Share

Bab 1

Bagaimana rasanya terkurung dalam kamar hotel yang terkunci bersama laki-laki yang pernah sangat kau benci? Menyebalkan, bukan?

Kini aku merasakannya. Laki-laki yang harus kupanggil Tuan Smith ini mengurungku dalam kamar hotelnya, yang sialnya harus kuterima dengan senang hati. Seseorang yang harus aku layani, seseorang yang menjadi pembeli pertamaku, mengapa harus dia? Masih kuingat dengan jelas bagaimana dia mengataiku gendut sambil melemparkan tomat busuk ke wajahku dulu. Ah, setidaknya aku sudah tidak gendut sekarang.

Lelaki itu perlahan mendekat setelah memastikan pintu tertutup rapat. Suara ujung sepatunya yang mengetuk-ngetuk lantai kamar seirama dengan suara jarum jam yang berdetak konstan di dinding. Aku menelan ludah dengan susah payah seiring langkahnya yang semakin mendekat. Kedua matanya menatapku lekat, dengan sebelah sudut bibir yang tertarik membentuk senyum mengintimidasi.

Dia terus melangkah lagi dan lagi, sembari melepas jas dan melemparnya asal ke arah sofa. Masih sambil melangkah, tangannya bergerak membuka kancing di pergelangan tangan dan menggulung bagian lengannya sampai ke siku. Setelah itu, jemarinya bergerak naik, melepas dasi sekaligus dua kancing teratas kemeja putih yang dikenakannya itu.

Gerakannya baru berhenti ketika dia telah berada tepat di depanku. Benar-benar di depanku. Lututnya bahkan bersentuhan dengan lututku yang saat ini sedang terduduk dengan gugup di tepi ranjang.

Aku tidak berani menghadap ke atas untuk membalas tatapannya. Melihat ke depan pun bukan pilihan yang bijak, karena kedua mataku sekarang persis berhadapan dengan perutnya yang rata—tidak seperti perut Tuan Rob yang buncit tadi. Akhirnya aku memalingkan muka ke samping. Namun, sial! Dia dengan cepat meraih daguku dan mengangkatnya, membuatku mendongak.

Wajahnya perlahan merendah, hingga kini embusan napas hangatnya terasa membelai wajahku.

"A–apa yang kau lakukan?" tanyaku tergagap saat bibirnya hampir tak berjarak dengan bibirku.

Dia terkekeh kecil. "Apa yang kulakukan?" ulangnya. "Aku mengeluarkan lima puluh juta untuk membawamu ke mari. Menurutmu apa lagi yang akan kulakukan selain menikmatimu malam ini?"

Setelah berucap demikian, dia bergerak menjauh lalu berhenti di depan kabinet yang berada di samping kiri kamar. Mengambil sebotol whiskey dan menuangkannya ke dalam gelas kristal berisi es batu di tangannya.

"Senang bertemu denganmu lagi, Bubble." Dia tersenyum miring, lalu menyesap minumannya pelan.

"Jangan panggil aku Bubble lagi. Kau tidak lihat aku sudah kurus?"

Dia kembali terkekeh. "Ya benar. Kau sekarang sudah kurus, begitu cantik dan menggairahkan. Aku bahkan hampir tidak percaya jika kau adalah Naomi. Bocah ingusan yang bertahun lalu menjadi mainanku di sekolah."

Seketika, aku mencengkeram paha yang sedari tadi menjadi tumpuan tangan demi mendengar ucapannya. Mainan, katanya?

"Aku benar-benar tidak sabar untuk mencicipimu. Kau belum pernah melakukan ini sebelumnya, kan?" tanyanya. Pandangannya seolah menembus ke dalam pakaianku.

Astaga! Mengapa nasib buruk selalu menimpaku begini? Dulu, bertahun-tahun lalu, laki-laki ini adalah orang yang membullyku dengan begitu parah di sekolah. Lalu, apa sekarang laki-laki ini juga yang harus merenggut kesucianku?

"Ahahaha ... kenapa wajahmu tegang begitu, Bubble?" Tawanya meledak. Dia kembali melangkah mendekat.

"Kau takut?" tanyanya seraya merendahkan tubuh, membuat wajahnya berada tepat di depan wajahku.

Aku menggeleng terbata. Tentu saja aku takut!

Dia tak lagi menimpali, hanya mendudukkan diri di sampingku. Tangannya sibuk memutar-mutar gelas, membuat suara es batu yang membentur-bentur dinding gelas mengisi keheningan kamar. Beradu dengan suara pendingin ruangan yang menderu pelan.

"Jelaskan padaku, Bubble, apa yang membuatmu senekat ini. Berada di tempat ini dan menjajakkan tubuhmu kepada pria hidung belang di sini?" Dia kembali membuka suara, memecah kebisuan yang sedari tadi kami pertahankan.

"Bisakah kau berhenti memanggilku Bubble?!" jawabku setengah berteriak. "Panggil aku Rose. Namaku Rose di sini."

Aku kesal. Setiap kali dia memanggilku Bubble, kenangan masa lalu dengan cepat memenuhi kepalaku. Membuatku merasa sedang berada di sekolah dan kembali dibully olehnya.

Dia mengangguk. "Baiklah, baiklah. Rose, sekarang katakan padaku."

"Bukan urusanmu!" ketusku.

"Begitukah?" Dia menoleh ke arahku. "Aku bertanya karena ingin berbaik hati menawarkan kesepakatan padamu. Jika kau tidak mau, ya sudah. Ayo, kita mulai."

Dengan cepat dia memajukan tubuhnya hingga bibirnya kembali hampir bersentuhan dengan bibirku.

"Sebentar ... sebentar," tolakku seraya menahan tubuhnya agar tidak kembali mendekat. "Kau ingin menawariku kesepakatan apa?"

Dia kembali menjauhkan tubuhnya dariku. Duduk dengan punggung tegak sembari menatap lurus ke depan.

"Pertama-tama, jelaskan padaku apa yang membuatmu berada di tempat ini? Aku yakin, kau tidaklah semurahan itu."

Aku diam, menunduk. Jemariku saling meremas di atas paha.

"Rose," tuntutnya.

Akhirnya, masih dengan menundukkan kepala, aku menjawab, "Aku ... dipaksa menjual diri oleh tanteku. Wanita tadi."

"Kenapa kau mau? Di mana orang tuamu?"

Hening menjeda percakapan kami sesaat, sebelum aku kembali berbicara. "Orang tuaku bercerai, lalu ayahku menikah lagi dan ibuku meninggal. Aku tidak sudi tinggal bersama ibu tiri, maka aku memilih tinggal bersama tanteku. Siapa sangka, dia justru melemparku ke tempat ini." Aku tertawa hambar. Menertawakan nasib burukku sendiri, lebih tepatnya.

"Kalau begitu, aku akan membantumu keluar dari tempat ini."

Aku menoleh ke samping, agak mendongak. Menatap wajahnya yang lebih tinggi dariku. "Kenapa?"

"Aku akan membantumu, jika kau juga mau membantuku."

"Apa yang harus kulakukan?"

"Mudah." Dia menoleh, lalu mencondongkan tubuh ke depan, membuat wajahnya hanya berjarak tak sampai satu inci dengan wajahku. "Kau hanya perlu menikah denganku."

"Apa?!"

***

"Bubble!" Kudengar teriakan dari balik punggung, sesaat setelah aku melewati gerbang sekolah.

Aku mempercepat langkah. Jemari menggenggam erat tali tas punggung yang menggantung di pundak. Setengah berlari, aku melewati koridor kelas-kelas lain, berusaha secepat mungkin sampai di kelasku yang terletak paling ujung. Belum juga sampai di depan kelas, seseorang sudah menarik tasku hingga aku terjerembab ke belakang.

Tawa membahana seketika terdengar. Orang-orang yang sejak tadi memanggilku dengan sebutan Bubble itu kini telah berdiri mengelilingiku.

Pemuda bertubuh tambun dengan kulit pucat dan rambut merah ikal berdiri di samping kiri. Andrew namanya. Mulutnya yang besar terbuka lebar sembari mengeluarkan tawa menjengkelkan.

Sebelah kanan berdiri Fang, lelaki bertubuh tinggi kurus yang warna kulitnya sama sepertiku—putih cerah. Kedua matanya yang sipit semakin terlihat segaris saat tertawa terbahak-bahak.

Di antara ketiga orang yang suka membullyku, orang yang berdiri di depanku inilah yang paling kutakuti. Darren. Alexander Darren Smith. Tubuhnya tinggi tegap, bahkan terlalu tegap untuk ukuran anak seusianya. Dia baru kelas enam, tetapi tubuhnya sudah terlihat seperti pemuda di tingkat high school.

Wajahnya tampan, dengan rambut yang berwarna cokelat gelap, hidung mancung, dan bibir yang kini tengah menyunggingkan seringai mengerikan.

Mata hazelnya menatapku tajam, seperti tatapan elang yang melihat seekor kelinci. Rahangnya tegas, membingkai wajah tampannya sehingga terlihat semakin sempurna. Yah, memang, dia terlihat tampan. Kuakui itu. Bahkan, dialah yang paling tampan di antara mereka bertiga. Namun, dia jugalah yang kelakuannya paling iblis. Sangat mengerikan.

"Kenapa kau tidak menyahut saat kupanggil, Bubble?" Darren menundukkan wajah, membuat wajahnya sejajar dengan wajahku yang kini menunduk takut.

"Jika ada yang bertanya, jawab!" bentaknya seraya menarik rambut hitamku yang dikuncir satu, membuatku mendongak sambil meringis kesakitan.

Yang lain tertawa semakin keras.

Kepalaku terasa nyut-nyutan karena Darren tak kunjung melepas cengkeramannya dari rambutku. Aku bahkan takut, seluruh rambutku akan tercabut dari akarnya.

"Sa–sakit," lirihku. Mataku terpejam erat, menahan sakit sekaligus menghindari tatapan Darren.

"Lihat aku!" Dia menggeram. Deru napasnya menyapu wajahku.

Perlahan, aku membuka mata. Dan seketika tatap kami bertemu. Sorot tajam dari manik hazelnya berjumpa dengan manik kecoklatanku yang redup. Wajahnya terlihat samar, tertutup kabut-kabut yang membayang di pelupukku.

Dia menarik wajahnya menjauh setelah setetes air mata jatuh di pipiku. Kulit kepala yang terasa panas, ditambah tatapan mengintimidasi darinya membuat pertahananku runtuh.

Dia menegakkan tubuh, lalu melempar tasnya ke wajahku.

"Bawakan tasku ke kelas." Kemudian, tanpa menunggu balasanku—yang tentunya tidak dia perlukan, dia berbalik dan berlalu diikuti teman-temannya yang mengekor di belakang.

'Sialan! Sampai kapan pun, kau takkan kumaafkan, Darren!' umpatku dalam hati.

***

"Bagaimana? Mudah, bukan? Toh, kita sama-sama akan hidup sebatang kara setelah ini. Bukankah lebih baik kita hidup bersama, dari pada hidup sendiri-sendiri?" Suara Darren membuyarkan lamunanku tentangnya. Tentang masa lalu kami, lebih tepatnya.

Aku membelalakkan mata. "Kau gila?! Jangan bercanda!"

"Aku masih waras dan aku serius." Dia membuang muka. "Jika kau tidak mau, aku hanya akan menikmatimu sekali, setelah itu kau boleh pergi," lanjutnya seraya melipat tangan di dada.

Aku gamang. Aku tidak ingin tidur dengannya. Namun, menikah dengannya bukankah sama saja aku akan tidur dengannya pada akhirnya? Lalu, apa bedanya?

"A–pa yang akan kudapatkan jika mau menikah denganmu?" tanyaku ragu.

"Aku akan membebaskanmu dari tempat menjijikan ini dan kau masih bertanya apa yang akan kau dapatkan?" Dia geleng-geleng kepala.

Memangnya apa yang salah dengan pertanyaanku? Bukankah aku juga harus hidup?

"Aku hanya berusaha bertahan hidup."

Helaan napasnya terdengar kasar. "Kau akan tetap hidup. Dan aku akan menjamin seluruh kebutuhan hidupmu. Apa itu cukup?"

"Kau serius?"

"Duarius!"

Aku menghela napas. Haruskah? Maksudku, bahkan sampai detik ini aku masih belum bisa melupakan segala perbuatannya terhadapku dulu. Lalu, bagaimana mungkin tiba-tiba kami menikah dan hidup bersama? Apa baginya, semua yang dia lakukan padaku dulu bukanlah apa-apa?

"Aku tidak punya banyak waktu, Rose. Cepatlah!" sentaknya.

"Aku ...." Kugigit bibir keras-keras untuk menghilangkan kegugupan.

Apa yang harus kulakukan? Aku bingung.

"Tiga ...." Dia mulai menghitung mundur. Tak sabar.

Sementara aku masih belum selesai berpikir. Tak ada jawaban yang terlintas di otakku.

"Dua ...," ucapnya. Membuatku semakin gugup. Jemariku saling meremas di atas paha.

"Sa—"

"Baiklah, baiklah," ucapku pada akhirnya. "Aku mau menikah denganmu. Tapi ada syaratnya," sambungku sambil perlahan mengangkat wajah. Memberanikan diri menatap wajahnya.

"Apa syaratnya?"

Aku menggeleng. "Sebelumnya, aku ingin tau dulu, apa yang membuatmu ingin menikahiku."

"Kau benar-benar ingin tau?"

Aku mengangguk. Kembali kudengar helaan napas panjangnya sebelum dia berbicara.

"Kakekku menginginkan salah satu di antara aku dan sepupuku untuk menikah dengan anak dari mitra bisnisnya. Wanita itu menginginkanku, sedangkan aku tidak berminat menikahinya. Maka dari itu, aku akan menikahimu supaya kakekku tidak menyuruhku menikah dengan wanita itu."

"Kau memperalatku?" Seketika aku berdiri.

Dia terkekeh. "Kenapa terkejut begitu? Menurutmu apa lagi alasanku menikahimu selain itu?"

"Dari dulu sampai sekarang, kau tidak berubah, Darren. Tetap menyebalkan."

"Aku tau." Dia mengangguk. "Terima kasih. Akan kuanggap itu pujian."

Dia ikut beranjak dari duduk, melangkah ke kabinet untuk meletakkan gelas kosong yang masih dipegangnya sedari tadi, lalu kembali melangkah ke arahku.

"Sekarang katakan, apa syarat yang kau ajukan?"

Aku menarik napas dalam-dalam untuk menetralkan detak jantung, lalu sambil menatap kedua matanya aku berkata dengan tegas, "Aku mau menikah denganmu, tapi kau tak boleh menyentuhku."

Dia membulatkan mata. "Syarat macam apa itu?"

"Kita akan hidup bersama, tapi jangan ikut campur urusan satu sama lain. Kau, hiduplah seperti biasa kau hidup. Dan aku akan hidup seperti aku ingin hidup. Anggap saja, kita akan jadi dua orang asing yang tinggal dalam satu rumah," terangku tanpa jeda.

"Apa itu masuk akal?"

"Pernikahan kita lebih tidak masuk akal bagiku, Tuan Smith!" sergahku. "Aku mau menikah denganmu untuk menghindar dari kewajiban melayanimu malam ini. Jika dengan menikah denganmu aku tetap harus melayanimu, lebih baik kita tidak perlu menikah. Karena bagiku akan sama saja."

Dia terlihat mengangguk-angguk, mungkin memaklumi alasanku. Suara langkah kakinya menyentakku, membuatku mengangkat wajah dan menatapnya was-was. Dia berjalan mendekat, langkah demi langkahnya terdengar seperti hitungan mundur kematian, membuatku takut.

"Baiklah. Aku setuju," ucapnya setelah berdiri tepat di depanku. "Kita akan jadi orang asing yang tinggal dalam satu rumah."

Aku mendesah lega. Huh, syukurlah.

"Tapi, bukankah setidaknya aku berhak mendapat sesuatu setelah mengeluarkan lima puluh juta dolar?" ucapnya kemudian.

Aku mengerutkan dahi. Tak mengerti maksud dari ucapannya. Lalu, detik berikutnya bibirnya sudah menempel dengan begitu lekat di bibirku. Membuatku terbelalak.

First kissku ... Darren sialan!

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mirielle
woilahh first kiss anak orang itu Darren...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status