Share

Bab 5. Siapa Ibu kandung Maria.

Gimana rasanya?" Sela bertanya dengan mimik wajah bahagia. Rasanya Sela ingin tertawa keras saat menyaksikan Fiko menghukum Maria. Dia puas, benar-benar puas.

Maria mendongak ke arah Sela yang berdiri sambil menyender di tiang pintu. "Kamu kan, yang melakukannya?"

"Apa?" Sela pura-pura tidak mengerti.

"Kamu yang menambah garam pada sayurnya kan, Sela!" Maria menunjuk Sela penuh perhitungan.

Sela tertawa puas sampai sudut matanya mengeluarkan air mata. "Ya ampun, aku kira kamu bodoh sampai tidak mengetahui kalau aku yang sabotase sayur itu. Ternyata kamu cukup cerdik juag."

Setelah puas mentertawakan kemalangan Maria, Sela melenggang pergi dengan langkah ringan. Sedangkan Maria hanya bisa mengepalkan tangannya kuat sambil terus mengucap istigfar dalam hati.

Maria turun dari bak mandi dalam keadaan tubuh bergetar kedinginan sampai jari-jarinya mengkeriput. Setelah membilas tubuhnya sekilas, Maria keluar dari kamar mandi dengan baju basah. Sesekali dia mengusap air mata yang tak kunjung berhenti.

Kenapa mencintaimu begitu sakit,Mas?

***

Biasanya Maria langsung bergegas membereskan rumah lalu lanjut memasak setelah menunaikan Shalat subuh.  Namun, kini wanita berusia 24 tahun itu masih berbaring dan menyelimuti dirinya dengan selembar kain tipis yang di bawanya dari gorden jendela.

Paginya badan Maria menggigil hebat. Sesekali tubuh kecil itu bergetar akibat bersin yang tidak ada hentinya. tanngan Maria sesekali menggosok hidungnya yang gatal dan mengelap ingus yang keluar. Mau bangkit duduk saja rasanya susah karena berat kepalanya seolah bertambah berkilo-kilo.

Samar-samar dia mendengar percakapan orang dari luar pintu. Maria mengenali suara itu, itu suara Fiko dan Ibu mertuanya.

"Mas Fiko!" Maria memanggil nama suaminya pelan. Dia berusaha duduk walau kepalanya bertambah pusing. Setelah berhasil mendudukan tubuhnya sambil menyender pada tembok, maria kembali memanggil nama suaminya. "Mas Fiko!" Kali ini suaranya lumayan kenceng dan memungkinkan orang yang berdiri di luar pintu akan mendengarnya.

Maria tersenyum senang ketika pintu kamar terbuka. Namun, senyum itu lenyap ketika yang muncul bukan Fiko suaminya, melainkan Marni dengan tampang judesnya.

"Ngapain kamu manggil-manggil anak saya?" Marni berucap ketus. Begitu melihat kain yang di pakai Maria untuk menyelimuti tubuhnya, Marni memelototkan mata marah. "Dasar kurang ajar! Kenapa kamu copot itu kain gorden? Cepat pasang balik!"

"Bu, aku kedinginan. Minjam sebentar, ya!" Maria memelaskan ucapannya berharap Maria merasa simpati. Namun, harapannya itu harus Maria buang jauh-jauh. Jangankan untuk simpati, melunakan sedikit wajahnya saja tidak.

Marni memutar kursi rodanya menghampiri Maria. Ketika sudah berhadapan dengan Maria, Marni mendudut Kain gorden dari tubuhnya Maria. Marni lalu menggulung kain gorden itu dan melemparkannya pada muka Maria. "Pasang balik itu kain gorden. Kalau sampai ada yang rusak, bajumu saya gunting."

Perlahan Maria mengambil kain gorden yang ada di wajahnya. Walau badannya lemah, Maria tetap memaksakan dirinya untuk berdiri dengan berpegangan pada tembok. Dia sedikit linglung ketika ingin menyampirkan kain gorden pada pengait yang akhirnya menyebabkan Maria terjatuh dan kain gorden menimpa di atasnya. Namun, akibat jatuhnya itu, kini kain gordennya robek akibat tertarik oleh Maria.

Maria mencengkram kain gorden di tangannya erat. Dia tidak berani mendongakkan wajahnya karena takut dengan ekspresi Marni. Tidak lama Maria menjerit sakit ketika sebuah benda tumpul mengenai punggungnya.

Bukan hanya sekali, namun berkali-kali Marni memukul Maria menggunakan tongkat yang selalu Marni pakai apabila ingin ke kamar mandi.

"Sakit,bu. Jangan pukul lagi!" Maria mengiba sambil melindungi tubuhnya dari serangan Marni. "Sakit."

Marni yang sudah di liputi emosi tak mendengar lenguhan kesakitan menatunya. Marni terus memukul Maria sampai kemarahan di dadanya sedikit mengurang. "Dasar menantu sialan! Kenap anak saya harus menikahi wanita yang lahir dari seseorang yang kotor sepertimu? Saya benci melihatmu, saya sangat membenci Ibumu! Kenapa kamu tidak mati saja seperti Ibumu yang sialan itu? Ah, dasar." Marni menjerit meluapkan emosinya yang selama ini dia pendam ketika melihat Maria.

"Apa maksud ibu?" Walaupun kesakitan, Maria tetap memberanikan diri melihat wajah ibu mertuanya. "Apa ibu mengenal wanita yang melahirkan aku?" Maria melihat Marni dengan tatpan penuh harap.

"Untuk apa kamu mengetahui wanita yang melahirkanmu. Dia sudah mati." Marni melengos enggan melihat wajah Maria yang memelas. Sejujurnya, di lubuk hatinya yang paling dalam, Marni menyayangi Maria. Namun, kebencian akan pakta bahwa Maria adalah alasan dia menjalani kehidupan penuh kesedihan menutup pintu kasih sayang itu. Marni menyayangkan, kenapa dia baru tahu pakta itu setelah pernikahan anaknya dan maria sudah berjalan setengah tahun lamanya, dimana Marni sudah meyimpan sayang untuk sosok menantunya itu yang begitu perhatian dan sabar dalam mengurus dirinya.

"Ibu!" Maria memanggil lembut, bahkan kini dia sudah bersimpuh di bawah kaki Marni. "Tolong kasih tau aku." Maria menitikan air mata putus asanya. Begitu banyak pertanyaan yang bersarang di pikirannya. Siapa Ibunya, bagaimana wajahnya, kenapa tidak pernah menemuinya, apakah Ibunya menyayangi dirinya? Dan madih banyak lagi pertanyaan yang Maria sendiri tidak tau harus menyanyakannya pada siapa selain Marni.

Marni menyentak tangan Maria yang bertengger di atas tangannya. Dia mengusap kasar bekas sentuhan tangan Maria pada kulitnya seolah itu adalah hal yang menjijikan. "Berapa kalipun kamu memohon, bahkan sampai bersujud di kaki saya, saya tetap tidak akan memberitahumu secuil informasi apapun. Biar saja kamu mati penasaran. Saya gak peduli."

Maria menurunkan bahunya lemas. Dia tidak tau lagi harus memohon seperti apa agar ibu mertuanya itu mau membagi informasi tentang ibu kandungnya. Maria hanya bisa terisak lirih.

Marni yang melihat Maria tidak memohon-mohon lagi di kakikya memutar roda kursinya menjauhi Maria. Marni perlu menjernihkan akal dan hatinya dari segala keruwetan yang telah terjadi. Dia memang membenci Maria, sangat benci malah. Tapi, Marni juga susah mendeskripsikan hatinya yang kini merasakan perasaan ingin merengkuh punggung bergetar Maria yang rapuh. Marni benci dia bisa lemah, maka untuk mencegah hal itu agar tidak terjadi, Marni terus memupuk kebencian dalam hatinya dengan mengingat Mina, mantan sahabatnya sekaligus Ibu kandung Maria.

Sela yang mengintip di balik pintu sontak menyingkir terburu-buru untuk bersembunyi di balik tembok begitu melihat Marni memutar roda kursinya hendak keluar. Sela mendengar semua kejadian di dalam dari awal sampai akhir membuatnya tidak dapat menahan senyum lebar. Dia pastikan akan mengetahui tentang informasi mengenai Ibu kandung Maria yang selama ini dicarinya untuk membuat Maria mau  bersujud di kakinya. Yah, bukan hal mudah sih. Tapi dia bisa membujuk wanita tua itu agar mau buka suara dan membeberkan informasi itu sampai tuntas. Sela menyeringai licik.

Tunggu saja Maria! Akan aku pastikan kamu bersujud di kakiku dan menciumnya berkali-kali.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status