Lampu aku hidupkan dan benar Tanganku bersimbah darah karenanya. Darah itu merembes dari kemeja Pak Mahendra."Kak .... Kamu kenapa? Si-siapa yang berbuat jahat kepadamu?" ucapku dengan tangan gemetar membuka kancing bajunya."Tadi ada yang mencoba merampokku."Luka menganga lebar terlihat jelas dengan darah yang tidak berhenti keluar. Secepatnya aku ambil kotak obat di dashboard. Mengambil kasa, kapas dan plester. Luka aku tutup dan diplester untuk mengurangi keluarnya darah. Walaupun darah berkurang yang keluar, tapi luka ini harus dijahit. "Kak, kita harus ke rumah sakit," bisikku. "Kak Mahe tahan sakit sebentar, geser tempat duduknya," ucapku sambil membantunya untuk beringsut. Posisi kami yang berdekatan dengan kancing baju terbuka membuat hati ini berdesir."Litu .... Kamu harus ganti baju," ucapnya lirih dengan mata terbuka sendu, namun tangan satunya mencengkeram erat pinggangku.Duh! Aku lupa, karena terburu-buru keluar, aku masih menggunakan baju tidur. Ya, hanya baju tid
"Jangan! Nanti Mama marah!" teriak Pak Mahendra dengan menarik tangan Mas Sakti yang memegang ponsel. "Kalau tidak begini, kamu tidak akan nurut! Sudah dikasih tahu, tidak mau dengar omongan orang!" "Iya, ya. Aku salah. Tapi janji, rahasiakan ini dari Mama!" pinta Pak Mahendra."Apa yang dirahasiakan, Hendra?" suara lembut keibuan terdengar sesaat setelah pintu terbuka. Seorang wanita dengan tampilan elegan masuk ke dalam ruangan. Dibelakangnya dua orang laki-laki berjas hitam rapi mengikuti. Mereka bersiap tegap di sebelah pintu, seperti bodyguard di film-film.Ditangannya memegang gulungan koran yang diacungkan ke arah Pak Mahendra. Ibu ini yang disebut keduanya dengan panggilan Mama. Entah Mama dari siapa. Kalau Mama Pak Mahendra berarti .... Mati aku!"Kamu ditusuk orang, tapi tidak mengabari Mama? Dan kalian berniat merahasiakannya?" tanyanya sambil menatap Mas Sakti dan Pak Mahendra bergantian."Ma-maaf, Ma. Hendra bukan ....""Apa-apaan kamu! Terus ini siapa? Kamu juga merah
Resahku sekarang berganti. Bukan karena sakitnya Pak Mahendra, tetapi karena tiga hari lagi harus bertemu Mama Lia.Calon mertua.***Aku seperti jungkir balik mengatur jadwal. Jadwal yang ketat untuk proyek ini memaksaku harus menyelesaikan meninjauan hasil kerja team gambar yang menumpuk di mejaku. Pekerjaan yang seharusnya dibagi dengan Mas Sakti, harus aku selesaikan sendiri. Dia menggantikan pekerjaan Pak Mahendra yang masih harus dirawat di rumah sakit. Dan di sinilah aku, tenggelam dalam banjir pekerjaan.Tidak ada kata bersantai lagi. Bahkan untuk makan siangpun, Mbak Endah mengirimnya ke ruanganku. Itu, karena perintah Mas Sakti yang melihat aku tidak sempat ke cafetaria.Belum lagi Pak Mahendra yang menggangguku. Terkurungnya dia di rumah sakit tidak menghambat terornya. Aku diharuskan menerima panggilan video hanya sekedar alasan kangen. "Kak Mahe, saya tidak bisa lama-lama bicara. Bisa jadi saya harus lembur. Kak Mahe, mau?" tanyaku tanpa menoleh ke arah layar ponsel. A
"Sayang .... Kamu sudah tidur?" Suara Pak Mahendra terdengar dekat. Aku langsung memejamkan mata pura-pura tidur. Terasa ada yang duduk di tepi ranjang. Tidak selang beberapa lama seperti dia berbaring di belakangku."Kamu belum tidur, kan?" bisiknya ditelingaku dan sesekali mengecup rambut ini. "Kak .... tangannya," ucapku serak saat dia melingkarkannya diperutku. "Kamu belum tidur, kan?"Kali ini dia menyibak rambutku dan memberikan kecupan kecil. Jantungku yang tadi hampir terlepas, sekarang benar-benar lepas. Aku tercekat tidak kuasa menghindar, bahkan saat dia membalikkan tubuh ini. "Kak ...." Dia tersenyum dan bergerak cepat membungkamku. ..."Aduh!" teriakkannya.Ulah tanganku yang penasaran dengan pemandangan tadi membuat dia berteriak. "Maaf, Kak!"Aku langsung duduk dan membuka piyamanya memastikan lukanya aman. Tentunya serambi memuaskan penasaranku. Sepertinya aku sudah teracuni olehnya. "Tidak berdarah, sih. Aman. Kak Mahe, sih. Kenapa juga harus pindah tempat tid
"Kenapa, kamu Litu?" Suara Mas Sakti mengagetkanku. Tiba-tiba wajahnya muncul di depanku. Aku yang menundukkan kepala dengan meremas rambut ini, langsung membuka mata lebar. Wajah dengan alis bertaut. Sebentar lagi, pasti mengoceh hipotesa tentangku yang sekarang berputar di otaknya.Kusandarkan tubuhku di kursi. Pasrah dengan tuduhan-tuduhan yang akan terlontar. Kepalaku sudah pening. Otakku seperti mengalami konsleting karena kata deadline memburuku. Pekerjaan deadline karena minggu depan sudah jadwal lounching. Termasuk dikejar deadline masa lajangku, yang sudah didesak kata menikah cepat dari Pak Mahendra. Huuft!"Kamu lagi mikir apa? Cerita dengan Kakak Ipar!" ucapnya tersenyum dengan menepuk dadanya."Cerita yang mana dulu? Semua membuat otak akan meledak!" teriakku sambil menghembuskan napas panjang."Pekerjaan? Sudah bereskan? Tinggal nunggu hasilnya saja. Maaf, ya. Kemarin-kemarin aku tinggal.""Ya itu yang membuat saya cemas, Mas! Apakah para undangan nanti tertarik, suk
"Litu, malam ini kamu cantik sekali!" pekik Pak Mahendra saat aku turun dari tangga. Dia ditemani Alysia di ruang tamu. Matanya tidak teralihkan dariku."Ini hasil karya Alysia," ucapku menatapnya sekilas dan meraih tangan Alysia yang tersenyum bangga. Aku seperti gadis kampung yang baru saja dimake over. Malu aku, apalagi dia menatapku seakan ingin menguliti.Aku menggunakan baju terusan selutut yang membentuk siluet tubuhku. Tidak ketat, masih terasa nyaman. Berwarna toska, dengan manik-manik kecil menghiasi kerah leherku. Rumbai lipitan diujung bawahan, membuat kesan elegan namun terlihat santai. Ini cantik, namun menggangguku. Saat jalan, rumbaian ini melambai seakan menunjukkan, "Ini lo, kakiku jenjang, putih dan cantik."Riasan juga natural. Rambutku diikat rapi, ini supaya terkesan tidak berantakan di depan calon mertua, kata Alysia sok tahu."Bajunya bagus. Semuanya bagus. Kita berangkat sekarang," ucapnya dengan mengulurkan tangannya. Kami berangkat diantar Alysia ke depan.
Sekarang di dada ini sedang terjadi pergulatan rasa. Kawatir, takut, dan cemas, rasa yang lebih menguasaiku. Bagaimana tidak, mempunyai calon suami yang super kaya seperti ini. Itu sangat menakutkan.*Sekarang, aku baru merasakan aura rumah. Bangunannya masih terkesan megah, namun masih bersahabat. Permainan batu alam dikombinasi dengan kayu besar dan detail sedikit ukiran, membuat hati ini merasa nyaman. Apalagi cahaya temaran dan lampu sorot di beberapa titik taman terbuka.Genggamanku tidak seerat lagi, senyumku pun mulai terukir kembali menyambut tatapan hangat Pak Mahendra. Tetap, tanganku tergantung dilengannya. Menopang tubuhku yang tersiksa karena alas kaki cantik yang tinggi ini. "Kita langsung ke belakang, ya. Mama sudah menunggu di dapur," ucapnya mempercepat langkahnya. Kami melewati beberapa ruangan yang terlihat sekilas mempunyai tatanan yang indah. Dari sini, kelihatan sekali Mama Lia mempunyai selera yang tak biasa. "Litu! Akhirnya kamu sampai!" teriak Mama Lia men
"Capek?" Pertanyaan Pak Mahendra terlontar memecah keheningan di dalam mobil. Setelah meninggalkan istana itu. Kami disibukkan dengan pikiran masing-masing. Banyak sekali pertanyaan di kepalaku, kenapa, siapa, bagaimana, seandainya, semua berjubal minta dibebaskan. "Capek kenapa? Kita hanya makan," jawabku singkat. Bingung akan menjawab apa, sedangkan pertanyaan sudah membuatku pusing."Capek mendengarkan cerita Mama."Aku hanya tersenyum dan menggeleng. Seandainya dia bertemu Ibu yang tidak berhenti bicara dari bangun sampai tidurnya. Atau, menemani Bapak nongkrong di depan dari kopi gelas pertama sampai kelima. Pasti dia akan memakluminya."Kita mampir ke rumahku dulu, ya? Selama ini, kamu belum pernah aku ajak," ucapnya sambil membelokkan ke hunian yang dijaga dua Satpam. Mereka langsung berdiri tegap dan membungkukkan badan. Pintu gerbang tinggi terbuka dengan sendirinya.Kesan maskulin begitu kental. Warna abu-abu dan hitam mendominasi. Lampu taman menghiasi dibeberapa sudut,