Share

Bab 3

Penulis: Jingga Amelia
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-15 10:48:41

"Mas, kalau siang ketika kamu kerja, Ibu itu tidak pernah membagi makanannya denganku. Katanya Ibu tidak masak, ataupun kalau masak pasti cuma sayur sisa. Semua masakan yang beliau buat selalu dihidangkan ketika kamu pulang. Semua cerita yang dikatakan kalau aku sudah makan lauk sejak pagi, itu bohong."

"Ah, mana mungkin seperti itu, Dek. Ibu orangnya nggak kaya gitu kok."

Bibirku serasa bosan berkata seperti itu pada Mas Lukas. Di dua tahun pernikahan kami, aku sudah sangat sering berkata seperti itu tapi Mas Lukas sama sekali tidak percaya padaku.

Kenapa aku bisa bertahan sampai lima tahun? Anakku, Huda, butuh ayahnya. Aku tak mungkin egois dengan meminta cerai atau berpisah dengan Mas Lukas hanya karena masalah ini. Lagipula, aku malu dengan orangtuaku jika sampai bercerai. Ayah dan ibuku sudah sangat percaya padaku jika aku bisa memilih lelaki yang bisa membahagiakanku. Serasa lucu jika tiba-tiba aku pulang dan bercerai.

Sebenarnya aku juga sedih dengan perlakuan mertuaku itu. Terlebih sikap Mas Lukas yang serasa tak perduli dengan perkataanku. 

Selama lima tahun ini aku masih bisa menahan, tapi entah sampai kapan lagi aku bertahan dalam keadaan seperti ini. Sekarang, Huda sudah beranjak dewasa, aku tak punya alasan lagi untuk sedikit tegas pada ayahnya. 

"Em, Mas ... Aku mau ngomong," kataku di tengah perjalan kami. Pikiranku melayang, berbagai kenangan masalalu tiba-tiba saja melintas dan rasanya aku sudah tak tahan lagi.

Hampir setiap hari aku diperlakukan berbeda oleh mertuaku. Entah apa alasannya, tapi beliau selalu menganggapku rendah dan berbeda. Namun ketika di depan Mas Lukas, beliau akan bersikap semanis madu.

"Ngomong apa, Dek? Ngomong aja," jawabnya dengan fokus pada perjalanan kami.

"Sebenarnya aku sama Huda selalu dibedakan oleh ibumu. Kenapa ya, Mas? Nggak seperti Mbak Rita dan Bara."

Mas Lukas melirikku dari kaca spion. Raut wajahnya berubah. Memang seperti itu dirinya, selalu tak suka jika aku menyinggung soal ibunya.

"Dibedakan bagaimana? Bukannya sama saja? Mbak Rita makan, kamu juga makan. Dia makan daging kamu juga makan," ujarnya dingin.

"Itukan yang kamu lihat, Mas? Setiap siang, Ibu tidak pernah berlaku adil padaku dan Mbak Rita. Bahkan kepada Huda pun begitu. Kenapa kamu tidak pernah mau percaya padaku?"

"Bukannya aku tidak percaya, tapi memang begitu kan yang kulihat."

"Iya memang itu yang kamu lihat, tapi tidak begitu jika kamu tidak ada!" Nada bicaraku semakin tinggi ketika Mas Lukas masih saja tak percaya padaku.

"Bahkan kamu lihat sendiri kan semalam waktu Huda merengek minta ayam goreng? Apa reaksi ibumu?"

"Oh iya, darimana semalam kamu dapat uang, Dek? Masa iya uangmu masih?" tanya Mas Lukas terdengar mengalihkan pembicaraan.

Aku menghela nafas panjang, "jangan mengalihkan pembicaraan, Mas."

"Sudahlah, Diana. Aku tidak suka kamu menjelek-jelekkan ibuku seperti itu. Suka atau tidak suka, dia tetap ibuku, dan kamu wajib menghormatinya. Aku tidak mau jadi anak durhaka hanya karena masalah seperti ini. Toh kalian sama-sama kenyang, kan?"

"Aku punya bukti, Mas. Dan kamu harus percaya padaku. Nanti kalau sampai di rumah Ibu, akan kutunjukkan padamu," tandasku dengan penuh penekanan dan dengan rasa geram.

Tak sekali dua kali Mas Lukas bersikap demikian, dan sekarang rasanya aku sudah muak dengan sikapnya yang seperti itu. Membawa anak perempuan orang, tapi dia tak mau mempercayaiku.

..

Kedatanganku dan Mas Lukas serta Huda disambut hangat oleh Ayah dan Ibu. Mereka terlihat sangat senang, terlebih Huda adalah cucu pertamanya. 

"Istirahat saja dulu, biar Huda bersama kami," ucap Bapak dengan menggendong Huda ke depan.

Aku hanya mengangguk, lalu masuk ke dalam kamar yang dulu menjadi tempatku ketika belum menikah. Rasanya aku selalu rindu dengan ruangan ini karena di tempat inilah aku menghabiskan hampir seluruh waktu luangku.

Mas Lukas masih terdiam usai pertengkaran kecil kami di atas motor beberapa saat yang lalu. Sepertinya dia marah padaku, tapi kali ini aku tak terlalu memperdulikannya.

"Ini Mas yang kubicarakan tadi. Dengarlah," kataku dengan menyodorkan sebuah rekaman suara.

Di sana aku sengaja merekam suara ibu mertuaku yang tengah marah. Seharusnya Mas Lukas percaya setelah ini.

Rekaman kuambil selama dua menit. Ada beberapa percakapan yang tertangkap, dan di sana jelas terlihat kalau Ibu sangat tidak suka denganku.

"Kamu keterlaluan, Dek. Seharusnya kamu tidak seperti ini. Ibu sudah membesarkanku, menyekolahkanku, tapi kenapa sekarang justru seperti ini balasanmu."

Kedua mataku membola. Mas Lukas tetap masih tak percaya padaku?

"Ka-kamu masih belum percaya, Mas?"

"Bukannya aku tidak percaya, tapi aku hanya tidak ingin berdebat dengan Ibu. Aku takut jadi anak durhaka!" jawabnya dengan nada sedikit keras lalu keluar kamar.

Kedua bahuku naik turun. Amarahku serasa sudah sampai di ubun-ubun. Sekuat apapun aku membuktikan pada Mas Lukas, sepertinya ia tak akan percaya dengan perkataanku.

Jika seperti ini, apa aku harus tetap tinggal di rumah Ibu dan Ayah? Rasanya aku sudah tak tahan lagi berada di rumah itu.

Jika pun kedua orangtuaku tahu masalah ini, pasti mereka juga tak terima dengan perlakuan keluarga Mas Lukas. Aku juga sudah dibesarkan oleh kedua orangtuaku, mereka menyekolahkanku dan memberikan kasih sayang penuh kepadaku. Lalu, apa bedanya dengannya? Apa orangtuaku juga akan terima jika tahu soal masalah ini?

Ah, Mas Lukas harus tahu kalau aku tidak bisa terus menerus diperlakukan seperti ini. Dia boleh egois, tapi aku juga bisa membalas sikap egoisnya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Masakan Mertua   Bab 28

    Pagi harinya aku sudah bersiap-siap hendak ke rumah mertuaku. Meskipun sedikit lesu, tapi aku sudah memantapkan hatiku untuk mengakhiri ini semua.Rasa-rasanya aku hanya dijadikan sapi perah oleh mereka. Saat mereka butuh, mereka memperlakukanku dengan baik. Sikap baik mereka nyatanya tidak tulus, mereka hanya menginginkan sesuatu dariku."Waah, kamu cantik sekali," puji Mas Lukaa ketika masuk ke dalam kamar dan aku baru selesai bersolek.Huda sudah kudandani juga, tak mungkin rasanya jika aku harus meninggalkannya sendiri meski aku hendak menghadapi masalah yang tak sepele. Masa depan Huda ada digenggaman tanganku, tapi aku memilih jalan ini. Semoga saja, pilihanku tak keliru, aku akan tetap memastikan kebahagiaan untuk anak lelaki itu."Memang biasanya tidak cantik, Mas?" balasku, tapi sedikitpun aku tak berani menatap wajahnya.Bukan karena apa, aku tidak ingin hatiku bergetar lagi jika melihatnya. Rasa cintaku untuk Mas Lukas masih membuncah, tapi aku tak tahu bagaimana jalan fiki

  • Masakan Mertua   Bab 27

    "Mbak, gimana kabar lelaki yang kemarin merusak kedai?" tanya Pak Nias ketika aku baru sampai.Aku yang semula fokus memperhatikan beberapa pelanggan lantas menolehnya. Pak Nias merupakan orang yang sangat baik, dia bahkan memikirkan nasib kedai ini. Padahal dulu ia adalah pemilik dari tempat ini. Mungkin justru karena itulah ia sangat sayang dengan tempat ini karena dulunya ia lah yang membangun dan merintisnya daeri bawah."Dia cuma kena denda, Pak.""Lho, nggak dihukum?"Kugelengkan kepalaku, "awalnya begitu, tapi waktu aku lihat istri mudanya nangis-nangis dan mohon-mohon supaya aku bebaskan jadi iba. Akhirnya aku hanya memilih jalur damai, tapi tetap ada denda," jawabku dengan lantas mengikutinya masuk.Pak Nias hanya menganggukkan kepala. Sepertinya ia tak ingin bertanya lebih banyak, karena ia justru langsung mengambil buku yang biasa ia gunakan untuk laporan kepadaku."Pak, apa ada uang lima belas juta di kedai?" tanyaku yang sontak membuatnya terkejut."Lima belas juta?" ungk

  • Masakan Mertua   Bab 26

    "Lima belas juta?" tanyaku mengulangi kata-katanya.Mas Lukas mengangguk, lalu mengalihkan pandangan dariku. Entah apa yang sedang ia pikirkan, aku benar-benar sedang tak bisa menebaknya."Iya. Aku malu di ejek orang-orang. Mereka selalu mengataiku jika aku hanya menumpang hidup denganmu. Sekarang usahamu sudah maju, dan mereka semua tahu apa pekerjaanku. Aku malu, sebagai kepala keluarga tidak bisa memberimu yang terbaik."Suamiku itu memandang keluar jendela. Sebelumnya aku tak pernah melihat Mas Lukas bersikap demikian. Selama ini pun aku juga tak pernah mempermasalahkan soal pekerjaan dan penghasilan yang ia dapat."Kenapa harus begitu? Bukankah selama ini aku tak pernah mempermasalahkan soal hal itu, Mas? Bahkan sejak masih di rumah Ibu pun aku menerimamu, berapapun uang yang kamu berikan," sanggahku.Sebenarnya bukan karena aku tidak ada uang, atau aku tidak ingin suamiku memiliki usaha sepertiku. Namun aku ingin benar-benar memastikan soal niatnya itu. Aku tak ingin jika apa ya

  • Masakan Mertua   Bab 25

    Dadaku bergemuruh saat taksi online yang kutumpangi berputar arah sesuai alamat yang kuberikan. Pak Nias tak mungkin bohong kepadaku, terlebih soal seperti ini.Kuremas ujung bajuku, rasanya hatiku teramat sakit. Ada saja ujian dalam hidupku. Padahal aku baru saja hendak merasakan kebahagiaan. Semoga saja, ini bukan masalah yang berarti.Setelah beberapa saat akhirnya kendaraan yang kutumpangi sampai di kedai. Nampak beberapa orang lalu lalang, ada juga yang sibuk dengan ponselnya. Sepertinya beberapa dari mereka mengambil gambar atau video.Aku melirik Huda. Bahkan aku lupa jika ada anak kecil bersamaku. Rasanya tak aman jika aku membiarkan anakku ini ikut turun bersamaku."Pak, tolong jaga anak saya. Berapa tagihannya nanti akan saya bayar. Sekarang biarkan saya menyelesaikan masalah di depan sana," tuturku sebelum turun dan meninggalkan Huda.Beruntung, aku mendapat seorang sopir yang sangat baik dan anakku pun bukan tipe anak yang suka membangkang. Huda sangat mengerti keadaan ibu

  • Masakan Mertua   Bab 24

    Pada akhirnya Mas Lukas berjalan mendekati kamar Mbak Rita dan mengetuknya. Sedangkan aku hanya duduk di ruang tamu sendirian, karena Huda sudah asik bermain dengan Bara. Lama tak jumpa membuat Huda dan Bara saling rindu.Rumah ini tak banyak berubah setelah aku keluar dari sini. Hanya saja jika mau mengakui memang sedikit berantakan daripada dulu ketika aku masih tinggal di sini. Mungkin Ibu ataupun Mbak Rita tak punya cukup waktu untuk membersihkan rumah, atau bagaimana aku juga tak tahu.Kuambil ponselku, memeriksa beberapa pesan Pak Nias yang masuk dan belum sempat kubalas. Usaha yang kudirikan atas bimbingan Pak Nias kini berjalan sangat pesat. Bahkan aku sudah hampir mengembalikan modal awal ketika membuka usaha itu.Sedikit banyaknya aku bisa bernafas lega karena kini satu persatu masalah dan hal-hal yang mempersulit hidupku selesai satu persatu. Semoga saja, ini merupakan akhir dari penderitaanku kemarin. Sekarang aku benar-benar hanya ingin fokus pada kebahagiaanku dan Huda.

  • Masakan Mertua   Bab 23

    Pov Rita II"Rita, makan dulu. Jangan siksa dirimu dengan mengurung diri di kamar. Kasian Bara," ucap Ibu dari luar kamar, tapi sedikitpun aku tak menanggapinya.Sejak kepulangan Mas Irwan kemarin, aku masih saja mengurung diri di dalam kamar. Rasanya duniaku seperti runtuh. Harapan dan angan-angan yang kubayangkan selama ini harus kandas begitu saja.Semua yang kuimpikan sejak dulu harus hilang dan sia-sia. Mas Irwan, suami yang kubanggakan nyatanya bisa bersikap demikian. Dia tak ubahnya seperti serigala berbulu domba. Aku pikir kepergiannya keluar negeri memang murni karena ingin mencari nafkah untuk anak dan istrinya. Nyatanya aku salah, kepulangannya justru menjadi bencana bagiku.Rumah mewah, kendaraan pribadi, hal itulah yang menjadi angan-anganku beberapa tahun belakangan ini. Semua sudah hampir terwujud, bahkan aku sampai mengosongkan perutku agar tabunganku semakin banyak. Namun ternyata, semua itu justru dirampas kembali oleh Mas Irwan dengan mudah. Dan lebih parahnya lagi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status