Share

Bus Terakhir

Wajah pertama yang tertangkap bola mata saat masuk ke kelas adalah Liana. Ia tersenyum lebar. Aku membalasnya dengan senyum lebar pula, meski pedih di hati. “Apa kau bahagia?”

Hatiku meraung sangat kencang. Di dalam dada ini, ada sesak yang melekat dan menancap kemudian. Tubuhku seolah tertimpa benda paling berat yang pernah ada.

Seandainya saja mental pada tubuh ini lebih berani untuk mendekatinya. Seandainya saja mulut pada tubuh ini berani mengutarakan perasaannya. Seandainya saja jemari pada tubuh ini mampu mengetik obrolan sederhana seperti yang Beno lakukan setiap malam. Seandainya saja tubuh ini tidak terlalu dimanja. Mungkin dia akan memilihku.

Kebisingan kelas sama halnya seperti lagu elegi. Aku tidak bisa membedakan mana suara obrolan, mana suara bising, dan mana suara erangan juga amarah di hati. Di kepala, semuanya terasa sama.

“Yan,” panggil Beno seketika. Aku terpaksa menoleh, meski jika boleh jujur,

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status