Share

Mawar Merah Sang CEO
Mawar Merah Sang CEO
Penulis: Hanna Aisha

Prolog

"Berapa harganya?" Seorang pria paruh baya berambut klimis bertanya kepada wanita yang berdiri di sampingku.

"Tujuh juta dolar, Tuan. Dia baru di sini. Masih segel," jawab wanita yang harus kupanggil Mami itu.

Pria tambun dengan jas yang terlihat tak mampu menutupi perut buncitnya itu memindaiku dari atas ke bawah. Matanya menyipit, seperti sedang menilai kelayakanku. Setelah menimbang beberapa saat, dia berujar.

"Baiklah, aku ingin dia malam ini." Kemudian, pria itu berlalu meninggalkanku dan Mami di sini.

Setelah kepergiannya, Mami menepuk bahuku dan berkata dengan penuh penekanan, "Rose, layani Tuan Rob dengan baik. Dia pelanggan tetap Mami."

Aku mengangguk ragu, meski dalam hati bertanya, bagaimana caranya melayani yang baik?

Mami mengajakku ke sebuah ruangan tempat para gadis sepertiku bersiap sebelum mulai bekerja. 

Aku mendudukkan diri di kursi depan meja rias, lalu tangan lentik Mami mulai menunjukkan keahliannya merias wajah. Eye shadow smokey eyes dan lipstik merah terang menghiasi wajahku setengah jam kemudian. Mami berdecak kagum, mungkin bangga melihat hasil kerjanya. Setelah menyuruhku mengganti baju dengan dress merah selutut yang bagian bahunya terbuka, Mami mengantarku ke tempat di mana laki-laki tadi menunggu.

Kami turun ke lantai satu, tempat manusia-manusia yang ingin menghilangkan penat berkumpul jadi satu. Mereka berjejal-jejalan di dance floor, melenggak-lenggok serempak menggerakkan tubuh mengikuti irama musik layaknya cacing dalam bejana. 

Beberapa orang terlihat duduk di sofa-sofa yang disediakan di sudut-sudut ruangan. Ada yang meracau tak jelas sembari mencekik leher botol, ada pula yang asik bercumbu dengan kekasihnya, atau selingkuhan—atau mungkin seseorang yang baru mereka temui malam ini? Entahlah.

Beberapa orang lebih memilih duduk di depan meja bar, bercengkrama dengan bartender sembari menikmati minuman di gelas masing-masing. Semua suara bercampur menjadi satu, memekakkan telinga. Lampu sorot redup warna-warni yang berkelap-kelip membuat kepalaku terasa pening.

Aku bahkan belum menginjakkan kaki di lantai satu, tapi melihat penampakan tempat itu dari balkon lantai dua saja sudah membuat kepalaku nyut-nyutan. Bagaimana jika aku sampai ke sana? Apa aku akan pingsan?

"Rose," tegur Mami saat melihatku mematung.

Aku menelan ludah. Lalu, dengan perlahan mengayunkan kaki mengikuti Mami yang telah terlebih dahulu menuruni satu-satu anak tangga.

Langkahku terseok, sementara jemariku mencengkeram erat railing tangga besi yang menjadi tumpuan tangan. Sepatu heels merah yang kupakai menjadi alasan mengapa aku kesusahan berjalan —selain degup jantung yang berpacu terlalu kencang, tentu saja.

"Rose, bergegaslah. Jangan buat tamu pertamamu menunggu lama!" tegas Mami. 

Aku terkesiap, lantas berusaha sebisa mungkin mempercepat langkah. Meski harus sesekali terpincang karena sepatu yang kugunakan, namun pada akhirnya aku sampai di bawah dengan selamat.

Sekali lagi, aku harus berhadapan dengan pria buncit di depanku ini. Kini, matanya tidak lagi memicing, tetapi justru melotot. Kurasa sebentar lagi kedua bola mata itu akan melompat keluar dari tempurungnya. Seringai di bibirnya yang hitam menambah kesan menyeramkan laki-laki itu di mataku.

"Polesanmu memang tidak pernah gagal." Pria itu mencolek dagu Mami. Aku bergidik melihatnya.

Anehnya, Mami justru tersipu malu. "Silakan, Tuan. Rose sudah siap."

Tuan Rob mengangguk setuju, dia merangkul bahuku. "Ayo, cantik."

"Ke mana?" tanyaku sembari menahan langkah.

Dia terlihat menautkan alis. "Aku tidak suka bermain di sini. Kita ke hotel langgananku saja." Dia melanjutkan langkah, tetapi detik berikutnya kembali berbalik. "Oh, iya, aku mengeluarkan biaya yang tidak murah untuk memesanmu. Jadi, kuharap pelayanan yang kau berikan juga sebanding dengan itu."

Tuan Rob kembali merangkul bahuku dan mengajakku keluar. Namun, belum sampai tiga langkah, seseorang telah terlebih dahulu menahan kami.

"Tunggu!" Suara serak dari laki-laki itu mengalahkan dentuman musik. Kami menoleh.

Dalam keremangan lampu disko, tubuh tegapnya terlihat mendekat ke arahku. Tangannya bergerak membuka kancing jas yang dia kenakan. Rahang kokoh yang membingkai wajahnya begitu tegas, memancarkan aura menyeramkan, sekaligus mempesona di waktu bersamaan.

Pria itu menghentikan langkah tepat di depanku. Tatapannya beradu pandang dengan manik kecoklatan milikku, membuat pipiku terasa menghangat. Aku menunduk demi menyembunyikan rona wajah, yang belum tentu bisa dia lihat.

"Aku ingin dia," ucapnya tanpa basa-basi. Membuatku mendongak.

"T-tapi ... dia sudah dipesan Tuan Rob." Mami mendekat dan berusaha menjelaskan.

"Berapa Anda membelinya?" tanya lelaki itu pada Tuan Rob.

"Tujuh juta dolar."

Lelaki tampan dengan bulu-bulu halus menghiasi rahangnya itu terlihat mengangguk-angguk. "Kalau begitu, aku akan membelinya darimu 10 juta."

"Tidak. Aku tidak butuh uangmu. Aku hanya butuh dia untuk menemaniku malam ini." Tuan Rob menoleh ke arahku sambil menyeringai, sekali lagi aku bergidik.

"Ma'am, aku akan membayarnya 10 juta, jadi serahkan dia padaku." Lelaki itu mengalihkan pandangan ke arah Mami.

Mami terlihat berpikir. Aku tahu, baginya uang sebanyak itu pasti terasa sayang untuk dilewatkan.

"Kalau begitu, aku akan menambahkan transferanku menjadi 12 juta." Tuan Rob tak mau kalah.

"Aku akan membelinya 15 juta."

"Dariku 17 juta."

Lelaki di depanku menghela napas. "Penawaran terakhir, 50 juta dolar. Deal?" tanya lelaki tampan itu kepada Mami. Sedangkan, di sebelahku, Tuan Rob mematung.

"Bagaimana, Tuan? Apa kau mau menaikkan harganya lagi?" tanya Mami memecah keheningan di antara kami.

Tuan Rob melirikku sekilas. "Membuang uang 50 juta hanya untuk wanita ini, kurasa bukanlah keputusan yang bijak." Dia mendorongku pelan ke depan, ke arah lelaki yang sedari tadi tak berhenti menatapku. "Silakan ambil. Aku bisa cari wanita lain."

Tuan Rob melenggang pergi setelah mengatakan itu, sementara lelaki yang kini berdiri di sampingku tersenyum senang, merasa menang. Mami mengejar Tuan Rob yang keluar dari tempat ini sembari menghentakkan kaki, meninggalkan aku dan lelaki di sampingku, berdua.

Setelah bayangan Tuan Rob dan Mami menghilang di balik pintu kaca besar tempat mereka keluar, lelaki yang berdiri di sampingku menoleh. Dia membungkukkan badan, membuat wajahnya sejajar dengan wajahku, kemudian menarik kedua sudut bibir.

"Long time no see."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status