"Baiklah. Kalau itu mau Ibu, aku dan Kayla akan pergi dari rumah ini," ucap Erika dengan menahan isak tangisnya.
Setidaknya saat ini, harga diri adalah satu-satunya hal yang tersisa pada diri Erika. Dan dia akan mempertahankannya sampai detik terakhir berada di rumah Gerry.
"Bagus kalau kau sudah mengerti. Sekarang cepat kemasi barang-barangmu dan tinggalkan rumah ini, karena aku sudah muak melihat mukamu yang lusuh itu," sindir Trinita yang merasa di atas angin.
Erika segera masuk ke kamar, meletakkan Kayla di tengah ranjang. Dia mulai memasukkan barangnya dan sang putri yang seadanya ke dalam koper.
Hatinya berdenyut nyeri, karena koper itu rencananya akan dia gunakan untuk berlibur ke luar negeri setelah Gerry kembali ke Indonesia. Tapi nyatanya, kini dia menggunakannya saat terusir dari rumah suaminya.
Tak lama Trinita masuk ke kamar, wanita itu sudah seperti mandor yang mengawasi pekerjaan anak buahnya.
"Aku akan mengawasi apa yang boleh kau bawa pergi dari rumah ini," ucapnya dengan angkuh.
Erika hanya diam, dia bertekad menulikan telinganya dari celotehan Trinita. Meskipun punggungnya terasa berat karena tatapan tajam sang mertua.
Sesekali Erika menoleh ke arah Kayla yang masih terlelap, dia menghela napas lega, merasa sang putri juga ingin lekas pergi dari rumah yang tak menginginkan kehadirannya lagi.
Erika lalu keluar dari kamar sembari menggendong Kayla, dengan tangan kanan menggeret koper besar.
Di ruang tamu, semua keluarga Gerrry masih berkumpul. Erika merasa keberadaannya semakin mengecil dan tak berarti, karena tatapan penuh penghakiman yang tertuju pada dirinya.
Erika menghela napas panjang sebelum kembali menggeret kopernya keluar dari rumah Gerry. Dadanya terasa sesak, membuat langkahnya semakin berat.
Saat Erika akan memutar handle pintu terdengar suara teriakan yang menggelegar.
"Tunggu dulu!"
Erika menoleh dan melihat Trinita menatapnya sinis, suara hak sepatu tinggi yang beradu dengan lantai, membuat perasaannya semakin tidak karuan.
Akan tetapi, Erika tetap berusaha terlihat tenang di tengah intimidasi yang dilakukan oleh Trinita.
"Cepat bongkar kopernya." Titah Trinita pada salah satu sepupu perempuan Gerry.
Mata Erika terbelalak saat melihatnya, sama sekali tak menyangka jika Trinita masih memperlakukannya buruk sampai akhir.
"Bu! Bukannya Ibu melihat apa yang aku masukan ke dalam koper. Tapi kenapa sekarang Ibu malah membongkar barang-barangku? Apa Ibu pikir aku adalah pencuri?"
Trinita mengangkat dagunya setelah mendengar protes dari Kayla. Dengan sikap angkuh dia berdiri depan Erika.
"Ya ... siapa yang tahu apa yang kau bawa? Aku hanya mencegah agar kau tidak mencuri lebih banyak dari Gerry."
"Tapi aku ini istrinya Mas Gerry, Bu. Dan Kayla jelas berhak mendapatkan nafkah dari ayahnya," ucap Erika membela diri.
"Bukankah aku sudah berkata jika Gerry akan menceraikanmu. Jadi kau tidak punya hak lagi atas harta anakku."
Erika mengatupkan rahangnya, air matanya nyaris jatuh. Bukan karena lemah, melainkan karena tidak terima harga dirinya diinjak-injak begitu dalam.
Dengan tangan gemetar, Erika menurunkan koper dan membukanya sendiri.
"Silakan. Periksa sendiri, Bu. Tidak ada satu pun yang bukan milikku di sini."
Koper itu hanya berisi beberapa pakaian, baju bayi, serta satu amplop berisi hasil pemeriksaan Kayla terakhir kali. Sesuatu yang bahkan Gerry tak pernah melihatnya.
Trinita mendengus. "Cuma ini? Kamu yakin tidak menyembunyikan apapun dariku?"
"Seperti yang Ibu lihat, hanya ini barang-barangku dan Kayla," ucap Erika dengan nada datar, namun menatap tajam Trinita.
Merasa tidak dapat lagi menggoyahkan ketenangan Erika, membuat Trinita mendengus. Sedetik kemudian jari telunjuknya mengarah ke pintu depan.
"Jangan banyak drama! Cepat tinggalkan rumah ini sekarang juga."
"Ibu jelas tahu kalau bukan aku aku yang menciptakan drama."
Setelah mengatakan itu, Erika lalu menutup kopernya sembari menggendong Kayla lebih erat. Dia melangkah keluar tanpa menoleh ke belakang.
Di teras depan, udara sore menyambutnya, dingin dan kosong. Erika menarik napas panjang. Dadanya terasa hampa. Tapi di tengah keterpurukannya, satu hal masih dia genggam erat. Martabatnya dan Kayla.
"Maafkan Mama, Sayang ... yang tidak dapat membela diri. Mama janji akan membalas semua perbuatan mereka kepada kita suatu saat nanti."
Erika lalu melangkah menjauh dari rumah Gerry. Namun langkahnya mantap. Karena diam-diam dia sedang menyusun rencana.
Oleh karena itu baik dirinya dan Kayla harus menghilang sementara waktu. Menghilang dari semua orang yang mengenal mereka, termasuk dari keluarganya sendiri.
Bayangan kedua orang tuanya yang cemas seketika menghantuinya, tapi dengan cepat Erika mengenyahkannya.
Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya Erika memutuskan untuk duduk di sebuah halte. Dengan cepat dia memesan taxi daring, dan menuju tempat persembunyiannya dan Kayla untuk sementara waktu.
***
Tiga hari kemudian,
Erika dan Kayla tinggal Di sebuah rumah kontrakan mungil dengan cat mengelupas di beberapa sisi. Rumah itu terletak di sebuah gang kecil di pinggiran kota yang tersembunyi di balik deretan rumah padat penduduk.
Rumah kontrakan itu jauh dari kata layak untuk dihuni, tapi bagi Erika adalah tempat persembunyiannya dan Kayla yang paling aman untuk saat ini.
Erika duduk di lantai beralaskan karpet tipis, menyuapi Kayla yang duduk di pangkuannya. Tawa kecil putrinya menggema lembut di ruang yang sunyi.
Meski wajah Erika tampak lelah, ada ketenangan baru di dalam sorot matanya. Ketenangan yang lahir dari keputusan besar dan luka yang perlahan berubah jadi kekuatan.
Tiba-tiba, suara ponselnya kembali berbunyi. Erika menoleh dan melihat si pemanggil adalah "Mama". Dia hanya menatap layar itu beberapa detik, lalu membalikkan ponselnya.
Ini sudah panggilan keempat dalam dua hari terakhir. Erika tahu, keluarganya pasti cemas, tapi dia juga tahu, jika dia kembali sebelum dirinya siap bertempur, maka semua ini akan sia-sia.
Erika harus menguatkan hati untuk tidak mengabarkan kepada keluarganya, jika ini rencana yang sedang dia susun berjalan lancar.
"Besok aku harus membeli kartu seluler baru," gumamnya setelah menghela napas panjang.
Kayla akhirnya tertidur pulas di atas kasur tipis yang sudah dibersihkan Erika sejak pagi. Sang putri terlelap setelah perutnya kenyang.
Erika sendiri duduk di dekat jendela, memandangi langit senja sambil membawa map hitam berisi salinan dokumen penting yang dia ambil kemarin dari brankar bank.
Senyumnya mengembang ketika melihat semua surat berharga atas nama Gerry. Erika membuka dompet kecilnya dan mengeluarkan secarik kertas yang sudah mulai kusam.
Itu adalah salinan surat kuasa dari Gerry. Dokumen yang memberinya kuasa penuh untuk mengalihkan kepemilikan atas aset tidak bergerak milik Gerry ke nama Kayla.
Surat itu ditandatangani satu bulan sebelum Gerry berangkat ke luar negeri, saat pria itu kelelahan setelah menyelesaikan urusan proyek terakhirnya.
Saat itu, Erika hanya mengatakan bahwa dokumen itu penting untuk berjaga-jaga, andai sesuatu terjadi.
Gerry tak banyak bertanya dan itu adalah keberuntungan untuk Erika. Dia menatap salinan itu lama-lama, lalu tersenyum tipis.
"Aku nggak akan ambil sepeser pun buat diriku. Tapi aku juga nggak akan membiarkan kalian mengambil semua hak Kayla."
Ponsel Erika bergetar. Sebuah pesan masuk dari seorang notaris yang menanganinya.
'Bu Erika, proses balik nama rumah utama di kawasan Ciputra hampir selesai. Untuk dua unit tanah lainnya, kami masih menunggu validasi akhir dari dinas terkait. Estimasi selesai dua minggu lagi.'
Erika membalas singkat.
'Terima kasih, Pak. Tolong lanjutkan seperti rencana awal.'
Dia lalu memandangi Kayla yang masih tertidur sembari berkata.
“Mama janji, Sayang … kamu akan punya masa depan yang aman. Dan kmu nggak perlu bergantung pada siapa pun juga, termasuk pada papamu."
Melihat raut wajah kecewa yang ditunjukkan oleh Toni, membuat Rudy merasa bersalah. Dia segera mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. Setelah bercakap via telepon selama beberapa menit, pria itu memutuskan sambungan telepon."Tapi aku tahu orang yang ahli di dalam bidang hukum. Aku akan membantumu melalui orang ini. Aku sudah menghubungi dan sebentar lagi dia akan datang."Raut wajah Toni seketika menjadi cerah saat mendengar ucapan Rudy. "Terima kasih, Rud," ucap Toni yang mulai dipenuhi dengan kelegaan."Tidak perlu sungkan begitu, kita ini teman. Sekarang kita makan dulu sembari menunggu orang itu datang," ujar Rudy.Toni memaksa untuk makan, meski lidahnya tidak merasakan kenikmatan makanan yang tersaji. Saat selesai mengunyah suapan terakhirnya, Rudy menepuk bahunya."Ton. Itu dia, orangnya sudah datang."Toni menoleh dan sontak membelalakan mata saat melihat siapa yang baru saja datang. Orang itu adalah Hosea, pria yang baru saja dia temui siang tadi.Raut masam segera t
Sementara itu, kepulangan Erika dan Kayla disambut baik oleh Yuni. Wanita itu bahkan segera memasak berbagai makanan, sebagai rasa syukur karena dengan putri dan cucunya."Taruh Kayla di sofa biar dia bisa berbaring nyaman. Papa akan segera menyiapkan kamarmu yang dulu untuk kalian," ucap Toni yang membuat Erika terharu.Tanpa sadar Erika meneteskan air matanya, dia merasa beruntung karena masih memiliki orang tua yang siap berdiri paling depan untuk melindungi dirinya dan Kayla.Yuni yang membawakan sepiring buah potong tentu saja terkejut saat melihat Erika yang menangis, dia segera duduk di samping sang putri. "Erika. Kenapa kamu nangis? Apa kamu sakit?""Aku nggak sakit, Mah. Hanya merasa terharu, karena ada Papa sama Mama. Terima kasih karena kalian masih mau menerima kami dengan lapang dada."Yuni langsung memeluk sang putri. Dengan menahan tangis, dia berbicara. "Kamu nggak usah berterima kasih, Erika. Karena kewajiban orang tua itu adalah melindungi anak-anaknya."Setelahnya Y
Gerry menunduk saat seluruh anggota keluarga menatapnya dengan tatapan penuh penghakiman. Dengan Revan dan Nita yang duduk di depannya, semakin membuat degup jantungnya berpacu cepat."Apa ada yang mau kamu katakan, Gerry?" tanya Revan dengan nada mengintimidasi."A-aku minta maaf karena sudah menabrak Mbak Nita," ucap Gerry dengan terbata.Trinita langsung melebarkan mata saat mendengarnya, dia segera menghambur ke arah Gerry dan mengguncang tubuh sang putra seraya berkata. "Kenapa kamu bisa menabrak Nita? Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan kandungannya? Apa kamu mau bertanggung jawab? Makanya ada otak dipakai, dasar bodoh!"Gerry yang terdesak akan omelan Trinita akhirnya mengkambing hitamkan Erika."Ini semua karena Erika, Bu. Tadi aku nggak sengaja ketemu dia yang sedang bertemu dengan seorang pria. Aku rasa pria itu adalah kekasihnya."Akan tetapi, Revan dan Nita yang merasa aneh secara refleks saling berpandangan. Tak lama kemudian keduanya menghela nafas panjang, karena tahu
"Kerja keras? Kalau memang benar itu hasil kerja kerasmu, seharusnya bisa bermanfaat, bukan malah menyengsarakan orang lain!!!"Teriakan Nita yang menggelegar membuat Gerry terdiam, wajahnya seketika memucat. Dan pengendara ojol yang masih berada di antara keduanya, merasa khawatir dengan keadaan ibu hamil yang wajahnya memerah itu.Baru saja pengendara ojol akan berbicara, Nita kembali membuka suaranya."Ingat, Ger, kamu bukan anak kecil lagi. Tabunganmu bisa dicari lagi, tapi nyawa orang? Kalau tadi aku dan bayi ini kenapa-kenapa, apa kamu bisa ganti dengan uangmu?"Gerry semakin tercekat. Kata-kata Nita menghantam tepat di dadanya. Tapi bukannya sadar, dia justru kembali menggertakkan gigi. "Aku juga nggak sengaja, Mbak. Jangan lebay!"Seketika suara-suara riuh terdengar. Beberapa warga yang masih berada di sana langsung bersuara."Eh, dasar pria nggak tahu diri!""Kalau bukan karena ditahan tadi, udah habis kamu, Bro!""Padahal itu istri saudaramu yang kau tabrak, tapi masih bisa b
"Sial! Kenapa aku seperti tidak mengenali Erika? Apa selama ini dia berpura-pura menjadi istri penurut?" Gerry meninggalkan restoran dengan amarah yang membara. Dia bahkan melajukan mobilnya secepat kilat.Cacian dan umpatan dari para pengguna jalan pun hanya diabaikan oleh Gerry. Karena yang ada di dalam benaknya tentu saja ingin cepat berada di rumah. Gerry akan membuktikan pada Erika, jika dia tidak hanya sekadar menggertak. Sebuah nama sudah terpikirkan di dalam benaknya untuk mengurus gugatan di persidangan."Lihat saja, akan aku buat kamu menyesal karena telah membawa kabur semua surat-surat berhargaku," gumamnya dengan seringai sinis.Terlalu fokus dengan amarahnya membuat Gerry tak menyadari jika lampu lalu lintas berubah menjadi merah, dan dia menabrak sebuah motor pengendara ojol yang sedang membawa seorang wanita hamil.Alhasil para pengguna jalan yang berada di sekitar kejadian mengamuk, dan memukuli mobil Gerry dengan benda tumpul."Ckck. Sial sekali aku hari ini. Ini s
"Erika, syukurlah Papa menemukan kalian. Mama sedang sakit, sepertinya kecapean dan stres mencari keberadaan kamu dan Kayla," ucap Toni dengan raut wajah lega."Sekarang bagaimana keadaan Mama, Pah?" Erika yang panik segera memegang lengan sang ayah."Keadaan Mama sudah membaik, Nak. Sekarang lebih baik kita pulang, biar Mama kamu tenang."Erika mengembuskan napas lega saat mendengarnya, dia lalu menoleh ke arah Hosea yang ternyata sedang berjalan ke tempatnya.Toni pun mengikuti arah pandang putri sulungnya, seketika raut wajahnya menegang saat melihat wajah yang tak asing. "Kamu, masih berhubungan dengan pria itu?" tanya Toni datar."Aku baru saja ketemu Kak Hosea beberapa hari yang lalu, Pah. Nanti di rumah akan aku ceritakan lebih lanjut," jawab Erika."Selamat sore, Om. Bagaimana kabarnya?" sapa Hosea dengan senyum lebar."Kabar saya baik," sahut Toni yang masih memasang wajah datarnya.Hosea hanya tersenyum simpul, menyadari keengganan Toni untuk berbicara. Karenanya pria itu m