Gimana rasanya?" Sela bertanya dengan mimik wajah bahagia. Rasanya Sela ingin tertawa keras saat menyaksikan Fiko menghukum Maria. Dia puas, benar-benar puas.
Maria mendongak ke arah Sela yang berdiri sambil menyender di tiang pintu. "Kamu kan, yang melakukannya?"
"Apa?" Sela pura-pura tidak mengerti.
"Kamu yang menambah garam pada sayurnya kan, Sela!" Maria menunjuk Sela penuh perhitungan.
Sela tertawa puas sampai sudut matanya mengeluarkan air mata. "Ya ampun, aku kira kamu bodoh sampai tidak mengetahui kalau aku yang sabotase sayur itu. Ternyata kamu cukup cerdik juag."
Setelah puas mentertawakan kemalangan Maria, Sela melenggang pergi dengan langkah ringan. Sedangkan Maria hanya bisa mengepalkan tangannya kuat sambil terus mengucap istigfar dalam hati.
Maria turun dari bak mandi dalam keadaan tubuh bergetar kedinginan sampai jari-jarinya mengkeriput. Setelah membilas tubuhnya sekilas, Maria keluar dari kamar mandi dengan baju basah. Sesekali dia mengusap air mata yang tak kunjung berhenti.
Kenapa mencintaimu begitu sakit,Mas?
***
Biasanya Maria langsung bergegas membereskan rumah lalu lanjut memasak setelah menunaikan Shalat subuh. Namun, kini wanita berusia 24 tahun itu masih berbaring dan menyelimuti dirinya dengan selembar kain tipis yang di bawanya dari gorden jendela.
Paginya badan Maria menggigil hebat. Sesekali tubuh kecil itu bergetar akibat bersin yang tidak ada hentinya. tanngan Maria sesekali menggosok hidungnya yang gatal dan mengelap ingus yang keluar. Mau bangkit duduk saja rasanya susah karena berat kepalanya seolah bertambah berkilo-kilo.
Samar-samar dia mendengar percakapan orang dari luar pintu. Maria mengenali suara itu, itu suara Fiko dan Ibu mertuanya.
"Mas Fiko!" Maria memanggil nama suaminya pelan. Dia berusaha duduk walau kepalanya bertambah pusing. Setelah berhasil mendudukan tubuhnya sambil menyender pada tembok, maria kembali memanggil nama suaminya. "Mas Fiko!" Kali ini suaranya lumayan kenceng dan memungkinkan orang yang berdiri di luar pintu akan mendengarnya.
Maria tersenyum senang ketika pintu kamar terbuka. Namun, senyum itu lenyap ketika yang muncul bukan Fiko suaminya, melainkan Marni dengan tampang judesnya.
"Ngapain kamu manggil-manggil anak saya?" Marni berucap ketus. Begitu melihat kain yang di pakai Maria untuk menyelimuti tubuhnya, Marni memelototkan mata marah. "Dasar kurang ajar! Kenapa kamu copot itu kain gorden? Cepat pasang balik!"
"Bu, aku kedinginan. Minjam sebentar, ya!" Maria memelaskan ucapannya berharap Maria merasa simpati. Namun, harapannya itu harus Maria buang jauh-jauh. Jangankan untuk simpati, melunakan sedikit wajahnya saja tidak.
Marni memutar kursi rodanya menghampiri Maria. Ketika sudah berhadapan dengan Maria, Marni mendudut Kain gorden dari tubuhnya Maria. Marni lalu menggulung kain gorden itu dan melemparkannya pada muka Maria. "Pasang balik itu kain gorden. Kalau sampai ada yang rusak, bajumu saya gunting."
Perlahan Maria mengambil kain gorden yang ada di wajahnya. Walau badannya lemah, Maria tetap memaksakan dirinya untuk berdiri dengan berpegangan pada tembok. Dia sedikit linglung ketika ingin menyampirkan kain gorden pada pengait yang akhirnya menyebabkan Maria terjatuh dan kain gorden menimpa di atasnya. Namun, akibat jatuhnya itu, kini kain gordennya robek akibat tertarik oleh Maria.
Maria mencengkram kain gorden di tangannya erat. Dia tidak berani mendongakkan wajahnya karena takut dengan ekspresi Marni. Tidak lama Maria menjerit sakit ketika sebuah benda tumpul mengenai punggungnya.
Bukan hanya sekali, namun berkali-kali Marni memukul Maria menggunakan tongkat yang selalu Marni pakai apabila ingin ke kamar mandi.
"Sakit,bu. Jangan pukul lagi!" Maria mengiba sambil melindungi tubuhnya dari serangan Marni. "Sakit."
Marni yang sudah di liputi emosi tak mendengar lenguhan kesakitan menatunya. Marni terus memukul Maria sampai kemarahan di dadanya sedikit mengurang. "Dasar menantu sialan! Kenap anak saya harus menikahi wanita yang lahir dari seseorang yang kotor sepertimu? Saya benci melihatmu, saya sangat membenci Ibumu! Kenapa kamu tidak mati saja seperti Ibumu yang sialan itu? Ah, dasar." Marni menjerit meluapkan emosinya yang selama ini dia pendam ketika melihat Maria.
"Apa maksud ibu?" Walaupun kesakitan, Maria tetap memberanikan diri melihat wajah ibu mertuanya. "Apa ibu mengenal wanita yang melahirkan aku?" Maria melihat Marni dengan tatpan penuh harap.
"Untuk apa kamu mengetahui wanita yang melahirkanmu. Dia sudah mati." Marni melengos enggan melihat wajah Maria yang memelas. Sejujurnya, di lubuk hatinya yang paling dalam, Marni menyayangi Maria. Namun, kebencian akan pakta bahwa Maria adalah alasan dia menjalani kehidupan penuh kesedihan menutup pintu kasih sayang itu. Marni menyayangkan, kenapa dia baru tahu pakta itu setelah pernikahan anaknya dan maria sudah berjalan setengah tahun lamanya, dimana Marni sudah meyimpan sayang untuk sosok menantunya itu yang begitu perhatian dan sabar dalam mengurus dirinya.
"Ibu!" Maria memanggil lembut, bahkan kini dia sudah bersimpuh di bawah kaki Marni. "Tolong kasih tau aku." Maria menitikan air mata putus asanya. Begitu banyak pertanyaan yang bersarang di pikirannya. Siapa Ibunya, bagaimana wajahnya, kenapa tidak pernah menemuinya, apakah Ibunya menyayangi dirinya? Dan madih banyak lagi pertanyaan yang Maria sendiri tidak tau harus menyanyakannya pada siapa selain Marni.
Marni menyentak tangan Maria yang bertengger di atas tangannya. Dia mengusap kasar bekas sentuhan tangan Maria pada kulitnya seolah itu adalah hal yang menjijikan. "Berapa kalipun kamu memohon, bahkan sampai bersujud di kaki saya, saya tetap tidak akan memberitahumu secuil informasi apapun. Biar saja kamu mati penasaran. Saya gak peduli."
Maria menurunkan bahunya lemas. Dia tidak tau lagi harus memohon seperti apa agar ibu mertuanya itu mau membagi informasi tentang ibu kandungnya. Maria hanya bisa terisak lirih.
Marni yang melihat Maria tidak memohon-mohon lagi di kakikya memutar roda kursinya menjauhi Maria. Marni perlu menjernihkan akal dan hatinya dari segala keruwetan yang telah terjadi. Dia memang membenci Maria, sangat benci malah. Tapi, Marni juga susah mendeskripsikan hatinya yang kini merasakan perasaan ingin merengkuh punggung bergetar Maria yang rapuh. Marni benci dia bisa lemah, maka untuk mencegah hal itu agar tidak terjadi, Marni terus memupuk kebencian dalam hatinya dengan mengingat Mina, mantan sahabatnya sekaligus Ibu kandung Maria.
Sela yang mengintip di balik pintu sontak menyingkir terburu-buru untuk bersembunyi di balik tembok begitu melihat Marni memutar roda kursinya hendak keluar. Sela mendengar semua kejadian di dalam dari awal sampai akhir membuatnya tidak dapat menahan senyum lebar. Dia pastikan akan mengetahui tentang informasi mengenai Ibu kandung Maria yang selama ini dicarinya untuk membuat Maria mau bersujud di kakinya. Yah, bukan hal mudah sih. Tapi dia bisa membujuk wanita tua itu agar mau buka suara dan membeberkan informasi itu sampai tuntas. Sela menyeringai licik.
Tunggu saja Maria! Akan aku pastikan kamu bersujud di kakiku dan menciumnya berkali-kali.
***
Selama Maria sakit, Maria tetap menjalankan aktivitasnya seperti biasa. Membereskan rumah, memasak, berbelanja ke pasar, dan aktivitas lainnya seperti dalam keadaan sehat.Maria bukan memaksakan diri. Setiap Maria ingin merebahkan tubuhnya untuk istirahat, Marni selalu menyuruhnya ini itu walaupun Marni bisa menyuruh Sela yang ada di sampingnya.Dan kali ini pun sama. Ketika Maria baru duduk di kursi makan untuk meredakan rasa sakit yang mendera kepalanya, Marni datang menyuruhnya membuat jus belimbing. Jus yang sering Marni minum dengan rutin agar darah tingginya berkurang.Maria membuka kulkas dan mengambil belimbing yang selalu tersedia di tempat penyimpanan. Memotong-motongnya jadi bagian agak kecil lalu memblendernya. Setelah selesai, Maria mengantarkannya pada Marni yang tengah bercanda dengan Sela."Ini bu, jusnya." Maria meletakan jus itu di atas meja dekat Marni. Maria yang melihat Marni begitu lepas saat berbicara dan bercanda ria dengan S
Sudah seminggu lewat setelah insiden di mana Maria jatuh pingsan. Kini kondisinya sudah jauh lebih membaik. Hanya lemas dan sesekali batuk saja yang masih terasa. Selepas shalat subuh, Maria bergegas membereskan rumah sampai pagi menjelang. Karena bahan makanan di kulkas habis, Maria memutuskan untuk belanja sayuran dan bahan lainnya ke pasar. Setelah siap dengan bawannya, Maria keluar rumah.Sesampainya di sisi jalan, Maria tidak menemukan angkot yang bisanya nagkring di sini. Maria menghela napas pasrah karena terpaksa harus berjalan kaki untuk ke pasar.Di tengah perjalanan ketika Maria hendak menyebrang, seorang pengendara motor melaju kencang dan tak sadar ada orang yang lewat. Maria yang saat ini melihat sepeda motor melaju kearahnya hanya bisa terpaku di tempat karena shock. Ketika motor itu hampir menabraknya, seseorang dari arah belakang memegang tangannya lalu menarik hingga mereka terguling bersama.Pengendara m
Maria sontak tersenyum lebar begitu melihat Fiko tengah menungguinya. Dengan terburu, Maria menghampiri Fiko yang tengah duduk di atas jok motornya. "Mas, udah lama di sini?" Maria bertanya penasaran. Pasalnya Maria tidak mendengar suara motor berhenti, tau-tau suaminya itu sudah menungguinya.Fiko tidak menjawab, namun matanya menyorot lurus ke arah laki-laki yang sedang menyenderkan tubuhnya di tiang rambu lalau lintas dengan tenangnya.Maria yang pertanyaannya tidak digubris sang suami, ikut menolehkan kepalanya mengikuti arah tatapan Fiko. Maria kini tau, objek tatapan Fiko adalah Arkan. "Mas, ini Arkan."Fiko mengalihkan atensinya pada Maria. Dia sedikit tidak senang ketika Maria menyebut nama laki-laki lain selain dirinya dengan nada riang begitu. Fiko cemburu, dan dia tidak suka rasa itu.Maria mencebik ketika mendapati wajah suram suaminya. "Gak usah curiga gitu, Arkan.."Fiko langsung menyimpan jari telunjuknya di depan b
Begitu Fiko memberhentikan motornya di depan rumah. Maria langsung turun dan berlari masuk tanpa menunggu Fiko. Fiko yang ditinggalkan hanya bisa menghela napas lelah. Kenapa Maria tidak mengerti juga? Fiko melakukan semua ini untuknya juga. Fiko tau Maria juga sudah menginginkan anak. Harusnya Maria mengerti, dengan adanya Sela hamil berarti dia ikut dipanggil Ibu juga.Selama ini memang dia dan Maria tak pernah memeriksakan kondisi kesehatannya karena Fiko yakin dirinya tidak mengalami kesusahan dalam kesuburannya. Satu-satunya alasan yang terpikirkan olehnya adalah Maria. Fiko jelas tau di keluarganya tidak ada yang mandul, sedangkan Maria yang asal usulnya tidak jelas sudah cukup menjadi bukti kalau kemungkinan besar di keluarganya ada yang mandul. Kadi, untuk apa mereka memeriksakan kesuburannya kalau Fiko jelas sudah tau yang mandul di sini adalah Maria. Sadar tidak sadar, perlakuan Fiko selama ini semata karena ketidak puasannya terhadap Maria.Fiko membuk
Lelah menangis, Maria keluar rumah untuk mengisi perutnya yang sudah melilit perih. Maria memang mempunyai penyakit mag yang telat makan sebentar saja sudah kambuh. Apa lagi sekarang dia telat makan sudah berjam-jam lamanya. Dia merutuki dirinya sendiri karena lalai dalam menjaga kesehatannya. Setelah memeriksa seluruh ruangan yang terdiri dari ruang tamu, dapur, kamar Fiko dan Sela, kamar Marni yang kini juga ia tempati, terakhir kamar mandi. Maria tidak menemukan siapa-siapa. Kenapa mereka belum pulang juga, ini sudah hampir tengah hari? Apa mereka pergi lagi setelah acara makan? Tanpa di cegah, air mata Maria mengalir lagi, namun buru-buru Maria hapus. Maria mengambil es batu dari kulkas untuk mengompres mata bengkaknya. Setelah di rasa matanya agak lumayan, Maria pergi keluar rumah untuk mencari makan sekaligus obat mag. Karena perutnya yang dari pagi tidak terisi papaun, di tengah jalan Maria berkaali-kali oleng ha
Maria tengah di periksa oleh Dokter perempuan begitu Arkan kembali ke ruangannya. Maria melambaikan tangannya sebagai bentuk sapaan yang dibalas lambaian tangan juga oleh Arkan. "Gimana ke adaannya Dokter Ema?" Arkan langsung bertanya begitu Dokter Ema selesai memeriksa ke adaan Maria. Dokter Ema menurunkan stetoskop dan melepas alat pengukur tekanan darah di lengan Maria. Setelah melepas masker yang menutupi sebagian wajahnya, barulah Dikter berusia ahir 40-an itu angkat suara. "Alhamdulillah. Keadaan bu Maria kini sudah membaik." Dokter Ema berjalan ke arah mejanya dan menuliskan beberapa resep lalu menyerahkannya pada Arkan. "Jangan lupa berikan tiga kali sehari pada masing-masing lembar! Obatnya bisa di tebus di apotek." Arkan menerima lertas berisi resep obat Maria. "Terima kasih Dokter Ema. Kalau begitu kami permisi." Dokter Ema mengangguk mempersilahkan Arkan untuk membawa Maria keluar. Arkan menghampiri Maria dan berniat membantu
Arkan tertawa bangga karena bisa membungkam mulut Maria yang menuduhnya macam-macam. Lagian, mana ada tampang paras rupawan seperti dirinya yang tega menuduhnya pencuri kecuali Maria. Kalau tidak mengingat siapa Maria, Arkan sudah menyeretnya ke kantor polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik. Maria memutar bola matanya malas saat mendengar tawa Arkan yang begitu lepas karena berhasil membuatnya kicep. Memang, dari penampilnya Arkan bukan termasuk orang biasa, pakaian necis dan mahal, mobil mewah Mercedes Benz, Dan jangan lupakan wajah yang tampan di dukung tubuh atletisnya. Maria sebel sendiri jadinya. "Masuk, gih!" Arkan mengedikan dagunya ke arah rumah Maria. "Istirahat yang banyak dan jangan kecapean." "Lagamu sudah seperti kakak beneran." Maria mencibir. Namun, tak urung Maria membuka pagar. "Maria." Arkan memanggil saat Maria sudah menutup kembali pagar. "Apa?" "Kamu bertahan sampai sejauh ini sampai rela ters
Sesampainya di Kantor Polisi Maria langsung meminta pihak Polisi untuk mengantarnya bertemu dengan Fiko dan yang lainnya.Polisi mengantar Maria di mana Fiko, Marni, dan Sela tengah meringkuk di dalam sel jeruji besi. Maria memandang mereka bergantian, tatapannya jatuh pada tangan Sela yang tengah di pegang erat sambil dielus pelan oleh tangan Fiko.Sela yang sudah menyadari Maria tengah berdiri memperhatikan kegiatannya dan Fiko menyeringai sinis. Tatapan puas dia layangkan pada Maria yang tengah mengepalkan tangannya kuat."Akhirnya kamu datang juga. Lama banget, sih." Marni yang baru saja menyadari ada Maria langsung membentaknya karena begitu membutuhkan waktu lama untuk menyusulnya ke sini.Maria melirik Marni yang terduduk di kursi roda depan Fiko dan Sela yang terduduk di atas tikar tipis. Maria tidak membalas ucapan Marni melainkan langsung kembali untuk meminta penjelasan pada Polisi membuat Marni mencebikan bibirnya kesal."Lihat tu