"Ini dia!" Sabil berseru senang."Berkas pernikahan yang sudah kuajukan ke pengadilan. Secara hukum, Halimah adalah istri Sabil Muttaqin. Jadi aku akan memperkarakannya Kalian bersiap saja!" Sabil kembali tersenyum."Apa?!" Mata Halimah dan Nabil melebar karena kaget. Dia dan buleknya pikir pria itu akan memberitahu soal aset milik Nabil yang dipindahnamakan."Apa kamu punya otak?!" maki Halimah. "Jangan marah Sayang, setiap hari kamu tinggal bersamaku. Tapi masa iya lebih memilih Nabil?""Heh ya! Kamu punya iman bukan? Bukannya yang mengucap akad nikah adalah Nabil? Akulah yang tak punya otak, kalau mau tinggal setiap hari bersamamu, Sabil!" Halimah bicara meletup-letup sampai Nabil memeluk bahunya."Oh, jadi ... masalahnya adalah ... akad nikah. Baiklah." Sabil manggut-manggut. "Cepat kamu ceraikan dia Nabil!" Tatapannya berubah ke arah pria di samping Halimah. "Lalu setelah genap tiga bulan aku akan melakukan akad yang sebenarnya."Nabil geleng-geleng. Dia baru melihat wajah asl
Setelah membayar dan membawa bungkusan makanan, Rendra akhirnya memutuskan ke luar. Namun, saat ingat sesuatu pria itu pun berbalik dan bertanya sesuatu ke salah satu waiter."Permisi, Mbak.""Ya, Mas?" Waiter yang tengah sibuk membereskan meja itu menoleh pada Rendra."Mbak, itu yang kerja cuci piring pulangnya jam berapa, ya?" "Oh, siapa? Mbak Fatma? Atau Mbak Nisa yang masuk sift berikutnya?""Ehm. Itu, Fatma.""Biasanya sebelum tamu malam datang, mungkin sekitar sejam lagi." Waiter itu menjawab. "Oh, begitu. Oya Mbak tau tempat tinggalnya?""Siapa?" Mata gadis waiter melebar. "Oh, Mbak Fatma?" tebaknya, karena sebelum ini pria tampan itu menanyakan kapan Fatma akan pulang."Di mess pegawai, Mas. Nggak jauh dari sini, sih.""Oh, begitu.""Maaf, saya harus kembali bekerja." Gadis itu pun berpamitan."Oh, ya. Baik. Terimakasih." Rendra pun melangkah menjauh meninggalkannya.Sebelum kembali ke luar, pria itu celingukan mencari sosok Fatma. Namun, tak terlihat karena ada dinding pen
"Apa kamu mau aku temani malam ini?" tanya Rendra tanpa ragu."Hah?" Fatma melebarkan mata. Tak percaya dan bingung sekaligus. Menolak, tapi takut sendirian. Menerimanya tapi takut fitnah. Karena menemani, artinya Rendra akan menginap bersamanya.Ia tak mengerti kenapa harus selalu ada kondisi yang mengharuskannya berduaan dengan Rendra. Belum lagi ... pria itu juga sempat menciumnya."Halo, Nona!" seru Rendra yang membuat Fatma terenyak kaget. "Ah, maaf tapi ... kita bukan mahram." "Hahaha." Rendra tertawa lepas. Sesuatu yang membuat Fatma mengerutkan kening bingung. Kenapa pria itu malah terbahak. Ini bukan hal yang lucu."Ahm. Sorry, sorry." Tawa dokter muda itu mereda."Ya, Dok. Ini sebenernya nggak lucu. Walau pun saya sedang sangat ketakutan, mana mungkin saya mengizinkan Dokter masuk rumah saya? Kita ini bukan mahram.""Ya. Kamu benar sekali. Tapi maksud saya menemani, bukan dengan cara seperti itu. Maksudku aku bisa tidur di mobil." Kedua tangan Rendra menunjuk ke jalan, se
Mata Sabil melebar, tak percaya akan serumit ini. "Jadi ...?" Pertanyaannya menggantung."Pilih satu dari keduanya. Sebagai Nabil tanpa Ibu Halimah sebagai istri Anda, atau sebagai Sabil tanpa harta milik Nabil.""Ap- apa?!!" Sabil terkejut atas pilihan yang diberikan oleh pengacaranya."Ini tak adil! Justru saya menyewa Anda karena ingin mendapatkan keduanya.""Maaf, Pak. Hidup itu tentang pilihan. Dan hanya itu yang bisa saya tawarkan. Kalau Bapak keberatan dan ingin keduanya, mungkin bisa cari pengcara lain yang mampu mengupayakannya." Pria yang masih memakai setelan jas rapi itu menegaskan pada kliennya.Tidak semua hal bisa dilakukan oleh seorang pengacara. Walau bagaimana pengacara yang Sabil sewa kali ini adalah seseorang yang bukan hanya memiliki dedikasi terhadap pekerjaan, tapi juga idealisme yang wajib dipertahankan."Ya, yah! Oke, oke!""Hem. Tapi saya bisa jamin. Tidak ada yang berani melakukan niat kotor Anda. Bahkan menuruti kemauan Anda sebagai Nabil saja sudah membua
Rendra meletakkan kepala di atas setir mobilnya, menatap pintu rumah kecil yang ditempati Fatma. Pria itu tersenyum menatap cahaya terang di sana. Lalu, ingat bagaimana tadi dia menggantikan lampu remang dengan watt kecil itu.Rendra mengetuk pintu yang sudah tertutup itu pelan. Dari dalam rumah, penghuninya tampak tergesa mendekati pintu karena akan membukanya.Saat dibuka, Fatma tampaknya belum siap untuk menerimanya. Terlihat lengan gamisnya masih tergulung. Sesuatu yang membuat Rendra membuang pandangan ke arah lain, lantaran kulit tangannya yang putih membuatnya gagal fokus."Oh. Maaf." Fatma menarik diri, menyembunyikan tubuhnya di balik pintu agar tak terlihat. Sambil merapikan lengan yang sempat digelung karena aktifitasnya tadi saat berwudhu. "Ah, ya." "Apa? Em. Maksud saya apa yang bisa saya bantu, Dok?" Sejak kejadian tadi, Fatma jadi sangat ramah pada pria itu. Dia bahkan telah memaafkannya sebelum dia meminta maaf lebih dulu."Em, tolong matikan lampu teras ini." Rendr
Nabil menautkan jari-jemarinya dengan jari-jari lentik milik Halimah."Kamu tahu kan aku sangat mencintaimu?" "Hem." Halimah menyahut. Sambil memandangi tangan mereka yang berada di atas selimut. "Rasanya bahagia sekali saat Mas di dekatku gini." Halimah mengucapnya.Nabil tersenyum. Dicium pucuk kepala wanita yang ada dalam pelukannya."Bagaimana dulu saat Mas sama ...."Halimah enggan menyebut nama seorang wanita yang dia kenal sebagai wanita yang sangat cantik. Almarhum istri Nabil.Seseorang yang tetap membuatnya cemburu meski Nabil tak pernah menyebut namanya dan bahkan wanita itu tak mungkin muncul di hadapannya."Sama?""Alisa." Nabil mengeratkan pelukannya. Ia tahu apa yang Halimah rasakan sekarang."Kenapa membahas wanita lain saat aku kini tak ada jarak antara kita. Dan kamu tahu, sekarang, besok dan seterusnya aku hanya untukmu." Nabil mengucap sesuatu yang membuat Halimah merasakan cinta. Walau bagaimana, keegoisannya sebagai wanita pastilah ada. Ia ingin menjadi wani
"Kenapa kamu tak rehat aja dulu. Kamu perlu santai, mencari jodoh biar punya suami." Meylani yang tengah menggendong anaknya bicara begitu saja pada sepupunya.Ia merasa kasihan melihat Novi. Sudah kena musibah rumahnya hangus terbakar, sekarang kehilangan Satria pula. Entah, ke mana puteranya itu."Ck. Siapa yang mau denganku?" Novi meraih botol air mineral dan memutar tutupnya. Untuk kemudian menumpahkan ke mulutnya.Untuk sesaat dahaganya telah terobati. Tadi , setelah berpisah dari Rendra, Novi memutuskan pergi saja. Mengunjungi keluarga yang masih peduli. Ia tak bisa mengendalikan pikirannya yang terus terbang dan merindukan Satria kala sendirian dan merasa suntuk di rumah.Berpikir yang tidak-tidak tentang putranya itu. Saat di mana ia merengek tak mau mengerjakan PR, tak mau berangkat sekolah dan ingin tetap bersama bundanya."Kan ada Rendra, dia juga pria kesepian. Dia pria baik dan masih keluarga kita." Meylani menyahut cepat. "Lagian, aku nggak suka loh dia sama cewek yang
"Panggilan? Tapi saya tidak mendapat surat panggilan itu." Nabil tampak bingung."Ikut saja. Nanti kita jelaskan di kantor polisi." Petugas itu memaksanya ikut. Tak peduli saat Nabil bilang ia tak mendapat surat panggilan atau apa pun.Dua petugas yang membawa surat itu saling tatap, mereka tak mengerti dengan ucapan pria yang mereka datangi."Ya sudah, lanjut di kantor saja lah." Salah satu petugas menegaskan. Waktu mereka hanya akan terbuang percuma, hanya untuk membicarakan hal yang tak ada ujungnya.Dua polisi itu adalah orang yang berpengalaman menangani tersangka sebuah kasus. Dan mereka selalu terkesan berkelit, meski awalnya hanya berstatus sebagai saksi.Mendengar suara ribut-ribut di depan, Ibu Fatma pun lekas menghampiri. Sebab suara itu makin lama makin keras, terdengar seperti orang yang Tenga berdebat.Wanita itu terkejut, saat melihat dua polisi berdiri di depan pintu. Dengan cepat, wanita paruh baya itu segera mendekat dan mengambil si bungsu dari gendongan Nabil."Ada