Jam sebelas malam setelah dokter itu pulang, lima menit setelahnya, Gama pun akhirnya pamit pada Agam."Bro, turunkan egomu. Daripada kamu salah melangkah dan membuatmu menyesal. Kamu sedikit menurunkan ego, nggak akan menghilangkan harga dirimu. Perjuangkan kalau kamu masih menginginkan Dea. Soal Alita, kurasa kamu punya alasan untuk menjauhinya. Tentu kamu lebih penting anak dari calon istri yang nggak bisa menjadi ibu bagi anakmu, kan?" kata Agam sambil menepuk bahu sahabatnya. Mereka memang sangat dekat sejak dulu. Gama tak segan tidur di rumah Agam jika sudah kemalaman. Menghabiskan akhir pekan dengan bermain gitar. Nama keduanya pun hanya dibolak-balik hurufnya saja. Meski keturunan bangsawan, Gama tetap selayaknya remaja dari kalangan biasa. Kadangkala ketiduran di pos ronda setelah selesai nonton balap liar. Ketika pulang kerumah kena omel mamanya. Setelah SMA dia yang mulai mengikuti ajang balapan. Degil, nakal, suka usil. Hal-hal yang tidak luput dari masa remajanya. Sete
MASIH TENTANGMU- Takut Kehilangan Alita belum berangkat saat Gama kembali turun ke lantai bawah. Gadis itu masih duduk di ruang tamu sambil fokus pada layar ponselnya."Kenapa belum berangkat?" tanya Gama seraya mengenakan sepatu yang ada di rak depan pintu utama. Alita mengikuti keluar."Aku menunggumu.""Aku sudah bilang, kamu berangkat duluan saja.""Aku hanya khawatir karena kamu lagi sakit." Alita menghampiri Gama.Namun laki-laki itu tak menanggapi. Ia mengunci pintu dan segera bergegas ke garasi mobil. Membiarkan Alita berjalan kaki keluar pagar, karena mobilnya terparkir di sana. Selain lemas, tubuhnya juga terasa mulai meriang. Tapi Gama harus tetap ke kantor. Banyak pekerjaan untuk persiapan ke Jakarta besok.Dari kaca spion, ia melihat mobil Alita masih mengikuti di belakang. Gama mendengkus pelan. Dia sudah malas berpikir tentang gadis itu. Semakin ke sini, semakin agresif. Dia tidak menyukai perempuan seperti itu, meski berasal dari keluarga yang berada. Bodoh sekali,
Bu Ariana sudah tahu kalau Alita dan Dea sekantor. Juga tahu kalau mereka berteman baik sebelum ini. Namun kerenggangan yang terjadi sekarang, Bu Ariana belum tahu."Bulek nggak habis pikir sama kamu sama Alita. Bisa-bisanya kalian menjalin hubungan sementara Alita itu rekan kerjanya Dea. Memanglah kamu dan Dea sudah nggak ada hubungan apa-apa, cuman rasa empati kalian taruh mana? "Kurang baik apa Dea. Selama ini bertahan sendiri karena masih berharap kalian bisa bersama lagi membesarkan Antik. Dia pergi untuk menyadarkanmu. Tapi kamu saja yang nggak peka, Ga." Omel Bu Ariana saat baru diberitahu kenyataan yang sebenarnya. Beberapa waktu setelah itu, sang bulek mendiamkannya.Saking senangnya mendengar kalau Dea bisa mengantarkan Antik, Gama sampai lupa mau menanyakan ada acara apa malam ini. Tapi bukankah buleknya itu memang sering mengajak makan malam bersama meski tidak ada acara apa-apa. Apalagi sudah lama ia bilang kangen dengan Antik. Semenjak anaknya masuk sekolah dasar, jarang
MASIH TENTANGMU- Pagi Itu "Kamu nggak bisa deketin Dea lagi dengan statusmu sebagai tunangan orang, Ga. Dea juga nggak bakalan mau," kata Bu Ariana saat mereka duduk berdua di teras rumah. Setelah Dea dan Antika pulang."Aku akan menyelesaikan urusanku dengan Alita, Bulek.""Membatalkan pertunangan akan mempermalukan keluargamu di hadapan keluarga Alita di Surabaya sana.""Aku akan menanggungnya sendiri.""Setelah ini semuanya nggak akan mudah, Gama.""Aku tahu.""Nama keluargamu akan dipertaruhkan."Gama mengangguk. Ia tahu konsekuensi itu. Bu Ariana memandang langit malam yang pekat. Sisa air hujan masih menetes dari dedaunan. Mungkin ini pilihan terbaik bagi Gama. Menggagalkan pertunangan lebih baik daripada memutuskan pernikahan. Bisa dibayangkan resikonya seperti apa. Orang tua Alita yang mungkin tidak tahu sifat putrinya, tentu akan shock dan marah pada Gama. Mereka pasti mengira Gama mempermainkan anaknya.Mereka orang berada, bisa membayar orang untuk menuntaskan sakit hati
Dea sibuk menghapus air mata yang mengalir tanpa kompromi. Ini kalimat yang ditunggunya dulu, perjuangan untuk mempertahankan hubungan mereka. Namun Gama tidak melakukan apa-apa. Kenapa Gama baru sekarang mengatakan disaat semuanya serba sulit."Maafkan aku, De. Aku terlalu egois selama ini.""Sampai sekarang pun kamu masih egois, Mas. Sikapmu ini akan melukai hati Alita. Apa dia nggak sesuai dengan keinginanmu, lalu kamu berpaling.""Aku nggak pernah menyimpan perempuan manapun di hatiku selain kamu. Sejak dulu!"Dea tersenyum sinis. "Bagaimana bisa sampai bertunangan jika nggak ada rasa."Gama membeku. Dengan cara apa dia menjelaskan pada Dea agar wanita ini mengerti. Bahwa sebenarnya, hanya Deandra yang ada dalam hidupnya. Kebersamaannya dengan Alita justru makin menyadarkan apa arti Dea baginya.Ponsel Dea kembali berdenting. "Dokter itu yang menghubungimu?" tanya Gama penuh cemburu.Dea membalas pesan, lantas memandang ke arah Gama. "Kita hanya mantan. Dengan siapapun aku dekat,
MASIH TENTANGMU- Rahasia yang Terungkap Gama berdiri di dekat jendela kaca. Menatap hiruk pikuknya kota Jakarta dari ketinggian. Kota yang tidak mengenal jam istirahat. Penuh kesibukan 24 jam. Kemacetan terjadi di segala penjuru karena tingginya mobilitas masyarakat urban di ibu kota. Ini menjadi pemicu timbulnya stres. Bekerja tak kenal waktu.Saat merasakan tubuhnya makin menggigil, Gama menutup gorden lantas berbaring dan menarik selimut tebal warna putih. Giginya sampe gemertak menahan dingin yang serasa tembus ke tulang.Andai mamanya tahu dia sakit tapi tetap berangkat ke Jakarta, pasti ngomel tiada hentinya. Tadi pagi Gama cuman pamitan lewat telepon. Dipikir pasti dirinya baik-baik saja. Bahkan permasalahan yang sekarang ia hadapi, baik papa dan mamanya juga belum tahu. Justru buleknya yang tahu.Bayangan Dea yang menangis tadi pagi sangat mengusiknya. Membuat terluka dan terasa sangat perih hingga tembus ulu hati. Ingin rasa hati memeluknya tadi. Semoga belum terlambat untu
Gama menyeringai tipis mendengar ucapan sepupunya. Bagi Aryo sikap Gama tidak mengejutkan. Dia sudah tahu, sepupunya yang satu ini memang tidak tahu bagaimana caranya bercanda. Tidak seperti kakaknya Gama yang humoris."Mas Gama, nggak mampir ke Bekasi, ke rumah Mas Damar?" "Nanti kalau sempat aku mampir. Mas Damar nggak tahu kalau aku ada di Jakarta sekarang." Gama menyandarkan kepala di jok mobil. Kepalanya masih nyut-nyutan dan dia tadi lupa membawa obat yang dibelikan Aryo tadi malam.Aryo menepikan mobilnya di warung bubur ayam yang berseberangan dengan kantor. Meski aroma bubur itu sangat harum, tapi menggangu di penciumannya karena perutnya masih tidak enak, tapi Gama tetap memaksa menghabiskannya. Dia tidak boleh tumbang. Banyak hal yang harus ia lakukan setelah kembali ke Jogja. Selesai makan dan sebelum ke kantor, Gama mengambil ponsel dari saku celananya. Hendak menelpon Dea, tapi Antik yang bisa dijadikan alasan, pasti sudah berangkat ke sekolah. Yakin Dea tidak akan men
MASIH TENTANGMU- Menunggu KabarGama diam memandang sudut ruangan. Suhu tubuhnya kembali menghangat, bahkan kian terasa panas. Sampai wajahnya memerah.Namun ia masih bisa memikirkan apa yang diucapkan Saga tadi. Ia tahu betul bagaimana karakter sepupunya itu. Jika sampai membatalkan pertunangan dengan Alita, pasti ada sesuatu yang fatal. Saga termasuk pria perfeksionis. Hanya saja dia merahasiakannya. Dipikir Saga, hubungannya dengan Alita baik-baik saja. Padahal Gama sudah tahu bagaimana tingkah laku tunangannya."Gimana, Mas? Pasti ada sesuatu yang tidak pantas diceritakan sampe Mas Saga nggak mau ngasih tahu. Apa Alita sudah banyak cerita pada, Mas Gama?""Nanti aku urusi itu, Yo. Bentar lagi antar aku ke hotel. Kepalaku sakit.""Check out saja dari hotel. Nginap di rumah kami. Ayo!"Gama tidak punya pilihan. Kali ini ia menyerah. Tubuhnya terasa panas dan menggigil. Dibawa berdiri pun rasanya hendak tumbang. Pak Beny yang dipamiti pun menyuruh Aryo untuk mengajak Gama pulang k