas Lukas menghentikan angkot, lalu membawaku melesat meninggalkan tempat penginapan. "Bu, kenapa tidak naik mobil bagus seperti kemarin lagi?" tutur Huda polos."Em ... Itu ....""Kita naik ini saja dulu, Sayang. Uang Ayah habis untuk membayar kontrakan," jawab Mas Lukas sebelum aku melontarkan kata-kata."Bu, besok kalau a
Pov Lukas"Mana mungkin Lukas kaya gitu, Bu? Dia kan lebih percaya sama omongan Ibu. Udah, Ibu bilang gitu aja nanti dia pasti percaya," tutur Mbak Rita terdengar aneh ketika aku baru selesai mandi.Mungkin mereka tidak tahu jika aku sudah di depan pintu dapur, karena aku memang belum lama masuk ke dalam rumah. Kacamataku tertinggal di kamar mandi, dan hal itulah yang membuatku kembali ke sana.Namun baru sampai di depan pintu dapur aku mendengar pembicaraan aneh antara Mbak Rita dan Ibu. Entah apa yang sedang mereka bicarakan tapi mereka menyebut namaku."Eheemm ...." Aku berdehem lalu masuk ke dapur dan berlalu ke kamar mandi guna mengambil kacamataku.Mata sebelah kananku sedikit bermasalah karena minus, kadang aku memang menggunakan kacamatanya untuk membantuku melihat agar lebih jelas. Namun tak setiap saat kugunakan, rasanya aku kurang begitu percaya diri jika menggunakannya setiap saat. Padahal Diana sudah menyuruhku untuk menggunakannya terus, katanya biar tidak tambah parah.